Presus Tonsilitis Kronis.docx

  • Uploaded by: Ibnu wp
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Presus Tonsilitis Kronis.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,668
  • Pages: 36
BAB I PENDAHULUAN I.1

Latar Belakang Tonsil atau yang dikalangan masyarakat awam disebut dengan istilah

amandel adalah bagian dari sistem pertahanan tubuh manusia karena terdapat jaringan limfoid. Tonsil memiliki letak yang strategis untuk mencegah mikroorganisme masuk ke dalam tubuh manusia baik melalui inhalasi, tangan, maupun ciuman. Jika terjadi infeksi, tonsil akan berubah menjadi berwarna kemerahan dan terjadi pembesaran pada jaingan limfoid. Tonsillitis sendiri merupakan inflamasi pada tonsil palatine yang bisa disebabkan oleh infeksi baik virus maupun bakteri. Selain dari bakteri maupun virus, perilaku yang disebabkan oleh manusia sendiri, seperti kebiasaan pola hidup yang kurang sehat, yaitu kurangnya menjaga kebersihan mulut, tidak terbiasa mencuci tangan sebelum makan, atau mengkonsumsi makanan yang kurang bergizi. Saat bakteri ataupun virus masuk ke dalam tubuh melalui hidung ataupun mulut. Tonsil berfungsi sebagai filter atau penyaring yang akan menyelimuti organisme yang berbahaya. Hal ini akan memicu sistem kekebalan tubuh untuk membentuk antibodi terhadap infeksi yang akan datang. Apabila tonsil sudah tidak dapat menahan infeksi dari bakteri ataupun virus, maka akan timbul keadaan yang disebut tonsillitis. Dalam beberapa kasus ditemukan tiga macam tonsillitis, yaitu tonsillitis akut, tonsillitis membranosa, dan tonsillitis kronik.

1

BAB II STATUS PASIEN

II.1

IDENTITAS PASIEN

Nama

: Sdr. R

Jenis kelamin

: Laki-laki

Tanggal Lahir / Usia

: 28-06-1997 / 21 thn

Alamat

: Jatinegara

Pekerjaan

: Mahasiswa

Tanggal Berobat

: 12-02-2019

II.2

ANAMNESIS (SUBJEKTIF)

Anamnesis telah dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 12 Februari 2019 di Ruang Mawar RSUP Persahabatan pukul 16.00 WB

II.2.1 Keluhan Utama : Nyeri menelan dan ada rasa mengganjal ditenggorokan yang hilang timbul sudah sejak kurang lebih dari 2 tahun yang lalu.

II.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke poli THT RS Persahabatan dengan keluhan nyeri saat menelan yang hilang timbul sejak 2 tahun yang lalu, disertai rasa mengganjal ditenggorokan. Keluhan dirasakan memberat sejak 1 minggu terakhir, keluhan nyeri menelan muncul terutama pada saat pasien mengkonsumsi makan-makanan yang mengandung MSG, gorengan dan minuman dingin. Menurut ibu pasien juga mengeluhkan bahwa pasien sering mengorok saat tidur dan terbangun karena kesulitan bernafas ketika sedang tidur sejak 1 bulan yang lalu. Pasien mengaku sering pilek dan batuk berulang. Namun pasien menyangkal bersin-bersin yang hebat di pagi hari serta menyangkal adanya alergi dingin, alergi debu dan alergi makanan. Pasien juga menyangkal adanya lendir

2

yang tertelan dari hidung, nyeri di daerah tulang pipi, maupun di daerah kening serta tidak ada rasa berat atau nyeri saat menunduk. Pasien hanya mengeluhkan sering sedikit pusing pada kepalanya. Pasien mengatakan sejak SMA sering makan gorengan dan minum minuman dingin. Riwayat penurunan berat badan tiba-tiba serta hilangnya nafsu makan disangkal.

II.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu : -

Riwayat batuk pilek berulang

-

Riwayat Alergi disangkal

-

Riwayat Asma disangkal

-

Riwayat penyakit jantung disangkal

II.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga : -

Tidak ada keluhan serupa pada keluarga

II.2.5 Riwayat Pengobatan : -

Selama 2 tahun terakhir pasien hanya berobat di klinik ketika merasakan nyeri saat menelan dan biasanya hanya meminum obat tablet anti radang.

II.3

PEMERIKSAAN FISIK (OBJEKTIF)

Keadaan Umum

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Compos mentis

Tekana darah

: 110/80 mmHg

Nadi

: 80 x/menit

Suhu

: 37.8 C

Pernapasan

: 20 x/menit

Berat Badan

: 80 kg

Tinggi Badan

: 170 cm

BMI

: obese grade I

3

II.3.1 Status Generalis : Kepala

: Normocephal

Mata

: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks pupil (+/+) pupil bulat isokor

Telinga

: Lihat status lokalis

Hidung

: Lihat status lokalis

Mulut

: Mukosa bibir lembab, gusi berdarah (-), gigi ada karies (-)

Tenggorok

: Lihat status lokalis

Leher

: Lihat status lokalis

Ekstremitas

: Akral hangat, udem (-/-), CRT < 2 detik

II.3.2 Status Lokalis THT : 1. Telinga AD Normotia, hiperemis (-),

AS Aurikula

Normotia, hiperemis (-),

edema (-), helix sign (-),

edema (-), helix sign (-),

tragus sign (-)

tragus sign (-)

Tanda radang (-), pus (-),

Preaurikula

nyeri tekan (-), fistula (-)

edema (-), hiperemis (-),

Tanda radang (-), pus (-), nyeri tekan(-), fistula (-)

Retroaurikula

edema (-), hiperemis (-),

nyeri tekan (-), fistula (-),

nyeri tekan (-), fistula (-),

tumor (-), sikatriks (-)

tumor (-), sikatriks (-)

4

Hiperemis (-), edema (-),

MAE

Hiperemis (-), edema(-),

sekret (-), serumen (-),

sekret(-), serumen (-),

massa (-)

massa (-)

Refleks cahaya (+),

Membran timpani

Refleks cahaya (+),

perforasi (-), sekret (-),

perforasi (-),

serumen (-)

sekret (-), serumen (-)

+

Uji Rinne

+

Tidak ada lateralisasi

Uji Weber

Tidak ada lateralisasi

Normal

Schwabach

Normal

2. Hidung Rhinoskopi anterior Kanan

Kiri

Lapang

Kavum Nasi

Lapang

(-)

Sekret

(-)

Deviasi (-)

Septum

Deviasi (-)

Hipertrofi (-)

Konka inferior

Hipertrofi (-)

