Tonsilitis - Irene.docx

  • Uploaded by: cresentia
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tonsilitis - Irene.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,810
  • Pages: 13
Pemeriksaan Penunjang 1. Bakteriologik Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan mukosa hidung dan tenggorok (nasofaringeal swab). 2. Kultur lesi tenggorokan dibutuhkan untuk diagnosis klinis, untuk isolasi primer menggunakan agar Loeffler atau agar Tellurite Tinsdale. 3. Menyusul isolasi awal C.diphteriae dapat diidentifikasi sebagai mitis, intermedius atau biotipe gravis berdasar fermentasi karbohidrat dan hemolisis pada agar pelat darah domba. Strain ditentukan secara in vitro dan in vivo. 4. Darah lengkap : Hb, leukosit, hitung jenis leukosit, eritrosit, trombosit, LED. 5. Urin lengkap : protein dan sedimen. 6. Ureum dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal). 7. EKG secara berkala untuk mendeteksi toksin basil menyerang sel otot jantung dilakukan sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x seminggu, kecuali bila ada indikasi biasa dilakukan 2-3x seminggu. 8. Tes Schick Pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung antitoksin. Pada seseorang yang tidak mengandung antitoksin, akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan hilang setelah beberapa minggu. Pada yang mengandung antitoksin rendah, uji Schick dapat positif, pada bekas suntikan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji Schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu terjadi akibat reaksi alergi terhadap protein antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam. Uji ini berguna untuk mendiagnosis kasus-kasus difteri ringan dan kasus-kasus yang mengalami kontak dengan difteri, sehingga diobati dengan sempurna. Cara melakukan Schick tes ialah sebanyak 0,1 ml toksin difteri disuntikan intrakutan pada lengan klien, pada lengan yang lain disuntikkan toksin yang sudah dipanaskan (kontrol). Reaksi dibaca pada hari ke-45, hasilnya positif bila terjadi indurasi eritema yang diameternya 10 mm atau lebih pada tempat suntikkan. Hasil positif berarti adanya antitoksin difteri dalam serumnya (menderita difteri). Perlu diperhatikan bahwa hasil positif ini bisa juga ditimbulkan oleh reaksi alergi terhadap toksin, tapi hal ini dapat dibedakan yaitu reaksi eritema

dan indurasinya menghilang dalam waktu 48-72 jam. Sedangkan yang positif karena adanya antitoksin akan menetap selama beberapa hari.2 9. Tes hapusan spesimen Diambil dari hidung, tenggorokan dan terdapat lesi mukokutan lain, berguna untuk identifikasi tempat spesies, uji toksigenitas dan kerentanan anti mikroba sebagai medikasi.2 Diagnosis Banding1 1. Difteria hidung, diagnosis bandingnya : -

Common cold Bila sekret yang dihasilkan purulen :

-

Sinusitis

-

Adenoiditis

-

Benda asing dalam hidung

-

Snuffles (lues congenital)

2. Difteria faring, diagnosis bandingnya : -

Pharingitis oleh streptococcus

-

Tonsilitis membranosa akut

-

Mononucleosis infeksiosa

-

Tonsilitis membranosa non-bakteria

-

Tonsilitis herpetika primer

-

Moniliasis

-

Blood dyscrasia

-

Pasca tonsilektomi

3. Difteria laring, diagnosis bandingnya : -

Laringitis

-

Laringo-trakeo bronkitis

-

Spasmodic croup

-

Angioneurotic edema pada laring

-

Benda asing dalam laring

-

Akut epiglotitis

4. Difteria kulit, diagnosis bandingnya : -

Impetigo

-

Infeksi kulit yang disebabkan oleh streptococcus atau stafilokokus

Penatalaksanaan Apabila seseorang diduga menderita difteri oleh dokter, maka pengobatan harus segera dilakukan tanpa menunggu hasil pemeriksaan penunjang.1 Selain itu, kontak dekat seperti anggota keluarga, kontak rumah tangga dan karier harus menerima pengobatan profilaksis tanpa memandang status imunisasi atau usia yaitu pengobatan dengan eritromisin atau penisilin selama 14 hari dan klutur pasca pengobatan untuk mengkonfirmasi ketiadaan bakteri.2 pengobatan yang paling efektif yaitu pada tahap awal penyakit, untuk mengurangi penularan, mengobati infeksi dan mencegah perjalanan penyakit lebih jauh.3,15 Tatalaksana Umum Pada pasien dengan difteri dirawat di rumah sakit selama pemberian antitoksin diberikan. Selama perawatan, yang biasa dilakukan adalah : -

Perawatan tirah baring selama 2 minggu dalam ruang isolasi sampai setidaknya 2 kultur berturut-turut setelah pengobatan selesai dengan jarak 24 jam memberikan hasil negatif.

