75062_refleksi Kasus Tyas.docx

  • Uploaded by: Yes
  • 0
  • 0
  • July 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 75062_refleksi Kasus Tyas.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,870
  • Pages: 26
SMF/Lab Ilmu Kesehatan Jiwa

Refleksi Kasus

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman

EPISODE DEPRESI

Disusun Oleh: Sulistyaning Tyas 1810029042

Pembimbing: dr. Eka Yuni Nugrahayu,Sp.KJ

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik SMF/lab Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Umum Universitas Mulawarman 2019

2

KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, sang penguasa seluruh alam,karena atas berkat dan rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan refleksi kasusepisode depresi ini tepat pada waktunya. Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui lebih lanjut tentang episode depresi, dan bagaimana menghadapi masalah ini dalam praktik kedokteran. Penulis mengucapkan terima kasih terutama kepada dr. Eka Yuni Nugraha, Sp. KJ, selaku pembimbing penulis atas segala bantuan dan bimbingan dalam menyelesaikan refleksi kasus ini. Oleh karena keterbatasan pengalaman, pengetahuan dan kepustakaan, penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak. Akhir kata, semoga makalah ini dapat menjadi masukan yang berarti dalam perbaikan proses pembelajaran.

Samarinda, Maret 2019

Penulis

3

Daftar Isi Daftar Isi ............................................................................................................................ 4 Bab 1 Pendahuluan ........................................................................................................... 5 1.1.

Latar Belakang .................................................................................................. 5

1.1.

Tujuan ................................................................................................................ 6

Bab 2 Resume Pasien ........................................................................................................ 7 2.1.

Anamnesis .......................................................................................................... 7

2.2

Genogram .......................................................................................................... 9

2.3

Status Pemeriksaan Fisik ................................................................................. 9

2.4

Status Psikiatrik .............................................................................................. 10

2.5

Diagnosis Multiaksial...................................................................................... 11

2.6

Penatalaksanaan ............................................................................................. 11

2.7

Prognosis .......................................................................................................... 11

BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................... 12 3.1

DEFINISI ......................................................................................................... 12

3.2

FAKTOR RISIKO .......................................................................................... 12

3.3

ETIOLOGI ...................................................................................................... 13

3.4

DIAGNOSIS .................................................................................................... 15

3.5.

TATALAKSANA ............................................................................................ 18

3.6

PROGNOSIS ................................................................................................... 23

3.7.

PEMBAHASAN .............................................................................................. 25

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 27

4

Bab 1 Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Gangguan mood atau gangguan afektif meliputi sekelompok besar gangguan dengan mood patologis serta gangguan terkait mood yang mendominasi gambaran klinisnya. Gangguan ini mengacu pada keadaan emosi yang menetap, bukan hanya ekspresi eksternal (afektif) pada keadaan emosional sementara. Depresi adalah suatu gangguan mood dengan ciri sedih, merasa sendirian, rendah diri, putus asa, biasanya disertai tanda–tanda retardasi psikomotor atau kadang-kadang agitasi,

menarik

diri

dan

terdapat

gangguan

vegetatif

seperti insomnia dan anoreksia (Sadock & Sadock, 2014). Selain gejala diatas dapat pula terganggunya aktivitas sehari-hari, perubahan berat badan, gangguan konsentrasi, anhedonia (kehilangan minat apapun), lelah dan tak berdaya serta pikiran bunuh diri. Jika gangguan depresif berjalan dalam waktu yang panjang (distimia) maka orang tersebut dikesankan sebagai pemurung, pemalas, menarik diri dari pergaulan, karena ia kehilangan minat hampir disemua aspek kehidupannya (Marsasina, 2016). Depresi dapat digolongkan menjadi depresi ringan, depresi sedang, depresi berat tanpa gejala psikotik dan depresi berat dengan gejala psikotik. Penatalaksanaan pasien gangguan mood harus diarahkan kepada beberapa tujuan. Pertama, keselamatan pasien harus terjamin. Kedua, kelengkapan evaluasi diagnostik pasien harus dilaksanakan. Ketiga, rencana terapi bukan hanya untuk gejala, tetapi kesehatan jiwa pasien kedepan juga harus diperhatikan. Selanjutnya melalui terapi harus dapat menurunkan banyak stresor berat dalam pasien. Secara keseluruhan, penatalaksanaan gangguan mood harus diserahkan kepada psikiater. Remisi penuh akan dialami pasien dalam waktu empat bulan degan pengobatan yang adekuat (Ismail & Siste, 2015).

