Laporan Dkk Kel 6 B20m2_(1).docx

  • Uploaded by: Yes
  • 0
  • 0
  • July 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laporan Dkk Kel 6 B20m2_(1).docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,916
  • Pages: 33
LAPORAN HASIL DISKUSI KELOMPOK KECIL BLOK 20 KEGAWATDDARURATAN BEDAH MODUL 2 MALROTASI DAN MALPOSISI

Disusun oleh : Kelompok 6 Elnath Suprihatin

NIM.1210015036

Izzati Nurmaya Sari

NIM.1210015006

Fildzah Marsafita Aswad

NIM.1210015033

Intan Widya Astuti

NIM.1210015044

Dzulfikar J

NIM.1210015028

Nuraniar Bariq Kinayoh

NIM.1210015029

Mayang Larasati

NIM.1210015058

Dwiana Sri Palupi TS

NIM.1210015047

Nabila Dayanti

NIM.1110015062

Amelia F.

NIM.1110015021

Gerit

NIM.1110015049

Lamtioma Gultom

NIM.1110015006

Tutor : dr. Eka Chaeriyanti Dr. dr. Yadi, M.Si

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN SAMARINDA 2015

KATA PENGANTAR

Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, kami selaku kelompok 6 telah menyelesaikan laporan hasil Diskusi Kelompok Kecil (DKK) pada Blok 20 Modul 2 mengenai Malrotasi dan Malposisi hingga pembahasan-pembahasan lain yang mendukung pemahaman kami terhadap skenario kali ini. Dalam proses penyusunan laporan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada: 1. dr. Eka Chaeriyanti dan Dr. dr. Yadi, M.Si selaku tutor kelompok 6 yang telah membimbing kami selama menjalani diskusi kelompok kecil sehingga materi diskusi dapat mencapai sasaran pembelajaran yang sesuai. 2. Dosen-dosen yang telah memberikan materi pendukung pada pembahasan sehingga semakin membantu pemahaman kami terhadap materi ini. 3. Kepada seluruh pihak yang turut membantu penyelesaian laporan ini, baik sarana dan prasarana kampus yang kami pergunakan. Dan tentunya kami sebagai penyusun mengharapkan agar makalah ini dapat berguna baik bagi penyusun maupun bagi para pembaca di kemudian hari. Kami memohon maaf apabila dalam penulisan laporan hasil diskusi kelompok kecil (DKK) ini terdapat kata-kata yang kurang berkenan di hati para pembaca. Kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak. Semoga laporan kami ini dapat mendukung pemahaman pembaca terhadap materi tersebut. Samarinda, 26 Oktober 2015 Hormat Kami,

Kelompok 6

2

DAFTAR ISI

Halaman Judul ...............................................................................................................

1

Kata Pengantar ...............................................................................................................

2

Daftar Isi ........................................................................................................................

3

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...................................................................................................

4

B. Tujuan ................................................................................................................

4

BAB II PEMBAHASAN A. Skenario .............................................................................................................

5

B. Step I ..................................................................................................................

5

C. Step II ................................................................................................................

6

D. Step III ...............................................................................................................

8

E. Step IV ...............................................................................................................

8

F. Step V ................................................................................................................

8

G. Step VI ...............................................................................................................

8

H. Step VII .............................................................................................................

9

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................................................

32

B. Saran ..................................................................................................................

32

Daftar Pustaka ...............................................................................................................

33

3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Obstruksi usus merupakan kegawatdaruratan bedah abdomen yang sering dijumpai. Obstruksi usus dapat didefinisikan sebagai gangguan aliran normal usus sepanjang saluran usus. Obstruksi usus dapat bersifat akut maupun kronis, dan bersifat parsial atau total. Penyebab obstruksi usus yang paling sering meliputi adhesi, neoplasma dan herniasi. Penyebab yang jarang meliputi intususepsi, volvulus, abses intraabdominal, batu empedu dan benda asing. Gejala obstruksi usus antara lain nyeri perut, muntah, perut membesar, susah buang air besar dan buang angin. Apabila tidak dilakukan penatalaksanaan dengan segera dan benar, obstruksi usus dapat menimbulkan komplikasi antara lain iskemik usus dan perforasi.

B. Tujuan Setelah melewati modul ini, mahasiswa diharapkan mampu mengetahui dan memahami tentang ileus dari definisi, etiologi, patomekanisme, manifestasi klinis, cara mendiagnosis, diagnosis banding sampai penatalaksanaan awal.

4

BAB II ISI

A. SKENARIO Nyeri Perut Hebat

Dr. Ergensi yang lagi bertugas di UGD sebuah RS sedang menangani seorang bapak yang berusia 55 tahun. Bapak tersebut memiliki keluhan sakit perut yang berat secara terus-menerus yang disertai dengan muntah-muntah sejak 1 hari yang lalu. Perutnya tampak membesar yang disertai dengan susah buang air besar dan buang angin. Setelah melakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, dr.Ergensi melakukan pertolongan awal dan segera melaporkan kasus terseebut ke dokter bedah.

B. STEP I Identifikasi Istilah Asing Berikut ini adalah istilah-istilah asing yang kami dapatkan dari skenario. 1.

Perut membesar

: Perut membesar diakibatkan oleh asites (cairan), massa (misalnya tumor), atau obstruksi usus.

2.

Sakit perut hebat

: Perasaan subjektif pasien akibat peregangan pada lumen usus. Sakit yang terus menerus pada pasien ini diabkibatkan adanya iskemia jaringan

C. STEP II Identifikasi Masalah 1. Mengapa pasien mengalami nyeri perut hebat dan muntah-muntah? 2. Mengapa perut pasien membesar, sulit buang air besar, dan sulit buang angin? 3. Apakah terdapat hubungan antara usia dan keluhan pasien? 4. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang apakah yang perlu dilakukan pada pasien ini? 5. Apakah kemungkinan diagnosa pada pasien ini? 6. Pertolongan pertama apa yang perlu dilakukan pada pasien ini? 7. Mengapa dr.Ergensi merujuk pasien dan apa indikasi rujukan pada pasien tersebut?

5

D. STEP III Curah Pendapat/ Brainstorming 1. Nyeri perut hebat yang terjadi pada psien diakibatkan oleh kontraksi otot terus menerus akibat adanya obstruksi pada usus pasien. Kontraksi dan obstruksi ini merangsang ujung-ujung saraf, sehingga menimbulkan perasaan nyeri. Sedangkan muntah-muntah terjadi akibat peregangan lumen GI tract pasien dan akibat adanya perasaan nyeri yang dialami oleh pasien.

Obtruksi yang terjadi dapat diakibatkan oleh berbagai hal, diantaranya adalah benda asing (misal, cacing); intususepsi (yang terjadi akibat adanya masa, atau tumor atau kelemahan dinding usus bagian disatal, atau tidak sinkronnya motilitas usus); volvulus (usus yang mengalami malrotasi, yang kemudian menyebabkan strangulasi); neoplasma; dan hernia (baik strangulata,maupun inkarserata). 2. Perut membesar yang terjadi pada pasien diakibatkan adanya obstruksi  penumpukan isi usus  usus menjadi tergang  distensi abdomen. Selain itu dapat diakibatkan oleh obtruksi total  kotoran menumpuk  metabolisme bakteri menghasilkan gas  usus menjadi teregang.

Susah BAB diakibatkan oleh adanya obstruksi total lumen usus sehingga isi usus tidak dapat tersalurkan ke bagian distal, dan akibat menunnya motilitas usus.

Susah buang angin terjadi akibat adanya obstruksi total lumen usus.

