Hal 20-24 Fc

  • Uploaded by: heri purwata
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Hal 20-24 Fc as PDF for free.

More details

  • Words: 1,325
  • Pages: 4
K o m i s i

P e m i l i h a n

U m u m

D a e r a h

KPU Kulonprogo Harus Profesional

Audiensi KPU dengan Bupati Kulonprogo.

K

omisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Kulonprogo diharapkan bisa bekerja profesional dan sabar mengawal proses demokrasi di wilayah Kulonprogo. Sehingga penyelenggaraan Pemilu 2009 bisa berjalan dengan baik dan diperoleh hasil yang optimal dan berkualitas. Itulah harapan Bupati Kulonprogo H Toyo Santoso Dipo ketika menerima audiensi KPU Kulonpro-go di ruang kerjanya, 17 November 2008. Hadir dalam audiensi ini lima anggota KPU, Siti Ghoniyatun SH, Intan Widiastuti SH MKn, Marwanto SSos, Muh Isnaeni STP, R Panggih Widodo SSi, serta Sekretaris KPU Supriyo Adi Bawono SH. Sedangkan bupati didampingi Kasubag Pemerintahan. Dijelaskan Toyo, reformasi politik Indonesia yang dimulai tahun 1998 telah menghasilkan perubahan besar pada perilaku, sikap dan pemikiran warga negara. Mulai tahun itu,

warga negera Indonesia semakin mendapat kesempaan untuk mengemukakan pendapat serta menentukan sikap politik tanpa harus dibayang-bayangi rasa takut dari pihak yang tidak sependapat atau lawan politik. ‘’Kondisi seperti ini patut disyukuri karena hal semacam ini pada era sebelumnya warga negara terkekang oleh kekuatan politik yang berkuasa saat itu. Sehingga peluang untuk berkembang sesuai dengan aspirasi dan cita-cita sedikit terhambat,’‘ kata Toyo. Saat ini, lanjut Toyo, dalam kondisi bebas, merdeka, maka setiap warga negara dapat berkembang sesuai dengan apa yang diinginkannya. Kondisi seperti ini merupakan kondisi yang baik, namun dalam batas-batas tertentu juga ada segi negatifnya. Terkait dengan Pemilu 2009, kata Toyo, saya berharap agar kebebasan yang dimiliki setiap warga negara

sikap profesional

dapat digunakan secara bertanggung jawab. Artinya, kebebasan yang dimiliki hendaknya dimanfaatkan dengan niat untuk mencapai kebaikan yang hakiki. Toyo berkeyakinan jika kebebasan telah disikapi sebagai suatu hak yang dimiliki seseorang dan harus dapat dipertanggungjawabkan akan berpengaruh positif terhadap pelaksanaan Pemilu. ‘’Jika sikap ini sudah melekat pada seseorang maka dalam Pemilu 2009 orang tersebut tidak akan mungkin melakukan sikap Golput, mengajak Golput pada orang lain atau bahkan mengacaukan pelaksanaan Pemilu 2009,’‘ tandas Toyo. Sebelum audiensi dengan dengan bupati, KPU juga telah melakukan audiensi dengan Komandan Kodim, Kapolres, Ketua DPRD dan Ketua Pengadilan Negeri. Dalam audiensi dengan Komandan Kodim dan Kapolres, KPU Kulonprogo mengharapkan terciptanya situasi kondusif di ma-syarakat agar Pemilu bisa berjalan aman dan lancar. Sedangkan audiensi dengan Ketua DPRD, KPU Kulonprogo mengharapkan adanya kebijakan yang mendukung adanya anggaran untuk pelaksanaan Pemilu 2009 yang tidak dianggarkan di APBN. Sedangkan Ketua DPRD mengharapkan agar KPU mensosialisasikan tata cara pemberian suara yang melibatkan tokoh masyarakat. Sebab pemberian suara pada Pemilu 2009 ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yaitu dengan memberikan tanda centang. Sehingga melalui sosialisasi diharapkan masyarakat benar-benar mengetahui cara memberikan suaranya. Sementara audiensi dengan Ketua Pengadilan Negeri, KPU mengharapkan ada langkah hukum dari pengadilan terkait kasus Pemilu yang belum diatur dalam Undangundang Pemilu. ●

