Lapkas Stroke Hemoragik Edit 2.docx

  • Uploaded by: Tirsa Sirupa
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lapkas Stroke Hemoragik Edit 2.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 8,125
  • Pages: 49
BAB I PENDAHULUAN

Menurut World Health Organization (WHO) stroke adalah manifestasi klinik dari gangguan fungsi serebral, baik fokal maupun global, yang berlangsung dengan cepat dan lebih dari 24 jam atau berakhir dengan kematian tanpa ditemukannya penyakit selain daripada gangguan vaskular. Berdasarkan kelainan patologisnya, stroke dapat dibedakan menjadi dua, yaitu stroke hemoragik dan stroke non hemoragik (stroke iskemik).1 Setiap tahun di Amerika Serikat, sekitar 795.000 orang mengalami stroke yang baru atau berulang. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa sekitar 87% dari stroke di Amerika Serikat ialah iskemik, 10% sekunder untuk perdarahan intraserebral, dan lainnya 3% mungkin menjadi sekunder untuk perdarahan subaraknoid.2,3 Di Indonesia penyakit ini menduduki posisi ketiga setelah jantung dan kanker. Sebanyak 28,5% penderita meninggal dunia dan sisanya menderita kelumpuhan sebagian atau total. Hanya 15% saja yang dapat sembuh total dari serangan stroke dan kecacatan.4 Stroke adalah penyakit serebrovaskular yang sering ditemukan di negara maju, saat ini juga banyak terdapat di negara berkembang salah satunya di negara Indonesia. Satu diantara enam orang di dunia akan terkena stroke. Masalah stroke di Indonesia menjadi semakin penting karena di Asia menduduki urutan pertama dengan jumlah kasusnya yang semakin banyak. Penyakit stroke merupakan salah satu dari penyakit tidak menular yang masih menjadi masalah kesehatan yang penting di Indonesia. Seiring dengan semakin meningkatnya morbiditas dan mortalitas dalam waktu yang bersamaan, dimana di Indonesia peningkatan kasus dapat berdampak negatif terhadap ekonomi dan produktivitas bangsa, karena pengobatan stroke membutuhkan waktu lama dan memerlukan biaya yang besar.5 Pada laporan kasus ini akan dibahas seorang pasien dengan stroke hemoragik.

1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. DEFINISI STROKE DAN STROKE HEMORAGIK Menurut World Health Organization (WHO), stroke adalah sindroma klinis yang berkembang cepat akibat gangguan otak fokal maupun global dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa ada penyebab lain yang jelas selain kelainan vaskular.1 Stroke mengalami peningkatan signifikan pada masyarakat seiring dengan perubahan pola makan, gaya hidup dan peningkatan stressor yang cukup tinggi. Peningkatan jumlah penderita tidak saja menjadi isu yang bersifat regional akan tetapi sudah menjadi isu global.6 Stroke merupakan penyakit atau gangguan fungsional otak berupa kelumpuhan saraf (deficite neurologis) akibat terhambatnya aliran darah ke otak (Junaidi, 2011). Menurut Ginsberg (2007) stroke adalah sindrom yang terdiri dari tanda atau gejala hilangnya fungsi sistem saraf pusat fokal atau global yang terjadi secara cepat dan mendadak (dalam menit atau pun detik) yang berlangsung lebih dari 24 jam atau menyebabkan kematian.7 Jadi, stroke merupakan gangguan fungsi saraf yang disebabkan oleh gangguan aliran darah pada otak yang dapat timbul secara mendadak dalam beberapa detik atau secara cepat dalam beberapa menit dan jam. Stroke hemoragik adalah stroke yang terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum mengalami ruptur sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid atau langsung ke dalam jaringan otak

2. EPIDEMIOLOGI

2

Stroke adalah penyebab kematian yang ketiga setelah penyakit jantung dan keganasan. Stroke diderita oleh ± 200 orang per 100.000 penduduk per tahunnya.

Stroke

merupakan

penyebab

utama

cacat

menahun.

Pengklasifikasiannya adalah 65-85% merupakan stroke non hemoragik (± 53% adalah stroke trombotik, dan 31% adalah stroke embolik) dengan angka kematian stroke trombotik ± 37%, dan stroke embolik ± 60%. Presentase stroke non hemoragik hanya sebanyk 15-35%.± 10-20% disebabkan oleh perdarahan atau hematom intraserebral, dan ± 5-15% perdarahan subarachnoid.Angka kematian stroke hemoragik pada jaman sebelum ditemukannya CT scan mencapai 70-95%, setelah ditemukannya CT scan mencapai 20-30%.

3. KLASIFIKASI STROKE Secara patologi stroke dibedakan menjadi sebagai berikut: 1) Stroke Iskemik Sekitar 80% sampai 85% stroke adalah stroke iskemik, yang terjadi akibat obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum. Klasifikasi stroke iskemik berdasarkan waktunya terdiri atas: a. Transient Ischaemic Attack (TIA): defisit neurologis membaik dalam waktu kurang dari 30 menit, b. Reversible Ischaemic Neurological Deficit (RIND): defisit neurologis membaik kurang dari 1 minggu c. Stroke In Evolution (SIE)/Progressing Stroke d. Completed Stroke. Beberapa penyebab stroke iskemik meliputi: 

Trombosis Aterosklerosis

(tersering);

Vaskulitis:

arteritis

temporalis,

poliarteritis nodosa; Robeknya arteri: karotis, vertebralis (spontan

3

atau traumatik); Gangguan darah: polisitemia, hemoglobinopati (penyakit sel sabit). 

Embolisme Sumber di jantung: fibrilasi atrium (tersering), infark miokardium, penyakit jantung rematik, penyakit katupjantung, katup prostetik, kardiomiopati iskemik; Sumber tromboemboli aterosklerotik di arteri: bifurkasio karotis komunis, arteri vertebralis distal; Keadaan hiperkoagulasi: kontrasepsi oral, karsinoma.



Vasokonstriksi



Vasospasme serebrum setelah PSA (Perdarahan Subarakhnoid).

