Surat untuk para guru 22: Tidak lulus Leo Sutrisno
Anakku, Setia Nugraha, Dalam pembicaraan telpon dengan kakakmu, Bapak mendengar engkau khawatir akan banyak muridmu yang tidak lulus ujian. Kau takut, janganjangan banyak banyak orang tua murid yang tidak puas, kepala sekolah marah, dan murid sedih dan marah, serta ujungnya engkau merasa gagal menjadi guru yang baik. Anakku, mungkin engkau sebaiknya mengubah cara menanggapi suatu kegagalan. Sejak engkau memasukki bangku sekolah, sejauh yang engkau ingat, setiap kali memulai suatu kegiatan yang baru tidak selalu berhasil, bukan? Justru sebaliknya, sering gagal lebih dahulu dan baru kemudian mencoba lagi dan berhasil. Bapak ingin bercerita tentang apa yang terjadi pada awal engkau belajar berjalan dulu, ketika engkau berumur sekitar 12 bulan. Engkau sungguh membuat lompatan-lompatan besar dari merangkak, berdiri dengan berpegangan benda bendal lain, berjalan bertatih-tatih, hingga akhirnya dapat berjalan dengan berdiri tegak. Engkau tidak putus asa. Terus mencoba, gagal, mencoba, gagal, mencoba, gagal. Semangatmu sungguh sangat tinggi. Rasa takutmu juga tidak ada. Demikian pula rasa malu gagal juga sama sekali tidak ada. Ketika engkau mencoba berdiri, gemetaran dan jatuh engkau tidak cemberut, tidak menangis, tidak menyesal. Tetapi sebaliknya, dengan tersenyum, engkau bangkit lagi, mencoba lagi, bangkit lagi, mencoba lagi dengan cara yang lain. Apa yang terjadi saat itu? Engkau selalu memperbaiki caramu berdiri, caramu berjalan berdasarkan dari kegagalan-kegagalan itu. Dengan kata lain, engkau menggunakan kegagalanmu itu sebagai informasi baru yang penting untuk membuat perbaikan atau menyusun cara baru. Engkau tidak menggunakan kegagalan sebagai penghalang. Engkau tidak memandang kegagalan sebagai batu sandungan. Sebaliknya, engkau memandang sebagai umpan balik untuk membuat perbaikan dan rencana baru.
Demikian juga dengan tidak lulus ujian. Bapak sarankan, coba pandang tidak lulus ujian itu mangandung suatu informasi penting yang belum engkau miliki sebelumnya. Carilah informasi itu di dalam ke-tidaklulus-an itu. Misalnya, infomasi caramu mengajar, informasi tentang cara siswa belajar, informasi cara mempersiapkan diri menghadapi ujian nasional, dsb. Selanjutnya, informasi itu gunakan untuk membuat perbaikan tentang apa yang telah dilakukan dan masukkan sebagai bahan penting dalam menyusun rencana baru. Kalau itu engkau lakukan maka engkau akan terbebas dari rasa malu. Karena, menemukan informasi penting dari suatu kegagalan pun sudah suatu prestasi. Selanjutnya, gunakan informasi penting itu untuk tindakan yang baru. Engkau juga terbebas dari rasa takut. Mengapa? Karena, dengan mendapatkan informasi penting itu engkau yakin tidak akan gagal lagi di kemudian hari. Engkua telah memperoleh kunci menuju kesuksesan. Selanjutnya, kepada masyarakat sekitar kita, saya ingin mengajak membuat suasana lain dalam menanggapi ke-tidaklulus-an siswa termasuk jika yang gagal itu anak kita sendiri. Kita tidak perlu marah. Sebaliknya, marilah kita kembali ke sikap seperti pada saat kita membimbing anak-anak kita di usia balita. Tidak pernah memberi kecaman. Tidak mengancam. Tidak menyalahkan. Yang kita lakukan saat itu adalah mendorong, menyemangati, dan membantu menyelesaiakan, sekali lagi, mendorong, memberi semangat, dan mambantu. Marilah kita bantu para siswa menemukan informasi yang penting tetapi belum mereka miliki pada saat menempuh ujian. Informasi penting ini kemudian digunakan untuk menyusun ’srtategi’ baru dalam menempuh ujian lagi tahun depan. Anakku, rasanya surat Bapak sudah cukup panjang. Saya akhiri sampai di sini. Doa Bapa selalu menyertaimu. Bapak