Hiperemis (-)

Mukosa

Hiperemis (-)

(-)

Massa

(-)

Sinus Paranasal (-)

Pembengkakan Wajah

(-)

(-)

Nyeri Tekan Dahi

(-)

Nyeri Tekan (-) (-)

Media Orbita Nyeri Tekan Pipi

(-) (-)

5

3. Tenggorokan Nasofaring (Rhinoskopi posterior) Sulit dinilai

Konka superior

Sulit dinilai

Hiperemis (-)

Muara tuba

Hiperemis (-)

Hiperemis (-)

Torus tubarius

Hiperemis (-)

Hiperemis (-)

Fossa Rossenmuller

Hiperemis (-)

Hipertrofi (-)

Adenoid

Hipertrofi (-)

Pemeriksaan Orofaring Kanan

Kiri Mulut

Hiperemis (-) Hiperemis (-) Karies (-) Simetris Hiperemis (+)

Mukosa mulut Palatum molle Gigi geligi Uvula Tonsil Mukosa

Hiperemis (-) Hiperemis (-) Karies (-) Simetris Hiperemis (+)

T3

T3

melebar + Tenang -

Besar tonsil Kripta Detritus Perlengketan Faring Mukosa Granula Post nasal drip

melebar + Tenang -

Laringofaring (Laringoskopi indirect) Epiglotis Tidak Dilakukan Plika ariepiglotika

6

Plika ventrikularis Plika vokalis Rima glotis

4. Leher Pemeriksaan Kelenjar Tiroid dan KGB Kanan

Kiri

Pembesaran (-)

Tiroid

Pembesaran (-)

Pembesaran (-)

Kelenjar submental

Pembesaran (-)

Pembesaran (-)

Kelenjar submandibula

Pembesaran (-)

Pembesaran (-)

Kelenjar jugularis superior

Pembesaran (-)

Pembesaran (-)

Kelenjar jugularis media

Pembesaran (-)

Pembesaran (-)

Kelenjar jugularis inferior

Pembesaran (-)

Pembesaran (-)

Kelenjar suprasternal

Pembesaran (-)

Pembesaran (-)

Kelenjar supraklavikularis

Pembesaran (-)

7

II.4

PEMERIKSAAN PENUNJANG

II.4.1 Pemeriksaan Laboratorium (12 Februari 2019)

NAMA TES

HASIL

UNIT

NILAI RUJUKAN

HEMATOLOGI Hemoglobin

17.2 H

g/dl

12.5 – 16.0

Hematokrit

45.0

%

36 - 47

Eritrosit

5.21

10^6/µL

4.00 – 5.50

Leukosit

8.12

10^3/µL

5.00 – 10.00

Trombosit

259

10^3/µL

150 - 400

10.6

detik

9.8-11.2

29.6 L

detik

31.0-47.0

SGOT

21

U/L

5-34

SGPT

42

U/L

0-55

Ureum

24

mg/dL

19-44

Kreatinin

0.9

mg/dL

0.6-1.2

GDS

96

mg/dL

70-200

Natrium

137

Meq/L

135-145

Kalium

3.60

Meq/L

3.50-5.00

Klorida

104.0

Meq/L

98.0-107.0

HEMOSTASIS PT APTT KIMIA KLINIK

ELEKTROLIT

II.4.2 Pemeriksaan Radiologi -

Thorax : Dalam Batas Normal

8

II.5

DIAGNOSIS KERJA

II.6

-

Tonsilitis Kronis bilateral

-

Hipertrofi adenoid

TATALAKSANA

II.6.1 Medikamentosa -

Antibiotik broad spectrum PO Amoxicillin + Klavulanat 625 mg 2x1 selama 5 hari

-

Anti inflamasi PO Dexamethason 0,5 mg 3x1 PRN

II.6.2 Non Medikamentosa -

Higiene mulut = berkumur

II.6.3 Operatif -

II.7

Tonsiloadenoidektomi

PROGNOSIS

ad vitam

: ad bonam

ad functionam

: ad bonam

ad sanationam

: ad bonam

9

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

3.1 ANATOMI Faring Faring terletak dibelakang cavum nasi, mulut, dan laring. Bentuknya mirip corong dengan bagian atasnya yang lebar terletak di bawah cranium dan bagian bawahnya yang sempit dilanjutkan sebagai eosophagus setinggi vertebra cervicalis enam. Dinding faring terdiri atas tiga lapis yaitu mukosa, fibrosa, dan muskular.

Berdasarkan letak, faring dibagi atas tiga bagian yaitu : nasofaring, orofaring, dan laringofaring. 1. Nasofaring Nasofaring terletak dibelakang rongga hidung, di atas palatum molle. Nasopharynx mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding posterior, dan dinding lateral. Bagian atap dibentuk oleh corpus ossis sphenoidalis dan pars basilaris ossis occipitalis. Kumpulan jaringan limfoid yang disebut tonsila

10

pharyngeal, yang terdapat didalam submucosa. Bagian dasar dibentuk oleh permukaan atas palatum molle yang miring. Dinding anterior dibentuk oleh aperture nasalis posterior, dipisahkan oleh pinggir posterior septum nasi. Dinding posterior membentuk permukaan miring yang berhubungan dengan atap. Dinding ini ditunjang oleh arcus anterior atlantis. Dinding lateral pada tiap-tipa sisi mempunyai muara tuba auditiva ke faring. Kumpulan jaringan limfoid di dalam submukosa di belakang muara tuba auditiva disebut tonsila tubaria.

11

2. Orofaring Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas bawahnya adalah tepi atas epiglotis, kedepan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal. Orofaring mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding posterior, dan dinding lateral. Bagian atap dibentuk oleh permukaan bawah palatum molle dan isthmus pharygeus. Kumpulan kecil jaringan limfoid terdapat di dalam submukosa permukaa bawah palatum molle. Bagian dasar dibentuk oleh sepertiga posterior lidah dan celah antara lidah dan permukaan anterior epiglotis. Membrana mukosa yang meliputi sepertig posterior lidah berbentuk irregular, yang disebabkan oleh adanya jaringan limfoid dibawahnya, yang disebut tonsil linguae. Membrana mukosa melipat dari lidah menuju ke epiglotis. Pada garis tengah terdapat elevasi, yang disebut plica glosso epiglotica mediana, dan dua plica glosso epiglotica lateralis. Lekukan kanan dan kiri plica glosso epiglotica mediana disebut vallecula. Dinding anterior terbuka ke dalam rongga mulut melalui isthmus oropharynx (isthmus faucium). Dibawah isthmus ini terdapat pars pharyngeus linguae. Dinding posterior disokong oleh corpos vertebra cervicalis kedua dan bagian atas corpus vertebra cervicalis ketiga. Pada kedua sisi dinding lateral terdapat arcus palate glossus dengan tonsila palatina diantaranya.

