Kampanye pendidikan belum mendasar Leo Sutrisno Anakku Setia Nugraha, Belakangan ini Bapak tergoda untuk komentar tentang isi kampanye para capres dalam pendidikan. Maaf, ya agak berpolitik sedikit. Tetapi itu memang wilayah kita. Sudah dua minggu para capres-cawapres berkampanye. Sejauh yang dapat ditangkap dari media massa baik cetak maupun elektronik, tampak gagasan mereka dalam dunia pendidikan belum menyentuh bagian yang mendasar, bagian filosofinya. Mereka masih berbicara tentang pendidikan gratis, BOS, Wajar, bada hukum pendidikan, SMK vs SMA, UN, gaji guru dan dosen, sertifikasi guru dan dosen, anggaran pendidikan, sekolah swasta vs negeri, sekolah betaraf internasional, pemerataan pendidikan, transparansi, dan peningkatan mutu. Semua ini masih berada pada tataran teknis yang tidak akan memberi warna khas pendidikan di Indonesia. Tidak satu pun pasangan capres-cawapres yang menggagas filosofi pendidikan yang khas Indonesia sehingga kelak akan menghasilkan manusia Indonesia yang seperti apa. Padahal di dalam kehidupan sehari-hari orang Indonesia, terutama di kalangan pemuda dan remaja sudah tidak dapat dibedakan lagi dari yang bukan Indonesia. Dengan gaya hidup ‘mall’ semua sama dengan yang lain kecuali satu, ‘tidak merasa bersalah kalau datang terlambat’. Gaya hidup sinetron. Dan opera sabun. Dimana-mana dengan mudah kita temukan suatu tampilan yang sama. Ber-HP, pura-pura sibuk dan dengan begitu tidak perlu bernegur sapa dengan yang lain. Pemandangan itu sungguh dapat ditemukan dimana saja, di toalet, di dalam lift, di dalam bus umum, di dalam pesawat terbang, bahkan juga di dalam ruang ibadah. Pertanyaan yang muncul adalah pendidikan Indonesia akan dibawa kemana. Hal yang pertama menyangkut jati diri orang Indonesia. Pertanyaannya adalah manusia yang seperti apa yang akan dihasilkan oleh pendidikan Indonesia. Memang, dalam Pasal 3 Undang-undang Sisdiknas (2003) telah disebutkan tujuan pendidikan di Indonesia, yaitu menghasilkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Kalau dicermati, tumusan ini sangat umum dan berlaku di negara mana saja. Tidak tercermin yang khas manusia Indonesia. Karena itu, tidak perlu heran kalau saat ini ditemukan siswa-siswa yang telah kehilangan rasa Indonesianya, kehilangan jatio dirinya sebagai orang Indonesia. Bagi mereka yang berkesempatan ke luar tentu dapat lebih mudah merasakan ini. Sungguh ’napas’ Indonesianya telah tiada. Yang masih mudah dikenali hanyalah tatapan mata dan kadang-kadang logat bahasa Inggrisnya. Selebihnya, sama dengan yang lain. (Tentu sebagian masih ada yang belum hilang ditelan global. Mereka ini masih tetap Indonesia). Pendidikan Indonesia saat ini kurang mengembangkan aspek historisitas
manusia Indonesia. Memang ada pelajaran sejarah. Tetapi pelajaran itu pun tidak mampu menyadarkan bahwa setiap orang di Indonesia adalah pelaku sejarah bagi dirinya sendiri dan bangsa Indonesia. Hal yang kedua menyangkut hekakat manusia yang utuh. Manusia utuh yang akan dihasilkan oleh pendidikan di Indonesia itu seperti apa. Hingga kini, pandangan masyarakat Indonesia sangat strukturalis. Setiap orang sudah dibuatkan ’bingkai’ yang katanya sesuai dengan kedudukannya di masyarakat. Misalnya, karena ia sebagai kepala sekolah maka seharusnya selalu tampil dengan dasinya. Ia seorang menejer sekolah. Karena sudah mahasiswa maka tidak pantas kalau datang ke kampus ’hanya’ naik sepeda onthel. Sebaliknya, karena is seorang dosen senior lulusan Ph.D luar negeri juga tidak pantas kalau datang ke kampus ’hanya’ mengendarai mobil butut. Pendek kata hidup setiap orang di Indonesia telah desediakan bingkai. Ke luar dari bingkai harus berani menanggung cemoohan orang lain. Dengan perkataan lain, pendidikan Indonesia telah merampas aspek individualitas manusia. Inilah beberapa hal yang mendasar dalam pendidikan di Indonesia yang perlu ditelaah oleh para capres-cawapres. Tentu masih banyak yang lain. Tetapi, tiga hal ini merupakan hal yang paling mendasar. Masih ada waktu satu minggu ke depan. Para tim sukses dapat memikirkan ini, bukan? Semoga!