PRESENTASI KASUS KECIL “TB Paru dalam Terapi OAT 3 Bulan”
Disusun oleh: Fadhli Dzil Ikram
1820221075
Pembimbing : dr. Indah Rachmawati, SpP
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA 2019
LEMBAR PENGESAHAN “TB Paru dalam Terapi OAT 3 Bulan”
Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Disusun oleh: Fadhli Dzil Ikram 1820221075
Telah disetujui Pada Tanggal, Maret 2019
Mengetahui Pembimbing :
dr. Indah Rachmawati, SpP
BAB I LAPORAN KASUS I.
IDENTITAS PASIEN Nama
: Ny. A
Umur
: 66 tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Alamat
: Gerduren RT 004/002
Tanggal Masuk
: 5 Maret 2019
Tanggal Anamnesis : 7 Maret 2019 No. CM
: 02089485
Bangsal
: Cendana
II. ANAMNESIS (Autoanamnesis) a. Keluhan Utama Batuk Darah
b. Keluhan tambahan Lemas, badan terasa sakit dan perut kadang terasa sakit.
c. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke IGD RSMS dengan keluhan batuk sejak 4 bulan yang lalu dan sudah melakukan pengobatan ke dokter dengan riwayat terapi OAT selama 3 bulan (terapi dengan OAT sejak 07 Januari 2019). Pasien juga mengeluhkan sering sesak saat malam hari, sering berkeringat serta pernah batuk berdarah. Pasien juga mengeluhkan bahwa berat badannya turun dan terlihat lebih kurus.
c. Riwayat Penyakit Dahulu 1. Riwayat keluhan yang sama
: diakui
2. Riwayat hipertensi
: disangkal
3. Riwayat DM
: disangkal
4. Riwayat penyakit jantung
: diakui
5. Riwayat Kolesterol
: disangkal
6. Riwayat penyakit ginjal
: disangkal
7. Riwayat alergi
`
: disangkal
8. Riwayat sakit kuning
: disangkal
9. Riwayat konsumsi OAT
: diakui
10. Riwayat hepatitis
: disangkal
11. Riwayat penyakit paru
: diakui
d. Riwayat Penyakit Keluarga 1. Riwayat keluhan yang sama
: disangkal
2. Riwayat hipertensi
: disangkal
3. Riwayat DM
: disangkal
4. Riwayat penyakit jantung
: disangkal
5. Riwayat penyakit ginjal
: disangkal
6. Riwayat alergi
: disangkal
`
e. Riwayat Sosial Ekonomi 1. Community Pasien tinggal di daerah perkampungan dengan higienitas lingkungan yang cukup baik dan tidak padat penduduk serta sedang tidak ada wabah penyakit tertentu.
2. Home Pasien tinggal hanya bersama suami. Pasien tinggal dirumah dengan sirkulasi dan ventilasi udara yang cukup baik.
3. Occupational Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga, yang memiliki kegiatan sehari hari mencuci, mengepel, memasak.
4. Personal Habbit Pasien mengatakan tidak pernah mengonsumsi alcohol maupun merokok. Pasien mengaku makan 2-3 kali sehari.