12

Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior pharynx, tonsil palatina, fossa tonsila serta arcus pharynx anterior dan posterior, uvula, tonsila lingual dan foramen sekum. 

Fossa Tonsilaris Fossa tonsilaris adalah sebuah recessus berbentuk segitiga pada dinding

lateral oropharynx diantara arcus palatoglossus di depan dan arcus palatopharyngeus dibelakang. Fossa ini ditempati oleh tonsila palatina. Batas lateralnya adalah m.konstriktor pharynx superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fossa supra tonsila. Fossa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah keluar bila terjadi abses. Fossa tonsila diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia bukopharynx. 

Tonsil Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh

jaringan ikat dengan kriptus didalamnya. Terdapat tiga macam tonsil yaitu tonsila faringeal (adenoid), tonsil palatina dan tonsila lingual yang ketigatiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak didalam fossa tonsil. Pada kutub atas tonsil sering kali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong pharynx yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah. Tonsil faringeal dalam kapsulnya terletak pada mukosa dinding lateral rongga mulut. Di depan tonsil, arkus faring anterior disusun oleh otot palatoglosus, dan dibelakang dari arkus faring posterior disusun oleh otot palatofaringeus. Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Didalam kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia pharynx yang sering juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini

13

tidak melekat erat pada otot pharynx, sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi.

Tonsil mendapat darah dari arteri palatina minor, arteri palatine asendens, caban tonsil arteri maksila eksterna, arteri pharynx asendens dan arteri lingualis dorsal. Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotica. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkum valata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglossus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) dan kista duktus tiroglosus. Vena-vena menembus m.constrictor pharyngeus superior dan bergabung dengan vena palatine eksterna, vena pharyngealis, atau vena facialis. Aliran limfe pembuluh-pembuluh limfe bergabung dengan nodi lymphoidei profundi. Nodus yang terpenting dari kelompok ini adalah nodus jugulodigastricus, yang terletak di bawah dan belakang angulus mandibulae. 3. Laryngofaring Laryngofaring terletak di belakang aditus larynges dan permukaan posterior larynx, dan terbentang dari pinggir atas epiglotis sampai dengan pinggir bawah cartilage cricoidea. Laryngofaring mempunyai dinding anterior, posterior dan lateral. Dinding anterior dibentuk oleh aditus laryngis dan membrane mukosa yang meliputi permukaan posterior laring. Dinding 14

posterior disokong oleh corpus vertebra cervicalis ketiga, keempat, kelima, dan keenam. Dinding lateral disokong oleh cartilage thyroidea dan membrane thyrohyoidea. Sebuah alur kecil tetapi penting pada membrana, disebut fossa piriformis, terletak di kanan dan kiri aditus laryngis.

3.2 FISIOLOGI TONSIL Tonsila palatina adalah suatu jaringan limfoid yang terletak di fossa tonsilaris di kedua sudut orofaring dan merupakan salah satu bagian dari cincin Waldeyer. Tonsila palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid lain. Permukaan lateralnya ditutupi oleh kapsul tipis dan di permukaan medial terdapat kripta. Tonsila palatina merupakan jaringan limfoepitel yang berperan penting sebagai sistem pertahanan tubuh terutama terhadap protein asing yang masuk ke saluran makanan atau masuk ke saluran nafas (virus, bakteri, dan antigen makanan). Mekanisme pertahanan dapat bersifat spesifik atau non spesifik. Apabila patogen menembus lapisan epitel maka sel-sel fagositik mononuklear pertama-tama akan mengenal dan mengeliminasi antigen. Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari kesuluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B danT pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistem imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan antigen presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi APCs (sintesis immunoglobulin spesifik). Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa Ig G. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif dan sebagai organ produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik. Tonsil merupakan jaringan kelenjar limfa yang berbentuk oval yang terletak pada kedua sisi belakang tenggorokan. Dalam keadaan normal tonsil membantu mencegah terjadinya infeksi. Tonsil bertindak seperti filter untuk

15

memperangkap bakteri dan virus yang masuk ke tubuh melalui mulut dan sinus. Tonsil juga menstimulasi sistem imun untuk memproduksi antibodi untuk membantu melawan infeksi. Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fossa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fossa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring. Secara mikroskopik tonsil terdiri atas tiga komponen yaitu jaringan ikat, folikel germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari jaringan limfoid). Lokasi tonsil sangat memungkinkan terpapar benda asing dan patogen, selanjutnya membawanya ke sel limfoid. Aktivitas imunologi terbesar tonsil ditemukan pada usia 3 – 10 tahun.

3.3 HISTOLOGI TONSIL Secara umum bila dilihat secara mikroskopis tonsil memiliki tiga komponen yaitu jaringan ikat, jaringan interfolikuler, jaringan germinativum. Jaringan ikat berupa trabekula yang berfungsi sebagai penyokong tonsil. Trabekula merupakan perluasan kapsul tonsil ke parenkim tonsil. Jaringan ini mengandung pembuluh darah, syaraf, saluran limfatik efferent. Permukaan bebas tonsil ditutupi oleh epitel statified squamous. Jaringan germinativum terletak dibagian tengah jaringan tonsil, merupakan sel induk pembentukan sel-sel limfoid.

16

Tonsil terbagi menjadi 3, dengan histologis yang berbeda pula tergantung letak tonsil. 1. Palatine Tonsil Tonsil palatine terletak didalam jaringan ikat mukosa dan permukaannya dilapisi oleh epitel berlapis pipih tak menanduk yang menyatu dengan epitel yang melapisi mulut dan faring. Epitel ini terletak di lamina basal, dan di bawahnya terdapat lapisan tipis jaringan ikat fibrosa. Tonsil ini memiliki cekungan-cekungan dalam, sebanyak 10-12 buah yang sering kali terdapat debris. Debris inilah yang terkadang menyebabkan bau pada rongga mulut. Cekungan ini disebut kriptus. Tonsil iniMempunyai nodulus limfatikus primer dan nodulus limfatikus sekunder (dengan sentrum germinativum). Kriptus dipisahkan dengan struktur yang berdekatan oleh kapsula jaringan ikat.