Terdapat empat subtipe dasar pada stroke iskemik berdasarkan penyebab: lakunar, thrombosis pembuluh besar dengan aliran pelan, embolik dan kriptogenik (Dewanto dkk, 2009).

2) Stroke Hemoragik Stroke hemoragik, yang merupakan sekitar 15% sampai 20% dari semua stroke, dapat terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum mengalami ruptur sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subarakhnoid atau langsung ke dalam jaringan otak. Beberapa

penyebab

perdarahan

intraserebrum:

perdarahan

intraserebrum hipertensif; perdarahan subarakhnoid (PSA) pada ruptura aneurisma sakular (Berry), ruptura malformasi arteriovena (MAV), trauma; penyalahgunaan kokain, amfetamin; perdarahan akibat tumor otak; infark hemoragik; penyakit perdarahan sistemik termasuk terapi antikoagulan (Price, 2005). Menurut Arya (2011), stroke hemoragik dibagi menjadi dua kategori, yaitu: a. Perdarahan Intraserebral (PIS) 4

Perdarahan intraserebral disebabkan karena adanya pembuluh darah intraserebral yang pecah sehingga darah keluar dari pembuluh darah dan masuk ke dalam jaringan otak. Keadaan tersebut menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial atau intraserebral sehingga terjadi penekanan pada pembuluh darah otak sehingga menyebabkan penurunan aliran darah otak dan berujung pada kematian sel sehingga mengakibatkan defisit neurologi (Smeltzer & Bare, 2005). Perdarahan intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang primer berasal dari pembuluh darah dalam parenkim otak dan bukan disebabkan oleh trauma. Perdarahan ini banyak disebabkan oleh hipertensi dan penyakit darah seperti hemofilia (Pizon & Asanti, 2010). b. Pendarahan Subarakhnoid (PSA) Pendarahan subarakhnoid merupakan masuknya darah ke ruang subrakhnoid baik dari tempat lain (pendarahan subarakhnoid sekunder) atau sumber perdarahan berasal dari rongga subrakhnoid itu sendiri (pendarahan subarakhnoid) (Junaidi, 2011). Perdarahan subarakhnoidal (PSA) merupakan perdarahan

yang terjadi

masuknya darah ke dalam ruangan subarakhnoid (Pizon & Asanti, 2010).

4. ETIOLOGI STROKE HEMORAGIK Penyebab stroke hemoragik sangat beragam, yaitu: 

Perdarahan intraserebral primer (hipertensif)



Ruptur kantung aneurisma



Ruptur malformasi arteri dan vena



Trauma (termasuk apopleksi tertunda pasca trauma)



Kelainan perdarahan seperti leukemia, anemia aplastik, ITP, gangguan fungsi hati, komplikasi obat trombolitik atau anti koagulan, hipofibrinogenemia, dan hemofilia. 5



Perdarahan primer atau sekunder dari tumor otak.



Septik embolisme, myotik aneurisma



Penyakit inflamasi pada arteri dan vena



Amiloidosis arteri



Obat vasopressor, kokain, herpes simpleks ensefalitis, d i s e k s i a r t e r i vertebral, dan acute necrotizing haemorrhagic encephalitis

5. FAKTOR RESIKO STROKE Faktor yang berperan dalam meningkatkan resiko terjadinya stroke hemoragik dijelaskan dalam table berikut :

Faktor Resiko

Keterangan

Umur

Umur merupakan faktor risiko yang paling kuat untuk stroke. Sekitar 30% dari stroke terjadi sebelum usia 65; 70% terjadi pada mereka yang 65 ke atas. Risiko stroke adalah dua kali ganda untuk setiap 10 tahun di atas 55 tahun.

Hipertensi

Risiko stroke berkaitan dengan tingkat sistolik hipertensi. Hal ini berlaku untuk kedua jenis kelamin, semua umur, dan untuk resiko perdarahan, atherothrombotik, dan stroke lakunar, menariknya, risiko stroke pada tingkat hipertensi sistolik kurang dengan meningkatnya umur, sehingga ia menjadi kurang kuat, meskipun masih penting dan bisa diobati, faktor risiko ini pada orang tua.

Seks

Infark otak dan stroke terjadi sekitar 30% lebih sering pada laki-laki berbanding perempuan, perbedaan seks bahkan lebih tinggi sebelum usia 65.

Riwayat keluarga

Terdapat lima kali lipat peningkatan prevalensi stroke antara kembar monozigotik dibandingkan dengan pasangan kembar laki-laki dizigotik yang menunjukkan kecenderungan genetik untuk stroke. Pada 1913 penelitian kohort kelahiran Swedia menunjukkan tiga kali

6

lipat peningkatan kejadian stroke pada laki-laki yang ibu kandungnya meninggal akibat stroke, dibandingkan dengan laki-laki tanpa riwayat ibu yang mengalami stroke. Riwayat keluarga juga tampaknya berperan dalam kematian stroke antara populasi Kaukasia kelas menengah atas di California. Diabetes mellitus

Setelah faktor risiko stroke yang lain telah dikendalikan, diabetes meningkatkan risiko stroke tromboemboli sekitar dua kali lipat hingga tiga kali lipat berbanding orang-orang tanpa diabetes. Diabetes dapat mempengaruhi individu untuk mendapat iskemia serebral melalui percepatan aterosklerosis pembuluh darah yang besar, seperti arteri koronari, arteri karotid atau dengan, efek lokal pada mikrosirkulasi serebral.

Penyakit jantung

Individu dengan penyakit jantung dari jenis apa pun memiliki lebih dari dua kali lipat risiko stroke dibandingkan dengan mereka yang fungsi jantungnya normal.

Penyakit Arteri koroner

:

Indikator kuat kedua dari keberadaan penyakit difus vaskular aterosklerotik dan potensi sumber emboli dari thrombi mural karena miocard infarction.

Gagal Jantung kongestif, penyakit jantung hipertensi : Berhubungan dengan meningkatnya kejadian stroke Fibrilasi atrial : Sangat

terkait

dengan

stroke

emboli

dan

fibrilasi

atrial

karena penyakit jantung rematik; meningkatkan risiko stroke sebesar 17 kali.

