NAMA : FERYAL AMIMA WIDADI NIM
: 186020300011012
PARADIGMA INTERPRETIF Paradigma Interpretif adalah cara pandang yang difokuskan pada tujuan untuk memahami dan menjelaskan dunia sosial dari dari sudut pandang pelaku yang terlibat di dalamnya. Oleh karena itu keilmiahannya, seperti yang dijelakan oleh Burrell dan Morgan (1979), terletak pada ontologi sifat manusia yang voluntaristik. Subjektivitas justru memainkan peranan penting
dibandingkan
objektivitas
(sebagaimana
yang
ditemui
pada
paradigma
fungsionalis/positivistik). Paradigma interpretif mencakup rentangan yang luas dari pemikiran filosofis dan sosiologis yang memiliki karakteristik utama untuk memahami dan menjelaskan dunia sosial khususnya dari sudut pandang orang-orang yang langsung terlibat dalam proses sosial. Paradigma ini menjelaskan tentang kestabilan perilaku dalam pandangan seseorang secara individual. Paradigma ini memfokuskan pada pemahaman individu mengenai dunia yang diciptakan secara subjektif apa adanya serta prosesnya. Filosofer seperti Immanuel Kant (1724-1803), yang mengartikulasikan pondasi ontologi dan epistimologi. Kant, yang filosofinya sangat terbuka untuk berbagai interpretasi, menyatakan bahwa pengetahuan dasar harus lebih diutamakan sebelum adanya pemahaman atas data yang berdasarkan atas pengalaman. Sedangkan menurut Chua (1988), perspektif interpretif merujuk kepada tradisi intelektual yang berakar pada gagasan para filosof idealis Jerman seperti Emanuel Kant, Hegel, Dilthey, Weber, Husserl, Heidegger, Schutz, Gadamer, dan Habermas yang memfokuskan pada peranan bahasa, interpretasi, dan pemahaman dalam ilmu sosial. Riset akuntansi dengan menggunakan paradigma ini bertujuan memahami fenomena akuntansi/praktik akuntansi dari
sudut pandang pelaku, seperti akuntan, auditor, dll. Metode yang melingkupi paradigma ini cukup beragam: mulai dari fenomenologi, etnometodologi, etnografi,dan hermeneutika. Chua (1986)
menjelaskan
paradigma
interpretif
ini
dalam
asumsi-asumsi
yang
sudah
diklasifikasikannya: Keyakinan tentang realita fisik dan sosial Schultz (1962) dalam Chua (1987) memulai gagasan bahwa apa yang diberikan kepada kehidupan sosial adalah pengalaman hidup yang tidak pernah terputus. Kesadaran ini tidak memiliki arti atau identitas diskrit sampai manusia mengalihkan perhatian mereka (self-reflect) pada hal tersebut dan memberi arti di dalamnya. Pengalaman bermakna yang terjadi dimasa lalu disebut dengan perilaku. Ilmu sosial umumnya berkaitan dengan perilaku (tindakan) bermakna yang berorientasi ke masa depan dan diarahkan menuju pencapaian tujuan tertentu. Karena tindakan secara intrinsik diberkahi dengan arti subjektif oleh pelaku dan selalu disengaja, tindakan tidak dapat dipahami tanpa merujuk pada maknanya. Namun dalam kehidupan sehari-hari, tindakan penuh dengan makna subjektif. Sementara manusia akan terus menerus menyusun dan mengklasifikasikan pengalaman yang sedang berlangsung sesuai dengan skema interpretatif, skema ini pada dasarnya sosial dan intersubjektif. Kita tidak hanya menafsirkan tindakan kita sendiri tetapi juga orang lain dengan siapa kita bertindak, dan sebaliknya. Keyakinan tentang pengetahuan Paradigma interpretatif berusaha untuk memahami tindakan manusia dengan memposisikan mereka ke dalam satu set tujuan dari tujuan individu dan struktur sosial yang bermakna. Penjelasan tersebut harus sesuai dengan kriteria tertentu. Pertama adalah konsistensi logis. Schultz (1962, hal.43) menulis bahwa "sistem konstruk khas yang dirancang oleh ilmuwan harus didirikan dengan tingkat tertinggi