3. Hubungan usia dengan penyakit pasien: 

Hernia, pada pasien berusia tua umumnya dinding abdomennya mengalami perlemahan terutama di trigonum Hesselbach. Usus dapat masuk ke trigonum ini dan mengalami strangulasi atau terjepit sehingga mengakibatkan obstruksi usus.



Neoplasma, pada pasien berusia tua terjadi kecenderungan untuk mengalami CA colon, yang jika massanya membesar hingga menutup lumen usus dapat mengakibatkan obstruksi.



Intususepsi, terjadi akibat obstruksi intraluminal oleh berbagai penyebab diatas dan seringnya pasien mengejan.

6

4. Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut. 

Vital sign



Inspeksi: kesimetrisan dinding abdomen, bekas operasi pada abdomen pasien, sikap tubuh pasien saat datang berobat, keadaan umum pasien.



Auskultasi: untuk menilai bising usus, apakah meningkat atau menurun atau malah tidak ada suara sama sekali.



Perkusi: apakah timpani atau redup, dan menentukan batas perubahan suara pada perkusi.



Palpasi: untuk mengidentifikasi adanya massa pada perut pasien, untuk mengetahui adda tidak nyeri tekan, dan tanda-tanda peritonitis.



Rectal toucher: untuk membedakan massa CA, intususepsi, atau hemoroid pada bagian rectum pasien.

Pemeriksaan penunjangnya dengan menggunakan USG dan foto polos abdomen.

5. Kemungkinan diagnosis pasien adalah ileus obstruktif, dengan diagnosis bandingnya ileus paralitik.

6. Penatalaksanaan

awal

pada

psien

ini

adalah

pemasangan

NGT

(untuk

mendekompresi perut yang teregang), pemasangan IV line (untuk menstabilkan keadaan umum pasien dengan menggunakan cairan RL), pemasangan kateter urin (untuk memonitor urin dan tingkat dehidrasi pasien), serta pemberian analgetik.

7. Dokter perlu merujuk pasien karena pada ksus ini pasien dicurigai mengalami kegawatdaruratan di bidang bedah, yang bukan merupakan kompetensi dokter umum untuk melakukan tatalaksana hingga tuntas. Indikasi rujukan pasien ini adalah untuk dilakukannya pemeriksaan penunjang lebih lanjut.

7

E. STEP IV Strukturisasi Konsep Nyeri Perut Hebat Muntah Distensi Abdomen Sulit BAB dan Buang Angin

Gangguan Pasase Usus

Anamnesis Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan penunjang

Obtruktif

Paralitik

Farmakologi Tatalaksana Awal Non-farmakologi Rujuk

F. STEP V Learning Objectives Mahasiswa mampu mempelajari dan menjelaskan tentang definisi hingga tatalaksana awal dari serta terapi definitif dari: 1. Ileus obstruktif 2. Ileus paralitik

G. STEP VI Belajar Mandiri Dalam tahap belajar mandiri ini, setiap individu kelompok melakukan kegiatan belajar baik mandiri maupun kelompok dengan mempelajari semua hal yang berkaitan dengan learning objectives dari berbagai sumber referensi yang bisa didapat. Kegiatan belajar mandiri ini dilaksanakan dari hari Selasa, 20 Oktober 2015 hingga hari Kamis, 22 Oktober 2015.

8

H. STEP VII Sintesis Masalah

1. ILEUS OBSTRUKTIF Definisi dan Pendahuluan Hambatan pasase usus dapat disebabkan oleh obstruksi lumen usus atau gangguan usus atau oleh gangguan peristaltis usus. Obstruksi usus juga disebut obstruksi mekanik apabila disebabkan oleh strangulasi, invaginasi, atau sumbatan di dalam lumen usus (Sjamsuhidajat & de Jong, 2010). Obstruksi usus dapat didefinisikan sebagai gangguan aliran normal usus sepanjang saluran usus. Obstruksi usus dapat bersifat akut maupun kronis, dan bersifat parsial atau total. Sebagian besar obstruksi mengenai usus kecil, tapi bisa juga mengenai usus besar (Price, 2005). Ileus obstruktif adalah suatu penyumbatan mekanis pada usus dimana merupakan penyumbatan yang sama sekali menutup atau menganggu jalannya isi usus. Setiap tahunnya 1 dari 1000 penduduk dari segala usia didiagnosa ileus. Di Amerika diperkirakan sekitar 300.000-400.000 menderita ileus setiap tahunnya. Di Indonesia tercatat ada 7.059 kasus ileus paralitik dan obstruktif tanpa hernia yang dirawat inap dan 7.024 pasien rawat jalan pada tahun 2004 menurut Bank data Departemen Kesehatan Indonesia (Sabiston, 1995). Pada obstruksi, harus dibedakan antara obstruksi sederhana dan obstruksi strangulasi.Obstruksi sederhana ialah obstruksi yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah. Pada obstruksi strangulasi, ada pembuluh darah yang terjepit sehingga terjadi iskemia yang akan menyebabkan nekrosis atau gangrene (Sjamsuhidajat & de Jong, 2010). Terapi ileus obstruksi biasnya melibatkan intervensi bedah. Penentuan waktu kritis serta tergantung atas jenis dan lama proses ileus obstruktif. Operasi dilakukan secepat yang layak dilakukan dengan memperhatikan keadaan keseluruhan pasien (Sabiston, 1995).

Klasifikasi Ileus obstruktif dibagi menjadi tiga jenis dasar (Sabiston, 1995) : 1. Ileus obstruktif sederhana, dimana obstruksi tidak disertai dengan terjepitnya pembuluh darah. 9

2. Ileus obstruktif strangulasi, dimana obstruksi yang disertai adanya penjepitan pembuluh darah sehingga terjadi iskemia yang akan berakhir dengan nekrosis atau gangren yang ditandai dengan gejala umum berat yang disebabkan oleh toksin dari jaringan gangren. 3. Ileus obstruktif jenis gelung tertutup, dimana terjadi bila jalan masuk dan keluar suatu gelung usus tersumbat, dimana paling sedikit terdapat dua tempat obstruksi.

Untuk keperluan klinis, ileus obstruktif dibagi dua (Sabiston, 1995) : 1. Ileus obstruktif usus halus, termasuk duodenum. 2. Ileus obstruktif usus besar

Etiologi Terdapat beberapa etiologi ileus obstruktif dapat disebabkan oleh (Sabiston, 1995; Sjamsuhidajat & de Jong, 2010): 1. Adhesi (perlekatan usus halus) merupakan penyebab tersering ileus obstruktif, sekitar 50-70% dari semua kasus. Adhesi bisa disebabkan oleh riwayat operasi intraabdominal sebelumnya atau proses inflamasi intraabdominal. Obstruksi yang disebabkan oleh adhesi berkembang sekitar 5% dari pasien yang mengalami operasi abdomen dalam hidupnya. Perlengketan kongenital juga dapat menimbulkan ileus obstruktif di dalam masa anak-anak. Ileus akibat adhesi umumnya tidak disertai strangulasi. Adhesi umumnya berasal dari rangsangan peritoneum akibat peritonitis setempat atau umum atau pasca operasi. Adhesi dapat berupa perlengketan dalam bentuk tunggal maupun multiple, dan dapat setempat maupun luas.sering juga ditemukan adhesi berbebtuk pita. 2. Hernia inkarserata eksternal (inguinal, femoral, umbilikal, insisional, atau parastomal) merupakan yang terbanyak kedua sebagai penyebab ileus obstruktif , dan merupakan penyebab tersering pada pasien yang tidak mempunyai riwayat operasi abdomen. Hernia interna (paraduodenal, kecacatan mesentericus, dan hernia foramen Winslow) juga bisa menyebabkan hernia. 3. Askariasis Kebanyakan cacing askaris hidup di usus halus bagian yeyunum, jumlahnya biasanya mencapai puluhan hingga ratusan ekor.Obstruksi dapat terjadi di berbagai tempat di usus halus, tetapi biasanya di ileum terminal yang lumennya sempit. 10

