LONG CASE
KEJANG PARSIAL
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Saraf Di RSUD Panembahan Senopati Bantul
Diajukan Kepada Yth: dr. Rita Fitriani, Sp.S Diajukan Oleh : Dea Karima Purbohadi 20174011121 SMF ILMU PENYAKIT SARAF PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL 2019
LEMBAR PENGESAHAN
LONGCASE KEJANG PARSIAL
Disusun oleh : Dea Karima Purbohadi 20174011121
Telah disetujui dan dipresentasikan Pada Maret 2019
Mengetahui, Dokter Pembimbing
dr. Rita Fitriani, Sp.S
BAB I LAPORAN KASUS I.
II.
IDENTITAS PASIEN Nama
: Bp. S
Jenis Kelamin
: Laki-Laki
Umur
: 59 tahun
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Pensiun
Status
: Menikah
Alamat
: Srandakan, Bantul
No. Rekam Medik
: 51-99-05
Tanggal Masuk RS
: 4 Maret 2019
ANAMNESIS Anamnesis diperoleh secara autoanamnesis pada:
Tanggal : 5 Maret 2019
Tempat
: Bangsal Flamboyan
A. Keluhan Utama Tangan kiri bergerak sendiri secara tiba tiba sejak sore hari
B. Riwayat Penyakit Sekarang\ Pasien datang diantar oleh istrinya ke igd pukul 20:30 dengan keluhan tangan kiri yang bergerak sendiri secara tiba tiba pada sejak sore hari. Keluhan juga disertai dengan pusing yang dirasakan pada saat yang sama. Pusing yang dirasakan cekot cekot disertai dengan mual mual. Demam dan muntah disangkal.
C. Riwayat Penyakit Sebelumnya
Pasien memiliki riwayat penyakit diabetes mellitus sejak + 30 tahun yang lalu dengan pengobatan rutin metformin 3x1 dan insulin 2x1. Pasien juga
memiliki riwayat trauma + 2 tahun yang lalu, terjatuh dari motor dan tidak menggunakan helm.
D. Riwayat Keluarga Tidak ada anggota keluarga pasien yang memiliki riwayat penyakit serupa, darah tinggi ataupun kencing manis.
E. Riwayat Personal Sosial, Ekonomi dan Pribadi Pasien saat ini sehari-hari hanya di rumah tinggal bersama istri. Menu makan pasien juga tidak diatur. Pasien jarang berolahraga. Pasien tidak merokok, mengkonsumsi alkohol maupun obat-obatan terlarang. III.
PEMERIKSAAN FISIK Tanggal Pemeriksaan
: 5 Maret 2019
Tempat Pemeriksaan
: Bangsal Flamboyan
A. Status Generalis Keadaan Umum
: Sakit Sedang
Tinggi Badan
: 168 cm
Berat Badan
: 60 kg
Status Gizi
: Baik
Tanda Vital - Suhu Tubuh
: 36.0oC (per axilla)
- Tekanan Darah
: 130/70
- Nadi
: 80 x/menit, regular
- Laju Nafas
: 20 x/menit, reguler
B. Status Internus - Kepala/leher
: Normosefali, deformitas (-), bengkak (-) : Pembesaran KGB -/: Pembesaran kelenjar tiroid -/-
- Mata
: Reflek cahaya +/+ : Konjungtiva anemis -/: Sklera ikterik -/: Pupil isokor, 3mm/3mm
- Telinga/hidung
: Deformitas (-), nyeri (-), sekret (-)
: Septum nasi ditengah - Mulut/faring
: Mukosa tidak pucat, hiperemis (-) : Tonsil T1/T1 : Uvula ditengah
- Thorax Paru Inspeksi
: Bentuk dada normal dan simetris : Gerak napas tertinggal (-)
Palpasi
: Tactile fremitus simetris, sama kuat : Ekspansi normal
Perkusi
: Bunyi sonor pada semua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler, wheezing -/-, ronki -/ Jantung Inspeksi
: Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi
: Iktus kordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi
: Pekak, batas jantung normal
Auskultasi : S1/S2 normal, (-) murmur, (-) gallop - Abdomen Inspeksi
: Cembung, bekas luka (-)
Auskultasi : Bising usus normal, bruits (-) Perkusi
: Timpani
Palpasi
: Nyeri tekan epigastrik (-) : Hepatomegali (-), splenomegali (-)
- Punggung
: Nyeri punggung bawah (-)
- Ekstremitas
: Akral hangat : Deformitas (-), edema (-) : CRT <2 detik