Lainnya :

7

Berbagai lesi jantung lainnya telah dikaitkan dengan stroke, seperti prolaps katup mitral, patent foramen ovale, defek septum atrium, aneurisma septum atrium, dan lesi aterosklerotik dan trombotik dari ascending aorta. Merokok

Beberapa laporan, termasuk meta-analisis angka studi, menunjukkan bahwa merokok jelas menyebabkan peningkatan risiko stroke untuk segala

usia

dan

kedua jenis kelamin, tingkat risiko berhubungan dengan jumlah batang rokok yang dihisap, dan penghentian merokok mengurangi risiko, dengan resiko kembali seperti bukan perokok dalam masa lima tahun setelah penghentian. Peningkatan

Penigkatan viskositas menyebabkan gejala stroke ketika hematokrit

hematokrit

melebihi 55%. Penentu utama viskositas darah keseluruhan adalah dari

isi

sel

darah

merah;

plasma protein, terutamanya fibrinogen, memainkan peranan penting. Ketika meningkat viskositas hasil dari polisitemia, hyperfibrinogenemia, atau paraproteinemia, biasanya menyebabkan gejala umum, seperti sakit kepala, kelesuan, tinnitus, dan penglihatan kabur. Infark otak fokal dan oklusi vena retina jauh kurang umum, dan dapat mengikuti disfungsi trombosit akibat trombositosis. Perdarahan Intraserebral dan subarachnoid kadang-kadang dapat terjadi. Peningkatan

Tingkat fibrinogen tinggi merupakan faktor risiko untuk stroke

tingkat fibrinogen

trombotik. Kelainan sistem pembekuan darah juga telah dicatat,

dan kelainan

seperti antitrombin III dan kekurangan protein C serta protein S dan

system pembekuan

berhubungan dengan vena thrombotic.

Penyalahgunaan

Obat

obat

methamphetamines, norepinefrin, LSD, heroin, dan kokain.

yang

telah

berhubungan

dengan

stroke

termasuk

Amfetamin menyebabkan sebuah vaskulitis nekrosis yang dapat

8

mengakibatkan pendarahan petechial menyebar, atau fokus bidang iskemia dan infark. Heroin dapat timbulkan sebuah hipersensitivitas vaskular menyebabkan alergi . Perdarahan subarachnoid dan difarction otak telah dilaporkan setelah penggunaan kokain. Hiperlipidemia

Meskipun tingkat kolesterol tinggi telah jelas berhubungan dengan penyakit jantung koroner, mereka sehubungan dengan stroke kurang jelas. Peningkatan kolesterol tidak muncul untuk menjadi faktor risiko untuk aterosklerosis karotis, khususnya pada laki-laki di bawah 55

tahun.

Kejadian

hiperkolesterolemia

menurun

dengan

bertambahnya usia. Kolesterol berkaitan dengan perdarahan intraserebral atau perdarahan subarachnoid. Tidak ada hubungan yang jelas antara tingkat kolesterol dan infark lakunar. Kontrasepsi oral

Pil KB, estrogen tinggi yang dilaporkan meningkatkan risiko stroke pada wanita muda. Penurunan kandungan estrogen menurunkan masalah ini, tetapi tidak dihilangkan sama sekali. Ini adalah faktor risiko paling kuat pada wanita yang lebih dari 35 tahun . Mekanisme diduga meningkat koagulasi, karena stimulasi estrogen tentang produksi protein liver, atau jarang penyebab autoimun

Diet

Konsumsi alkohol

:

Ada peningkatan risiko infark otak, dan perdarahan subarakhnoid dikaitkan dengan penyalahgunaan alkohol pada orang dewasa muda. Mekanisme dimana etanol dapat menghasilkan stroke termasuk efek pada darah tekanan, platelet, osmolalitas plasma, hematokrit, dan selsel

darah

merah.

Selain

itu,

alkohol

bisa

menyebabkan

miokardiopati, aritmia, dan perubahan di darah aliran otak dan autoregulasi.

Kegemukan

:

9

Diukur dengan berat tubuh relatif atau body mass indexs, obesitas telah

secara

konsisten

meramalkan

berikutnya

stroke. Asosiasi dengan stroke dapat dijelaskan sebagian oleh adanya hipertensi dan diabetes. Sebuah berat relatif lebih dari 30% di atas rata-rata kontributor independen ke-atherosklerotik infark otak berikutnya. Infeksi

Infeksi meningeal dapat mengakibatkan infark serebral melalui pengembangan perubahan inflamasi dalam dinding pembuluh darah. Sifilis meningovaskular dan mucormycosis dapat menyebabkan arteritis otak dan infark.

Sirkadian dan

Variasi sirkadian dari stroke iskemik, puncaknya antara pagi dan

faktor musim

siang hari. Hal ini telah menimbulkan hipotesis bahwa perubahan diurnal fungsi platelet dan fibrinosis mungkin relevan untuk stroke. Hubungan antara variasi iklim musiman dan stroke iskemik telah didalihkan. Peningkatan dalam arahan untuk infark otak diamati di Iowa. Suhu lingkungan rata-rata menunjukkan korelasi negatif dengan kejadian cerebral infark di Jepang. Variasi suhu musiman telah berhubungan dengan resiko lebih tinggi cerebral infark dalam usia 40-64 tahun pada penderita yang nonhipertensif, dan pada orang dengan kolesterol serum bawah 160mg/dL.

6. PATOGENESIS STROKE HEMORAGIK A. Perdarahan Intraserebral Perdarahan intraserebral paling sering terjadi ketika tekanan darah tinggi kronis melemahkan arteri kecil, menyebabkannya robek. Penggunakan kokain atau amfetamin dapat menyebabkan tekanan darah dan perdarahan sementara tapi sangat tinggi. Pada beberapa orang tua, sebuah protein abnormal yang disebut amiloid terakumulasi di arteri otak. Akumulasi ini (disebut angiopati amiloid) melemahkan arteri dan dapat menyebabkan perdarahan.