5

1.1. Tujuan Menambah pengetahuan mengenai gangguan mood episode depresif mulai dari etiologi hingga penatalaksanaannya.

6

Bab 2 Resume Pasien

2.1. Anamnesis Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 11 Maret 2019 pukul 10.30 WITA di Poliklinik RSJD Atma Husada Mahakam Samarinda. Identitas Pasien Nama

: Ny. S

Jenis Kelamin

: Perempuan

Usia

: 43 tahun

Agama

: Islam

Suku

: Banjar

Pendidikan

: SMA

Pekerjaan

: Karyawan perusahaan swasta

Alamat

: Jl. M. Said RT 03 Samarinda

Identitas Penanggung Jawab Nama

: Tn. R

Jenis Kelamin

: Laki – laki

Hubungan

: Suami

Alamat

: Jl. M. Said RT 03 Samarinda

7

Status Psikiatri Resume Masuk (Poli) Pasien datang ke Poli Atma Husada Mahakam Samarinda pada tanggal 11 Maret 2019. Keluhan Utama

: Sulit tidur

Riwayat Penyakit Sekarang Pasien mengatakan bahwa dirinya sulit tidur sejak satu tahun lebih. Pasien mengeluh sulit untuk memulai tidur, sering terbangun malam hari, dan bila terbangun akan susah tidur kembali. Pasien juga merasa sulit untuk melakukan pekerjaan karena merasa cepat lelah dan pusing. Selain itu pasien juga mengalami penurunan nafsu makan. Pasien mulai merasakan sulit tidur semenjak permasalahan rumah tangga yang dialami satu tahun kebelakang. Pasien merasakan cemas, tidak dihargai oleh suami, tidak dipedulikan, takut saat pulang kerja dengan perasaan sedih serta curiga yang berlebih. Kondisi ini semakin memberat satu bulan sebelum pasien berobat ke RSJ. Pasien hanya ingin mengurung diri di kamar dan menangis. Sebelum pengobatan di di poliklinik RSJ pasien juga mengeluhkan nyeri ulu hati yang tidak kunjung sembuh dengan pengobatan namun satu tahun ini keluhan membaik. Pasien tidak memiliki ide untuk mengakhiri hidup. Pasien menyangkal adanya mendengar bisikan-bisikan atau melihat sesuatu yang tidak wajar. Riwayat demam, kejang dan trauma tidak ada. Riwayat Penyakit Dahulu Sebelumnya pasien pernah memiliki keluhan serupa pada tahun 2010 namun tidak seberat keluhan yang sekarang Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada yang memiliki tanda-tanda atau gejala seperti yang dialami pasien.

8

Faktor Pencetus Pasien memikirkan masalah rumah tangganya yaitu suaminya selingkuh 2.2 Genogram

40 40 th th

39 th

Keterangan : Perempuan Laki Pasien

2.2 Status Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum : Tampak sakit ringan Kesadaran

: Komposmentis, GCS E4 V5 M6

Tanda Vital

: TD : 130/80; Nadi : 80x/menit; RR: 20x/menit; Suhu: 36,2˚C

Sistem Kardiovaskular

: Tidak ada kelainan

Sistem Respiratorik

: Tidak ada kelainan

Sistem Gastrointestinal

: Tidak ada kelainan

Sistem Urogenital

: Tidak ada kelainan

Kelainan Khusus

: Tidak ada kelainan

9

Status Neurologikus Panca Indera

: Tidak diperiksa

Tanda Meningeal

: Tidak diperiksa

Tekanan Intrakranial

: Tidak diperiksa

Mata

: Tidak diperiksa

Pemeriksaan Penunjang

:Tidak diperiksa

2.3 Status Psikiatrik Kesan Umum

: Menggunakan kemeja, jilbab dan celana panjang, tampak rapi

Kontak

: Verbal (+), Visual (+)