2. Faringea Tonsil Tonsila faringea berjumlah tunggal dan terletak pada pangkal lidah dibelakang papila sirkumvalata. Tonsil ini dibungkus oleh epitel berlapis semu. Sebagai penggantinya kriptus, tonsil ini mempunyai lipatan-lipatan memanjang. Namun cekukakannya dangkal, yang dinamakan pleat. Tonsil ini juga mempunyai nodulus limfatikus primer dan nodulus limfatikus sekunder.

3. Lingualis Tonsil Tonsil lingualis ini berukuran kecil dan mempunyai beberapa nodul limfoid di dorsal lidah. Setiap satu kripte memiliki nodul. Permukaannya dibungkus oleh epitel berlapis pipih tak menanduk. Tonsil ini juga mempunyai kriptus yang dalam, yang sering mengandung debris sel. Duktus kelenjar mukosa lidah posterior sering terbuka ke dasar kriptus ini.

17

3.4 VASKULARISASI TONSIL Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu 1) arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri tonsilaris dan arteri palatina asenden; 2) arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden; 3) arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal; 4) arteri faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal.

3.5 ALIRAN GETAH BENING Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.

18

3.6 PERSARAFAN Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX (nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves.

3.7 IMUNOLOGI TONSIL Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang. Limfosit B berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen, interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar. Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan pusat germinal pada folikel ilmfoid. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.

3.8 TONSILITIS Definisi Tonsilitis adalah peradangan pada tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer yang disebabkan oleh mikroorganisme berupa virus, bakteri, dan jamur yang masuk secara aerogen atau foodborn.

Etiologi dan Patofisiologi Etiologi tersering pada kasus nyeri tenggorok disebabkan oleh group A beta-hemolytic Streptococcus (GABHS). Bakteri ini merupakan penyebab tersering ada faringitis akut pada 15-30% kasus anak-anak dan 5-10% kasus dewasa. GABHS ini memiliki lebih dari 80 serotipe berdasarkan protein M. Patogenesis GABHS antara lain adanya faktor virulensi yang menghambat fagositosis, yaitu protein M yang mengikat faktor H, serta kapsul hialuronik.

19

Selain itu, pili yang disertai lipoteichoic acid melekat pada epitelium faringeal yang kemudian membentuk kolonisasi. GABHS juga mensekresikan toksin multipel seperti eksotoksin pirogenik, DNase, hialuronidase, streptokinase (fibrinolisin), streptolisin O dan S (hemolisin), peptidase C5a, dan Fc binding protein. Patogenesis infeksi dan inflamasi pada tonsil dan adenoid dipengaruhi oleh lokasi tonsil yang letaknya di orofaring, nasofaring dan dasar lidah membentuk suatu cincin pertahanan imunitas (Waldeyer’s ring). Organ ini akan memproses antigen virus, bakteri dan mikroorganisme lain, sehingga mudah terkena infeksi dan pada akhirnya dapat menjadi fokus infeksi. Infeksi virus yang diikuti infeksi bakteri sekunder mungkin merupakan salah satu mekanisme dari infeksi akut menjadi infeksi kronis, tetapi hal ini juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan (lingkungan padat seperti militer, sekolah, dan keluarga), pejamu, alergi dan penggunaan antibiotik yang luas serta gizi. Saat bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut, tonsil berperan sebagai filter. Bakteri atau virus menginfeksi lapisan epitel tonsil. Proses peradangan

dan

infeksi

pada

tonsil

memicu

pengeluaran

leukosit

polimorfonuklear yang akan membentuk detritus bersama dengan kumpulan leukosit, bakteri yang mati, dan epitel yang terlepas. Dari gambaran klinis, detritus akan mengisi kripte tonsil dan nampak sebagai bercak kekuningan. Hal ini akan memicu tubuh untuk membentuk antibodi terhadap infeksi yang akan datang, akan tetapi kadang-kadang tonsil sudah kelelahan menahan infeksi atau virus yang berulang. Pada kasus infeksi yang berulang, lapisan epitel mukosa dan jaringan limfoid tonsil menjadi terkikis. Proses penyembuhan jaringan limfoid diganti dengan jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga ruang antara kelompok kripte melebar yang akan diisi oleh detritus. Proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fossa tonsilaris. Saat pemeriksaan ditemukan tonsil membesar dengan permukaan tidak rata, kripte membesar dan terisi detritus. Infeksi tonsil jarang menampilkan gejala, tetapi dalam kasus yang ekstrim, pembesaran tonsil dapat menimbulkan gejala menelan. Infeksi tonsil

20

yang menimbulkan gejala menelan adalah peradangan di tenggorokan terutama pada tonsil yang mengalami abses (abses peritonsiler). Abses besar yang terbentuk di belakang tonsil menimbulkan rasa sakit yang intens dan demam tinggi (39°C-40°C). Abses secara perlahan akan mendorong tonsil menyeberang ke bagian tengah tenggorokan. Gejala awal yang timbul ialah sakit tenggorokan ringan dan berlanjut menjadi parah. Pasien biasanya hanya mengeluh merasa sakit tenggorokan sehingga memilih untuk berhenti makan. Tonsilitis dapat menyebabkan kesukaran menelan, panas, bengkak, sakit pada sendi dan otot, nyeri pada seluruh tubuh, sakit kepala, dan dapat disertai nyeri pada telinga. Pembesaran yang spesifik pada tonsil dan adenoid akibat infeksi berulang di hidung dan tenggorok dapat menyebabkan obstruksi nasal dan atau gangguan bernafas, menelan, serta gangguan tidur.

Klasifikasi Berdasarkan lama perjalanan penyakit dan penyebabnya, tonsilitis dibagi menjadi: 1. Tonsilitis Akut (Tonsilitis Viral dan Bakterial) 1. Pada tonsilitis akut akibat infeksi virus, gejala yang timbul menyerupai common cold dan disertai nyeri tenggorok. 2. Infeksi bakteri yang ditandai dengan nyeri menelan, pembengkakan dan kemerahan pada tonsil, tonsil eksudat dan limfadenopati servikal dan demam tinggi yang timbulnya (onset) cepat, atau berlangsung dalam waktu pendek (tidak lama), dalam kurun waktu jam, hari hingga minggu. 3. Lebih disebabkan oleh kuman streptokokus beta hemolitikus grup A, atau disebut juga Streptococcus pneumoniae, Streptococcus viridian, Streptococcus pyogenes. 4. Penyebab infeksi virus antara lain oleh virus Epstein Barr (tersering), Haemofilus influenzae (tonsilitis akut supuratif), dan virus coxschakie (luka-luka kecil pada palatum disertai tonsil yang sangat nyeri).