Cacing menyebabkan terjadinya kontraksi local dinding usus yang disertai dengan reaksi radang setempat yang tampak pada permukaan peritoneum. 4. Neoplasma. Neoplasma jarang yang menyebabkan obstruksi kecuali jika neoplasma tersebut sudah menimbulkan invaginasi. Tumor primer usus halus dapat menyebabkan obstruksi intralumen, sedangkan tumor metastase atau tumor intraabdominal dapat menyebabkan obstruksi melalui kompresi eksternal. 5. Intususepsi usus halus menimbulkan obstruksi dan iskhemia terhadap bagian usus yang mengalami intususepsi. Tumor, polip, atau pembesaran limphanodus mesentericus dapat sebagai petunjuk awal adanya intususepsi. Sering ditemukan pada anak – anak dan agak jarang ditemukan pada orang dewasa. Invaginasi pada anak – anak biasanya bersifat idiopatik karena tidak diketahui penyebabnya. Kebanyakan ditemukan pada kelompok umur 2 -12 bulan, dan lebih banyak pada anak laki-laki. Serangan rhinitis atau infeksi saluran nafas sering kali mendahului terjadinya invaginasi. Invaginasi umumnya berupa intususepsi ileosekal yang masuk dan naik ke kolon ascenden serta mungkin terus sampai keluar dari rectum. Invaginasi dapat mengakibatkan nekrosis iskemik pada bagian usus yang masuk dengan komplikasi perforasi dan peritonitis. 6. Radang Kronik Setiap radang kronik, terutama morbus Crohn, dapat menyebabkan obstruksi karena udem, hipertrofi dan fibrosis yang biasanya terjadi pada penyakit kronik itu. Penyakit Crohn dapat menyebabkan obstruksi sekunder sampai inflamasi akut selama masa infeksi atau karena striktur yang kronik. 7. Volvulus sering disebabkan oleh adhesi atau kelainan kongenital, seperti malrotasi usus. Volvulus di usus halus agak jarang ditemukan. Volvulus lebih sering sebagai penyebab obstruksi usus besar. Kebanyakan volvulus didapat dibagian ileum yang divaskularisasi oleh arteri ileosekalis yang mudah mengalami strangulasi. 8. Kelainan kongnital Bisa disebabkan oleh stenosis atau atresia yang akan menimbulkan gejala ketika bayi mulai menyusui.Stenosis dapat juga terjadi akibat penekanan, misalnya oleh pancreas anulare atau oleh atresia jenis membrane dengan lubang ditengahnya.

11

9. Batu empedu yang masuk ke ileus. Inflamasi yang berat dari kantong empedu menyebabkan fistul dari saluran empedu ke duodenum atau usus halus yang menyebabkan batu empedu masuk ke traktus gastrointestinal. Batu empedu yang besar dapat terjepit di usus halus, umumnya pada bagian ileum terminal atau katup ileocaecal yang menyebabkan obstruksi. 10. Striktur yang sekunder yang berhubungan dengan iskhemia, inflamasi, terapi radiasi, atau trauma operasi. 11. Penekanan eksternal oleh tumor, abses, hematoma, intususepsi, atau penumpukan cairan. 12. Benda asing, seperti bezoar. 13. Divertikulum Meckel yang bisa menyebabkan volvulus, intususepsi, atau hernia Littre. 14. Fibrosis kistik dapat menyebabkan obstruksi parsial kronik pada ileum distalis dan kolon kanan sebagai akibat adanya benda seperti mekonium.

12

Patofisiologi Terdapat kemiripan proses patofisiologis yang terjadi setelah obstruksi usus, tanpa memandang penyebab obstruksi yang disebabkan oleh mekanis atau fungsional. Perbedaan utamanya adalah pada obstruksi paralitik, peristaltic dihambat sejak awal, sedangkan pada obstruksi mekanis, awalnya peristaltic diperkuat, kemudian timbul interminten dan menghilang (Price, 2005). Lumen usus yang tersumbat secara progresif akan teregang oleh cairan dan gas (70% dari gas yang ditelan) akibat peningkatan tekanan intralumen yang menurunkan pengaliran air dan natrium dari lumen ke darah. Oleh karena sekitar 8 liter cairan diekskresikan ke dalam saluran cerna setiap hari, tidak adanya absorpsi dapat mengakibatkan penimbunan intralumen dengan cepat (Sabiston, 1995; Price, 2005). Muntah dan penyedotan usus setelah pengobatan dimulai merupakan sumber kehilangan utama cairan dan elektrolit. Pengaruh atas kehilangan ini adalah penciutan ruang cairan ekstrasel yang mengakibatkan syok—hipotensi, pengurangan curah jantung, penurunan perfusi jaringan dan asidosis metabolik (Sabiston, 1995). Peregangan usus yang terus menerus mengakibatkan lingkaran setan penurunan absorpsi cairan dan peningkatan sekresi cairan ke dalam usus. Efek local peregangan usus adalah iskemia akibat distensi dan peningkatan permeabilitas akibat nekrosis, disertai absorpsi toksin-toksin bakteri ke dalam rongga peritoneum dan sirkulasi sistemik untuk menyebabkan bakteriemia (Brunicardi, Andersen, Billiar, Dunn, Hunter, & Pollock, 2007; Price, 2005). 13

Segera setelah timbulnya ileus obstruktif pada ileus obstruktif sederhana, distensi timbul tepat proksimal dan menyebabkan muntah refleks. Setelah ia mereda, peristalsis melawan obstruksi timbul dalam usaha mendorong isi usus melewatinya yang menyebabkan nyeri episodik kram dengan masa relatif tanpa nyeri di antara episode. Gelombang peristaltik lebih sering, yang timbul setiap 3 sampai 5 menit di dalam jejunum dan setiap 10 menit di didalam ileum. Aktivitas peristaltik mendorong udara dan cairan melalui gelung usus, yang menyebabkan gambaran auskultasi khas terdengar dalam ileus obstruktif. Dengan berlanjutnya obstruksi, maka aktivitas peristaltik menjadi lebih jarang dan akhirnya tidak ada (Sjamsuhidajat & de Jong, 2010). Jika ileus obstruktif kontinu dan tidak diterapi, maka kemudian timbul muntah dan mulainya tergantung atas tingkat obstruksi. Ileus obstruktif usus halus menyebabkan muntahnya lebih dini dengan distensi usus relatif sedikit, disertai kehilangan air, natrium, klorida dan kalium, kehilangan asam lambung dengan konsentrasi ion hidrogennya yang tinggi menyebabkan alkalosis metabolik. Berbeda pada ileus obstruktif usus besar, muntah bisa muncul lebih lambat (jika ada). Bila ia timbul, biasanya kehilangan isotonik dengan plasma. Kehilangan cairan ekstrasel tersebut menyebabkan penurunan volume intravascular, hemokonsentrasi dan oliguria atau anuria. Jika terapi tidak diberikan dalam perjalanan klinik, maka dapat timbul azotemia, penurunan curah jantung, hipotensi dan syok (Zinner & Ashley, 2007). Pada ileus obstruktif strangulata yang melibatkan terancamnya sirkulasi pada usus mencakup volvulus, pita lekat, hernia dan distensi (Brunicardi, Andersen, Billiar, Dunn, Hunter, & Pollock, 2007). Di samping cairan dan gas yang mendistensi lumen dalam ileus obstruksi sederhana, dengan strangulasi ada juga gerakan darah dan plasma ke dalam lumen dan dinding usus. Plasma bisa juga dieksudasi dari sisi serosa dinding usus ke dalam cavitasperitonealis (Sjamsuhidajat & de Jong, 2010). Mukosa usus yang normalnya bertindak sebagai sawar bagipenyerapan bakteri dan produk toksiknya, merupakan bagian dinding usus yang paling sensitif terhadap perubahan dalam aliran darah. Dengan strangulasi memanjang timbul iskemi dan sawar rusak. Bakteri (bersama dengan endotoksin dan eksotoksin) bisa masuk melalui dinding usus ke dalam cavitas peritonealis (Brunicardi, Andersen, Billiar, Dunn, Hunter, & Pollock, 2007). Disamping itu, kehilangan darah dan plasma maupun air ke dalam lumen usus cepat menimbulkan syok. Jika kejadian ini tidak dinilai dini, maka dapat cepat menyebabkan kematian (Zinner & Ashley, 2007). 14