Kesadaran

: Composmentis, orientasi tempat , waktu dan orang baik, atensi (+), memori (+)

Emosi/Afek

: Mood stabil, afek cemas

Proses Berpikir

:Realistis, koheren, waham (-)

Intelegensi

: Cukup

Persepsi

: Halusinasi(-) , Ilusi (-)

Psikomotor

: Dalam batas normal

Kemauan

: Dalam batas normal

10

2.4 Diagnosis Multiaksial

Axis I

: F 32. (Episode Depresif Ringan)

Axis II

:-

Axis III

:-

Axis IV

:-

Axis V

: GAF scale 90-81

2.5 Penatalaksanaan

Amitriptyline 25 mg Clozapine 17 mg Alprazolam 0,25 mg 2.6 Prognosis Dubia ad bonam

11

BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA

3.1

DEFINISI Gangguan mood atau gangguan afektif meliputi sekelompok besar

gangguan dengan mood patologis serta gangguan terkait mood yang mendominasi gambaran klinisnya. Gangguan ini mengacu pada keadaan emosi yang menetap, bukan hanya ekspresi eksternal (afektif) pada keadaan emosional sementara. Gangguan mood paling baik dianggap sebagai sindrom yang terdiri atas sekelompok tanda dan gejala yang bertahan selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, yang menunjukkan penyimpangan fungsi habitual seseorang serta kecenderungan untuk kambuh dalam bentuk periodik atau siklik (Sadock & Sadock, 2014). Pasien dengan mood menurun menunjukkan hilangnya energi dan minat, rasa bersalah, sulit berkonsentrasi, hilang nafsu makan, serta pikiran mengenai kematian dan bunuh diri. Gejala atau tanda lainnya berupa perubahan tingkat aktivitas, kemampuan kognitif, pembicaraan, serta fungsi vegetative yang hampir selalu menimbulkan gangguan fungsi interpersonal, sosial, dan pekerjaan (Sadock & Sadock, 2014). Depresi adalah suatu gangguan perasaan hati dengan ciri sedih, merasa sendirian, rendah diri, putus asa, biasanya disertai tanda–tanda retardasi psikomotor atau kadang-kadang agitasi, menarik diri dan terdapat gangguan vegetatif seperti insomnia dan anoreksia (Sadock & Sadock, 2014).

3.2 FAKTOR RISIKO 1) Usia Onset depresi terjadi rata-rata pada usia sekitar 40 tahun-an, namun pada 50 persen kasus tidak jarang onset terjadi diantara usia 20-50 tahun. Gangguan depresi berat dapat timbul pada masa anak atau lanjut usia (Sadock & Sadock, 2014).

12

2) Jenis Kelamin Perempuan mempunyai predisposisi lebih yaitu sekitar 2:1 dalam prevalensi depresi pada remaja setelah pubertas. Terdapat temuan yang kuat berdasarkan penelitian secara epidemiologi dan klinis namun alasan perbedaan kerentanan depresi berdasarkan jenis kelamin ini kemungkinan terkait dengan perubahan hormon perempuan yang memengaruhi mood, kepekaan otak, dan respon terhadap stres (Thapar, Collishaw, Pine, & Thapar, 2012). 3) Status Perkawinan Paling sering terjadi pada orang yang tidak mempunyai hubungan interpersonal yang erat atau pada mereka yang bercerai atau berpisah. Depresi lebih rentan terjadi pada seseorang yang tidak menikah dan cerai dibandingkan dengan seseorang yang menikah (Yan, Huang, Huang, Wu, & Qin, 2011) 4) Faktor Sosioekonomi dan Budaya Tidak ditemukan kolerasi antara status sosioekonomi dengan gangguan depresi berat. Depresi lebih sering terjadi di daerah pedesaan dibanding perkotaan (Ismail & Siste, 2015). 5) Pendidikan Terdapat hubungan yang signifikan pendidikan dengan depresi pada usia dewasa-tua. Tingkat pendidikan berkaitan dengan kesehatan fisik yang baik. Penelitian di Inggris menyebutkan bahwa lansia yang hanya menamatkan pendidikan dasar mempunyai risiko terhadap depresi 2,2 kali lebih besar (Marsasina, 2016).