10

Penyebab umum yang kurang termasuk kelainan pembuluh darah saat lahir, luka, tumor, peradangan pembuluh darah (vaskulitis), gangguan perdarahan, dan penggunaan antikoagulan dalam dosis yang terlalu tinggi. Pendarahan gangguan dan penggunaan antikoagulan meningkatkan resiko kematian dari perdarahan intraserebral.

B. Perdarahan Subaraknoid Perdarahan subaraknoid biasanya hasil dari cedera kepala. Namun, perdarahan karena cedera kepala menyebabkan gejala yang berbeda dan tidak dianggap sebagai stroke. Perdarahan subaraknoid dianggap stroke hanya jika terjadi secara spontan yaitu, ketika perdarahan tidak hasil dari kekuatan-kekuatan eksternal, seperti kecelakaan atau jatuh.

Sebuah perdarahan spontan

biasanya hasil dari pecahnya aneurisma mendadak di sebuah arteri otak, yaitu pada bagian aneurisma yang menonjol di daerah yang lemah dari dinding arteri itu. Aneurisma biasanya terjadi di percabangan arteri. Aneurisma dapat muncul pada saat kelahiran (bawaan), atau dapat berkembang kemudian, yaitu setelah bertahun-tahun dimana tekanan darah tinggi melemahkan dinding arteri. Kebanyakan perdarahan subaraknoid adalah hasil dari aneurisma kongenital. Mekanisme lain yang kurang umum adalah perdarahan subaraknoid dari pecahnya koneksi abnormal antara arteri dan vena (malformasi arteri) di dalam atau di sekitar otak. Sebuah malformasi arteri dapat muncul pada saat kelahiran, tetapi biasanya hanya diidentifikasi jika gejala berkembang. Jarang sekali suatu bentuk bekuan darah pada katup jantung yang terinfeksi, perjalanan (menjadi emboli) ke arteri yang memasok otak, dan menyebabkan arteri menjadi meradang. arteri kemudian dapat melemah dan pecah.

11

7. PATOFISIOLOGI STROKE HEMORAGIK Penghentian total aliran darah ke otak menyebabkan hilangnya kesadaran dalam waktu 15-20 detik dan kerusakan otak yang irreversibel terjadi setelah tujuh hingga sepuluh menit. Penyumbatan pada satu arteri menyebabkan gangguan di area otak yang terbatas (stroke). Mekanisme dasar kerusakan ini adalah selalu defisiensi energi yang disebabkan oleh iskemia. Perdarahan juga menyebabkan iskemia dengan menekan pembuluh darah di sekitarnya. Pembengkakan

sel,

pelepasan

mediator

vasokonstriktor,

dan

penyumbatan lumen pembuluh darah oleh granulosit kadang-kadang mencegah reperfusi, meskipun pada kenyataannya penyebab primernya telah dihilangkan. Kematian sel menyebabkan inflamasi, yang juga merusak sel di tepi area iskemik (penumbra). Gejala ditentukan oleh tempat perfusi yang terganggu, yakni daerah yang disuplai oleh pembuluh darah tersebut. Penyumbatan pada arteri serebri media

yang sering terjadi

menyebabkan kelemahan otot dan spastisitas kontralateral, serta defisit sensorik (hemianestesia) akibat kerusakan girus lateral presentralis dan postsentralis. Akibat selanjutnya adalah deviasi okular, hemianopsia, gangguan bicara motorik dan sensorik, gangguan persepsi spasial, apraksia, dan hemineglect. Penyumbatan arteri serebri anterior menyebabkan hemiparesis dan defisit sensorik kontralateral, kesulitan berbicara serta apraksia pada lengan kiri jika korpus kalosum anterior dan hubungan dari hemisfer dominan ke korteks motorik kanan terganggu. Penyumbatan bilateral pada arteri serebri anterior menyebabkan apatis karena kerusakan dari sistem limbik. Penyumbatan arteri serebri posterior menyebabkan hemianopsia kontralateral parsial dan kebutaan pada penyumbatan bilateral. Selain itu, akan terjadi kehilangan memori.

12

Penyumbatan arteri karotis atau basilaris dapat menyebabkan defisit di daerah yang disuplai oleh arteri serebri media dan anterior. Jika arteri koroid anterior tersumbat, ganglia basalis (hipokinesia), kapsula interna (hemiparesis), dan traktus optikus (hemianopsia) akan terkena. Penyumbatan pada cabang arteri komunikans posterior di talamus terutama akan menyebabkan defisit sensorik. Penyumbatan total arteri basilaris menyebabkan paralisis semua eksteremitas dan otot-otot mata serta koma. Penyumbatan pada cabang arteri basilaris dapat menyebabkan infark pada serebelum, mesensefalon, pons, dan medula oblongata. Efek yang ditimbulkan tergantung dari lokasi kerusakan:  Pusing, nistagmus, hemiataksia (serebelum dan jaras aferennya, saraf vestibular).  Penyakit Parkinson (substansia nigra), hemiplegia kontralateral dan tetraplegia (traktus piramidal).  Hilangnya sensasi nyeri dan suhu (hipestesia atau anastesia) di bagian wajah ipsilateral dan ekstremitas kontralateral (saraf trigeminus [V] dan traktus spinotalamikus).  Hipakusis (hipestesia auditorik; saraf koklearis), ageusis (saraf traktus salivarus), singultus (formasio retikularis).  Ptosis, miosis, dan anhidrosis fasial ipsilateral (sindrom Horner, pada kehilangan persarafan simpatis).  Paralisis palatum molle dan takikardia (saraf vagus [X]). Paralisis otot lidah (saraf hipoglosus [XII]), mulut yang jatuh (saraf fasial [VII]), strabismus (saraf okulomotorik [III], saraf abdusens [V]).  Paralisis pseudobulbar dengan paralisis otot secara menyeluruh (namun kesadaran tetap dipertahankan).