21

2. Tonsilitis Akut Rekuren Tonsilitis akut yang berulang beberapa kali dalam setahun. 3. Tonsilitis Kronik 1. Tonsilitis kronik berlangsung dalam jangka waktu yang lama (bulan atau tahun) dan dikenal sebagai penyakit menahun. 2. Tonsilitis kronik timbul akibat rangsangan kronis dari rokok, kebersihan mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik, beberapa jenis makanan, dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat. 3. Bakteri penyebab tonsilitis kronik sama halnya dengan tonsilitis akut, namun kadang-kadang bakteri berubah menjadi bakteri golongan gram negatif. 4. Saat pemeriksaan dapat ditemukan tonsil membesar dengan permukaan tidak rata, kripte membesar, dan terisi detritus. 5. Beberapa literatur sudah tidak menggunakan istilah tonsilitis kronik, digantikan dengan tonsilitis akut rekuren, yaitu adanya episode berulang dari tonsilitis akut yang diselingi dengan interval tanpa atau dengan adanya keluhan yang tidak signifikan. Macam-macam tonsillitis menurut (Soepardi, 2007 ) yaitu : 1. Tonsilitis Akut a. Tonsilis viral Tonsilitis dimana gejalanya lebih menyerupai commond cold yang disertai rasa nyeri tenggorok. Penyebab yang paling serin adalah virus Epstein Barr. Hemofilus influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif. Jika terjadi infeksi virus coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan pasien. b. Tonsilitis bakterial Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptokokus, β hemolitikus yang dikenal sebagai strep throat, pneumokokus, Streptokokus viridan, Streptokokus piogenes. Infiltrasi bakteri pada

22

lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur maka akan terjadi tonsilitis lakunaris.

2. Tonsilitis Membranosa a. Tonsilitis difteri Tonsilitis diferi merupakan tonsilitis yang disebabkan kuman Corynebacterium diphteriae. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak-anak berusia kurang dari 10 tahunan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun. b. Tonsilitis septik Tonsilitis yang disebabkan karena Streptokokus hemolitikus yang terdapat dalam susu sapi. c. Angina Plaut Vincent ( stomatitis ulsero membranosa ) Tonsilitis yang disebabkan karena bakteri spirochaeta atau triponema yang didapatkan pada penderita dengan higiene mulut yang kurang dan defisiensi vitamin C. d. Penyakit kelainan darah Tidak jarang tanda leukemia akut, angina agranulositosis dan infeksi mononukleosis timbul di faring atau tonsil yang tertutup membran semu. Gejala pertama sering berupa epistaksis, perdarahan di mukosa mulut, gusi dan di bawah kulit sehingga kulit tampak bercak kebiruan. 3. Tonsilis Kronik Tonsilitis kronik timbul karena rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.

23

Manifestasi Klinis 

Keluhan berupa nyeri tenggorokan yang semakin parah jika penderita menelan, nyeri seringkali dirasakan di telinga (referred pain). Nyeri telinga ini diakibatkan oleh nyeri alih melalui saraf nervus glosofaringeus. Keluhan juga dapat disertai demam dengan suhu tubuh yang tinggi, tidak enak badan, lesu, sakit kepala, muntah, nyeri perut, dan nyeri sendi. Sedangkan keluhan yang sering ditemui pada pembesaran adenoid ialah kesulitan bernafas menggunakan hidung. Apabila terdapat pembesaran tonsil dan adenoid, keluhan yang timbul ialah gangguan bernafas saat tidur. Keluhan lainnya ialah bernafas lebih dominan menggunakan mulut, suara sengau, hidung berair yang kronis, infeksi telinga rekuren, mengorok, hingga sleep apnea.



Gejala tonsilitis dapat timbul mendadak, mulai dari asimptomatik hingga gejala yang berat. Gejala ini antara lain: demam yang berlangsung 4-5 hari, rasa mengganjal di tenggorokan, tenggorokan terasa kering, pernafasan bau, pada pemeriksaan tonsil membesar dengan permukaan tidak rata, hiperemis, kriptus membesar dan terisi detritus, tidak nafsu makan, mudah lelah, pucat, letargi, nyeri kepala, disfagia, mual dan muntah.



Pada pemeriksaan fisik ditemukan peningkatan suhu tubuh, antara 38,340°C (sensitivitas 37%, spesifisitas 66%); pembengkakan tonsil disertai eksudat dan hiperemis (sensitivitas 31%, spesifisitas 81%), pembengkakan kelenjar pada kulit dapat muncul ruam scarlatiniform, dimana kulit teraba seperti sandpaper; inflamasi pada daerah faring dan atau eksudat. Tonsilitis dapat mengakibatkan kekambuhan sakit tenggorokan dan keluar nanah pada lekukan tonsil.

Diagnosis Penetapan diagnosis klinik tonsilitis dalam praktik sangat beragam. Diagnosis tonsilitis dapat ditegakkan berdasarkan temuan klinik atau laboratorium atau tes tertentu.

24

Pemeriksaan klinis tonsil dilakukan dengan bantuan spatula lidah dengan menilai warna, besar, pelebaran muara kripte, ada tidaknya detritus, nyeri tekan, dan hiperemis pada arkus anterior. Besar tonsil dinyatakan dalam T0, T1, T2, T3, dan T4. T0 apabila tonsil berada di dalam fossa tonsil atau telah diangkat. T1 apabila besar tonsil 1/4 jarak arkus anterior dan uvula, dimana tonsil tersembunyi di dalam pilar tonsilar. T2 apabila besar tonsil 2/4 jarak arkus anterior dan uvula, dimana tonsil membesar ke arah pilar tonsilar. T3 apabila besar tonsil 3/4 jarak arkus anterior dan uvula, atau terlihat mencapai luar pilar tonsilar. T4 apabila besar tonsil mencapai arkus anterior atau lebih, dimana tonsil mencapai garis tengah.