Ileus obstruktif gelung tertutup timbul bila jalan masuk dan jalan keluar suatu gelung usus tersumbat. Jenis ileus obstruktif ini menyimpan lebih banyak bahaya dibandingkan kebanyakan ileus obstruksi, karena ia berlanjut ke strangulasi dengan cepat serta sebelum terbukti tanda klinis dan gejala ileus obstruktif. Penyebab ileus obstruktif gelung tertutup mencakup pita lekat melintasi suatu gelung usus, volvulus atau distensi sederhana. Pada keadaan terakhir ini, sekresi ke dalam gelung tertutup dapat menyebabkan peningkatan cepat tekanan intalumen, yang menyebabkan obstruksi aliran keluar vena. Ancaman vaskular demikian menyebabkan progresivitas cepat gejala sisa yang diuraikan bagi ileus obstruksi strangualata (Sabiston, 1995). Pengaruh obstruksi kolon tidak sehebat pengaruhnya pada obstruksi usus halus, karena pada obstruksi kolon, kecuali pada volvulus, hampir tidak pernah terjadi strangulasi. Kolon merupakan alat penyimpanan feses sehingga secara relative fungsi kolon sebagai alat penyerap sedikit sekali. Oleh karena itu, kehilangan cairan dan elektrolit berjalan lambat pada obstruksi kolon distal. Gambaran klinis ini disebut 15

obstruksi rendah, berlainan dengan ileus usus halus yang dinamai ileus tinggi (Sjamsuhidajat & de Jong, 2010). Dinding usus halus kuat dan tebal karena terdiri dari dua lapis otot, yang sirkuler dan longitudinal. Oleh karena itu, tidak akan terjadi distensi berlebihan atau rupture. Sebaliknya, dinding usus besar tipis, cuma satu otot sirkularis sehingga mudah mengalami distensi. Dinding sekum merupakan bagian kolon yang paling tipis. Oleh karena itu, dapat terjadi rupture bila terlalu teregang (Sjamsuhidajat & de Jong, 2010). Ileus obstruktif kolon biasanya kurang akut (kecuali bagi volvulus) dibandingkan ileus obstruksi usus halus. Karena kolon terutama bukan organ pensekresi cairan dan hanya menerima sekitar 500 ml cairan tiap hari melaluivalva ileocaecalis, maka tidak timbul penumpukan cairan yang cepat. Sehingga dehidrasi cepat bukan suatu bagian sindroma yang berhubungan dengan ileus obstruksi kolon. Bahaya paling mendesak karena obstruksi itu karena distensi (Brunicardi, Andersen, Billiar, Dunn, Hunter, & Pollock, 2007). Jika valva ileocaecalis inkompeten maka kolon terdistensi dapat didekompresi kedalam usus halus. Tetapi jika valva ini kompeten, maka kolon terobstruksi membentuk gelung tertutup dan distensi kontinu menyebabkan ruptura pada tempat berdiameter terlebar, biasanya sekum. Ia didasarkan atas hukum Laplace, yang mendefenisiskan tegangan di dalam dinding organ tubular pada tekanan tertentu apapun berhubungan langsung dengan diameter tabung itu. Sehingga karena diameter terlebar kolon di dalam sekum, maka ia area yang biasanya pecah pertama (Sabiston, 1995). Obstruksi kolon yang berlarut-larut menimbulkan distensi yang sangat besar selama katup iliosekal tetap utuh. Bila terjadi insufisiensi katup, timbul refluks dari kolon ke dalam ileum terminal sehingga ileum turut membesar. Oleh karena itu, gejala dan tanda obstruksi tinggi atau obstruksi rendah tergantung dari kompetensi valvula Bauhin (Sjamsuhidajat & de Jong, 2010).

Manifestasi Klinis Terdapat 4 tanda kardinal gejala ileus obstruktif (Sabiston, 1995) : 1) Nyeri abdomen 2) Muntah 3) Distensi 4) Kegagalan buang air besar atau gas (konstipasi).

16

Gejala ileus obstruktif tersebut bervariasi tergantung kepada (Sabiston, 1995) : 

Lokasi obstruksi



Lamanya obstruksi



Penyebabnya



Ada atau tidaknya iskemia usus

Gejala selanjutnya yang bisa muncul termasuk dehidrasi, oliguria, syok hypovolemik, pireksia, septikemia, penurunan respirasi dan peritonitis. Terhadap setiap penyakit yang dicurigai ileus obstruktif, semua kemungkinan hernia harus diperiksa (Sabiston, 1995). Nyeri abdomen biasanya agak tetap pada mulanya dan kemudian menjadi bersifat kolik. Ia sekunder terhadap kontraksi peristaltik kuat pada dinding usus melawan obstruksi. Frekuensi episode tergantung atas tingkat obstruksi, yang muncul setiap 4 sampai 5 menit dalam ileus obstruktif usus halus, setiap 15 sampai 20 menit pada ileus obstruktif usus besar. Nyeri dari ileus obstruktif usus halus demikian biasanya terlokalisasi supra umbilikus di dalam abdomen, sedangkan yang dari ileus obstruktif usus besar biasanya tampil dengan nyeri intraumbilikus (Sjamsuhidajat & de Jong, 2010). Dengan berlalunya waktu, usus berdilatasi, motilitas menurun, sehingga gelombang peristaltik menjadi jarang, sampai akhirnya berhenti. Pada saat ini nyeri mereda dan diganti oleh pegal generalisata menetap di keseluruhan abdomen. Jika nyeri abdomen menjadi terlokalisasi baik, parah, menetap dantanpa remisi, maka ileus obstruksi strangulata harus dicurigai (Zinner & Ashley, 2007). Muntah refleks ditemukan segera setelah mulainya ileus obstruksi yang memuntahkan apapun makanan dan cairan yang terkandung, yang juga diikuti oleh cairan duodenum, yang kebanyakan cairan empedu (Brunicardi, Andersen, Billiar, Dunn, Hunter, & Pollock, 2007). Setelah ia mereda, maka muntah tergantung atas tingkat ileus obstruktif. Jika ileus obstruktif usus halus, maka muntah terlihat dini dalam perjalanan dan terdiri dari cairan jernih hijau atau kuning.Usus didekompresi dengan regurgitasi, sehingga tak terlihat distensi.Jika ileus obstruktif usus besar, maka muntah timbul lambat dan setelah muncul distensi. Muntahannya kental dan berbau busuk (fekulen) sebagai hasil pertumbuhan bakteri berlebihan sekunder terhadap stagnasi. Karena panjang usus yang terisi dengan