8. GEJALA KLINIS STROKE HEMORAGIK Gejala klinis stroke ada berbagai macam, diantaranya adalah ditemukan perdarahan intraserebral (ICH) yang dapat dibedakan secara klinis dari stroke 13

iskemik, hipertensi biasanya ditemukan, tingkat kesadaran yang berubah atau koma lebih umum pada stroke hemoragik dibandingkan dengan stroke iskemik. Seringkali, hal ini disebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Meningismus dapat terjadi akibat adanya darah dalam ventrikel. Defisit neurologis fokal. Jenis defisit tergantung pada area otak yang terlibat. Jika belahan dominan (biasanya kiri) terlibat, suatu sindrom yang terdiri dari hemiparesis kanan, kerugian hemisensory kanan, meninggalkan tatapan preferensi, bidang visual kana terpotong, dan aphasia mungkin terjadi. Jika belahan nondominant (biasanya kanan)

terlibat, sebuah sindrom

hemiparesis kiri, kerugian hemisensory kiri, preferensi tatapan ke kanan, dan memotong bidang visual kiri. Sindrom belahan nondominant juga dapat mengakibatkan pengabaian dan kekurangan perhatian pada sisi kiri. Jika cerebellum yang terlibat, pasien beresiko tinggi untuk herniasi dan kompresi batang otak. Herniasi bisa menyebabkan penurunan cepat dalam tingkat kesadaran, apnea, dan kematian. Tanda-tanda lain dari keterlibatan cerebellar atau batang otak antara lain: ekstremitas ataksia, vertigo atau tinnitus, mual dan muntah, hemiparesis atau quadriparesis, hemisensori atau kehilangan sensori dari semua empat anggota, gerakan mata yang mengakibatkan kelainan diplopia atau nistagmus, kelemahan orofaringeal atau disfagia, wajah ipsilateral dan kontralateral tubuh. a. Perdarahan Intraserebral Sebuah perdarahan intraserebral dimulai tiba-tiba. Di sekitar setengah dari jumlah penderita, serangan dimulai dengan sakit kepala parah, sering selama aktivitas. Namun, pada orang tua, sakit kepala mungkin ringan atau tidak ada. Gejala disfungsi otak menggambarkan perkembangan yang terus memburuk sebagai perdarahan. Beberapa gejala, seperti kelemahan, kelumpuhan, hilangnya sensasi, dan mati rasa, sering hanya mempengaruhi satu sisi tubuh.

Orang mungkin tidak dapat berbicara atau menjadi

bingung. Visi dapat terganggu atau hilang. Mata dapat menunjukkan arah

14

yang berbeda atau menjadi lumpuh. Mual, muntah, kejang, dan hilangnya kesadaran yang umum dan dapat terjadi dalam beberapa detik untuk menit. b. Perdarahan Subaraknoid Sebelum robek, aneurisma yang biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali menekan pada saraf atau kebocoran sejumlah kecil darah, biasanya sebelum pecah besar (yang menyebabkan sakit kepala), menghasilkan tanda-tanda peringatan, seperti berikut: 

Sakit kepala, yang mungkin luar biasa tiba-tiba dan parah (kadangkadang disebut sakit kepala halilintar)



Sakit pada mata atau daerah fasial



Penglihatan ganda



Kehilangan penglihatan tepi Tanda-tanda peringatan dapat terjadi menit ke minggu sebelum

pecahnya aneurisma. Individu harus melaporkan setiap sakit kepala yang tidak biasa ke dokter segera. Aneurisma yang pecah biasanya menyebabkan sakit kepala, tiba-tiba parah dan mencapai puncak dalam beberapa detik. Hal ini sering diikuti dengan kehilangan kesadaran singkat. Hampir setengah dari orang yang terkena meninggal sebelum mencapai rumah sakit. Beberapa orang tetap berada dalam koma atau tidak sadar dan sebagian lainnya bangun, merasa bingung, dan mengantuk. Dalam beberapa jam atau bahkan menit, penderita mungkin menjadi tidak responsif dan sulit untuk dibangunkan. Dalam waktu 24 jam, darah dan cairan serebrospinal di sekitar otak mengiritasi

lapisan

jaringan

yang

menutupi

otak

(meninges),

menyebabkan leher kaku serta sakit kepala terus, sering dengan muntah, pusing, dan nyeri pinggang. Sekitar 25% dari orang yang mengalami gejala-gejala yang mengindikasikan kerusakan pada bagian tertentu dari otak, seperti berikut: a. b.

Kelemahan atau kelumpuhan pada satu sisi tubuh (paling umum) Kehilangan sensasi pada satu sisi tubuh

15

c.

Kesulitan memahami dan menggunakan bahasa

Gangguan berat dapat berkembang dan menjadi permanen dalam beberapa menit atau jam. Demam adalah gejala umum selama 5 sampai 10 hari pertama. Sebuah perdarahan subaraknoid dapat menyebabkan beberapa masalah serius lainnya, seperti: 

Hydrocephalus: Dalam waktu 24 jam, darah dari perdarahan subaraknoid dapat membeku. Darah beku dapat mencegah cairan di sekitar otak (cairan serebrospinal) dari pengeringan seperti biasanya tidak.

Akibatnya, darah terakumulasi dalam otak, peningkatan

tekanan

dalam

tengkorak.

Hydrocephalus

mungkin

akan

menyebabkan gejala seperti sakit kepala, mengantuk, kebingungan, mual, dan muntah-muntah dan dapat meningkatkan risiko koma dan kematian. 

Vasospasme: Sekitar 3 sampai 10 hari setelah pendarahan itu, arteri di otak dapat kontrak (kejang), membatasi aliran darah ke otak. Kemudian, jaringan otak tidak mendapatkan oksigen yang cukup dan dapat mati, seperti pada stroke iskemik.

Vasospasm dapat

menyebabkan gejala mirip dengan stroke iskemik, seperti kelemahan atau hilangnya sensasi pada satu sisi

tubuh,

kesulitan

menggunakan atau memahami bahasa, vertigo, dan koordinasi terganggu. 

Pecah kedua: Kadang-kadang pecah kedua terjadi, biasanya dalam seminggu.

9. DIAGNOSIS DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG Diagnosis stroke dapat ditegakkan berdasarkan riwayat dan keluhan utama pasien. Beberapa gejala/tanda yang mengarah kepada diagnosis stroke antara lain: hemiparesis, gangguan sensorik satu sisi tubuh, hemianopia atau buta mendadak, diplopia. Vertigo, afasia, disfagia, disartria, ataksia, kejang atau penurunan kesadaran yang keseluruhannya terjadi secara mendadak.