III. PEMERIKSAAN FISIK Keadaan umum : Sakit sedang Kesadaran
: Compos Mentis / GCS E4V5M6
Vital sign
: TD : 110/90 mmHg N
: 82 x/mnt
RR : 20 x/mnt S
: 36.0 °C
Status Generalis Bentuk kepala : Mesocephal, simetris, tanda radang (-) Rambut
: Warna rambut hitam memutih sebagian, tidak mudah dicabut, terdistribusi merata
Mata
: Konjungtiva anemis (-/-) sklera ikterik (-/-), refleks pupil (+/+) normal isokor 3 mm
Telinga
: Discharge (-/-), deformitas (-/-)
Hidung
: Discharge (-/-), deformitas (-), nafas cuping hidung (-)
Mulut
: Bibir pucat (-), sianosis (-), lidah sianosis (-), atrofi papil lidah (-)
Leher Pulmo
: Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), JVP 5 ± 2 cm
Anterior Inspeksi
: Dinding dada simetris, retraksi interkostal (-), ketinggalan gerak (-), jejas (-), barrel chest (-)
Palpasi
: Vokal fremitus hemitoraks kanan sama dengan hemitoraks kiri
Perkusi
: Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi
: Suara dasar vesikuler (+/+), RBH (-/-), RBK (+/+), wheezing (-/-)
` Inspeksi
: Dinding punggung simetris, retraksi interkostal (-), ketinggalan gerak (-), jejas (-), barrel chest (-), kelainan vertebre (-)
Palpasi
: Vokal fremitus hemitoraks kanan sama dengan hemitoraks kiri
Perkusi
: Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi
: Suara dasar vesikuler (+/+), RBH (-/-), RBK (-/-), wheezing (/-)
Cor Inspeksi
: Ictus cordis tampak di ICS V linea midclavicula sinistra, kuat angkat (-)
Palpasi
: Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra dan kuat angkat (-)
Perkusi
: Batas atas kanan
: SIC II LPSD
Batas atas kiri
: SIC II LPSS
Batas bawah kanan : SIC IV LPSD Batas bawah kiri Auskultasi
: SIC V LMCS
: S1>S2 reguler, Gallop (-), Murmur (-)
Abdomen Inspeksi
: Cekung, ada benjolan diregio supra pubis
Auskultasi
: Bising usus (+) normal
Perkusi
: Timpani
Palpasi
: Supel, undulasi (-), nyeri tekan (-)
Hepar
: Tidak teraba
Lien
: Tidak teraba
Ekstremitas Superior
: Edema (-/-), akral dingin (-/-),
Inferior
: Edema (-/-), akral dingin (-/-)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Pemeriksaan Laboratorium Darah RSMS tgl 05/03/2019 Pemeriksaan
Hasil Darah Lengkap
Nilai Rujukan
Hemoglobin
13.1
11.7-15.5 g/dL
Leukosit
7.900
3.600-11.000 U/L
Hematokrit
40
35-47 %
Eritrosit
4.3
3.8-5.2 ^6/uL
Trombosit
220.000
MCV
91.2
80-100 fL
MCH
30.2
26-34 Pg/cell
MCHC
33.1
32 – 36 %
RDW
12.6
11.5 – 14.5 %
MPV
9.8
9.4-12.3 fL
150.000– 440.000 /uL
Hitung Jenis Leukosit Basofil
0.4
0–1%
Eosinofil
1.1 L
2–4%
Batang
0.5 L
3–5%
Segmen
75.6 H
50 – 70 %
Limfosit
13.4 L
25 – 40 %
Monosit
9.5 H
2–8%
Kimia Klinik Albumin
2.58 L
3.40 – 5.00 g/dL
Ureum darah
12.60 L
14.98-38.52 mg/dL
Kreatinin darah
0.41 H
0.70-1.30 mg/dL
GDS
112
<= 200 mg/dL
SGOT
73 H
15 – 37 U/L
SGPT
46
14 – 59 U/L
Total Protein
6.55
6.40 – 8.20 g/dL
Elektrolit Natrium
127 L
134 – 146 mEq/L
Kalium
3.9
3.4 – 4.5 mEq/L
Klorida
89 L
96 – 108 mEq/L
Pemeriksaan Laboratorium RSMS 06/03/19
V.
Pemeriksaan
Hasil Kimia Klinik
Nilai Rujukan
SGOT
19
15 – 37 U/L
SGPT
29
14 – 59 U/L
DIAGNOSIS KERJA TB Paru TCM dalam Terapi OAT 3 Bulan Malnutrisi Hipoalbumin (2,58)
VI. TERAPI A. Medikamentosa : 1. Injeksi Ranitidin 2x1 ampul 2. IVFD Ringer Lactate 20 tpm 3. PO Curcuma 3x1 tab 4. PO NAC 3x1 caps
5. PO Vipalbumin3x2 caps
B. Non-Medikamentosa : 1) Motivasi pasien dan keluarga pasien untuk selalu menggunakan masker. 2) Memberi edukasi pada keluarga untuk ikut mendukung pasien agar teratur minum obat.