3.3 3.3.1

ETIOLOGI Faktor Biologis

Neuroimaging Berdasarkan berbagai penelitian yang berbeda terdapat hubungan yang konsisten dan resiprokal antara daerah dorsokortikal serta ventrolimbik pada depresi. Variasi kelainan dalam region ventromedial termasuk cingulate anterior konsisten pada gangguan depresi. Terdapat pengecilan volume hipokampus pada pasien depresi dibandingkan dengan yang normal (Marsasina, 2016).

13

Neurokimiawi Terdapat peran neurotransmitter serotonin pada gangguan mood. Serotonin disintesis dari asam amino esensial tryptophan dalam 2 tahap enzimatis. Perubahan fungsi serotonergik otak menunjukkan perubahan fungsi tubuh dan perilaku pada depresi seperti nafsu makan, fungsi seksual, sensitivitas nyeri, dan temperatur tubuh. Kekurangan serotonin dapat mencetuskan depresi dan beberapa pasien dengan impuls bunuh diri memiliki konsentrasi metabolit serotonin yang rendah dalam cairan serebrospinal (Sadock & Sadock, 2014). Bukti lain menunjukkan adanya keterlibatan reseptor prasinaps β 2adrenergik pada depresi, aktivasi reseptor ini menimbulkan penurunan jumlah norepinefrin yang dilepaskan. Reseptor ini juga terletak pada neuron serotonergik serta mengatur jumlah serotonin yang dilepaskan (Sadock & Sadock, 2014). Aktivitas dopamine berkurang pada depresi. Dua teori terkini mengenai dopamine dan depresi adalah bahwa jaras dopamine mesolimbic mungkin mengalami disfungsi pada depresi dan bahwa reseptor dopamine D1 mungkin hipoaktif pada depresi (Sadock & Sadock, 2014).

Regulasi Neuroendokrin Hipotalamus merupakan pusat pengaturan aksis neuroendokrin dan juga menerima berbagai input saraf melalui neurotransmitter amin biogenik. Berbagai disregulasi neuroendoktrin dilaporkan pada pasien dengan gangguan mood, sehingga regulasi aksis neuroendokrin yang abnormal merupakan akibat fungsi neuron yang mengandung amin biogenik yang abnormal pula. Aksis neuroendokrin utama yang dimaksud disini adalah aksis adrenal, tiroid, serta hormone pertumbuhan.Sekitar 50% pasien yang mengalami depresi memiliki tingkat kortisol yang meningkat. Sekitar sepertiga pasien dengan gangguan depresif berat yang tidak memiliki aksis tiroid normal ditemukan memiliki respon tirotropin dan hormone perangsang tiroid (TSH) yang tumpul terhadap hormone pelepas tirotropin (TRH). Pasien depresi memiliki respon stimulasi pelepasan hormone pertumbuhan oleh tidur yang tumpul (Sadock & Sadock, 2014).

14

3.3.2

Faktor Genetik Studi keluarga, studi anak kembar dan studi anak adopsi dari gangguan

depresi unipolar pada umumnya menunjukkan risiko mendasar dari komponen yang dapat diturunkan, namun gangguan bipolar mempunya sifat menurun yang tinggi dibandingkan depresi unipolar berulang (Marsasina, 2016).

3.3.3

Faktor Psikososial

Peristiwa Hidup dan Stres Lingkungan Peristiwa hidup yang penuh tekanan lebih sering timbul mendahului episode gangguan mood yang mengikuti. Stress yang mendahului episode pertama mengakibatkan perubahan yang bertahan lama pada biologi otak. Perubahan ini dapat menghasilkan perubahan keadaan fungsional berbagai neurotransmitter dan system pemberian sinyal intraneuron, hilangnya neuron, dan berkurangnya kontak sinaps yang berlebihan.Sehingga penderita memiliki risiko tinggi mengalami episode gangguan mood berikutnya, bahkan tanpa stressor eksternal (Sadock & Sadock, 2014).