16

Pada manifestasi perdarahan intraserebral, terdapat pembagian berdasarkan Luessenhop et al. Pembagian ini juga berguna dalam menentukan prognosis pada pasien stroke dengan perdarahan intraserebral.

Khusus untuk manifestasi perdarahan subaraknoid, pada banyak studi mengenai perdarahan subaraknoid ini dipakai sistem skoring untuk menentukan berat tidaknya keadaan perdarahan subaraknoid ini dan dihubungkan dengan keluaran pasien. [10] Sistem grading yang dipakai antara lain : 

Hunt & Hess Grading of Sub-Arachnoid Hemorrhage

Grade

Kriteria

I

Asimptomatik atau minimal sakit keoala atau leher kaku

II

Sakit kepala sedang hingga berat, kaku kuduk, tidak ada defisit neurologis

III

Mengantuk, kebingungan, atau gejala fokal ringan

17

Stupor, hemiparese sedang hingga berat, kadang ada gejala deselerasi

IV

awal Koma

V 

WFNS SAH grade WFNS grade

GCS Score

Major facal deficit

1

15

-

2

13-14

-

3

13-14

+

4

7-12

+ or -

5

3-6

+ or -

0

Sistem skoring pada no 1 dan 2 dipakai pada kasus SAH primer akibat rupturnya aneurisma. Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mendukung diagnosis stroke dan menyingkirkan diagnosis bandingnya. Laboratorium yang dapat dilakukan pada penderita stroke diantaranya adalah hitung darah lengkap, profil pembekuan darah, kadar elektrolit, dan kadar serum glukosa. Pemeriksaan pencitraan juga diperlukan dalam diagnosis. Pencitraan otak adalah langkah penting dalam evaluasi pasien dan harus didapatkan dalam basis kedaruratan. Pencitraan otak membantu dalam diagnosis adanya perdarahan, serta dapat menidentifikasi komplikasi seperti perdarahan intraventrikular, edem otak, dan hidrosefalus. Baik CT non kontras ataupun MRI otak merupakan pilihan yang dapat digunakan. CT non kontras otak dapat digunakan untuk membedakan stroke hemoragik dari stroke iskemik. Pencitraan ini berguna untuk membedakan stroke dari patologi intrakranial lainnya. CT non kontras dapat mengidentifikasi secara virtual hematoma yang berdiameter lebih dari 1 cm.

18

MRI telah terbukti dapat mengidentifikasi stroke lebih cepat dan lebih bisa diandalkan daripada CT scan, terutama stroke iskemik. MRI dapat mengidentifikasi malformasi vaskular yang mendasari atau lesi yang menyebabkan perdarahan. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah elektrokardiogram (EKG) untuk memulai memonitor aktivitas hantung. Disritmia jantung dan iskemia miokard memiliki kejadian signifikan dengan stroke. Oleh karena tidak seluruh Rumah Sakit memiliki alat-alat di atas, maka untuk memudahkan pemeriksaan dapat dilakukan dengan sistem lain, misalnya sistem skoring yaitu sistem yang berdasarkan gejala klinis yang ada pada saat pasien masuk Rumah Sakit. Sistem skoring yang sering digunakan antara lain: Siriraj Hospital Score Versi orisinal: = (0.80 x kesadaran) + (0.66 x muntah) + (0.33 x sakit kepala) + (0.33x tekanan darah diastolik) – (0.99 x atheromal) – 3.71. Versi disederhanakan: = (2.5 x kesadaran) + (2 x muntah) + ( 2 x sakit kepala) + (0.1 x tekanan darah diastolik) – (3 x atheroma) – 12. Kesadaran: Sadar = 0; mengantuk, stupor = 1; semikoma, koma = 2 Muntah: tidak = 0 ; ya = 1 Sakit kepala dalam 2 jam: tidak = 0 ; ya = 1 Tanda-tanda ateroma: tidak ada = 0 ; 1 atau lebih tanda ateroma = 1 (anamnesis diabetes; angina; klaudikasio intermitten) Pembacaan: Skor > 1 : Perdarahan otak < -1: Infark otak Sensivitas : Untuk perdarahan: 89.3%. Untuk infark: 93.2%. Ketepatan diagnostic : 90.3%.

Stroke dapat didiagnosa banding dengan penyakit-penyakit lain seperti: ensefalitis, meningitis, migrain, neoplasma otak, hipernatremia, stroke iskemik,

19

perdarahan subaraknoid, hematoma subdural, kedaruratan hipertensif, hipoglikemia, labirinitis, dan Transient Ischemic Attack (TIA).

10. PENATALAKSANAAN STROKE HEMORAGIK a.

Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat 1. Evaluasi cepat dan diagnosis 2. Terapi umum (suportif) a. stabilisai jalan napas dan pernapasan b. stabilisasi hemodinamik/sirkulasi c. pemeriksaan awal fisik umum d. pengendalian peninggian TIK e. penanganan transformasi hemoragik f. pengendalian kejang g. pengendalian suhu tubuh h. pemeriksaan penunjang

b. Penatalaksanaan Stroke Perdarahan Intra Serebral (PIS) Terapi medik pada PIS akut: a. Terapi hemostatik 

Eptacog alfa (recombinant activated factor VII [rF VIIa]) adalah obat haemostasis yang dianjurkan untuk pasien hemofilia yang resisten terhadap pengobatan faktor VIII replacement dan juga bermanfaat untuk penderita dengan fungsi koagulasi yang normal.



Aminocaproic

acid

terbuktitidak

mempunyai

efek

menguntungkan. 

Pemberian rF VIIa pada PIS pada onset 3 jam hasilnya adalah highly-significant, tapi tidak ada perbedaan bila pemberian dilakukan setelah lebih dari 3 jam. 20

b. Reversal of anticoagulation 

Pasien PIS akibat dari pemakaian warfarin harus secepatnya diberikan fresh frozen plasma atau prothrombic complex concentrate dan vitamin K.