25

Pemeriksaan Penunjang Gejala dan tanda ternyata tidak cukup untuk menegakkan diagnosis, diperlukan kombinasi dari beberapa faktor untuk dapat digunakan sebagai prediksi klinik. IDSA (Infectious Disease Society of America) dan AHA (American Heart Association)

merekomendasikan

konfirmasi

status

bakteriologik

untuk

menegakkan diagnosis tonsilitis, baik menggunakan kultur swab tenggorok maupun menggunakan rapid antigen detection test. Pada pasien dewasa, rapid antigen detection test dan kultur swab tenggorok dianjurkan pada tanda dan gejala yang mengarah pada infeksi streptokokus. Tanda dan gejala tersebut ialah demam persisten, keringat malam, kaku badan, nodus limfe yang nyeri, pembengkakan tonsil atau eksudat tonsilofaringeal, scarlatiniform rash, dan petekie palatum. CDC (Centers for Disease Control and Prevention) dan ACP (American College of Physicians) merekomendasikan kultur swab tenggorok atau RAT pada dewasa apabila gejala mengarah pada infeksi streptokokus, seperti demam persisten, limfadenopati servikal anterior yang nyeri, nyeri wajah, dan discharge nasal yang purulen. a. Kultur Swab Tenggorok Pemeriksaan swab tenggorok ini dilakukan sebelum antibiotik mulai diberikan. Hasil kultur pada agar darah yang positif menunjukkan zona karakteristik hemolisis komplit (hemolisis beta) pada infeksi S pyogenes dan homolisis parsial pada Streptococcus pneumoniae. Hasil kultur positif swab tenggorok untuk GHBS dapat menentukan diagnosis nyeri tenggorok akibat streptokokus, namun kultur yang negatif tidak menyingkirkan kemungkinan penyebabnya adalah streptokokus. Terdapat beberapa kasus dimana didapatkan streptokokus namun tidak terdapat bukti infeksi secara serologik. Kekurangan utama kultur swab tenggorok secara klinik adalah keterlambatan hasil pemeriksaan (18-24 jam atau lebih). Selain itu, masih menjadi perdebatan apakah hasil kultur negatif harus dilakukan pemeriksaan ulang setelah beberapa hari untuk meningkatkan sensitivitas tes. Namun, swab tenggorok dapat digunakan untuk menegakkan etiologi

26

dari episode rekuren pada pasien dewasa ketika dipertimbangkan untuk dilakukan tonsilektomi. b. Rapid Antigen Test (RAT) RAT memiliki spesifisitas yang tinggi sehingga tata laksana wajib diberikan apabila diperoleh hasil yang positif. Sensitivitas RAT bervariasi bergantung pada assay yang digunakan. Pada tes dengan sensitivitas tinggi, kultur swab tenggorok tidak diperlu dilakukan lagi. Apabila hasil RAT menunjukkan hasil yang negatif, kultur swab tenggorok diperlukan pada anak dan remaja. Umumnya pemeriksaan RAT memiliki senstivitas 59-95% dan spesifisitas lebih dari 90% dibandingkan dengan kultur swab tenggorok pada agar darah.

Pemeriksaan Penunjang Lain Pemeriksaan titer antibodi anti streptokokus untuk diagnosis rutin tidak dilakukan. Hal ini dikarenakan hasil yang diperoleh dapat menunjukkan infeksi yang telah lampau, bukan infeksi sekarang. Titer anti-streptolysin O (ASO) and anti-deoxyribonuclease B dapat digunakan untuk mengindentifikasikan infeksi streptokokus grup A pada pasien yang dicurigai memiliki demam reumatik atau komplikasi non-supuratif lainnya. Titer ASO mendeteksi antibodi terhadap streptolisin O pada darah. Streptolisin O merupakan substasi yang diproduksi oleh GABHS. Tes ini digunakan untuk mendeteksi infeksi streptokokus grup A sebelumnya. Antibodi ASO diproduksi sekitar seminggu sampai sebulan setelah infeksi terjadi dan mencapai puncaknya pada 3-5 minggu setelah penyakit muncul. Antibodi ASO masih dapat ditemukan dalam darah dalam kurun waktu minggu hingga bulan setelah infeksi streptokokus hilang. Hasil titer ASO >200 IU atau lebih dari 166 Todd unit dinyatakan positif.

27

Diagnosis Banding 

Tonsilitis Difteri Gejala terbagi menjadi tiga golongan besar, yaitu gejala umum, gejala lokal, dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum sama seperti gejala infeksi lain, yaitu demam subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat dan keluhan nyeri menelan. Gejala lokal yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang semakin lama semakin meluas dan membentuk pseudomembran yang melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Gejala akibat eksotoksin dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh, misalnya pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai dekompensasi kordis, pada saraf kranial dapat menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot pernapasan dan pada ginjal dapat menimbulkan albuminuria. Penyebabnya ialah kuman Corynebacterium diphteriae. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak-anak kurang dari 10 tahun dengan frekuensi tertinggi pada anak usia 2-5 tahun. Diagnosis dapat ditegakkan dari gambaran klinis dan dengan menemukan kuman penyebab dari preparat langsung kuman dari permukaan bawah membran semu.



Angina Plaut Vincent (Stomatitis Ulseromembranosa) Gejala yang timbul adalah demam tinggi (390C), nyeri di mulut, gigi dan kepala, sakit tenggorok, badan lemah, gusi berdarah dan hipersalivasi. Pada pemeriksaan tampak membran putih keabuan di tonsil, uvula, dinding faring, gusi dan prosesus alveolaris, mukosa mulut dan faring hiperemis. Mulut berbau (foetor ex oro) dan kelenjar submandibula membesar. Penyakit ini disebabkan karena bakteri spirochaeta atau triponema yang didapatkan pada penderita dengan higiene mulut yang kurang dan defisiensi vitamin C.



Mononukleosis Infeksiosa Terjadi tonsilofaringitis ulseromembranosa bilateral. Membran semu yang menutup ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan,

28

terdapat pembesaran kelenjar limfa leher, ketiak, dan regio inguinal. Gambaran darah khas, yaitu terdapat leukosit mononukleosis dalam jumlah besar. Tanda khas yang lain adalah kesanggupan serum pasien untuk beraglutinasi terhadap sel darah merah domba (Reaksi Paul Bunnel). 

Penyakit Kronik Faring Granulomatosa Merupakan suatu kelompok penyakit kelainan genetik yang ditandai dengan hilangnya kemampuan fagosit dari sel darah putih. Gambaran diferensial diagnosis lainnya antara lain faringitis tuberkulosa, faringitis luetika, lepra, dan aktinomisis faring.

Tatalaksana Tonsilitis Tata

laksana

tonsilitis

dapat

berupa

tata

laksana

non-operatif

(medikamentosa dan non-medikamentosa) dan operatif. Tata laksana umum tonsilitis menganjurkan setiap pasien untuk istirahat dan minum yang cukup. Tata laksana medikamentosa meliputi pemberian analgetik dan antibiotik. Antibiotika golongan penisilin masih merupakan terapi pilihan untuk kasus tonsilitis. Tata laksana operatif berupa tonsilektomi dan atau adenoidektomi. 1. Tonsilitis Akut Rekomendasi terapi: a. Analgetika -

Dewasa Ibuprofen atau paracetamol merupakan pilihan utama untuk

analgetika pada dewasa. Ibuprofen mempunyai hasil yang lebih baik untuk mengurangi nyeri tenggorok daripada paracetamol. Kombinasi keduanya tidak memberikan hasil yang signifikan pada pasien dewasa. -

Anak Paracetamol merupakan pilihan utama sebagai analgetika

pada anak. Ibuprofen merupakan terapi alternatif dan tidak diberikan secara rutin pada anak dengan risiko dehidrasi.