VII. PROGNOSIS : Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam Ada sanationam : dubia ad bonam
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Tuberkulosis II.1.1 Definisi Tuberkulosis Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkanbakteri Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menyerang berbagai organ, terutama paruparu. Penyakit ini bila tidak diobati atau pengobatannya tidak tuntas dapat menimbulkan komplikasi berbahaya hingga kematian (Kementerian Kesehatan, Pemerintah RI, 2016). II.1.2 Etiologi Infeksi TB disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, bakteri ini tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 mm dan panjang 1 – 4 mm. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%) (PDPI, 2011). Bakteri ini mempunyai sifat khusus yaitu tahan tehadap asam pada pewarnaan, sehingga bakteri ini disebut dengan Basil Tahan Asam (BTA) dan bakteri tuberkulosis ini dapat mati dengan paparan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat gelap dan lembab (Ruswanto, 2010). II.1.3 Faktor resiko Faktor resiko pasien TB antara lain adalah konsentrasi atau jumlah kuman yang terhirup, lamanya waktu sejak terinfeksi, usia seseorang yang terinfeksi dan tingkat daya tahan tubuh seseorang. Seseorang dengan daya tahan tubuh yang rendah diantaranya HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk) akan memudahkan berkembangnya TB aktif (sakit TB). Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikan penularan TB di masyarakat akan meningkat pula (Kemenkes RI, 2014).
II.1.4 Patogenesis II.1.4.1 Tuberkulosis primer Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru, sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut: a. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali. b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran hilus). c. Menyebar dengan cara: 1) Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya, salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus
yang atelektasis
tersebut,
yang dikenal
sebagai
epituberkulosis. 2) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau tertelan. 3) Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat imunitas yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat
seperti tuberkulosis
milier, meningitis
tuberkulosis, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat
menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan sembuh dengan meninggalkan sekuel (misalnya pertumbuhan yang lambat pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma) atau meninggal. Semua kejadian diatas adalah perjalanan TB primer yang terlihat pada bagan dibawah ini (Kementerian Kesehatan, Pemerintah RI, 2016). Inhalasi Mycobacterium tuberculosis Difagosit oleh makrofag alveolar paru Bakteri berkembang biak didalam paru
Penyebaran limfogen
Pembentukan fokus primer
Penyebaran hematogen
Masa inkubasi (2-12 minggu)
Limfangitis regional
Terbentuk kompleks primer
Sembuh dengan tidak ada cacat sama sekali
Sembuh dengan bekas (sarang ghon)
Menyebar secara: -Perkontinuitatum -Secara bronkogen -Secara limfogen dan hematogen
Sembuh Sumber: Modifikasi dari Kementerian Kesehatan, Pemerintah RI, 2016
Bagan 1 Patogenesis TB primer
II.1.4.2 Tuberkulosis Post Primer Tuberkulosis post primer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Sarang pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut: a. Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat. b. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan membentuk jaringan keju dan menimbulkan kavitas bila jaringan keju dibatukkan keluar. c. Sarang
pneumoni
meluas,
membentuk
jaringan
keju
(jaringan
kaseosa). Kavitas akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kavitas awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kavitas sklerotik). Kavitas tersebut akan menjadi: 1) Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang pneumoni ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan di atas. 2) Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kavitas lagi. 3) Bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity. Kemungkinan berakhir sebagai kavitas yang terbungkus dan menciut sehingga terlihat seperti bintang (Kementerian Kesehatan, Pemerintah RI, 2016).
II.1.5 Klasifikasi II.1.5.1 Klasifikasi Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Sputum Klasifikasi beradasarkan hasil pemeriksaan sputum terbagi menjadi 2, yaitu: a. TB Paru BTA Positif 1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukan BTA positif. 2) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. 3) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif. b. TB Paru BTA Negatif 1) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif. 2) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan menunjukkan tuberkulosis positif (PDPI, 2011). II.1.5.2 Klasifikasi Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya terbagi menjadi: a. Kasus baru Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan obat anti tuberkulosis (OAT) atau sudah pernah menelan obat anti tuberkulosis kurang dari satu bulan (4 minggu). b. Kasus kambuh (relaps) Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, namun didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur). c. Kasus setelah putus berobat (default) Adalah pasien yang berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. d. Kasus setelah gagal Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