C. Status Neurologis Kesadaran
: Compos Mentis
GCS
: E4 M6 V5
Nervus kranialis - N. I
: Normal
- N. II
: Visus 6/6
: Lapang pandang tidak dilakukan - N.III, IV, VI : Ptosis -/: Pupil 3mm/3mm, bulat, isokor : Reflex cahaya langsung +/+ : Reflex cahaya tidak langsung +/+ : Gerak bola mata bebas ke segala arah - N. V
: motorik
: Menggigit normal : Gerakan membuka mulut normal : Gerakan rahang normal
: sensorik
: Refleks bersin normal : Refleks masseter normal : Refleks zygomaticus normal : Refleks kornea normal
- N. VII
: Sikap mulut saat istirahat normal, deviasi (-) : Mengangkat alis simetris : Mengerutkan dahi simetris : Menyeringai simetris : Kembung pipi simetris : Pengecapan 2/3 anterior tidak dilakukan
- N. VIII n. koklearis
: Gesekan jari normal : Tes rinne tidak dilakukan : Tes webber tidak dilakukan : Tes swabach tidak dilakukan
n. vestibularis - N. IX, X
: Nistagmus -/-
: Arkus faring simetris : Uvula ditengah : Disfonia (-) : Disfagia (-)
- N. XI
: Angkat bahu normal : Memalingkan kepala normal
- N. XII
: Deviasi lidah (-) : Atrofi (-) : Kekuatan lidah normal
Motorik - Trofi
- Tonus
- Kekuatan
- Refleks fisiologis
Eutrofi
eutrofi
Eutrofi
eutrofi
Normotonus
normotonus
Normotonus
normotonus
5
4
5
5
: Bisep +/: Patella +/+ : Trisep +/: Achiles +/+
- Reflex patologis
: Babinski -/: Chaddock -/: Gordon -/: Oppenheim -/: Schaffer -/: Hoffman Trommer -/-
Sensorik - Ekstremitas atas
: Raba +/+ : Nyeri +/+ : Suhu +/+ : Propioseptif +
- Ekstremitas bawah
: Raba +/+ : Nyeri +/+ : Suhu +/+ : Propioseptif +
Saraf otonom - Miksi
: Normal
- Defekasi
: Normal
- Sekresi keringat
: Normal
Koordinasi dan Keseimbangan - Tes tunjuk hidung
: Normal
- Tes tumit-lutut
: Normal
- Disdiadokokinesis
: Normal
- Tes Romberg
: Tampak Kelainan pada saat mata ditutup
Fungsi Luhur
: Normal
Tanda rangsang meningeal
IV.
- Kaku kuduk
: (-)
- Lassegue
: (-)
- Kernig
: (-)
- Brudzinski I
: (-)
- Brudzinski II
: (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG Tes lab (5 Maret 2019) Parameter HEMATOLOGI Hemoglobin Leukosit Eritosit Trombosit Hematokrit Eosinofil Basofil Batang Segmen Limfosit Monosit FUNGSI HATI SGOT SGPT
Hasil
Nilai Rujukan
9,9 12,94 3.57 545 27,4 4 1 0 76 15 4
12,0 – 16,0 gr/dL 4 – 11 ribu/uL 4,5 – 5,5 ribu/uL 150 – 450 ribu/uL 36 – 46 ribu/uL 2–4% 0–1% 2–5% 51 – 67 % 20 – 35 % 4–8%
10 11
<37 <41
FUNGSI GINJAL Ureum Kreatinin DIABETES GDS ELEKTROLIT Natrium Kalium Klorida PROFIL LIPID Kolesterol total LDL HDL Trigliserid
59 1,40
17-43 0.90-1.30
542 Q 122,2.0 5,14 89,1 Q 204 138 21 211
80 – 124 Q 137-145 3.5-5.1 98-106 Q
HASIL LAB URINE Parameter URINALISA Warna Kekeruhan Reduksi Bilirubin Keton Urin BJ Darah Samar pH Protein Urobilinogen Nitrit Lekosit Esterase SEDIMEN URIN Eritrosit Lekosit Sel Epitel Kristal Ca Oksalat Asam Urat Amorf Silinder Eritrosit Leukosit Granular
Hasil
Nilai Rujukan
Kuning Jernih Negatip Negatip Negatip 1.015 Negatip 6.50 1+ 0.20 Negatip Negatip
Kuning Jernih Negatip Negatip Negatip 1.015 – 1.025 Negatip 5.00 – 8.50 Negatip 0.20 – 1.00 EU/dl Negatip Negatip
0–1 1–2 Positip
0 – 2/LPK 0 – 3/LPK Positip/LPK
Negatip Negatip Negatip
Negatip/LPK Negatip/LPK Negatip/LPK
0–1 1–2 Negatip
Negatip/LPK Negatip/LPK Negatip/LPK
Bakteri Lain – lain
Negatip -
Negatip/LPK -/LPK
- Foto thorax: Pulmo dan Cor dalam batas normal - Ct Scan: Tak tampak infark maupun perdarahan intracerebral maupun intracerebellar Adanya ischemia cerebri belum dapat disingkirkan
V.