-

Jamin intake cairan dan makanan. Bentuk makanan disesuaikan dengan toleransi, untuk hal ini dapat diberikan makanan lunak, saring/cair, bila perlu sonde lambung jika ada kesukaran menelan (terutama pada paralisis palatum molle dan otot-otot faring).

-

Bila ada tanda-tanda obstruksi jalan nafas diperbaiki segera. Berikan oksigen atau lakukan tindakan trakeostomi bila diperlukan.

-

Monitoring jantung dan organ-organ vital lain.1,4,5

Tatalaksana Medikamentosa 1. Anti Difteri Serum (ADS) Antitoksin difteri adalah preparat steril yang mengandung globulin bersifat antitoksin spesifik yang memiliki kekuatan menetralisis toksin yang dibentuk oleh C,diphteriae. Antitoksin ini dibuat dari plasma kuda yuangh sehat, yang telah terimunisasi dengan suntikan toksin difteri.6 Antitoksin difteri tersedia dalam bentuk vial 5ml (10.000 IU) dan 10ml (20.000 IU), tiap ml mengandung 2000 IU antitoksin difteri dan 0,25% fenol v/v. Untuk

pencegahan, dosis untuk anak-anak adalah 1000-3000 IU, sedangkan untuk dewasa 3000-5000 IU. Untuk pengonbatan, dosis tergantung usia, berat gejala dan lokasi membran.7

Dosis

ADS

menurut

lokasi

membran

Tipe Difteri Dosis ADS (KI) Cara Pemberian Difteri hidung 20.000 IU IM Difteri tonsil 40.000 IU IM/IV Difteri faring 40.000 IM/IV Difteri laring 40.000 IU IM/IV Kombinasi lokasi diatas 80.000 IU IV Difteri + penyulit, bullneck 80.000-100.000 IU IV Terlambat berobat (>72 jam) 80.000-100.000 IU IV

Serum antidifteri merupakan serum heterolog, maka dapat menimbulkan reaksi anafilaktik. Untuk mencegah hal tersebut, maka dilakukan hal berikut :6,8 -

Pengawasan tanda vital dan reaksi lainnya, seperti perluasan membran, selama dan sesudah pemberian terutama sampai 2 jam setelah pemberian serum.

-

Adrenalin 1:1000 dalam semprit halus disediakan untuk menanggulangi reaksi anafilaktik (dosis 0,01 cc/kgBB IM, makasimal diulang 3x dengan interval 5-15 menit).

-

Sarana dan penanggulangan reaksi anafilaktik harus tersedia.

-

Uji kepekaan, yang terdiri dari : 

Tes kulit Antidifteri serum 0,1 cc diencerkan dengan perbandingan 1:!0 dalam NaCl 0,9% disuntikkan intrkutan. Hasilnya dibaca setelah 15-20 menit. Dianggap positif bila teraba indurasi dengan diameter paling sedikit 10 mm.



Tes mata Satu tetes anti difteri yang telah diencerkan dengan perbandingan 1:10 dalam NaCl 0,9% diteteskan pada salah satu kelopak mata bagian bawah. Satu tetes NaCl 0,9% digunakan sebagai kontras pada mata lainnya untuk

perbandingan. Hasilnya dilihat setelah 15-20 menit kemudian. Hasil dianggap positif bila ada tanda konjungtivitis (merah, bengkak, lakrimasi). Apabila terjadi konjungtivitis diobati dengan adrenalin 1:!000. Bila salah satu tes kepekaan positif, maka ADS tidak diberikan secara sekaligus (single dose) tetapi secara bertahap, yaitu dengan dosis ditingkatkan secara perlahan (desensitisasi) dengan interval 20 menit. ADS diencerkan dalam NaCl 0,9% dengan dosis sebagai berikut :9

Efek samping yang bisa terjadi pada pemberian antitoksin ini :7 1. Reaksi anafilaktik jarang terjadi, tetapi bila ada timbulnya dengan segera atau dalam waktu beberapa jam sesudah suntikan. 2. Serum sickness dapat timbul 7-10 hari setelah suntikan dan dapat berupa kenaikan suhu, gatal-gatal, eksantema, sesak nafas dan gejala alergi lainnya. Reaksi ini jarang terjadi bila menggunakan serum yang telah dimurnikan. 3. Demam dengan mengigil yang biasanyta timbul setelah pemberian serum secara intravena. 4. Rasa nyeri pada tempat suntikan yang biasanya timbul pada penyuntikan serum dalam jumlah besar. Reaksi ini biasanya terjadi dalam 24 jam.