29

b. Terapi tambahan 1. Kortikosteroid Pemberian kortikosteroid pada anak dan dewasa dapat memberikan perbaikan yang signifikan terhadap gejala dan memberikan

efek

samping

yang

minimal.

Penggunaan

kortikosteroid kombinasi dengan antibiotik tidak diberikan secara rutin sebagai terapi tonsilitis, tetapi dapat dipertimbangkan pada pasien dengan gejala yang berat. Pemberian steroid lebih dari 3 hari mungkin tidak memberikan hasil yang lebih efektif dibandingkan dosis tunggal pada anak dan remaja dengan infeksi streptokokus. Dosis kortikosteroid sebagai antiinflamasi 3x1 tablet prednison selama 3 hari. 2. Obat kumur antiseptik Obat kumur antiseptik yang berisi chlorhexidine atau benzydamine memberikan hasil yang baik dalam mengurangi keluhan nyeri tenggorok dan memperbaiki gejala. c. Antibiotik 1. Amoksisilin peroral 50 mg/kgbb sekali sehari (dosis maksimum 1 g), atau 25 mg/kgbb dua kali sehari (dosis maksimum 500 mg), selama 10 hari. Amoksisilin lebih sering digunakan pada anakanak karena lebih mudah ditelan. Penggunaan amoksisilin peroral di Indonesia 50-60 mg/kgbb dibagi dalam 2-3 kali pemberian. Dosis dewasa 3x500 mg. 2. Sefalosporin generasi pertama seperti cephalexin dan cefadroxil diberikan selama 10 hari, pada beberapa penelitian didapatkan hasil yang baik. Cephalexin peroral 20 mg/kgbb dua kali sehari (dosis maksimum 500 mg) selama 10 hari. Cefadroxil peroral 30 mg/kgbb sekali sehari (dosis maksimum 1 g) selama 10 hari. 3. Klindamisin peroral 7 mg/kgbb, 3 kali sehari (dosis maksimum 300 mg) selama 10 hari.

30

4. Azitromisin peroral 12 mg/kgbb sekali sehari (dosis maksimum 500 mg) selama 5 hari. Azitromisin dosis total 60 mg/kgbb lebih efektif dibandingkan antibiotik lain selama 10 hari, sedangkan azitromisin dosis total 30 mg/kgbb kurang efektif pada anak-anak. Azitromisin memberikan efek yang sama dengan antibiotik lain pada dewasa. Di Indonesia, azitromisin diberikan 500 mg per hari selama 3 hari. 5. Klaritromisin peroral 7,5 mg/kgbb 2 kali sehari (dosis maksimum 250 mg) selama 10 hari. 6. Eritromisin etilsuksinat (EES) 40 mg/kgbb/hari, 2-4 kali (4x400 mg pada dewasa) selama 10 hari.

2. Tonsilitis Kronik Istilah tonsilitis kronik pada beberapa literatur sudah tidak digunakan lagi. Tonsilitis kronik ini lebih mengarah pada tonsilitis akut rekuren. Di Indonesia, istilah tonsilitis kronik masih digunakan. Terapi tonsilitis kronik terdiri atas terapi konservatif dan terapi operatif. Terapi konservatif dilakukan dengan pemberian obat-obatan simptomatik dan obat kumur yang mengandung desinfektan. Terapi operatif melibatkan tindakan tonsilektomi dengan atau tanpa adenoidektomi. a. Tonsilektomi Tonsilektomi didefinisikan sebagai suatu tindakan bedah yang mengangkat keseluruhan jaringan tonsil palatina, termasuk kapsulnya dengan melakukan diseksi ruang peritonsiler di antara kapsula tonsil dan dinding muskuler tonsil. Tindakan ini dapat dilakukan dengan atau tanpa adenoidektomi. Adenoidektomi juga dilakukan bersama tonsilektomi terutama apabila terdapat gangguan bernafas saat tidur. Tindakan tonsilektomi merupakan prosedur bedah tersering pada anak-anak di USA. Insiden tonsilektomi meningkat pada usia 4 tahun dan pada usia 16-17 tahun, baik pada anak laki-laki maupun perempuan. Insiden tonsilektomi dan tonsiloadenoidektomi juga meningkat di Minnesota dari

31

tahun 1970 hingga 2005 dimana terdapat pergeseran indikasi dari infeksi ke obstruksi jalan napas atas. 

Indikasi Tonsilektomi a. Indikasi absolut -

Hipertrofi tonsil yang menyebabkan: obstruksi saluran napas misal pada OSAS, disfagia berat yang disebabkan obstruksi, gangguan tidur, komplikasi kardiopulmoner, gangguan pertumbuhan dentofasial, gangguan bicara (hiponasal).

-

Riwayat abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase.

-

Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi terutama untuk hipertrofi tonsil unilateral.

-

Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.

b. Indikasi relatif -

Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil tiap tahun dengan terapi antibiotik adekuat.

-

Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi medis.

-

Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus Bhemolitikus

yang tidak membaik

dengan pemberian

antibiotik resisten β-laktamase. 

Kontraindikasi Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi, namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan dengan imbang antara “manfaat dan risiko”. Keadaan tersebut adalah: a. Gangguan perdarahan. b. Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat. c. Anemia. d. Infeksi akut yang berat. e. Palatoskizis.

32

Komplikasi Infeksi yang berulang pada tonsil dapat mengakibatkan hipertrofi tonsil dan mengakibatkan komplikasi. Komplikasi yang dapat timbul terdiri atas supuratif dan non-supuratif. Komplikasi supuratif terutama pada anak-anak antara lain otitis media akut, mastoiditis, meningitis bakterialis, endokarditis infektif, abses peritonsilar, abses retrofaringeal, bakterimia, limfadenitis servikalis, dan pneumonia. Sedangkan komplikasi non-supuratif, walaupun jarang terjadi, antara lain demam reumatik akut, penyakit jantung reumatik, glomerulonefritis akut, streptococcal toxic shock syndrome, serta sindrom Lemierre.