Faktor Kepribadian Tidak ada satupun ciri bawaan atau jenis kepribadian yang secara khas menjadi predisposisi depresi. Semua orang dengan pola kepribadian apapun dapat mengalami depresi di bawah situasi yang sesuai (Sadock & Sadock, 2014).

3.4 DIAGNOSIS Berikut kriteria diagnosis episode depresif menurut PPDGJ-III F32 Episode Depresif Gejala utama (pada derajat ringan, sedang, dan berat) -

Afek depresif,

-

Kehilangan minat dan kegembiraan, dan

-

Berkurangnya energi, mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja 15

sedikit saja) dan menurunnya aktivitas (Maslim, 2013). Gejala lainnya : (a) Konsentrasi dan perhatian berkurang; (b) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang; (c) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna; (d) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis; (e) Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri; (f) Tidur terganggu; (g) Nafsu makan berkurang. Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakan diagnosis, namun periode yang lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala sangat berat dan berlangsung cepat. Kategori episode depresif ringan (F32.0), sedang (F32.1), dan berat (F32.2) hanya digunakan untuk episode depresi tunggal (yang pertama).Episode depresif berikutnya harus diklasifikasikan di bawah salah satu diagnosis gangguan depresif berulang (F33.-) (Maslim, 2013).

F32.0 Episode Depresif Ringan 

Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti disebut diatas;



Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya: (a) sampai dengan (g).



Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya.



Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu



Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa dilakukannya.

16

F32.1 Episode Depresif Sedang 

Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti pada episode depresi ringan;



Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya;



Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 minggu.



Menghadapi kesulitan nyata utnuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan urusan rumah tangga.

F32.2 Episode Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik 

Semua 3 gejala utama depresi harus ada.



Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa diantaranya harus berintensitas berat.



Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu utnuk melaporkan banyak gejalanya secara rinci. Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresif berat masih dapat dibenarkan.



Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu.



Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.

F32.3 Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik 

Episode depresi berat yang memenuhi kriteria meurut F32.2 tersebut diatas;



Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya

17

melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang mengancam, dan pasien merasa bertanggungjawab atas hal itu. Halusianasi auditorik atau olfatorik biasanya berupa suara yang menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau daging membusuk. Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor. Jika diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak serasi dengan afek (mood-congruent).

3.5. TATALAKSANA Penatalaksanaan pasien gangguan mood harus diarahkan kepada beberapa tujuan. Pertama, keselamatan pasien harus terjamin. Kedua, kelengkapan evaluasi diagnostik pasien harus dilaksanakan. Ketiga, rencana terapi bukan hanya untuk gejala, tetapi kesehatan jiwa pasien kedepan juga harus diperhatikan. Walaupun penatalaksanaan farmakoterapi dan psikoterapi harus dipikirkan pada pasien, peristiwa kehidupan yang penuh ketegangan dapat meningkatkan angka kekambuhan pasien dengan gangguan mood. Selanjutnya melalui terapi harus dapat menurunkam banyak stresor berat dalam pasien. Secara keseluruhan, penatalaksanaan gangguan mood harus diserahkan kepada psikiater. Remisi penuh akan dialami pasien dalam waktu empat bulan degan pengobatan yang adekuat (Ismail & Siste, 2015).

3.5.1 Rawat inap Indikasi yang jelas untuk rawat inap adalah kebutuhan prosedur diagnosis, risiko bunuh diri atau membunuh, dan kemampuan pasien yang menurun drastis untuk mendapatkan makanan dan tempat tinggal. Riwayat gejala yang berkembang cepat serta rusaknya sistem dukungan pasien yang biasa juga merupakan indikasi rawat inap. Pasien dengan gangguan mood sering tidak ingin masuk rumah sakit dengan sukarela dan mungkin harus dipaksa masuk (Sadock & Sadock, 2014).