17

isi demikian, maka muntah tidak mendekompresitotal usus di atas obstruksi (Sabiston, 1995). Distensi pada ileus obstruktif derajatnya tergantung kepada lokasi obsruksi dan makin membesar bila semakin ke distal lokasinya. Gerkakan peristaltic terkadang dapat dilihat. Gejala ini terlambat pada ileus obstruktif usus besar dan bisa minimal atau absen pada keadaan oklusi pembuluh darah mesenterikus (Sabiston, 1995). Konstipasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu konstipasi absolut (dimana feses dan gas tidak bisa keluar) dan relatif (dimana hanya gas yang bisa keluar). Kegagalan mengerluarkan gas dan feses per rektum juga suatu gambaran khas ileus obstruktif. Tetapi setelah timbul obstruksi, usus distal terhadap titik ini harus mengeluarkan isinya sebelum terlihat obstipasi. Sehingga dalam ileus obstruktif usus halus, usus dalam panjang bermakna dibiarkan tanpa terancam di usus besar. Lewatnya isi usus dalam bagian usus besar ini memerlukan waktu, sehingga mungkin tidak ada obstipasi, selama beberapa hari. Sebaliknya, jika ileus obstruktif usus besar, maka obstipasi akan terlihat lebih dini. Dalam ileus obstuksi sebagian, diare merupakan gejala yang ditampilkan pengganti obstipasi (Sabiston, 1995). Dehidrasi umumnya terjadi pada ileus obstruktif usus halus yang disebabkan muntah yang berulang-ulang dan pengendapan cairan. Hal ini menyebabkan kulit kering dan lidah kering, pengisian aliran vena yang jelek dan mata gantung dengan oliguria. Nilai BUN dan hematokrit meningkat memberikan gambaran polisitemia sekunder (Sabiston, 1995). Hipokalemia bukan merupakan gejala yang sering pada ileus obstruktif sederhana. Peningkatan nilai potasium, amilase atau laktat dehidrogenase didalam serum dapat sebagai pertanda strangulasi, begitu juga leukositosis atau leukopenia (Zinner & Ashley, 2007). Pireksia di dalam ileus obstruktif dapat digunakan sebagai petanda (Sabiston, 1995): 

Mulainya terjadi iskemia.



Perforasi usus.



Inflamasi yang berhubungan dengan penyakit obsruksi

Nyeri tekan abdomen yang terlokalisir menandakan iskemia yang mengancam atau sudah terjadi. Perkembangan peritonitis menandakan infark atau perforasi. Sangat

18

penting untuk membedakan antara ileus obstruktif dengan strangulasi dengan tanpa strangulasi, karena termasuk operasi emergensi (Sabiston, 1995). Penegakan diagnosa hanya tergantung gejala kilnis. Sebagai catatan perlu diperhatikan (Sabiston, 1995) : 1. Kehadiran syok menandakan iskemia yang sedang berlansung 2. Pada strangulasi yang mengancam, nyeri tidak pernah hilang total 3. Gejala-gejala biasanya muncul secara mendadak dan selalu berulang 4. Kemunculan dan adanya gejala nyeri tekan lokal merupakan tanda yang sangat penting, tetapi, nyeri tekan yang tidak jelas memerlukan penilaian rutin.Pada ileus obstruktif tanpa strangulasi kemungkinan bisa terdapat area dengan nyeri tekan lokal pada tempat yang mengalami obstruksi, pada srangulasi selalu ada nyeri tekan lokal yang berhubungan dengan kekakuan abdomen. 5. Nyeri tekan umum dan kehadiran kekakuan abdomen/rebound tenderness menandakan perlunya laparotomy segera. 6. Pada kasus ileus obstruktif dimana nyeri tetap asa walaupun telah diterapi konservatif, walaupun tanpa gejala-gejala di atas, strangulasi tetap harus didiagnosa. 7. Ketika srangulasi muncul pada hernia eksternal dimana benjolan tegang, lunak, ireponibel, tidak hanya membesar karena reflek batuk dan benjolan semakin membesar.

Pada ileus obstruksi usus besar juga menimbulkan sakit kolik abdomen yang sama kualitasnya dengan sakit ileus obstruktif usus halus, tetapiintensitasnya lebih rendah. Keluhan rasa sakit kadang-kadang tidak ada padapenderita lanjut usia yang pandai menahan nafsu. Muntah-muntah terjadi lambat, khususnya bila katup ileocaecal kompeten (Sjamsuhidajat & de Jong, 2010). Muntah-muntah fekulen paradox sangat jarang. Riwayat perubahan kebiasaan berdefekasi dan darah dalam feses yang baru terjadi sering terjadi karena karsinoma dan divertikulitis adalah penyebab yang paling sering. Konstipasi menjadi progresif, dan obstipasi dengan ketidakmampuan mengeluarkan gas terjadi. Gejala-gejala akut dapat timbul setelah satu minggu (Brunicardi, Andersen, Billiar, Dunn, Hunter, & Pollock, 2007).

19

Diagnosis Diagnosis ileus obstruktif tidak sulit; salah satu yang hampir selalu harus ditegakkan atas dasar klinik dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, kepercayaan atas pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan laboratorium harus dilihat sebagai konfirmasi dan bukan menunda mulainya terapi yang segera. Diagnosa ileus obstruksi diperoleh dari (Sabiston, 1995): 1. Anamnesis Pada anamnesis ileus obstruktif usus halus biasanya sering dapat ditemukan penyebabnya, misalnya berupa adhesi dalam perut karena pernah dioperasi sebelumnya atau terdapat hernia. Pada ileus obstruksi usus halus kolik dirasakan di sekitar umbilkus, sedangkan pada ileus obstruksi usus besar kolik dirasakan di sekitar suprapubik. Muntah pada ileus obstruksi usus halus berwarna kehijaun danpada ileus obstruktif usus besar onset muntah lama. 2. Pemeriksaan Fisik a. Inspeksi Dapat ditemukan tanda-tanda generalisata dehidrasi, yang mencakup kehilangan turgor kulit maupun mulut dan lidah kering. Pada abdomen harus dilihat adanya distensi, parut abdomen, hernia dan massa abdomen. Terkadang dapat dilihat gerakan peristaltik usus yang bias bekorelasi dengan mulainya nyeri kolik yang disertai mual dan muntah. Penderita tampak gelisah dan menggeliat sewaktu serangan kolik.

b. Auskultasi 20

Pada ileus obstruktif pada auskultasi terdengar kehadiran episodic gemerincing logam bernada tinggi dan gelora (rush’) diantara masa tenang. Tetapi setelah beberapa hari dalam perjalanan penyakit dan usus di atas telah berdilatasi, maka aktivitas peristaltik (sehingga juga bising usus) bisa tidak ada atau menurun parah. Tidak adanya nyeri usus bias juga ditemukan dalam ileus paralitikus atau ileus obstruksi strangulate. c. Perkusi Pada perkusi bertujuan menentukan ukuran dan besaran organ dalam cavum nasi serta perubahan suara pada abdomen. d. Palpasi Pada palpasi bertujuan mencari adanya tanda iritasi peritoneum apapun atau nyeri tekan, yang mencakup ‘defance musculair’ involunter atau rebound dan pembengkakan atau massa yang abnormal.

Bagian akhir yang diharuskan dari pemeriksaan adalah pemeriksaan rectum dan pelvis. Ia bisa membangkitkan penemuan massa atau tumor serta tidak adanya feses di dalam kubah rektum menggambarkan ileus obstruktif usus halus. Jika darah makroskopik atau feses postif banyak ditemukan di dalam rektum, maka sangat mungkin bahwa ileus obstruktif didasarkan atas lesi intrinsik di dalam usus. Apabila isi rektum menyemprot; penyakit Hirschprung. 3. Radiologi Pemeriksaan sinar-X bisa sangat bermanfaat dalam mengkonfirmasi diagnosis ileus obstruktif serta foto abdomen tegak dan berbaring harus yang pertama dibuat. Adanya gelung usus terdistensi dengan batas udara-cairan dalam pola tangga pada film tegak sangat menggambarkan ileus obstruksi sebagai diagnosis. Dalam ileus obstruktif usus besar dengan katup ileocaecalis kompeten, maka distensi gas dalam kolon merupakan satu-satunya gambaran penting. Penggunaan kontras dikontraindikasikan adanya perforasi-peritonitis. Barium enema diindikasikan untuk invaginasi, dan endoskopi disarankan pada kecurigaan volvulus.