Prothrombic-complex concentrates suatu konsentrat dari vitamin K dependent coagulation factor II, VII, IX, dan X, menormalkan INR lebih cepat dibandingkan FFP dan dengan jumlah volume lebih rendah sehingga aman untuk jantung dan ginjal.



Dosis tunggal intravena rFVIIa 10-90µg/kg pada pasien PIS yang memakai warfarin dapat menormalkan INR dalam beberapa menit. Pemberian obat ini harus tetap diikuti dengan coagulation-factor replacement dan vitamin K karena efeknya hanya beberapa jam.



Pasien PIS akibat penggunaan unfractionated atau low moleculer weight heparin diberikan Protamine Sulfat, dan pasien dengan trombositopenia atau adanya gangguan fungsi platelet dapat diberikan dosis tunggal Desmopressin, transfusi platelet, atau keduanya.



Pada pasien yang memang harus menggunakan antikoagulan maka pemberian obat dapat dimulai pada hari ke-7-14 setelah erjadinya perdarahan.

c.

Tindakan bedah pada PIS berdasarkan EBM  Keputusan mengenai apakah dioperasi dan kapan dioperasi masih tetap kontroversial.  Tidak dioperasi bila: 

Pasien dengan perdarahan kecil (<10cm3) atau defisit neurologis minimal.



Pasien dengan GCS <4. Meskipun pasien GCS <4 dengan perdarahan intraserebral disertai kompresi batang otak masih mungkin untuk life saving. 21

 Dioperasi bila: 

Pasien

dengan

perdarahan

serebelar

>3cm

dengan

perburukan klinis atau kompresi batang otak dan hidrosefalus dari obstruksi ventrikel harus secepatnya dibedah. 

PIS dengan lesi struktural seperti aneurisma malformasi AV atau angioma cavernosa dibedah jika mempunyai harapan outcome yang baik dan lesi strukturnya terjangkau.



Pasien usia muda dengan perdarahan lobar sedang s/d besar yang memburuk.



Pembedahan untuk mengevakuasi hematoma terhadap pasien usia muda dengan perdarahan lobar yang luas (>50cm3) masih menguntungkan.

c. Penatalaksanaan Perdarahan Sub Arakhnoid 1. Pedoman Tatalaksana a. Perdarahan dengan tanda-tanda Grade I atau II (H&H PSA):  Identifikasi yang dini dari nyeri kepala hebat merupakan petunjuk untuk upaya menurunkan angka mortalitas dan morbiditas.  Bed rest total dengan posisi kepala ditinggikan 30 dalam ruangan dengan lingkungan yang tenang dan nyaman, bila perlu diberikan O2 2-3 L/menit.  Hati-hati pemakaian obat-obat sedatif.  Pasang infus IV di ruang gawat darurat dan monitor ketat kelainan-kelainan neurologi yang timbul. b. Penderita dengan grade III, IV, atau V (H&H PSA), perawatan harus lebih intensif:

22

 Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protocol pasien di ruang gawat darurat.  Intubasi endotrakheal untuk mencegah aspirasi dan menjamin jalang nafas yang adekuat.  Bila ada tanda-tanda herniasi maka dilakukan intubasi.  Hindari pemakaian sedatif yang berlebhan karena aan menyulitkan penilaian status neurologi. 2. Tindakan untuk mencegah perdarahan ulang setelah PSA a. Istirahat di tempat tidur secara teratur atau pengobatan dengan antihipertensi saja tidak direkomendasikan untuk mencegah perdarahan ulang setelah terjadi PSA, namun kedua hal tersebut sering dipakai dalam pengobatan pasien dengan PSA. b. Terapi antifibrinolitik untuk mencegah perdarahan ulang direkomendasikan pada keadaan klinis tertentu. Contohnya pasien dengan resiko rendah untuk terjadinya vasospasme atau memberikan efek yang bermanfaat pada operasi yang ditunda. c. Pengikatan

karotis

tidak

bermanfaat

pada

pencegahan

perdarahan ulang. d. Penggunaan koil intra luminal dan balon masih uji coba. 3. Operasi pada aneurisma yang rupture a. Operasi clipping sangat direkomendasikan untuk mengurangi perdarahan ulang setelah rupture aneurisma pada PSA. b. Walaupun operasi yang segera mengurangi resiko perdarahan ulang setelah PSA, banyak penelitian memperlihatkan bahwa secara keseluruhan hasil akhir tidak berbeda dengan operasi yang ditunda. Operasi yang segera dianjurkan pada pasien dengan grade yang lebih baik serta lokasi aneurisma yang tidak rumit. Untuk keadaan klinis lain, operasi yang segera atau ditunda direkomendasikan tergantung pada situasi klinik khusus. 23

c. Aneurisma yang incompletely clipped mempunyai resiko yang tinggi untuk perdarahan ulang. 4. Tatalaksana pencegahan vasospasme a. Pemberian nimodipin dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam IV pada hari ke-3 atau secara oral 60 mg setiap 6 jam selama 21 hari. Pemakaian nimodipin oral terbukti memperbaiki deficit neurologi yang ditimbulkan oleh vasospasme. Calcium antagonist lainnya yang diberikan secara oral atau intravena tidak bermakna. b. Pengobatan dengan hyperdinamic therapy yang dikenal dengan triple

H

yaitu

hypervolemic-hypertensive-hemodilution,

dengan tujuan mempertahankan “cerebral perfusion pressure” sehingga dapat mengurangi terjadinya iskemia serebral akibat vasospasme. Hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya perdarahan ulang pada pasien yang tidak dilakukan embolisasi atau clipping. c. Fibrinolitik intracisternal, antioksidan, dan anti-inflamasi tidak begitu bermakna. d. Angioplasty transluminal dianjurkan untuk

pengobatan

vasospasme pada pasien-pasien yang gagal dengan terapi konvensional. e. Cara lain untuk manajemen vasospasme adalah sebagai berikut:  Pencegahan vasospasme:  Nimodipine 60 mg per oral 4 kali sehari.  3% NaCl IV 50 mL 3 kali sehari.  Jaga keseimbangan cairan.  Delayed vasospasm:  Stop Nimodipine, antihipertensi, dan diuretika.  Berikan 5% Albumin 250 mL IV. 24