3.5.2

Terapi keluarga 18

Terapi keluarga tidak umum digunakan sebagai terapi primer untuk gangguan depresi berat, tetapi meningkatkan bukti klinis dapat membantu pasien dengan gangguan mood untuk mengurangi dan menghadapi stres dan untuk mengurangi adanya kekambuhan. Terapi keluarga diindikasikan untuk gangguan yang membahayakan perkawinan pasien atau fungsi keluarga atau jika gangguan mood didasari atau dapat ditangani oleh situasi keluarga. Terapi keluarga menguji peran pasien gangguan mood pada seluruh keluarga, juga menguji peran pasien gangguan mood pada seluruh keluarga, juga menguji peran dari keluarga untuk menangani gejala pasien (Ismail & Siste, 2015).

3.5.3

Farmakoterapi Penanganan efektif dan spesifik, seperti obat trisiklik, untuk gangguan

depresi berat telah digunakan selama 40 tahun. penggunaan secara spesifik farmakoterapi diperkirakan kemungkinan sembuh dua kali lipat dalam waktu satu bulan. Meskipun demikian, masih ada permasalahan dalam penanganan gangguan depresi berat: beberapa pasien tidak berespons dengan terapi pertama. Antidepresan membutuhkan waktu 3 sampai 4 minggu untuk memberikan efek terapi yang bermakna, meskipun ada yang menunjukkan efek terapi lebih awal; dan secara relative, semua antidepresan yang tersedia menjadi toksik pada dosis yang kelebihan dan menunjukkan efek samping. Antidepresan lainnya adalah Selective Serotonine Reuptake Inhibitor (SSRI) seperti fluoxetine, paroxetine (paxil), dan sertraline (Zoloft). Antidepresan golongan lain misalnya bupropion, venlafaxine, nefazodone (serzone) dan mirtazapine (remeron), menunjukkan secara klinis hasil yang sama efektif dengan obat terdahulu tetapi lebih aman dan toleransinya lebih baik. Gejala pertama yang menjadi penanganan adalah sulit tidur dan gangguan dalam pola makan. Gejala lainnya yang dapat timbul adalah mengamuk, cemas, dan rasa putus asa. Target gejala lainnya termasuk energy menurun, kurang konsentrasi, tidak berdaya, dan menurunnya libido.

19

Edukasi pasien yang adekuat tentang kegunaan antidepresan sebagai hal penting untuk kesuksesan terapi termasuk pemilihan obat dan dosis yang paling sesuai. Ketika mengenalkan penggunaan obat kepada pasien, dokter perlu menekankan gangguan depresi berat adalah kombinasi dari faktor biologi dan psikologi; kedua-duanya mendapatkan manfaat dengan terapi pengobatan. Dokter juga harus menekankan kepada pasien tidak akan menjadi ketergantungan dengan obat antidepresan karena obat tidak memberikan kepuasan segera dan dosis obat akan diturunkan secara perlahan-lahan sesuai dengan evaluasi gejala. Pada

pemberian

antidepresan,

obat

akan

memperlihatkan

efek

antidepresan yang optimal dalam 3 sampai 4 minggu. Timbulnya efek samping menunjukkan obat bekerja, tetap efek samping yang timbul ini harus dijelaskan secara detail. Sebagai contoh, beberapa pasien yang meminum antidepresan golongan SSRIs menjadi gelisah, mual dan muntah sebelum adanya perbaikan gejala. Efek samping berkurang seiring berjalannya waktu. Dengan obat trisiklik dan MAOis, dokter akan menjelaskan kepada pasien bahwa gejala yang akan membaik lebih awal adalah adanya perbaikan tidur dan selera makan, yang diikuti oleh perbaikan pada perasaan kurang energy, dan terakhir perasaan depresi, untungnya hal terakhir merupakan gejala yang terakhir muncul. Apabila pada 3 minggu setelah pemberian obat antidepresan pasien belum memperlihatkan perbaikan gejala atau perbaikan gejala kurang dari 20% maka perlu mengganti antidepresan dengan antidepresan golongan lainnya. Namun setelah 3-6 minggu pemberian antidepresan hanya didapatkan respon parsial, maka dosis obat harus terus dinaikkan sampai dosis maksimal atau dengan pemberian augmentasi, misalnya dengan litium atau psikostimulan, yang terbukti ada penelitian mempercepat perbaikan gejala dalam waktu 1-2 minggu pada 25% pasien (Ismail & Siste, 2015).