RESUME Pasien datang diantar oleh istrinya ke igd pukul 20:30 dengan keluhan tangan kiri yang bergerak sendiri secara tiba tiba pada sejak sore hari. Keluhan juga disertai dengan pusing yang dirasakan pada saat yang sama. Pusing yang dirasakan cekot cekot disertai dengan mual mual. Demam dan muntah disangkal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
VI.
VII.
- Kesadaran
: Compos mentis
- GCS
: E4M6V5
- Sensorik
: propiosepsi nomal
- Koordinasi
: koordinasi normal
DIAGNOSIS Diagnosis klinis
: Kejang berulang
Diagnosis topis
: Kortikal
Diagnosis etiologis
:Kejang parsial sederhana e.c stroke non hemorraghic
DIAGNOSIS BANDING 1. Bangkitan Psychogenik 2. Gerak lnvolunter (Tics, headnodding, paroxysmalchoreoathethosisl dystonia, benign sleep myoclonus, paroxysmal torticolis, startle response, jitterness, dll.)
3. Hilangnya tonus atau kesadaran (sinkop, drop attacks, TIA, TGA, narkolepsi, attention deficit) 4. Gangguan respirasi (apnea, breath holding, hiperventilasi) 5. Gangguan perilaku (night terrors, sleepwalking, nightmares, confusion, sindroma psikotik akut) 6. Gangguan persepsi (vertigo, nyeri kepala, nyeri abdomen) 7. Keadaan episodik dari penyakit tertentu (tetralogy speels, hydrocephalic spells, cardiac arrhythmia, hipoglikemi, hipokalsemi, periodic paralysis, migren, dll) VIII.
TATALAKSANA Medikamentosa Neuro -
Inj. Diazepam ½-1A
-
Phenitoin drip 100 mg dalam Nacl 100 cc
-
Inj. Ondansetron 1A/8 jam
-
Inj. Citicolin 2A/12 jam
-
Aspilet 1x80 mg
-
Patral 3x1
UPD -
Ceftriaxone 1gr/12 jam
-
Novorapid sliding scale/4 jam 200-250: 5U 250-300: 10U >300: 15U
IX.
FOLLOW UP 1. Tanggal a. Subjektif
: 05 Maret 2019 : Sejak sore hari kemarin tangan kiri tidak bisa berhenti
bergerak. Pusing (+), mual berkurang. b. Objektif
: Keadaan umum Sedang : Kesadaran compos mentis : GCS E4M6V5
: Tanda vital (TD 130/70, Nadi 80x/menit, Laju napas 20x/menit, Suhu 36.0oC), GDS 211 c. Assessment : Partial seizure, SNH Planning
: Inj. Diazepam ½-1A - Phenitoin drip 100 mg dalam Nacl 100 cc - Inj. Ondansetron 1A/8 jam - Inj. Citicolin 2A/12 jam - Aspilet 1x80 mg - Patral 3x1
2. Tanggal a. Subjektif
: 06 Maret 2019 : Intensitas bergeraknya tangan kiri mulai sedikit
berkurang. Tangan kiri mulai bergerak kembali saat malam hari. Pusing (+), Mual (-) b. Objektif
: Keadaan umum baik : Kesadaran compos mentis : GCS E4M6V5 : Tanda vital (TD 130/70, Nadi 80x/menit, Laju napas 20x/menit, Suhu 36oC)
c. Assessment : Partial seizure, SNH Planning
: Inj. Diazepam ½-1A - Phenitoin drip 100 mg dalam Nacl 100 cc - Inj. Ondansetron 1A/8 jam - Inj. Citicolin 2A/12 jam - Aspilet 1x80 mg - Patral 3x1
3. Tanggal a. Subjektif
: 08 Maret 2019 : Intensitas bergeraknya tangan kiri mulai sedikit
berkurang. Tangan kiri mulai bergerak kembali saat malam hari. Pusing (+), Mual (-) b. Objektif
: Keadaan umum baik : Kesadaran compos mentis : GCS E4M6V5
: Tanda vital (TD 120/80, Nadi 80x/menit, Laju napas 20x/menit, Suhu 36oC) c. Assessment : Partial seizure, SNH Planning
: Inj. Diazepam ½-1A - Phenitoin drip 100 mg dalam Nacl 100 cc - Inj. Ondansetron 1A/8 jam - Inj. Citicolin 2A/12 jam - Aspilet 1x80 mg - Patral 3x1
4. Tanggal a. Subjektif
: 08 Maret 2019 : Intensitas bergeraknya tangan kiri mulai berkurang.