3.9 HIPERTROFI ADENOID Definisi Adenoid adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid yang terletak pada dinding posterior nasofaring, termasuk dalam rangkaian cincin waldeyer. Secara fisiologik adenoid ini membesar pada anak usia 3 tahun dan kemudian akan mengecil dan hilang sama sekali pada usia 14 tahun. Bila sering terjadi infeksi saluran pernapasan bagian atas maka dapat terjadi hipertrofi adenoid. Akibat dari hipertrofi ini akan timbul sumbatan koana dan sumbatan tuba eustachius. Akibat sumbatan koana, pasien akan bernapas melalui mulut sehingga terjadi a) pasies adenoid yaitu tampak hidung kecil, gigi insisivus ke depan (prominen), arkus faring lebih tinggi yang menyebabkan kesan wajah pasien tampak seperti orang bodoh, b) faringitis dan bronkitis, c) gangguan ventilasi dan drainase sinus paranasal sehingga menimbulkan sinusitis kronik. Akibat sumbatan tuba eustachius akan terjadi otitis media akut berulang, otitis media kronik dan akhirnya dapat terjadi otitis media supiratuf kronik. Akibat hipertrofi adenoid juga akan menimbulkan gangguan tidur, tiur ngorok, retardasi mental dan pertumbuhan fisik berkurang.

Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinik, pemeriksaan rinoskopi anterior dengan melihat tertahannya gerakan velum palatum mole pada

33

waktu fonasi, pemeriksaan rinoskopi anterior (pada anak biasanya sulit), pemeriksaan digital untuk meraba adanya adenoid, dan pemeriksaan radiologi dengan membuat foto lateral kepala (pemeriksaan ini lebih sering dilakukan pada anak).

Terapi Pada hipertrofi adenoid dilakukan terapi bedah adenoidektomi dengan cara kuretase menggunakan adenotom. Indikasi adenoidektomi : a. Sumbatan 1. Sumbatan hidung yang menyebabkan bernapas melalui mulut 2. Sleep apnea 3. Gangguan menelan 4. Gangguan berbicara 5. Kelainan bentuk wajah muka dan gigi (adenoid face) b. Infeksi 1. Adenoiditis berulang / kronik 2. Otitis media efusi berulang / kronik 3. Otitis media akut berulang

c. Kecurigaan neoplasma jinak/ganas

Komplikasi Komplikasi tindakan adenoidektomi adalah perdarahan bila pengerokan adenoid kurang bersih. Bila terlalu dalam menguretnya akan terjadi kerukan dinding belakang faring. Bila kuretase terlalu ke lateral maka torus tubarius akan rusak dan dapat menyebabkan oklusi tuba eustachius dan akan timbul tuli konduktif.

34

DAFTAR PUSTAKA

Adams G. L. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam: Highler B. A. Boeis Buku Ajar Penyakit THT-KL. Edisi 6. Jakarta. EGC 327-40. American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery. Tonsils and Adenoids. 2015. Available from: http://www.entnet.org/content/tonsilsand-adenoids American College of Physicians and for the Centers for Disease Control and Prevention. Appropriate Antibiotic Use for Acute Respiratory Tract Infection in Adults: Advice for High-Value Care. Ann Intern Med. 2016;164(6):425 Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar. Riskesdas 2013.Kementerian Kesehatan RI. 2013:65-6. Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In: Head&Neck Surgery-Otolaryngology, 4th edition. 2006. Baugh RF, Archer SM, Mitchell RB, Rosenfeld RM, Amin R, Burns JJ, et al. Clinical Practice Guideline: Tonsillectomy in Children. Otolaryngology– Head and Neck Surgery. 2011;144:S1-30. Blackshaw H, Zhang LY, Venekamp RP, Wang B, Chandrasekharan D, Schilder AGM. Tonsillectomy versus tonsillotomy for sleep-disordered breathing in children. Cochrane Database of Systematic Reviews. 2014, Issue 11.[DOI: 10.1002/14651858.CD011365] Burton MJ, Glasziou PP, Chong LY, Venekamp RP. Tonsillectomy or adenotonsillectomy versus non-surgical treatment for chronic/recurrent acute tonsillitis. Cochrane Database Syst Rev. 2014;(11):CD001802 Choby BA. Diagnosis and treatment of streptococcal pharyngitis. Am Fam Physician. 2009;79(5):383-90 Clegg HW, Ryan AG, Dallas SD, et al. Treatment of streptococcal pharyngitis with once-daily compared with twice-daily amoxicillin: a noninferiority trial. Pediatr Infect Dis J 2006; 25:761–7. Erickson BK, Larson DR, St Sauver JL, Meverden M, Orvidas LJ. Changes in incidence and indicaton of tonsillectomy ad adenotonsillectomy, 19702005. Otolaryngol Head and Neck Surg. 2009;140(6):894-901.

35

Hassan R, Alatas H. Penyakit Tenggorokan. In: Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak jilid 2. Jakarta :FKUI, 2007.p930-33. Hermani B, Fachrudin D, Hutauruk S, al e. Tonsilektomi Pada Anak dan Dewasa. HTA Indonesia. 2004:1-25. Indo Sakka, Raden Sedjawidada, Linda Kodrat, Sutji Pratiwi Rahardjo. Laporan Penelitian : Kadar Imunoglobulin A Sekretori Pada Penderita Tonsilitis Kronik Sebelum Dan SetelahTonsilektomi. Kaplan EL, Chhatwal GS, Rohde M. Reduced ability of penicillin to eradicate ingested group A streptococci from epithelial cells: clinical and pathogenetic implications. Clin Infect Dis. 2006;43(11):1398-406. [Medline] Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Tonsil dan Adenoid. In: Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volum 2. Jakarta: ECG,2000. p1463-4 Randel A. AAO–HNS Guidelines for Tonsillectomy in Children and Adolescents. Otolaryngology–Head and Neck Surgery. 2011:566-73. Rusmarjono, Soepardi EA. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorokan kepala & leher. Edisi ke‐6. Editor: Hendra U. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Management of sore throat and indications for tonsilectomy. A national clinical guideline. 117, editor. Edinburgh: SIGN Publication; 2010. Shulman ST, et al. Clinical practice guideline for the diagnosis and management of group A streptococcal pharyngitis: 2012 Update by the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis. 2012;55(10):e86-e102 Spinks A, Glaziou PP, Del Mar CB. Antibiotics for sore throat. Cochrane Database Syst Rev. 2013;(11):CD000023. Stelter K. Tonsillitis and sore throat in children. GMS Current Topics in Otorhinolaryngology - Head and Neck Surgery. 2014;13:3-15.

36

Related Documents

Presus Melatiku.pptx
May 2020 18
Presus Skabies.docx
December 2019 20
Presus Devi.docx
May 2020 16
Presus Baru.docx
April 2020 13

More Documents from "Zidna"