21

4. Laboratorium Leukositosis, dengan pergeseran ke kiri, biasanya terjadi bila terdapat strangulasi, tetapi hitung darah putih yang normal tidak menyampingkan strangulasi. Peningkatan amilase serum kadang-kadang ditemukan pada semua bentuk ileus obstruktif, khususnya jenis strangulasi.

Penatalaksanaan Penanganan terapi ileus obstruksi biasnya melibatkan intervensi bedah. Penentuan waktu kritis serta tergantung atas jenis dan lama proses ileus obstruktif. Operasi dilakukan secepat yang layak dilakukan dengan memperhatikan keadaan keseluruhan pasien. Pasien dengan obstruksi mekanik sederhana yang diperiksa dini dalam perjalanannya, dapat dioperasi dengan segera. Tetapi pasien tua debilitasi dalam syok sekunder terhadap obstruksi strangulata dapat diberikan cairan kristaloid, plasma maupun darah terlebih dahulu, untuk memperbaiki tekanan darah dan fungsi ginjalnya sebelum operasi (Levine & Aust, 1995). Tujuan utama penatalaksanaan adalah dekompresi bagian yang mengalami obstruksi untuk mencegah perforasi. Tindakan operasi biasanya selalu diperlukan. Operasi dini setelah dekompresi dengan pengganti cairan dan elektrolit dilakukan untuk mencegah komplikasi sepsis sekunder terhadap strangulata atau ruptura usus. Pembedahan ini dilakukan dengan laparotomi, ini memudahkan pemaparan semua bagian rongga abdomen. Setelah abdomen dibuka, harus diperhatikan jenis cairan yang ditemui. Cairan jernih biasanya pada obstruksi mekanik sederhana, sedangkan cairan berdarah atau fekulen biasanya menunjukkan adanya usus terancam. Titik obtruksi mekanik biasanya dapat ditemukan dengan mengikuti usus berdilatasi sampai tempat ia mengempit dan dikompresi (Levine & Aust, 1995). 22

Menghilangkan penyebab ileus obstruksi adalah tujuan kedua. Kadang-kadang suatu penyumbatan sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan, terutama jika disebabkan oleh perlengketan (Brunicardi, Andersen, Billiar, Dunn, Hunter, & Pollock, 2007). Dekompresi pipa bagi traktus gastrointestinal diindikasikan untuk dua alasan (Brunicardi, Andersen, Billiar, Dunn, Hunter, & Pollock, 2007): 1) Untuk dekompres lambung sehingga memperkecil kesempatan aspirasi isi usus. 2) Membatasi masuknya udara yang ditelan ke dalam saluran pencernaan, sehingga mengurangi distensi usus yang bisa menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan kemungkinan ancaman vaskular.

Pipa yang digunakan untuk tujuan demikian dibagi dalam dua kelompok (Brunicardi, Andersen, Billiar, Dunn, Hunter, & Pollock, 2007): 1) Pendek, hanya untuk lambung. 2) Panjang, untuk intubasi keseluruhan usus halus.

Pasien dipuasakan, kemudian dilakukan juga resusitasi cairan dan elektrolit untuk perbaikan keadaan umum. Setelah keadaan optimum tercapai barulah dilakukan laparatomi (Zinner & Ashley, 2007). Pemberian antibiotika spektrum lebar di dalam gelung usus yang terkena obstruksi strangulasi terbukti meningkatkan kelangsungan hidup. Tetapi, karena tidak selalu mudah membedakan antara ileus obstruksi strangulata dan sederhana, maka antibiotika harus diberikan pada semua pasien ileus obstruksi (Sjamsuhidajat & de Jong, 2010). Operasi dapat dilakukan bila sudah tercapai rehidrasi dan organ-organ vital berfungsi secara memuaskan. Tetapi yang paling sering dilakukan adalah pembedahan sesegera mungkin. Tindakan bedah dilakukan bila (Sabiston, 1995) : a) Strangulasi b) Obstruksi lengkap c) Hernia inkarserata d) Tidak ada perbaikan dengan pengobatan konservatif (denganpemasangan NGT, infus, oksigen dan kateter)

Tindakan yang terlibat dalam terapi bedahnya masuk kedalam beberapa kategori mencakup (Sabiston, 1995) : 23

a) Lisis pita lekat atau reposisi hernia b) Pintas usus c) Reseksi dengan anastomosis d) Diversi stoma dengan atau tanap resksi.

Pengobatan pasca bedah sangat penting terutama dalam hal cairan dan elektrolit. Kita harus mencegah terjadinya gagal ginjal dan harus memberikan kalori yang cukup. Perlu diingat bahwa pasca bedah usus pasien masih dalam keadaan paralitik (Sjamsuhidajat & de Jong, 2010).

Komplikasi 

Syok hipovolemik, karena disertai dengan pengeluaran banyak cairan dan elektrolit (Riwanto, Hamami, Pieter, Tjambolang, & Ahmadsyah, 2010).



Komplikasi sepsis sekunder, terhadap strangulata atau ruptura usus (Levine & Aust, 1995)

2. ILEUS PARALITIK Definisi Kedaan dimana usus gagal/tidak mampu melakukan kontraksi peristaltik untuk menyalurkan isinya. Ileus ini bukan suatu penyakit primer usus melainkan akibat dari berbagai penyakit primer, tindakan (operasi) yang berhubungan dengan rongga perut, toksin dan obat-obatan yang dapat mempengaruhi kontraksi otot polos usus (Friedberg & Antillon, 2004).

Etiologi Pada kebanyakan kasus, ileus paralitik terjadi setelah pembedahan intra-abdominal. Pada keadaan normal, aktivitas usus setelah pembedahan abdomen membentuk pola yang dapat diprediksi: usus kecil biasanya kembali berfungsi setelah beberapa jam; perut kembali bekerja dalam 1-2 hari dan kolon kembali beraktivitas setelah 3-5 hari. (Cagir, 2014) Penyebab lain dari ileus paralitik adalah (Cagir, 2014) : 1. Sepsis 24

2. Obat-obatan: Anastesi, opioid, psikotropika, antokolinergik, antacid, wafarin, amitriptilin, klorpromazin 3. Metabolik : rendahnya kadar potassium, magnesium atau sodium; anemia; hipoosmolaritas 4. Cardiopulmonary failure : infark miokadium 5. Pneumonia 6. Trauma : Patah tulang rusuk, patah tulang belakang 7. Kolik bilier dan renal 8. Neurosurgical, cedera spinal cord dan kepala 9. Inflamasi intra-abdominal dan peritonitis 10. Penyakit retroperitoneal dan mediastinal : hematoma atau infeksi