20

Gambar 2.1 Algoritma terapi depresi tanpa komplikasi (Marsasina, 2016)

3.5.4

Psikoterapi Penggunaan psikoterapi direkomendasikan sebagai pilihan pengobatan

awal untuk pasien gangguan depresi ringan sampai sedang, dengan bukti klinis yang mendukung penggunaan terapi kognitif-perilaku, psikoterapi interpersonal, psikodinamik terapi, dan terapi pemecahan masalah pada masing masing individu maupun berkelompok. Faktor-faktor dilakukannya intervensi psikoterapi adalah adanya stres psikososial yang signifikan, konflik intrapsikis, kesulitan

21

interpersonal, gangguan pada axis II, ketersediaan pengobatan, atau yang keinginan pasien (APA, 2015). 

Terapi kognitif-perilaku Pendekatan kognitif mengajak pasien secara langsung mengenali distorsi

kognitif dan pendekatan perilaku, mengenali gejala somatik secara langsung. Teknik utama yang digunakan adalah pendekatan behavioral adalah relaksasi dan biofeedbackError! Reference source not found.. 

Terapi suportif Pasien diberikan reassurance dan kenyamanan, digali potensi-potensi yang

ada dan belum tampak, didukung egonya agar lebih bisa beradaptasi optimal dan fungsi sosial dan pekerjaannyaError! Reference source not found.. 

Psikoterapi berorientasi tilikan Terapi ini mengajak pasien untuk mencapai penyingkapan konflik bawah

sadar, menilik egostrengh, relasi objek, serta keutuhan self pasienError! Reference source not found.. Pada wanita yang sedang hamil, ingin hamil, atau sedang menyusui, terapi psikoterapi tanpa farmakoterapi dipertimbangkan sebagai pilihan awal dan tergantung pada tingkat keparahan gejala. Pertimbangan dalam memilih jenis dari psikoterapi mencakup tujuan, respon positif pada terapi psikoterapi sebelumnya, keinginan pasien, dan ketersediaan dokter ahli dalam pendekatan psikoterapi yang spesifik (APA, 2015) Banyak penelitian telah membuktikan bahwa psikoterapi merupakan terapi yang bermakna untuk depresi. Pemberian psikoterapi dan obat, lebih efektif. Terapi penggabungan ini lebih baik hasilnya daripada hanya pemberian obat saja. Pasien juga dapat bertahan lebih lama menggunakan obat bila ia dalam proses psikoterapi. Hal yang perlu diingat pada pemilihan jenis psikoterapi adalah tentang kondisi pasien. Bila pasien dalam kondisi depresi berat, terlebih dengan ciri psikotik, yang dapat dilakukan hanya psikoterapi suportif, jangan menghibur pasien atau langsung diberi nasihat karena pasien akan bertambah sedih bila tidak mampu melaksanakan nasihat dokternya. Bila pasien sudah lebih tenang, tidak

22

dipengaruhi gejala psikotiknya, dapat dipertimbangkan pemberian psikoterapi kognitif, atau kognitif-perilaku atau psikoterapi dinamik (Ismail & Siste, 2015).

3.5.5

Electrocolvulsice Therapy Electroconvulsive Therapy (ECT) biasanya digunakan jika pasien tidak

berespon terhadap farmakoterapi dengan dosis yang sudah adekuat atau tidak dapat mentoleransi farmakoterapi atau pada tampilan klinis yang sangat berat yang memperlihatkan perbaikan sangat cepat dengan penggunaan ECT (Ismail & Siste, 2015).

3.6

PROGNOSIS Gangguan depresi berat bukan merupakan gangguan yang ringan.