Pusing (-), Mual (-) b. Objektif
: Keadaan umum baik : Kesadaran compos mentis : GCS E4M6V5 : Tanda vital (TD 120/80, Nadi 80x/menit, Laju napas 20x/menit, Suhu 36oC)
c. Assessment : Partial seizure, SNH Planning
: Inj. Diazepam ½-1A - Phenitoin drip 100 mg dalam Nacl 100 cc - Inj. Ondansetron 1A/8 jam - Inj. Citicolin 2A/12 jam - Aspilet 1x80 mg - Patral 3x1
5. Tanggal a. Subjektif
: 09 Maret 2019 : Intensitas bergeraknya tangan kiri mulai berkurang.
Pusing (-), Mual (-) b. Objektif
: Keadaan umum baik : Kesadaran compos mentis : GCS E4M6V5 : Tanda vital (TD 120/80, Nadi 80x/menit, Laju napas 20x/menit, Suhu 36oC)
c. Assessment : Partial seizure, SNH
Planning
: Inj. Diazepam ½-1A - Phenitoin drip 100 mg dalam Nacl 100 cc - Inj. Ondansetron 1A/8 jam - Inj. Citicolin 2A/12 jam - Aspilet 1x80 mg
X.
PROGNOSIS Ad vitam
: ad bonam
Ad functionam : ad bonam Ad sanationam : ad bonam
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
I. PENDAHULUAN Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yaitu kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan paroksimal. Terdapat dua kategori dari kejang epilepsi yaitu kejang fokal (parsial) dan kejang umum. Kejang fokal terjadi karena adanya lesi pada satu bagian dari cerebral cortex, di mana pada kelainan ini dapat disertai kehilangan kesadaran parsial. Sedangkan pada kejang umum, lesi mencakup area yang luas dari cerebral cortex dan biasanya mengenai kedua hemisfer cerebri. Kejang mioklonik, tonik, dan klonik termasuk dalam epilepsi umum (Hauser, S.L. 2010).
II. ETIOLOGI Etiologi dari epilepsi adalah multifaktorial, tetapi sekitar 60 % dari kasus epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti atau yang lebih sering kita sebut sebagai kelainan idiopatik. Terdapat dua kategori kejang epilepsi yaitu kejang fokal dan kejang umum. Secara garis besar, etiologi epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu (Hauser, S.L. 2010): : Kejang Fokal a. Trauma kepala
Kejang Umum Penyakit metabolik
b. Stroke
Reaksi obat
c. Infeksi
Idiopatik
d. Malformasi vaskuler e. Tumor
Faktor genetik Kejang fotosensitif
f. Displasia g. Mesial temporal sklerosis
III. PATOFISIOLOGI KEJANG Dalam sistem saraf pusat terdapat neurotransmiter yang bersifat eksitasi dan inhibisi. Neurotransmiter eksitasi utama di otak adalah glutamat, sedangkan neurotransmiter inhibisi utama adalah gamma aminobutyric acid (GABA). Dalam keadaan normal terjadi keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi sehingga potensial membran dipertahankan sebesar 70 mV. Pada keadaan dimana eksitasi meningkat, inhibisi menurun, atau terjadi keduanya, terjadi depolarisasi (potensial membran menjadi lebih positif). Jika potensial membran mencapai ambang tertentu, terjadilah lepas muatan listrik (Hauser, S.L. 2010). Dalam sistem eksitasi, glutamat berikatan dengan beberapa reseptor di postsinaps yaitu reseptor NMDA (NmethylDaspartate) dan non NMDA. Stimulasi berlebihan reseptor NMDA menyebabkan masuknya Ca2+ dalam jumlah besar. Masuknya Ca2+ dalam jumlah besar akan membuka kanal kation (kanal K+ dan Cl) yang akan menyebabkan terjadinya depolarisasi massif dan terlepasnya muatan listrik yang abnormal (Silbernagl, S. Lang F. 2000). Selain terganggunya sistem neurotransmitter di otak, kejang juga dapat diakibatkan oleh terganggunya pompa Na+/K+-ATPase. Potensial membrane setiap neuron dijaga tetap normal dengan adanya pompa Na+/K+ yang bekerja dengan menggunakan ATP. Berkurangnya ATP, seperti pada kondisi hipoksemia atau hipoglikemia, dapat mengganggu kerja pompa Na+/K+-ATPase dan hal tersebut dapat menyembabkan timbulnya depolarisasi sel (Silbernagl, S. Lang F. 2000).