e. Kasus pindahan (transfer in) Adalah pasien yang di pindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya. f. Kasus lain Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas, dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasl pemeriksaan masih BTA (+) setelah selesai pengobatan ulangan (Sitompul, 2013). II.1.6 Diagnosis dan Manifestasi Klinik Seseorang diduga menderita TB paru apabila terdapat batuk yang lebih dari 2 atau 3 minggu dengan produksi sputum dan penurunan status gizi. Gejala klinis pada pasien dengan TB dibagi menjadi 2, yaitu gejala respirasi dan konstitusi (sistemik). Gejala respirasi diantaranya adalah sakit dada, hemoptisis dan sesak nafas, sedangkan gejala konstitusi adalah demam, keringat dingin, cepat lelah, kehilangan nafsu makan, amenore sekunder. Tidak ada kelainan spesifik yang ditemukan pada pemeriksaan fisik TB paru. Didapatkan gejala umum seperti demam, takikardi, dari clubbing finger. Pemeriksaan dada mungkin didapatkan mengi, duara nafas bronkial dan amforik (Yuwono, 2012). Keliat dkk (2016) dalam penelitiannya mengatakan bahwa untuk membantu menegakkan diagnosis bisa dilakukan pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. pada pasien tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacammacam bentuk (multiform). Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif antara lain: a. Bayangan berwarna / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah. b. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular. c. Bayangan bercak milier. d. Efusi pleura umumnya unilateral atau bilateral namun jarang terjadi. II.1.7 Pengobatan TB paru
Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase, fase awal/intensif yang berlangsung selama 2-3 bulan dan fase lanjutan yang berlangsung selama 4-6 bulan (Pusat Kedokteran dan Kesehatan POLRI, 2015). II.1.7.1 Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Obat anti tuberkulosis yang digunakan dibagi menjadi dua, yaitu obat utama (lini pertama) dan obat tambahan lainnya (lini kedua). Obat anti tuberkulosis lini pertama dengan dosis pemberian obatnya bagi pasien dewasa dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Dosis OAT Lini Pertama Pasien Dewasa Dosis OAT
Isoniazid (H) Rifampisin (R) Pirazinamid (Z) Etambutol (E) Streptomisin (S)
Harian Kisaran Maksimum dosis (mg) (mg/kgBB) 5 (4-6) 300 10 (8-12) 600 25 (20-30) 15 (15-20) 15 (12-18) -
3x/minggu Kisran dosis Maksimum/hari (mg/kgBB) (mg) 10 (8-12) 10(8-12) 35 (30-40) 30 (25-35) 15 (12-18)
900 600 1000
Sumber: Pusat Kedokteran dan Kesehatan POLRI, 2015
Obat anti tuberkulosis yang digunakan pada lini kedua antara lain adalah kanamisin, kapreomisin, kuinolon, sikloserin dan para-amino salisilat. Obat anti tuberkulosis lini kedua hanya digunakan untuk kasus resisten obat terutama TB multidrug resistance (MDR) (PDPI, 2011). II.1.7.2 Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati pasien TB paru memiliki efek samping seperti yang terlihat pada Tabel 2: Jenis Isoniazid (H) Rifampisin (R)
Tabel 2 Efek Samping OAT Efek Samping Neuropati perifer, psikosis toksik, gangguan fungsi hati, kejang Flu syndrome, gangguan gastrointestinal, urine berwarna merah, gangguan fungsi hati, trombositopeni, demam, skin rash, sesak nafas, anemia hemolitik
Pirazinamid (Z)
Gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi hati, gout arthritis
Streptomisin (S)
Nyeri ditempat suntikan, gangguan keseimbangan dan pendengaran, renjatan ana laktik, anemia, agranulositosis, trombositopeni Gangguan penglihatan, buta warna, neuritis perifer
Etambutol (E)
Sumber: Pusat Kedokteran dan Kesehatan POLRI, 2015
II.1.7.3 Panduan Obat Anti Tuberkulosis Panduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia terbagi menjadi: a. Kategori 1: 2(HRZE)/4(RH)3 Panduan ini diberikan untuk pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis, pasien baru TB paru terdiagnosis klinis serta pasien baru TB ekstra paru. Dosis OAT dengan fixed dose combination/kombinasi dosis tetap (KDT) kategori 1, dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Dosis Panduan OAT KDT Kategori 1 STATUS GIZI
Tahap Intensif tiap hari selama 56 hari RHZE (150/75/400/275)
30-37 kg 38-54 kg 55-70 kg
2 tablet 4 KDT 3 tablet 4 KDT 4 tablet 4 KDT 5 tablet 4 KDT
≥ 71 kg
Tahap lanjutan 3 kali seminggu selama 16 minggu RH (150/150) 2 tablet 2 KDT 3 tablet 2 KDT 4 tablet 2 KDT 5 tablet 2 KDT
Sumber: Pusat Kedokteran dan Kesehatan POLRI, 2015
b. Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3) Panduan OAT kategori 2 diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati sebelumnya, seperti pasien kambuh, pasien gagal pada pengobatan dengan OAT kategori 1 sebelumnya dan pasien yang diobati kembali setelah putus berobat. Dosis OAT dengan fixed dose combination/kombinasi dosis tetap (KDT) kategori 2, dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Dosis Panduan OAT KDT Kategori 2 STATUS GIZI
Tahap intensif setiap hari RHZE (150/75/400/275) + S
Tahap lanjutan 3 kali seminggu RH (150/150) + E (400)
30-37 kg
38-54 kg
55-70 kg
≥ 71 kg
Selama 56 hari
Selama 28 hari
Selama 20 minggu
2 tab 4 KDT + 500 mg S inj. 3 tab 4 KDT + 750 mg S inj. 4 tab 4 KDT +1000 mg S inj. 5 tab 4 KDT +1000 mg S inj.