2. Antibiotik Terapi antimikroba diindikasikan untuk menghentikan produksi toksin, mengobati infeksi lokal dan mencegah penularan. C.diphteriae biasanya rentan terhadap berbagai agen in vitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin. Resistensi terhadap eritromisin sering terjadi karena obat tersebut telah digunakan

secara luas. Eritromisin diberikan pada pasien dengan alergi penisilin. Eritromisin sedikit lebih unggul dari penisilin untuk pemberantasan infeksi nasofaring. Terapi antibiotik bukanlah pengganti untuk terapi antitoksin. Pemberantasan bakteri harus didokumentasikan oleh setidaknya 2 kultur berturut-turut diperoleh 24 jam setelah terapi selesai. Pengobatan dengan eritromisin diulang jika hasil kultur tetap positif.1,4,5 -

Penisilin prokain 25.000-50.000 IU/kgBB/hari IM selama 14 hari atau bila hasil biakan 3 hari berturut-turut negartif.

-

Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari maksimal 2 gram/hari PO tiap 6 jam selama 14 hari

-

Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari IM atau IV dibagi dalam 4 dosis diberikan selama 14 hari.

3. Kortikosteroid Kortikosteroid diberikan pada penderita dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas dan bila terdapat penyulit miokardiopati toksik. Prednison 1-1,5 mg/kgBB/hari PO tiap 6-8 jam pada kasus berat selama 14 hari. 4. Simptomatis Dapat diberikan antipiretik untuk menurunkan demam, jika pasien anak gelisah diberikan sedatif, dan apabila batuk bisa diberikan antitusif. Tonsilektomi Didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil palatina. Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan limfoid di nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal. Indikasi : Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini. Dulu tonsilektomi di indikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini indikasi utama adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil. Berdasarkan the American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery ( AAO-HNS) tahun 1995 indikasi tonsilektomi terbagi menjadi : 1. Indikasi absolut

· Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan napas atas,disfagia berat,gangguan tidur, atau terdapat komplikasi kardiopulmonal. · Abses peritonsiler yang tidak respon terhadap pengobatan medik dan drainase, kecuali jika dilakukan fase akut. · Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam. · Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi. 2. Indikasi relatif · Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun tidak diberikan pengobatan medik yang adekuat. · Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon terhadap pengobatan medik. · Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik kuman resisten terhadap β-laktamase.

Kontraindikasi :

· Gangguan perdarahan · Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat · Anemia · Infeksi akut yang berat · Asma · Tonus otot yang lemah · Sinusitis · Albuminuria · Hipertensi · Rinitis alergika · Demam yang tidak diketahui penyebabnya

Teknik operasi : Teknik operasi yang optimal dengan morbiditas yang rendah sampai sekarang masih menjadi kontroversi, masing-masing teknik memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyembuhan luka pada tonsilektomi terjadi per sekundam. Pemilihan jenis teknik operasi difokuskan pada morbiditas seperti nyeri, perdarahan perioperatif dan pasca operatif serta

durasi operasi. Beberapa teknik tonsilektomi dan peralatan baaru ditemukan disamping teknik tonsilektomi standar. Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik Guillotine dan diseksi.

1. Guillotine Tonsilektomi guillotine dipakai untu mengangkat tonsil secara cepat dan praktis. Tonsil dijepit kemudian pisau guillotine digunakan untuk melepas tonsil beserta kapsul tonsil dari fosa tonsil. Sering terdapat sisa dari tonsil karena tidak seluruhnya terangkat atau timbul perdarahan yang hebat. 2. Teknik Diseksi Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi. Metode pengangkatan tonsil dengan menggunakan skapel dan dilakukan dalam anestesi. Tonsil digenggam dengan menggunakan klem tonsil dan ditarik kearah medial, sehingga menyebabkan tonsil menjadi tegang. Dengan menggunakan sickle knife dilakukan pemotongan mukosa dari pilar tersebut.

Komplikasi :

Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengananestesi lokal maupun umum, sehingga komplikasi yang ditimbulkan merupakan gabungan komplikasi tindakan bedah dan anestesi.

1. Komplikasi anestesi Komplikasi anestesi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien. Komplikasi yang dapat ditemukan berupa : · Laringospasme · Gelisah pasca operasi · Mual muntah · Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi · Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi dan henti jantung · Hipersensitif terhadap obat anestesi 2. Komplikasi bedah · Perdarahan

Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1 % dari jumlah kasus). Perdarahan dapat terjadi selama operasi,segera sesudah operasi atau dirumah. Kematian akibat perdarahan terjadi pada 1:35. 000 pasien. sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena perdarahan dan dalam jumlah yang sama membutuhkan transfusi darah.  Nyeri Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi. 3. Komplikasi lain Dehidrasi,demam, kesulitan bernapas,gangguan terhadap suara (1:10.000), aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis faring, lesi dibibir, lidah, gigi dan pneumonia.