kejelasan dan keunikan dari kerangka konseptual tersirat dan harus sepenuhnya sesuai dengan prinsip-prinsip logika formal". Dalil tersebut diperlukan untuk menjamin "validitas objektif dari objek pemikiran yang dibangun oleh ilmuwan sosial". Kedua adalah "penafsiran subyektif". Hal ini berarti bahwa ilmuwan mencari arti suatu tindakan yang dilakukan oleh pelaku. Masih terdapat kesulitan untuk menentukan prosedur yang tepat guna pelaksanaan penelitian interpretif, karena metode yang diterapkan mirip dengan antropolog. Mereka menekankan pengamatan, kesadaran isyarat linguistik (bahasa), dan perhatian terhadap detail. Keyakinan tentang dunia sosial Keyakinan utama tentang manusia adalah (a) anggapan tentang tujuan tindakan manusia, dan (b) asumsi penyusunan, makna yang telah diberikan menyusun tindakan. Namun, Schultz berpendapat tujuan itu selalu memiliki unsur masa lalu, hanya yang sudah berpengalaman mungkin diberkahi dengan makna pada masa lalunya. Selanjutnya, tujuan didasarkan pada perubahan konteks sosial dan tidak serta merta ada. Teori dan Praktek Fay (1975) menunjukkan bahwa pengetahuan interpretatif mengungkapkan kepada orang apa yang mereka dan orang lain lakukan ketika mereka bertindak dan berbicara seperti yang mereka lakukan. Ia melakukannya dengan menyorot struktur simbolik dan diambil untuk diberikan-tema yang memberikan pola pada dunia ini dengan cara berbeda. Interpretatif tidak berusaha untuk mengontrol fenomena empiris, ia tidak memiliki aplikasi teknis. Sebaliknya, tujuan dari interpretatif adalah untuk memperkaya pemahaman masyarakat
akan arti
tindakan mereka,
sehingga
meningkatkan
kemungkinan komunikasi timbal balik dan pengaruh. Dengan menunjukkan apa yang dilakukan orang, itu memungkinkan kita untuk memahami bahasa baru dan bentuk kehidupan.
STRUKTUR PARADIGMA INTERPRETIF Terdapat 4 dasar pembentuk pandangan perpektif interpretif menurut Burrel dan Morgan (1994) yaitu, yaitu hermeneutika, fenomenologi, silopsism, dan fenomenologi sosiologi.
Hermeneutics
Solipsism Transcendental Phenomenology Struktur Paradigma
Phenomenology Exixtential Phenomenology
Ethnomethodology Phenomenologi cal Sociology Symbolic Interaction
a. Hermeneutika Hermeneutika dapat didefinisikan secara longgar sebagai suatu teori atau filsafat interpretasi makna. Kesadaran bahwa ekspresi-ekspresi manusia berisi sebuah komponen penuh makna, yang harus disadari sedemikian rupa oleh subjek dan yang diubah menjadi system nilai dan maknanya sendiri, telah memunculkan persoalanpersoalan hermeneutika. Dalam pandangan klasik, hermeneutik yaitu bahwa kata-kata yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita, dan kata-kata yang kita tulis adalah simbol dari kata-kata yang kita ucapkan itu. Bahasa tidak boleh kita pikirkan sebagai yang mengalami perubahan karena kata-kata ataupun ungkapan mempunyai tujuan tersendiri atau penuh dengan maksud. Setiap kata tidak pernah tidak bermakna.
b. Fenomenologi Fenomenologi sebagai suatu cabang filsafat sekaligus suatu pendekatan penelitian dalam rumpun perspektif interpretif, fenomenologi adalah cabang filsafat dan pendekatan penelitian yang mencoba menggali makna atau anggapan-anggapan yang tersembunyi dan terkandung dalam fenomena tindakan sosial yang ada. Pendekatan ini bertumpu pada keyakinan-keyakinan tertentu seperti, bahwa pada dasarnya di dunia ini tidak ada subjek yang sepenuhnya subjektif sebagaimana juga tidak ada objek yang sepenuhnya objektif dan objek sosial yang diamati tidak memiliki penampilan yang independen atau terlepas dari orang yang mempersepsikannya (Appelrouth dan Edles, 2007). Jika fenomenologi ini diterapkan dalam melihat fenomena akuntansi, maka seorang peneliti fenomenologi dapat mulai penelitiannya dengan memandang bahwa akuntansi dalam organisasi adalah sebuah produk dari proses institusionalisasi. Sebagai produk institusionalisasi, akuntansi dalam organisasi pada taraf tertentu akan berpotensi dan mampu menciptakan kestabilan organisasi. Fenomenologi terpecah menjadi dua, yaitu fenomenologi transendental dan fenomenologi eksistensial.
Fenomenologi transendental dikembangkan oleh Husserl menyatakan bahwa sains sangat ditentukan oleh karakter intensionalitas. Aliran ini berupaya mencapai objektifitas absolut dalam menghasilkan sains. Oleh karena itu, penelitian model ini cenderung menggunakan analisis kesadaran dan mengabaikan realita.