IV. KLASIFIKASI EPILEPSI (Menurut ILAE tahun 1989): . Berhubungan dengan lokasi A. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan) 1. Benign childhood epilepsy with centro-temporal spikes 2. Childhood epilepsy with occipital paroxysmal 3. Primary reading epilepsy B. Simptomatik (dengan etiologi yang spesifik atau nonspesifik) 1. Chronic progressive epilepsia partialis continua of childhood (Kojewnikow's syndrome) 2. Syndromes characterized by seizures with specific modes of precipitation 3. Epilepsi lobus Temporal/ Frontal/ Parietal/ Ocipital C. Kriptogenik II. Umum A. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan) 1. Benign neonatal familial convulsions 2. Benign neonatal convulsions 3. Benign myoclonic epilepsy in infancy 4. Childhood absence epilepsy (pyknolepsy) 5. Juvenile absence epilepsy 6. Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal) 7. Epilepsies with grand mal (GTCS) seizures on awakening 8. Others generalized idiopathic epilepsies not defined above 9. Epilepsies with seizures precipitated by specific modes of activation
B. Kriptogenik / Simptomatik 1. West syndrome (infantile spasms, blitz Nick-Salaamm Krampfe) 2. Lennox-Gastaut syndrome 3. Epilepsy with myoclonic-astatic seizures 4. Epilepsy with myoclonic absence C. Simptomatik (dengan etiologi yang spesifik atau nonspesifik) 1. Dengan etiologi yang Nonspesifik a. Early myoclonic encephalopathy b. Early infantile epileptic encephalopathy with suppression burst c. Other symptomatic generalized epilepsies not defined above 2. Sindroma spesifik a. Bangkitan epilepsy yang disebabkan oleh penyakit lain III. Tidak dapat ditentukan apakah fokal atau umum 1. Campuran bangkitan umum dan fokal a. Isolated seizures atau isolated status epilepticus b. Seizures occurring only when there is an acute metabolic or toxic event, due to factors such as alcohol, drugs, eclampsia, nonketotic hyperglycemia
Klasifikasi Bangkitan Epilepsi: (menurut ILAE tahun 1981) I. Bangkitan Parsial (fokal) A. Parsial sederhana 1. Disertai gejala motorik 2. Disertai gejala somato-sensorik
3. Disertai gejala-psikis 4. Disertai gejata autonomik
B. Parsial kompleks 1. Disertai dengan gangguan kesadaran sejak awitan dengan atau tanpa automatism 2. Parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran dengan atau tanpa automatism C. Parsial sederhana yang berkembang menjadi umum sekunder 1. Parsial sederhana menjadi umum tonik klonik 2. Parsial kompleks menjadi umum tonik klonik 3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi umum tonik klonik II. Bangkitan Umum A. Bangkitan Lena (absence) & atypical absence B. Bangkitan Mioklonik C. Bangkitan Klonik D. Bangkitan Tonik E. Bangkitan Tonik-klonik F. Bangkitan Atonik III. Bangkitan yang tidak terklasifikasikan
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. EEG 2. Laboratorium: (atas indikasi) A. Untuk penapisan dini metabolik Perlu selalu diperiksa: 1. Kadar glukosa darah 2. Pemeriksaan elektrolit termasuk kalsium dan magnesium Atas indikasi 1. Penapisan dini racun/toksik 2. Pemeriksaan serologis 3. Kadar vitamin dan nutrient lainnya Perlu diperiksa pada sindroma tertentu 1. Asam Amino 2. Asam Organik 3. NH3 4. Enzim Lysosomal 5. Serum laktat 6. Serum piruvat B. Pada kecurigaan infeksi SSP akut Lumbat Pungsi Radiologi 1. Computed Tomography (CT) Scan kepala dengan kontras 2. Magnetic Resonance Imaging kepala (MRI) 3. Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) : merupakan pilihan utama untuk epilepsi 4. Functional Magnetic Resonance Imaging
5. Positron Emission Tomography (PET)
VI. DIAGNOSIS Diagnosis kejang parsial didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil pemeriksaan EEG atau radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka kejang parsial sudah dapat ditegakkan (Basuki, A., Dian, S. 2010). 1) Anamnesis Anamnesis merupakan langkah terpening dalam melakukan diagnosis epilepsi. Dalam melakukan anamnesis, harus dilakukan menyeluruh