Biasanya cenderung untuk menjadi kronik dan kambuh. Episode pertama gangguan depresi berat yang dirawat di rumah sakit sekitar 50 persen angka kesembuhannya pada tahun pertama. Persentase pasien untuk sembuh setelah perawatan berulang berkurang seiring berjalannya waktu. Banyak pasien yang tidak pulih akan menderita gangguan distimik. Kekambuhan depresi berat juga sering terjadi. Sekitar 25 persen pada 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit, sekitar 30 sampai 50 persen dalam 2 tahun pertama, dan sekitar 50 sampai 75 persen dalam periode 5 tahun. Insiden relaps berkurang pada pasien yang melanjutkan terapi psikofarma profilaksis dan pasien yang hanya mempunyai satu atau dua episode depresi. Secara umum, semakin sering pasien mengalami episode depresi, semakin memperburuk keadaannya (Sadock & Sadock, 2014). Indikator prognosis adalah identifikasi indikator prognosis baik dan buruk pada depresi berat. Pasien mempunyai kemungkinan prognosis baik jika episode ringan, tidak ada gejala psikotik, singkatnya waktu rawat inap, indikator psikososial meliputi mempunyai teman akrab selama remaja, fungsi keluarga stabil, lima tahun sebelum sakit secara umum fungsi sosial baik. Sebagai tambahan, tidak ada komorbiditas dengan gangguan psikiatri lain, tidak lebih dari sekali rawat inap dengan depresi berat, onsetnya awal pada usia lanjut. Pasien mempunyai kemungkinan prognosis buruk jika depresi berat bersamaan dengan

23

distimik, penyalahgunaan alkohol dan zat lain, ditemukan gejala gangguan cemas, ada riwayat lebih dari sekali episode depresi sebelumnya (Ismail & Siste, 2015).

24

3.7. PEMBAHASAN

Fakta

Teori

 Pasien merasa kesulitan saat

1.

memulai

tidur,

Kriteria Diagnoitik Depresi Ringan Menurut PPDGJ III.3

sering

terbangun malam hari dan sulit

Pedoman diagnostik:

utnuk tidur kembali



 Keluhan dirasakan sejak 1  bulan

sebelum

memulai

Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya



pengobatan

Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3

 Pasien kesulitan melakukan

Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya

pekerjaan karena cepat lelah 

Lamanya episode berlangsung minimum

dan

sekitar 2 minggu

merasa

pusing

dan 

penurunan nafsu makan  Pasien merasa sedih dan cemas berlebih

saat

pulang

Hanya sedikitkesulitan dalam pekerjaan dan

dari

kegiatan

sosial

yang

biasa

dilakukannya

bekerja  Tidak ada ide bunuh diri  Pasien

menyangkal

adanya

mendengar biskan-biskan atau melihat sesuatu yang tidak wajar. Penatalaksanaan



Pemberian amitriptyline sebagai anti

Amitriptyline 25 mg

depresan

Clozapine 17 mg

mekanisme

Alprazolam 0,25 mg

pengambilan kembali aminbiogenik di

golongan

Trisiklik

kerjanya

yang

menghambat

dalam otak yang tidak selektif 

Antipsikotik

digunakan

untuk

meingkatkan efek anti depresan, bekerja dengn memblok dopamine D2 reseptor 

Pemberian

alprazolam

sebagai

25

antiansietas

26

DAFTAR PUSTAKA

1. Maramis R. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa . Jakarta: PT Nuh Jaya. 2. Nasrun MWS. 2015. Demensia. dalam S. D. Elvira, & G. Hadisukanto, Buku Ajar PsikiatriEdisi 2. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Hal 537-548. 3. Maslim, Rusdi. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya; Hal 22-26 dan 309-311. 4. Sadock BJ, Sadok VA. 2010. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2. Jakarta : Buku Kedokteran EGC; Hal 57-66. 5. Albers LJ, Hahn RK, Reist C. 2008. Handbook of Psychiatric Drugs. USA : Current Clinical Strategies Publishing; Hal 46-47.

27

Related Documents

Kasus
June 2020 54
Kasus Tht.docx
May 2020 30
Kasus Ppm.docx
October 2019 39
Kasus Raskin
April 2020 34

More Documents from ""