2 tab 4 KDT
2 tab 2 KDT + 2 tab E
3 tab 4 KDT
3 tab 2 KDT + 3 tab E
4 tab 4 KDT
4 tab 2 KDT + 4 tab E
5 tab 4 KDT (> do maks)
5 tab 2 KDT + 5 tab E
Sumber: Pusat Kedokteran dan Kesehatan POLRI, 2015
II.1.8 Kesembuhan Pasien yang dikatakan sembuh apabila telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap atau menjalani masa pengobatan di fase intensif dan lanjutan dan telah melakukan pemeriksaan ulang dahak (follow up) paling sedikit 2 kali berturut-turut sebelum fase lanjutan berakhir atau pada bulan kelima dan hasilnya negatif (Kholifah, 2009). Pada pemeriksaan radiologis x-ray pada dada pasien TB paru yang sudah sembuh, akan ditemukan penipisan dinding kavitas di kiri atas, penebalan apeks pleura serta bronkiektasis (Bhalla, 2015).
DAFTAR PUSTAKA Bhalla, AS 2015, “Chest Tuberculosis: Radiological Review and Imaging Recommendations”, Indian Journal Radiol Imaging 25(3), diakses tanggal 1 Februari 2018, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4531444/
Dinas Kesehatan DKI Jakarta, 2016, Profil Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Jakarta, diakses
tanggal
12
Agustus
2018,
http://www.depkes.go.id/resources/download/profil/PROFIL_KES_PROVIN SI_2016/11_DKI_Jakarta_2016.pdf Keliat, EN, Alwinsyah A, dan Jamaluddin 2016, Diagnosis Tuberkulosis, Universitas Sumatera
Utara,
hlm.14,
diakses
tanggal
30
januari
2018
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/63515/078%20.pdf?se quence=1 Kementerian Kesehatan RI, 2014, Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, Jakarta,
diakses
tanggal
22
November
2017,
http://www.tbindonesia.or.id/opendir/Buku/bpn_p-tb_2014.pdf Kementerian Kesehatan RI, 2016, InfoDatin: Tuberkulosis Temukan Obati Sampai Sembuh,
Jakarta,
diakses
tanggal
22
November
2017,
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin_tb. pdf Kementerian Kesehatan RI, 2016, Petunjuk Teknis Manajemen dan Tatalaksana TB Anak,
Jakarta,
diakses
tanggal
24
November
2017,
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin_tb. pdf Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011, Konsensus TB: Pedoman Diagnosa dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia, Jakarta, diakses tanggal 5 Desember 2017, https://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html Pusat Kedokteran dan Kesehatan POLRI, 2015, Panduan Pengendalian Tuberkulosis (TB) dengan Strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) di Fasilitas Kesehatan POLRI, Jakarta, diakses tanggal 8 Januari 2018, http://www.tbindonesia.or.id/tbidcnt/uploads/2017/02/Buku-PengendalianTB-Dengan-Strategi-DOTS-di-Fasilitas-Kesehatan-POLRI.pdf
Ruswanto, B 2010, Analisis Spasial Sebaran Kasus Tuberkulosis Paru Ditinjau dari Faktor Lingkungan Dalam dan Luar Rumah di Kabupaten Pekalongan, Disertasi Universitas Diponegoro Semarang, hlm.17, diakses tanggal 2 November
2017,
http://eprints.undip.ac.id/23875/1/BAMBANG_RUSWANTO.pdf Sitompul, AI 2013, Prevalensi dan Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru Medan Tahun 2012, hlm.22, diakses tanggal 1
Februari
2018,
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/40165/Chapt;jsessioni d=5710CA5238F78208C9E3FDE552474D21?sequence=4 Yuwono, A dan Soeroto 2012, Tuberkulosis: Kompendium Tatalaksana Penyakit Respirasi & Kritis Paru, Jilid I, Perpari