secara
karena
cermat,
pemeriksa
rinci,
hampir
tidak
dan pernah
menyaksikan serangan yang dialami penderita. Anamnesis dapat memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, ensefalitis, malformasi vaskuler, meningitis, gangguan metabolik dan obat-obatan tertentu. Penjelasan dari pasien mengenai segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat penting dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi : a. Pola / bentuk serangan b. Lama serangan c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan d. Frekuensi serangan e. Faktor pencetus f. Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang g. Usia saat terjadinya serangan pertama h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan i. Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2)
Pemeriksaan fisik umum dan neurologis Pada pemeriksaan fisik umum dan neurologis, dapat dilihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan
epilepsi
seperti
trauma
kepala,
gangguan
kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus, infeksi telinga atau sinus. Sebab- sebab terjadinya serangan epilepsi harus dapat ditepis melalui pemeriksaan fisik dengan menggunakan
umur
dan
riwayat
penyakit
sebagai
pegangan. Untuk penderita anak-anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukan awal ganguan pertumbuhan otak unilateral. 3) Pemeriksaan penunjang a. Elektroensefalografi (EEG) Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan dan harus dilakukan
pada
semua
pasien
kejang
untuk
menegakkan diagnosis epilepsi. Terdapat dua bentuk kelaianan
pada EEG, kelainan fokal pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak. Sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal bila : 1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak 2)
Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal
Pemeriksaan
EEG
bertujuan
untuk
membantu
menentukan prognosis dan penentuan perlu atau tidaknya pengobatan dengan obat anti epilepsi (OAE). b. Neuroimaging Neuroimaging atau yang lebih kita kenal sebagai pemeriksaan radiologis bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG. Dua pemeriksaan
yang
sering
digunakan
Computer
Tomography Scan (CT Scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak
lebih
rinci.
MRI
bermanfaat
untuk
membandingkan hippocampus kiri dan kanan. VII. DIAGNOSIS BANDING 1. Bangkitan Psychogenik 2. Gerak lnvolunter (Tics, headnodding, paroxysmalchoreoathethosisl dystonia, benign sleep myoclonus, paroxysmal torticolis, startle response, jitterness, dll.) 3. Hilangnya tonus atau kesadaran (sinkop, drop attacks, TIA, TGA, narkolepsi, attention deficit) 4. Gangguan respirasi (apnea, breath holding, hiperventilasi) 5. Gangguan perilaku (night terrors, sleepwalking, nightmares, confusion, sindroma psikotik akut) 6. Gangguan persepsi (vertigo, nyeri kepala, nyeri abdomen) 7. Keadaan episodik dari penyakit tertentu (tetralogy speels, hydrocephalic spells, cardiac arrhythmia, hipoglikemi, hipokalsemi, periodic paralysis, migren, dll.
VIII. PENATALAKSANAAN Medikamentosa Pemilihan obat anti epilepsi (OAE) sangat tergantung pada bentuk bangkitan dan sindroma epilepsi, selain itu juga perlu dipikirkan kemudahan pemakaiannya. Penggunaan terapi tunggal dan dosis tunggal menjadi pilihan utama. Kepatuhan pasien juga ditentukan oleh harga dan efek samping OAE yang timbul (Guidelines and Protocols Advisory Committe., 2010). Antikonvulsan Utama 1. Fenobarbital : dosis 2-4 mg/kgBB/hari 2. Phenitoin : 5-8 mg/kgBB/hari 3. Karbamasepin : 20 mg/kgBB/hari 4. Valproate : 30-80 mg/kgBB/hari Keputusan pemberian pengobatan setelah bangkitan pertama dibagi dalam 3 kategori: 1. Definitely treat (pengobatan perlu dilakukan segera) Bila terdapat lesi struktural, seperti : a. Tumor otak b. AVM c. Infeksi : seperti abses, ensefalitis herpes Tanpa lesi struktural : a. Terdapatnya riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orang tua) b. EEG dengan gambaran epileptik yang jelas c. Riwayat bangkitan simpomatik d. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi SSP e. Status epilepstikus pada awitan kejang 2. Possibly treat (kemungkinan harus dilakukan pengobatan) Pada bangkitan yang tidak dicetuskan (diprovokasi) atau tanpa disertai faktor resiko diatas