Fenomenologi eksistensial muncul dengan adanya penelitian Heidegger, Merleau-Ponty, Sartre dan Shutz dimana mereka memiliki kesamaan dengan
menempatkan dunia nyata dengan kehidupan sehari-harinya sebagai lawan dari kesadaran transedental. c. Solipsism Solipsism mewakili bentuk paling ekstrim dari idealis subjektif yang menolak bahwa di dalam dunia tidak terdapat realitas independen yang berbeda. Untuk seorang yang beraliran solipis, dunia adalah hasil ciptaan pikirannya, secara ontologis tidak ada eksistensi diluar sensasi yang diadakan oleh pikiran dan tubuhnya. d. Phenomenological sociology Phenomenological
sociology
berkembang
menjadi
dua
aliran
yaitu
Ethnomethodology dan Symbolic Interaction.
Ethnomethodology, aliran ini merupakan suatu pemahaman mendetail dari dunia sehingga pada dasarnya aliran ini mencari suatu aktifitas praktek, kondisi praktek serta alasan sosiologis praktik dalam suatu penelitian empiris dan mengganggap terjadinya suatu kejadian tertentu sebagai suatu fenomena. Etnomenologi dipakai sebagai cara membangun teori umum dalam mengembangkan penjelasan-penjelasan tentang perilaku manusia. Topik dalam etnomenologi adalah konstruksi makna melalui tindakan-tindakan tertentu yang kebanyakan berupa percakapan. Isi atau bentuk dari tindakan-tindakan ini hanyalah akibat. Penelitian-penelitian yang menggunakan etnomenolog ini kebanyakan memusatkan kajiannya pada analisis percakapan (cerita) dengan menganggap percakapan sebagai cara seseorang mengkonstruksi realitas. Tidak dapat dipungkiri bahwa peneliti yang mencoba merincikan percakapan (cerita) berkemungkinan terjebak untuk menghasilkan cerita-cerita yang lain. Untuk menyikapi hal ini ethnomethodologists perlu memusatkannya pada metode
pasti yang dipakai orang dalam menciptakan dan mempertahankan realitas intersubjektifnya.
Symbolic Interaction menekankan perlunya interaksi dimana individu menciptakan dunia sosial mereka sendiri bukan hanya bereaksi terhadapnya, dengan demikian aliran ini diturunkan dari lingkungannya bukan dari individu atau pelaku. Interaksionisme simbolik merupakan sebuah pendekatan sosiologi yang meyakini bahwa realitas sosial tidak berada di luar kesadaran manusia sebagaimana diyakini oleh sosiologi functionalisme, namun justru terbentuk melalui interaksi yang terjadi antar individu dalam masyarakat. Pendekatan sosiologi ini adalah sosiologi yang bersifat constructivist. Oleh sebab itu, dalam pandangan sosiologi ini manusia adalah entitas atau pribadi yang aktif dan memiliki kesadaran serta kemauan bebas bahkan melalui interaksinya dengan pihak lain memiliki kemampuan untuk mewarnai karakteristik dan mengubah struktur yang ada, bukan mahluk yang selalu mengikuti dan ditentukan kemauannya oleh struktur yang melingkupinya.
Paradigma Interpretif dalam Penelitian Berikut ini merupakan aspek-aspek kunci dalam melakukan penelitian dengan menggunakan paradigma interpretif: No
Aspek Kunci Alasan melakukan
Keterangan Untuk memahami dan menjelaskan tindakan-tindakan manusia.
1 penelitian Asumsi tentang
Realita diciptakan oleh manusia sendiri melalui tindakan dan
sifat realita sosial
interaksi mereka.
Asumsi tentang
Makhluk sosial yang bersama-sama menciptakan arti untuk
sifat manusia
digunakan sebagai pegangan hidup.
2
3
No
Aspek Kunci
Keterangan
Peran common
Sebagai pegangan yang digunakan masyarakat dalam kehidupan
sense
sehari-hari.
Sifat dari teori yang
Gambaran tentang berbagai sistem makna dari sebuah kelompok
dihasilkan
terbentuk dan menjadi cocok.
Penjelasan yang
Masuk akal bagi para pelakunya dan dapat membantu orang lain
dianggap baik
memahami dunia para pelakunya.
Bukti yang
Diperoleh langsung dari pelakunya dalam sebuah konteks yang
dianggap baik
spesifik.
Nilai-nilai pribadi
Nilai-nilai adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Tidak
pelaku dalam ilmu
ada yang salah/benar, yang ada hanya berbeda.
4
5
6
7
8
dan penelitian Metode penelitian
Studi kasus spesifik dengan penggunaan alat-alat kualitatif secara
yang digunakan
intensif, meliputi wawancara, observasi, dan analisis dokumen.
9
DAFTAR PUSTAKA Burrell, Gibson and Gareth Morgan. 1979. Sociological Paradigms and Organisational Analysis: Elements of the Sociology of Corporate Life. London: Heinemann. Chua, W. F. (1986). Radical Developments in Accounting Thought. The Accounting Review, Vol. 16.