Faktor- faktor yang mempengaruhi 1. Refleks Hipomotilitas dan Statis Akibat Distensi Intestinal Distensi usus menginhibisi peristaltic. Aktivasi dari serabut aferen kutaneus atau visceral mungkin juga memediasi ileus. Hal ini dapat terjadi ketika sistem simpatik menjadi inaktif karena stress dan pembedahan mengakibatkan perubahan motilitas usus selama periode pasca-pembedahan. Extrinsic pathways ini memiliki peranan penting pada ileus pasca bedah (POI) sebagai bukti bahwa inhibisi dari fungsi usus setelah pembedahan tidak ada sangkut pautnya dengan peritoneum. Distensi abdomen yang tidak ditangani berkembang dari penemuan fisik menjadi faktor yang berkontribusi terhadap timbulnya POI. Hidrasi intravena yang berlebihan diidentifikasi merupakan faktor risiko untuk POI dan harus di hindari untuk meminimalisir edema usus. (Bisanz, et al., 2008) 2. Defisiensi elektrolit dan hipoalbuminemia Penelitian telah mendemonstrasikan hubungan antara ileus dengan rendahnya kadar Klorida plasma, sodium plasma, sodium potassium dan hipomagnesemia. penurunan serum albumin di intravascular dikarenakan exudative loss dan redistribusi, ditambah dengan pengenceran oleh cairan non albumin setelah pembedahan, menjelaskan mengenai rendahnya kadar albumin setelah pembedahan. (Bisanz, et al., 2008) Penurunan kadar albumin total akibat dari malnutrisi-induced, pengurangan sintesis

dan

katabolisme

juga

menyebabkan

menurunya

kadar

serum 25

albumin.Penurunan dari albumin serum menyebabkan penurunan dari kerja yang dipengaruhi oleh albumin, termasuk keseimbangan tekanan osmotic koloid dan regulasi dari permeabilitas vascular. Penelitian menyatakan bahwa hipoalbuminemia diikuti oleh ganguan absorbsi cairan intestinal dan motilitas dari usus kecil yang menyebabkan ketidakmampuan untuk menerima makanan melalui oral. Selain penemuan ini, penemuan lain membandingkan pasien dengan hipoalbuminemia dengan pasien yang diberikan albumin eksogen untuk mengembalikan tingkat albumin plasma ke kadar normal, tidak menemukan adanya perbedaan signifikan dari fungsi usus. Peran dari hipoalbuminemia sebagai tanda dari pengaruh malnutrisi sebagai faktor yang menyebabkan POI masih belum jelas. (Bisanz, et al., 2008) 3. Perubahan dari Pacemaker Lambung, Motilitas GI dan Peningkatan Kadar Katekolamin Sebagai respon fisiologis terhadap injury, sistem saraf simpatis meningkatkan pelepasan katekolamin. Simulasi dari respon ini pada pasien telah terdokumentasi peroiperatif sebagai hasil dari trauma dan anesthesia, serta disarankan untuk menginhibisi motilitas GI. Kunci dari peristaltic GI berada pada sepertiga atas kurvatura terbesar di lambung. Pacemaker ini menghasilkan gelombang peristaltic yang disebut the Major Migratory Complex (MMC) dan bertugas untuk menyapu partikel besar di GI track ke usus. Manipulasi pembedahan pada usus atau reseksi pada daerah lambung telah di hubungkan dengan hilangnya aktivitas MMC, yang menyebabkan penundaan pengosongan gaster, gaster dilatasi dan ileus paralitik. (Bisanz, et al., 2008) POI transien dapat mempengaruhi sistem GI pada tingkat yang berbeda setelah pembedahan. myoelectric molity pattern usus kecil akan segera kembali. koordinasi akitivitas mungkin akan abnormal beberapa hari, sedangkan kolon merupakan organ yang paling terakhir bekerja normal setelah POI transien. (Bisanz, et al., 2008) 4. Penggunaan Opiat Penurunan motilitas usus seringkali merupakan komplikasi yang tidak dapat dihindarkan pada penggunaan analgesik narkotika. Bukti mendukung bahwa efek buruk pada penggunaan opoid tergantung pada dosisnya. opioid mempengaruhi intestinal melalui satu dari tiga mekanisme: perubahan pendorongan terhadap isi usus; peningkatan absorbs air untuk meningkatkan waktu transit; atau sekresi yang 26

menurun berperan dalam pengikatan opioid ke reseptor opioid di usus kecil yang menakibatkan

penurunan

sekresi

biliar,

pancreas

dan

intestinal.

Opioid

memperlambat kembalinya kerja GI bahkan setelah pembedahan minor. (Bisanz, et al., 2008) 5. Penurunan Kadar Inhibitor Prostaglandin Prostaglandin, tergantung pada jenisnya, memiliki dampak positif dan negatif terhadap motilitas GI. Prostaglandin yang berada pada usus kecil memiliki efek inhibisi pada motilitas GI. Pelepasan histamine, prostaglandin dan kinin telah memperlihatkan hubungan dengan pembedahan abdominal. Efek inhibisi dipercaya akibat prostaglandin, yang memodulasi pelepas dari agen di usus. NSAID, seperti ketorokal, menginhibisi sintesis prostaglandin dan diperkirakan dapat menurunkan kemungkinan terjadinya POI.

Ketika NSAID nonopioid digunakan untuk

menggantikan opioid pada penatalaksanaan nyeri pasca pembedahan, durasi ileus paralitik menurun hingga hampir 50% dan menurunkan lamanya rawat inap dari 4 hari menjadi 2 hari. (Bisanz, et al., 2008)

Patofisiologi Patofisiologi dari ileus paralitik merupakan manifestasi dari terangsangnya sistem saraf simpatis yang dapat menghambat aktivitas dalam traktus gastrointestinal, menimbulkan banyak efek yang berlawanan dengan yang ditimbulkan oleh sistem saraf parasimpatis. Sistem simpatis menghasilkan pengaruhnya melalui dua cara, (1) pada tahap yang kecil melalui pengaruh langsung norepinefrin pada otot polos (kecuali muskularis mukosa, dimana ia merangsangnya), dan (2) pada tahap yang besar melalui pengaruh inhibitorik dari norepinefrin pada neuron-neuron sistem saraf enterik. Jadi, perangsangan yang kuat pada sistem saraf simpatis dapat menghambat pergerakan makanan melalui traktus gastrointestinal (Friedberg & Antillon, 2004). Hambatan pada sistem saraf parasimpatis didalam sistem saraf enterik akan menyebabkan terhambatnya pergerakan makanan pada traktur gastrointestinal, namun tidak semua pleksus mienterikus yang dipersarafi serat saraf parasimpatis bersifat eksitatorik, beberapa neuron bersifat inhibitorik intestinal vasoaktif dan beberapa peptide lainnya (Friedberg & Antillon, 2004). Penyakit/keadaan yang menimbulkan ileus paralitik dapat diklasifikasikan seperti berikut (Friedberg & Antillon, 2004): 27



Neurogenik : pasca operasi, kerusakan medula spinalis, keracunan timbal, kolik ureter, iritasi persarafan splanknikus, pancreatitis.



Metabolik : gangguan keseimbangan elektrolit, uremia, komplikasi DM, penyakit sistemik seperti SLE.



Obat-obatan : narkotik, antikolinergik, katekolamin, fenotiazin, antihistamin.



Infeksi/inflamasi : pneumonia, empiema, peritonitis, infeksi sistemik berat lainnya.



Iskemia usus.

Tanda dan Gejala Penderita ileus paralitik biasanya mengeluhkan (Cagir, 2014): 1. Kelelahan. 2. Nyeri perut ringan dan kembung. 3. Dapat juga mengeluhkan mual dan kehilangan napsu makan. 4. Penderita juga mungkin melaporkan kesusahan untuk flatus. 5. Abdomen terlihat distensi dan timpani, tergantung dari tingkat distensi usus. 6. Tenderness. 7. Tidak ditemukannya suara usus, yang merupakan pembeda dengan ileus obstruktif, dimana ditemukannya methalic sound.

Tabel perbedaan Ileus Paralitik, Ileus Obstruktif dan Pseudo-Obsturktif. (Cagir, 2014)

Diagnosis Dalam mendiagnosis ileus paralitik dapat ditemukan tanda dan gelaja serta pemeriksaan sebagai berikut (Brunicardi, Andersen, Billiar, Dunn, Hunter, & Pollock, 2007): 28



Riwayat post-operative abdomen



Penggunaan obat sebelumnya yang berhubungan dengan penurunan motilitas intestine (diketahui dari daftar obat-obatan yang digunakan pasien).