3. Probably not treat (walaupun pengobatan jangka pendek mungkin diperlukan) a. Kecanduan alkohol b. Ketergantungan obat obatan c. Bangkitan dengan penyakit akut (demam tinggi, dehidrasi, hipoglikemia) d. Bangkitan segera setelah benturan di kepala e. Sindroma epilepsi spesifik yang ringan, seperti kejang demam, BECT f. Bangkitan yang diprovokasi oleh kurang tidur
Pemilihan OAE berdasarkan Tipe Bangkitan Epilepsi (Guidelines and Protocols
Advisory Committe., 2010): Tipe Bangkitan Bangkitan (sederhana kompleks)
OAE Lini Pertama
OAE Lini Kedua
parsial Fenitoin, karbamasepin Acetazolamide, atau (terutama untuk CPS), clobazam, clonazepam, asam valproat ethosuximide, felbamate, gabapentin, lamotrigine, levetiracetam, oxcarbazepine, tiagabin, topiramate, vigabatrin, phenobarbital, pirimidone
Bangkitan lena
Asam valproat, Acetazolamide, ethosuximide (tidak clobazam, clonazepam, tersedia di Indonesia) lamotrigine, phenobarbital, pirimidone
Bangkitan mioklonik
Asam valproat
Clobazam, clonazepam, ethosuximide, lamotrigine, phenobarbital, pirimidone, piracetam
Penghentian OAE: dilakukan secara bertahap setelah 2-5 tahun pasien bebas kejang, tergantung dari bentuk bangkitan dan sindroma epilepsi yang diderita pasien. Penghentian OAE dilakukan secara perlahan dalam beberapa bulan.
IX. PROGNOSIS Prognosis Kejang Parsial biasanya bagus. Remisi dapat terjadi spontan dalam 1 minggu, meskipun beberapa kasus tidak terjadi. Dengan sekali pengobatan tingkat rekurensi sekitar 10-25%. (NSW Department of Health ., 2009).
BAB III PEMBAHASAN Diagnosis pada pasien ini adalah:
Diagnosis klinis: Partial seizure
Diagnosis Topis: Kortikal
Diagnosis Etiologi: SNH
Diagnosis tersebut ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan: Bp. S berusia 59 tahun dalam kasus ini, pasien mengalami kejang parsial dengan generalisasi sekunder. Salah satu penyebab kejang pada pasien dapat disebabkan oleh adanya proses desak ruang (space occupying process/SOP). SOP merupakan proses yang meluas atau menempati ruang dalam otak, yang termasuk diantaranya tumor, hematoma dan abses. Cranium merupakan suatu tempat yang kaku dengan volume yang terfiksasi oleh karena itu proses desak ruang tersebut akan meningkatkan tekanan intracranial. Posisi tumor dalam otak dapat memberi pengaruh yang dramatis pada tanda-tanda dan gejala. Contohnya suatu tumor atau infark dapat menekan dan menyumbat aliran keluar dari cairan serebrospinal atau langsung menekan vena-vena besar menyebabkan peningkatan tekanan intracranial dengan cepat. Tanda dan gejala akibat proses desak ruang juga tergantung pada terjadinya gangguan dalam otak serta derajat kerusakan jaringan saraf yang ditimbulkan oleh proses desak ruang (Hauser, S.L., 2010). Gangguan neurologis pada tumor, infark maupun ischemia intracranial biasanya disebabkan oleh dua faktor yaitu gangguan fokal yang akan menimbulkan gejala fokal dan gangguan umum yang akan menimbulkan gejala umum. Gejala umum timbul akibat meningkatnya tekanan intracranial. Nyeri kepala merupakan gejala umum yang paling sering muncul (30-40%) pada pasien dengan tumor intracranial. Mual dan muntah pada kasus tumor intracranial juga dapat timbul sebagai akibat dari meningkatnya tekanan intracranial. Gejala fokal timbul akibat adanya tumor maupun
infark dan ischemia itu sendiri. Infark dan Ischemia pasca stroke pada lokasi yang berbeda akan menimbulkan karakteristik gejala yang berbeda-beda. Kejang sebagai gejala fokal paling sering terjadi (pada sepertiga pasien) dengan tumor intracranial dan Stroke (Basuki, A., Dian, S. 2010). Setelah kejang, pasien mengalami kelemahan anggota gerak kiri. Keluhan kelemahan pada anggota gerak ini disebut