Pengobatan Karier Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai rekasi Schick negatif tetapi mengandung basil difteri dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin oral 100 mg/kgBB/hari PO/suntikan atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari atau suntikan selama 1 minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/adenoidektomi. Pencegahan 1. Isolasi penderita Penderita difteri harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidaki terdapat lagi C.diphteriae.1,2,6 2. Imunisasi Imunisasi adalah cara terbaik untuk mencegah difteri. Vaskin difteri umumnya dikombinasikan dengan vaksin tetanus dan pertusis. Ada empat jenis kombinasi vaskin difteri, tetanus dan pertusis : DTaP, Tdap, DT dan Td. DT tidak mengandung pertusis dan digunakan sebagai pengganti DTaP untuk anak-anak yang tidak dapat mentoleransi vaksin pertusis. Td adalah vaksin tetanus difteri yang diberikan kepada remaja dan orang dewasa sebagai booster setiap 10 tahun, atau bila terpapar tetanus dalam kondisi tertentu. Tdap mirip dengan Td tetapi juga mengandung perlindungan terhadap pertusis.10,11

Imunisasi DTaP untuk bayi dan anak-anak umumnya 5x umumnya diberikan pada 2.4.6 bulan dengan dosis keempat yang diberikan antara 15-18 bulan dan dosis kelima pada usia 4-6 tahun. Karena kekebalan terhadap difteri berkuranjg seiring dengan waktu, maka pemberian booster dianjutkan.10,11,18 Komplikasi Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah miokarditis. Biasanya jelas didapatkan pada hari ke 10-14 tetapi dapat dijumpai sepanjang minggu 1-6, biaupun setelah gejala tonsilitis menghilang. Resiko cardiac toxicity terkait dengan derajat tonsilitis sendiri. Kelainan EKG yang tidak signifikan ditemukan pada 20-30% pasien, tetapi disosiasi atrioventrikular, complete heart block dan aritmia ventricular bisa terjadi dan biasa diasosiasi dengan tingkat kematian yang tinggu. Gagal jantung juga bisa terjadi.1,2 Toksisitas system saraf bisa terjadi pada pasien dengan kasus tonsilitis difteria berat. Toksin difteri mengakibatkan demyelinating polyneuropathy yang mengenai saraf cranial dan perifer. Kesan toksin biasanya bermula pada minggu 1 infeksi dengan kehilangan akomodasi ocular dan bulbar palsy, mengakibatkan disfagia serta regurgitasi nasal. Bisa juga didapatkan suara parau dan kelumpuhan otot pernafasan. Neuropati perifer pula terlihat sepanjang minggu 3-6. Neuropati terjadi secara motorik dan sensorik, walaupun simptom motorik lebih dominan. Resolusi terjadi dalam masa beberapa minggu.2-4 Komplikasi yang paling berat melibatkan penutupan jalan nafas oleh pseuodmembran yang mengakibatkan gejala sumbatan. Semakin muda usia pasien makin cepat pula timbul komplikasi ini. Selain itu bisa timbul gejala albuminuria sebagai akibat komplikasi ke ginjal yang menyebabkan nefritis.4,6,18 Prognosis Prognosis tergantung :5,18 · Virulensi kuman · Lokasi dan perluasan membrane · Kecepatan terapi · Status kekebalan · Umur penderita,karena makin muda umur anak prognosis makin buruk. · Keadaan umum penderita, misalnya prognosisnya kurang baik pada penderita gizi kurang

· Ada atau tidaknya komplikasi Secara umum, pasien dengan tonsillitis difteri tanpa komplikasi yang berespon baik terhadap pengobatan memiliki prognosis yang baik. Penyembuhan bisa mengambil masa yang lama dan kadar kematian adalah 5 – 10% bagi semua kasus difteri respiratorik.