21

esai

K o m i s i

P e m i l i h a n

Suara Rakyat alam sebuah sajaknya yang berjudul “Tentang Seorang yang Terbunuh di Sekitar Hari Pemilihan Umum”, Goenawan Muhamad (GM) membuka dengan larik kalimat: “Tuhan, berikanlah suara-Mu, padaku” Mengapa ada seorang yang mengharap “Suara Tuhan” di hari Pemilu? Agaknya , ungkapan Vox Populi Vox Dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) telah menjadi jargon keramat yang kerap dikutip saat pesta demokrasi berlangsung. Konon, ungkapan ini juga menjadi salah satu inspirasi Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menganulir pasal 214 UU No.10 tahun 2008 perihal penetapan calon terpilih. MK, sebagai lembaga yang diberi kewenangan penuh menguji undang-undang, dalam menelorkan setiap putusan notabene berdasar dan/atau bekerja di ranah substansi. Termasuk ketika menganulir pasal di atas: MK sedang bicara substansi demokrasi. Putusan yang bersifat substantif memang sulit dibantah. Putusan MK, kata Satjipto Raharjdo (Kompas, 5/1/2009), ibarat idu geni: setiap MK mengeluarkan putusan rakyat harus diam, patuh, manut. Tidak boleh protes, banding dan tak ada jalan melawan. Sementara dilain pihak, kita tahu, undang-undang (sekali lagi undang-undang, bukan undang-undang dasar) adalah pedoman yang cenderung aplikatif. Tidak mudah mensinkronkan hasil kerja di ranah substansi dengan aturan yang bersifat terapan –apalagi peraturan yang aplikatif tadi dihasilkan oleh sebuah rembug yang bersifat kompromistik. Reaksi dan respon beragam pun mengalir. Dua kutub reaksi yang menarik disimak adalah: Pertama, pendapat yang menyata-

D

22

kan terbitnya putusan MK mampu mengeliminir kontradiksi antara sistem proporsional terbuka yang dianut dalam Pemilu 2009 dengan penetapan calon terpilih. Argumentasinya, sistem proporsional terbuka pada hakikatnya sangat menghormati suara rakyat. Dengan kata lain, siapa pun yang dikehendaki (dipilih) rak-yat atau mendapat suara terbanyak (dalam “koridor proporsional”), maka ia yang berhak menjadi wakilnya di parlemen. Kedua, pendapat yang mengatakan putusan MK tersebut justru membuat rancu sistem Pemilu 2009. Alasannya, peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR/DPRD adalah partai politik, bukan perseorangan. Tapi mengapa ketika menetapkan calon terpilih menggunakan acuan perolehan suara terbanyak yang diperoleh caleg yang notabene itu perseorangan? Hemat saya, pendapat pertama lebih logis. Sebab, yang berlaku nanti adalah “suara terbanyak proporsional”, bukannya “suara terbanyak distrik”. Artinya, ketika caleg dalam sebuah Dapil mendapat suara terbanyak namun partainya tidak memperoleh kursi, caleg tersebut tetap tidak berhak atas sebuah kursi. Jadi, perolehan suara parpol sebagai peserta Pemilu yang menentukan perolehan kursi, bukan perseorangan. Selain dua kutub pendapat diatas, sejumlah tanggapan pro-kontra sempat muncul: merebaknya politik uang, ancaman akan tamatnya riwayat parpol, sampai hilangnya tindakan afirmatif action terhadap perempuan. Alhasil, konversi substansi demokrasi ke dalam sistem politik memang tidak pernah sempurna. Begitu juga terjemahan substansi demokrasi ke produk hukum, amat tidak mudah. Apalagi, pembuatan undang-undang itu sendiri adalah sebuah