dengan
parese. Parese (kelemahan)
merupakan berkurangnya kekuatan otot sehingga gerak volunter sukar tapi masih bisa dilakukan walaupun dengan gerakan yang terbatas. Keluhan pada pasien terjadi pada anggota gerak sisi kiri sehingga disebut dengan hemiparese sinistra. Hemiparese yang terjadi pada kasus ini dapat disebabkan oleh adanya (Silbernagl, S. Lang, F. 2000): 1) Penyakit cerebrovascular yaitu stroke, 2) Bagian dari gejala fokal akibat tumor intracranial, ataupun Kelemahan anggota gerak yang bersifat reversible dan transient setelah serangan kejang (post-ictal paraese) yang disebut Todd’s Paralysis. Todd’s Paralysis pertama kali dijelaskan oleh Robert Bentley Todd pada tahun 1854. Todd’s Paralysis (Todd’s Parese/Post-ictal parese/Hemiplegia epileptique) didefinisikan sebagai kondisi abnormalitas motorik yang terjadi setelah bangkitan kejang dan dapat bervariasi dari kelemahan (parese) sampai kelumpuhan (paralysis). Beberapa literature lain menyebutkan bahwa abnormalitas tidak hanya terjadi pada fungsi motoric saja namun dapat pula menyebabkan gangguan fungsi sensorik, otonom, kognitif atau bahkan sampai menyebabkan penurunan kesadaran. Angka kejadian Todd’s Paralysis sangat kecil, yaitu terjadi pada sekitar 6% dari pasien yang mengalami kejang tonik klonik. Durasi Todd’s Paralysis berkisar antara 30 menit sampai 36 jam dan durasi tersebut tidak dipengaruhi oleh durasi atau derajat keparahan kejang. Literature lain menyebutkan bahwa onset parese atau paralysis dapat memanjang terutapa pada pasien yang memiliki lesi structural, seperti tumor otak atau stroke. Etiopatogenensis Todd’s Paralysis masih belum jelas, namun ada hipotesis yang menyebutkan bahwa kelelahan neuronal sebagai akibat dari kondisi hipoksia atau kurangnya ATP dan/atau adanya proses metabolism yang tidak efisien pada daerah otak dengan focus kejang ataupun penyakit vascular yang mendasari (Degirmenci, Y. Kececi, H. 2016).
Pemberian terapi pada pasien kejang parsial yang utama menggunakan antikonvulsan berupa (Guidelines and Protocols Advisory Committe., 2010):
Tipe Bangkitan Bangkitan (sederhana kompleks)
OAE Lini Pertama
OAE Lini Kedua
parsial Fenitoin, karbamasepin Acetazolamide, atau (terutama untuk CPS), clobazam, clonazepam, asam valproat ethosuximide, felbamate, gabapentin, lamotrigine, levetiracetam, oxcarbazepine, tiagabin, topiramate, vigabatrin, phenobarbital, pirimidone
Bangkitan lena
Asam valproat, Acetazolamide, ethosuximide (tidak clobazam, clonazepam, tersedia di Indonesia) lamotrigine, phenobarbital, pirimidone
Bangkitan mioklonik
Asam valproat
Clobazam, clonazepam, ethosuximide, lamotrigine, phenobarbital, pirimidone, piracetam
Pada pasien ini sudah menggunakan antikonvulsan berupa : Inj. Diazepam ½-1A Phenitoin drip 100 mg dalam Nacl 100 cc Hal ini sesuai dengan guideline diatas untuk menggunakan fenitoin sebagai lini pertama pada bangkitan parsial sederhana maupun kompleks. Tambahan diazepam bisa digunakan sebagai muscle relaxant namun harus diperhatikan pemberiannya karena dapat menyebabkan depresi pernafasan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hauser, S.L. Harrison’s Neurology in Clinical Medicine 17th edition. 2010. San Fransisco: McGraw- Hill. 2. Basuki, A., Dian, S. Neurology in daily practice. 2010. Bandung: Bagian Ilmu Penyakit Saraf Universitas Padjajaran. 3. Silbernagl, S. Lang, F. Color Atlas of Pathophysiology. 2000. Thieme. 4. Degirmenci, Y. Kececi, H. Prolonged Todd Paralysis: A Rare Case of Post-ictal Motor Phenomenon. Journal of Neurology and Neuroscience. Vol.7, no.3. 2016. 5. Guidelines and Protocols Advisory Committe. Febrile Seizure. British Columbia Medical Association. 2010. 6. Children and Infants with Seizures-Acute Management Clinical Guidelines. NSW Department of Health. 2009.