Kesimpulan Difteri merupakan penyakit yang harus di diagnosa dan di therapi dengan segera, oleh karena itu bayi-bayi diwajibkan di vaksinasi. Dan ini telah terbukti dalam mengurangi insidensi penyakit tersebut, walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia tetapi kadangkadang masih ada yang terkena penyakit ini. Penyebab dari penyakit difteri ini adalah C. diphtheriae yang merupakan kuman gram (+), ireguler, tidak bergerak, tidak berspora, bersifat leomorfik dan memperlihatkan bentuk seperti tulisan China. Masa inkubasi kuman ini 2-5 hari, dengan gejala klinis secara umum berupa sakit tenggorokan ringan dan demam. Penyakit ini diklasifikasikan menurut lokasi membran yaitu difteri nasal, difteri tonsil dan faring, difteri laring, difteri kulit, difteri vulvovaginal, difteri konjungtiva, dan difteri telinga, akan tetapi yang paling tersering adalah difteri tonsil faring. Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosa pasti dari penyakit ini adalah isolasi C.diphtheriae dengan bahan pemeriksaan membran bagian dalam (kultur). Dasar dari therapi ini adalah menetralisir toksin bebas dan eradikasi C.diphtheriae dengan isolasi, antibiotik dan ADS. Antibiotok penisilin dan eritromisin sangat efektif untuk kebanyakan strain C. diphtheriae. Prognosis umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran membran, status imunisasi, ke"epatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan perawatan umum.

Daftar Pustaka 1. Rampengan TH, Laurentz IR. Penyakit infeksi tropik pada anak, difteri.1992.h.1-8 2. Herry G. Difteri pedoman diagnosis dan terapi ilmu kesehatan anak. Edisi kedua. Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS;2000.h.173-6. 3. Kurmar V, Abbas AK, Fausto N, Mitchell R. Basic of pathology. 8 Ed. United Kingdom : Elsevier;2008.

4. Demirci

CS,

Abuhammour

W.

Pediatric

diphteria.

Diunduh

dari

:

http://emedicine.medscape.com/article/963334-overview#showall. Diakses pada 30 September 2018. 5. The histopathology of tonsilitis diphteria. Diunduh dari : http://www.histopatologyindia.net/Dipth.htm. Diakses pada 30 September 2018. 6. CDC. Diphteria epidemiology and prevention of vaccine-preventable disease. Edisi 12. Diunduh dari : http://cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/dip.html. Diakses pada 30 September 2018. 7. CDC. Diphteria. Edisi 5. Diunduh dari : http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/surmanual/chpt01-dip.html. Diakses pada 30 September 2018. 8. Zieve

D,

Kaneshiro

NK.

Diphteria.

Diunduh

dari

:

http://www.umm.edu/ency/article/001608trt.htm. Diakses pada 30 September 2018. 9. Dale DC. Infections due to gram positive bacilli. In : in infectious disease : the clinician’s guide to diagnosis, treatment and prevention. 16th Ed. WebMD Corporation;2007. 10. Guy AM. Diphteria in emergency medicine medication. Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com/article/782051-medication#1.

Diakses

pada

30

September 2018. 11. Demirci CS. Pediatric diphteria treatment & management. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/963334-treatment#showall. Diakses pada 30 September 2018. 12. Rusmarjono, Efiaty AS. Faringitis, tonsilitis dan hipertrofi adenoid. Dalam : buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Editor : Afiaty AS, Iskandar, Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi ke 6. Jakarta : FKUI;2008.h.221-2 13. Egyptian Company for Production. Diphtheria anti toxin serum (Equine). Diunduh dari : http://www.egyvac.com/egyproducts/diphtheria%20Anti-Toxin.htm. Diakses pada 30 September 2018. 14. Biofarma.

Serum

anti

difteri.

Diunduh

dari

http://www.biofarma.co.id/index.php/detil/items/serum-anti-difter.html. Diakses pada 30 September 2018. 15. RxMed The Comprehensive Resource for Physician, Drugs and Ilness Information. Diphtheria

Antitoxin

(Equine).

Diunduh

dari

https://www.rxmed.com/b.main/b2._pharmaceutical/b2.1.monographs/CPS-

:

_Monographs/CPS-_(General__Monographs-_D)/Diphtheria_Antitoxin.html. Diakses pada 30 September 2018. 16. American Academy of Pediatric s. Red book : 2006 Report of the commitee on infectious disease. 27th ed. American Academy of Pediatric;2006. 17. Doerr

S.

Dipththeria.

Diunduh

dari

:

http://emedicinehealth.com/diphtheria/page9_em.htm. Diakses pada 30 September 2018. 18. CDC.

Diphtheria,

tetanus

and

pertussis

vaccines.

Diunduh

dari

http://www.cdc.gov/vaccines/vpd-vac/diphtheria/_default.htm#vacc. Diakses pada 30 September 2018.

Related Documents

Tonsilitis Akut.docx
November 2019 24
Lo Tonsilitis Kronis.docx
December 2019 18
Lp Tonsilitis(1).docx
December 2019 21

More Documents from "LilisQodariah"