Mengukur serum elektrolit, dapat ditemukan adanya hipokalemia, hipokalsemia, hipomagnesemia, hipermagnesemia atau abnormalitas elektrolit lainnya yang berhubungan dengan ileus.



Pada foto polos abdomen dapat ditemukan air fluid level, dilatasi lumen colon, dan ada udara di colon. Gambaran pemeriksaan ini mirip dengan gambaran pada kelainan small-bowel obstruction.



Pada auskultasi abdomen, bising usus melemah atau menghilang (silent abdomen).

Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan, yaitu (Sjamsuhidajat & de Jong, 2010; Sjamsuhidajat & de Jong, 2010) : 

Amilase-lipase



Kadar gula darah.



Analisis gas darah. Tes laboratorium mempunyai keterbatasan nilai dalam menegakkan diagnosis, tetapi sangat membantu memberikan penilaian berat ringannya dan membantu dalam resusitasi. Pada tahap awal, ditemukan hasil laboratorium yang normal. Selanjutnya ditemukan adanya hemokonsentrasi, leukositosis dan nilai elektrolit yang abnormal. Peningkatan serum amylase sering didapatkan. Leukositosis menunjukkan adanya iskemik atau strangulasi, tetapi hanya terjadi pada 38% - 50% obstruksi strangulasi dibandingkan 27% - 44% pada obstruksi non strangulata. Hematokrit yang meningkat dapat timbul pada dehidrasi. Selain itu dapat ditemukan adanya gangguan elektrolit. Analisa gas darah mungkin terganggu, dengan alkalosis metabolic bila muntah berat, dan metabolik asidosis bila ada tanda – tanda shock, dehidrasi dan ketosis.



Foto abdomen 3 posisi Tampak dilatasi usus menyeluruh dari gaster sampai rektum. Penebalan dinding usus halus yang dilatasi memberikan gambaran herring bone appearance (gambaran seperti tulang ikan), karena dua dinding usus halus yang menebal dan menempel membentuk gambaran vertebra dan muskulus yang sirkuler menyerupai kosta dan gambaran penebalan usus besar yang juga distensi tampak di tepi abdomen. Tampak 29

gambaran air fluid level pendek-pendek berbentuk seperti tangga yang disebut step ladder appearance di usus halus dan air fluid level panjang-panjang di kolon.

Diagnosis Banding Ileus obstruktif (Djumhana & Arie, 2009).

Terapi 1) Konservatif 

Penderita dirawat di rumah sakit.



Penderita dipuasakan



Kontrol status airway, breathing and circulation.



Perbaiki kondisi umum dengan memperbaiki cairan dan elektrolit yang diberikan melalui IV Line sampai ileus tertangani



Dekompresi dengan nasogastric tube.



Jika durasi ileus memanjang dapat diberikan TPN (Total Parenteral Nutrition)



Dipasang kateter urin untuk menghitung balance cairan dan monitoring urine output (Brunicardi, Andersen, Billiar, Dunn, Hunter, & Pollock, 2007).

2) Farmakologis 

Antibiotik broad spectrum untuk bakteri anaerob dan aerob.



Analgesik apabila nyeri (Djumhana & Arie, 2009).

3) Operatif 

Ileus paralitik tidak dilakukan intervensi bedah kecuali disertai dengan peritonitis.



Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastric untuk mencegah sepsissekunder atau rupture usus.



Operasi diawali dengan laparotomi kemudian disusul dengan teknik bedah yang disesuaikan dengan hasil explorasi melalui laparotomi (Djumhana & Arie, 2009).

30

Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi, yaitu (Sjamsuhidajat & de Jong, 2010): 

Nekrosis usus



Perforasi usus



Sepsis



Syok-dehidrasi



Abses



Sindrom usus pendek dengan malabsorpsi dan malnutrisi



Pneumonia aspirasi dari proses muntah



Gangguan elektrolit



Meninggal

Prognosis Progosis dari ileus paralitik dapat dilihat dari (Sabiston, 1995) : 

Saat operasi, prognosis tergantung kondisi klinik pasien sebelumnya.



Setelah pembedahan dekompresi, prognosisnya tergantung dari penyakit yang mendasarinya.



Keterlambatan dalam melakukan pembedahan atau jika terjadi strangulasi atau komplikasi lainnya akan meningkatkan mortalitas sampai sekitar 35% atau 40%.

Prognosisnya baik bila diagnosis dan tindakan dilakukan dengan cepat.

31

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Ileus didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana terdapat gangguan pasase di usus. Ileus merupakan salah satu gangguan gastrointestinal yang segera memerlukan pertolongan mengingat komplikasi yang ditimbulkannya dapat mengancam nyawa. Untuk itu dibutuhkan ketepatan dalam mendiagnosa dan pemeriksaan penunjang yang memadai. Selain itu, kemampuan klinisi yang luas dalam kedua hal tersebut juga harus dimiliki untuk menghindari keterlambatan penanganan ileus tersebut.

B. Saran Laporan ini tentu masih banyak terdapat kekurangan, sehingga diperlukan bimbingan dari dosen-dosen pengajar untuk mengarahkan teori yang telah didapatkan mahasiswa agar bisa diterapkan di lapangan secara optimal. Mahasiswa juga diharapkan terus belajar tentang materi terkait untuk memperkaya ilmu pengetahuan.

32

DAFTAR REFERENSI

Bisanz, A., Palmer, L., Reddy, S., Cloutier, L., Dixon, T., Cohen, Z., et al. (2008). Characterizing Postoperative Paralytic Ileus as Evidance for Future Research and Clinical Practice. Dalam Gastroenterology Nursing (hal. 334-336). Brunicardi, F. C., Andersen, D. K., Billiar, T. R., Dunn, D. L., Hunter, J. G., & Pollock, R. E. (2007). Schwartz's PRINCIPLES OF SURGERY. McGraw-Hill's companies. Cagir, B. (2014, Desember 14). Ileus: Background, Pathophysiology, Epidemiology. Diambil kembali dari MedScape: http://emedicine.medscape.com/article/2242141overview Djumhana, A., & Arie, S. (2009). Ileus Paralitik. Dalam Buku Ajar Penyakit Dalam (hal. 307-308). Jakarta: Internal Publishing. Friedberg, B., & Antillon, M. (2004, June 29). Small-Bowel Obstruction. (J. Vargas, W. Windle, B. Li, S. Schwarz, & S. Altschuler, Penyunting) Diambil kembali dari Emedicine: http://www.emedicine.com Levine, B. A., & Aust, J. B. (1995). Kelainan Bedah Usus Halus. Dalam D. C. Sabiston, Buku Ajar Bedah bagian 1 (hal. 551-559). Jakarta: EGC. Price, S. A. (2005). Patofisiologi : Konsep klinis proses – proses penyakit (Edisi 6 ed., Vol. I). Jakarta: EGC. Riwanto, Hamami, A. H., Pieter, J., Tjambolang, T., & Ahmadsyah, I. (2010). Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum. Dalam R. Jamsuhidajat, W. Karnadihardja, T. O. Prasetyono, & R. Rudiman, Buku Ajar Ilmu Bedah de Jong Edisi 3 (hal. 738-739). Jakarta: EGC. Sabiston, D. C. (1995). Buku Ajar Bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Sjamsuhidajat, R., & de Jong, W. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Zinner, M. J., & Ashley, S. W. (2007). MAINGOT'S Abdominal Operations. McGrawHill's companies.

33

Related Documents


More Documents from "galan"