U m u m

D a e r a h

Oleh Marwanto

proses politik —yang tak mungkin steril dari kepentingan. Namum, sesulit apapun membuat aturan undangundang yang bermuatan politis, tetap lebih sulit menjadi pelaksana (eksekutor) dari sebuah produk hukum yang kental muatan politiknya. Dan itulah yang dijalankan KPU saat menyelenggarakan Pemilu. Tapi itu resiko yang harus dihadapi KPU. Meski mendapat tekanan dari elit politik sana-sini dan sulit melaksanakan aturan yang kental muatan politiknya sehingga masyarakat awam acapkali memberi citra KPU sebagai lembaga yang esok dele sore tempe, namun para komisioner KPU niscaya akan senantiasa ikhlas menerima segala bentuk cercaan demi menjalankan tugas. Ya, sebab menyelenggarakan Pemilu adalah tugas luhur dan mulia dengan sejumput harapan mampu memunculkan wakil rakyat dan pemimpin yang merupakan cerminan suara rakyat sehingga tatanan kenegaraan yang terwujud benar-benar implementasi dari ruh Daulat Rakyat. Jika meleset , dalam arti suara rakyat bisa dibeli dengan uang atau para wakil rakyat dan pemimpin yang terpilih nanti membelokkan amanah dari konstituen, maka hajat Pemilu tak lebih sebagai – mengutip kalimat lain dari sajak GM di atas– bayang-bayang bergoyang sibuk dan beranda meninggalkan berisik”. Pemilu hanya menyisakan suara gemuruh dari sebuah pesta yang mengatasnamakan demokrasi. Dan itu sama artinya dengan kemubaziran. Semoga bangsa kita dijauhkan dari kemubaziran penyelengaraan Pemilu. Sebab, ongkos Pemilu di negeri ini teramat mahal. Bukan hanya dari hitungan rupiah, tapi yang dipertaruhkan adalah harapan duaratus juta lebih rakyat Indonesia. ●

K o m i s i

P e m i l i h a n

U m u m

D a e r a h

pisah sambut

Supriyo Adi Bawono SH menyalami Parina Edi Rawanta.

Perubahan al yang hakiki dalam kehidupan adalah perubahan. Orang Barat, lewat filsuf Heraclitus, mengatakan: “Everything flows, everything is constantly changing”. Sementara orang Jawa mengibaratkan perubahan kehidupan itu seperti roda berputar. Ada kalanya di atas, saat lain berada di bawah. Apapun kiasan yang dipakai, perubahan merupakan Sunatullah yang niscaya dialami setiap makhluk, Acara Pisah-Sambut KPU Kabupaten Kulonprogo yang berlangsung 1 November 2008 adalah ritual dalam rangka menghormati sebuah perubahan. Agar hidup lebih bermakna, perubahan harus dihadapi dan dijalani secara bijaksana. Aku mengalir, kau gemercik sampai ke hilir, kata Joko Pinurbo dalam sajaknya Panta Rei. ●

H Supriyo Adi Bawono SH (berdiri), R Panggih Widodo S0Si, Muh Isnaini STP, Sapardiyono SHut, MH dan Marwanto S.Sos (dari kiri ke kanan duduk).

Ny Sapardiyono, Siti Ghoniyatun SH, Intan Widiastuti SH, MKn, Ny Panggih Widodo (dari kiri ke kanan).

23

PERBAIKAN KEHIDUPAN BERBANGSA

DIMULAI DARI PILIHAN ANDA

1 Menit di bilik Suara 5 Tahun Nasib Anda Dipertaruhkan Pilihlah Pemimpin Berkualitas

Pemungutan Suara Pemilu 2009 Kamis, 9 April 2009

Iklan ini dipersembahkan oleh KPU Kulonprogo

Related Documents

Hal 1-4 Fc
December 2019 9
Hal 9-12 Fc
December 2019 14
Hal 13-16 Fc
December 2019 13
Hal 17-20 Fc
December 2019 14
Hal 20-24 Fc
December 2019 15
Hal 5-8 Fc
December 2019 21

More Documents from "heri purwata"