 Pasang Swan-Ganz (bila memungkinkan), usahakan wedge pressure 12-14 mmHg.  Jaga cardiac index sekitar 4 L/menit/m2.  Berikan Dobutamine 2-15 µg/kg/menit. 5. Antifibrinolitik Obat-obat anti-fibrinolitik dapat mencegah perdarahan ulang. Obatobat yang sering dipakai adalah epsilon aminocaproic acid dengan dosis 36 g/hari atau tranexamid acid dengan dosis 6-12 g/hari. 6. Antihipertensi a. Jaga Mean Arterial Pressure (MAP) sekitar 110 mmHg atau tekanan darah sistolik (TDS) tidak lebih dari 160 dan tekanan darah diastolic (TDD) 90 mmHg (sebelum tindakan operasi aneurisma clipping). b. Obat-obat antihipertensi diberikan bila TDS lebih dari 160 mmHg dan TDD lebih dari 90 mmHg atau MAP diatas 130 mmHg. c. Obat antihipertensi yang dapat dipakai adalah Labetalol (IV) 0,5-2 mg/menit sampai mencapai maksimal 20 mg/jam atau esmolol infuse dosisnya 50-200 mcg/kg/menit. Pemakaian nitroprussid tidak danjurkan karena menyebabkan vasodilatasi dan memberikan efek takikardi. d. Untuk menjaga TDS jangan meurun (di bawah 120 mmHg) dapat diberikan vasopressors, dimana hal ini untuk melindungi jaringan iskemik penumbra yang mungkin terjadi akibat vasospasme. 7. Hiponatremi Bila Natrium di bawah 120 mEq/L berikan NaCl 0,9% IV 2-3 L/hari. Bila perlu diberikan NaCl hipertonik 3% 50 mL, 3 kali sehari. Diharapkan dapat terkoreksi 0,5-1 mEq/L/jam dan tidak melebihi 130 mEq/L dalam 48 jam pertama. 25

Ada yang menambahkan fludrokortison dengan dosis 0,4 mg/hari oral atau 0,4 mg dalam 200 mL glukosa 5% IV 2 kali sehari. Cairan hipotonis sebaiknya dihindari karena menyebabkan hiponatremi. Pembatasan cairan tidak dianjurkan untuk pengobatan hiponatremi. 8. Kejang Resiko kejang pada PSA tidak selalu terjadi, sehingga pemberian antikonvulsan tidak direkomendasikan secara rutin, hanya dipertimbangkan pada pasien-pasien yang mungkin timbul kejang, umpamanya pada hematom yang luas, aneurisma arteri serebri media, kesadaran yang tidak membaik. Akan tetapi untuk menghindari risiko perdarahan ulang yang disebabkan kejang, diberikan anti konvulsan sebagai profilaksis. Dapat dipakai fenitoin dengan dosis 15-20 mg/kgBB/hari oral atau IV. Initial dosis 100 mg oral atau IV 3 kali/hari. Dosis maintenance

300-400

mg/oral/hari

dengan

dosis

terbagi.

Benzodiazepine dapat dipakai hanya untuk menghentikan kejang. Penggunaan antikonvulsan jangka lama tidak rutin dianjurkan pada penderita yang tidak kejang dan harus dipertimbangkan hanya diberikan pada penderita yang mempunyai faktor-faktor risiko seperti kejang sebelumnya, hematom, infark, atau aneurisma pada arteri serebri media. 9. Hidrosefalus a. Akut (obstruksi) Dapat terjadi setelah hari pertama, namun lebih sering dalam 7 hari pertama. Kejadiannya kira-kira 20% dari kasus, dianjurkan untuk ventrikulostomi (atau drainase eksternal ventrikuler), walaupun kemungkinan risikonya dapat terjadi perdarahan ulang dan infeksi. b. Kronik (komunikan)

26

Sering terjadi setelah PSA. Dilakukan pengaliran cairan serebrospinal secara temporer atau permanen seperti ventriculoperitoneal shunt. 10. Terapi Tambahan a. Laksansia (pencahar) diperlukan untuk melembekkan feses secara regular. Mencegah trombosis vena dalam, dengan memakai stocking atau pneumatic compression devices. b. Analgesik:  Asetaminofen ½-1 g/4-6 jam dengan dosis maksimal 4 g/hari.  Kodein fosfat 30-60 mg oral atau IM per 4-6 jam.  Tylanol dengan kodein.  Hindari asetosal.  Pada pasien dengan sangat gelisah dapat diberikan:  Haloperidol IM 1-10 mg tiap 6 jam.  Petidin IM 50-100 mg atau morfin SC atau IV 5-10 mg/4-6 jam.  Midazolam 0,06-1,1 mg/kg/jam.  Propofol 3-10 mg/kg/jam.  Cegah terjadinya “stress ulcer” dengan memberikan: 

Antagonis H2



Antasida



Inhibitor pompa proton selama beberapa hari.



Pepsid 20 mg IV 2 kali sehari atau zantac 50 mg IV 2 kali sehari.



Sucralfate 1 g dalam 20 mL air 3 kali sehari.

27

11. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS STROKE HEMORAGIK Peningkatan tekanan intrakranial dan herniasi adalah komplikasi yang paling ditakutkan pada perdarahan intraserebral. Perburukan edem serebri sering mengakibatkan deteoriasi pada 24-48 jam pertama. Perdarahan awal juga berhubungan dengan deteorisasi neurologis, dan perluasan dari hematoma tersebut adalah penyebab paling sering deteorisasi neurologis dalam 3 jam pertama. Pada pasien yang dalam keadaan waspada, 25% akan mengalami penurunan kesadaran dalam 24 jam pertama. Kejang setelah stroke dapat muncul. Selain dari hal-hal yang telah disebutkan diatas, stroke sendiri adalah penyebab utama dari disabilitas permanen. Prognosis bervariasi bergantung pada tingkap keparahan stroke dan lokasi serta ukuran dari perdarahan. Skor dari Skala Koma Glasgow yang rendah berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk dan mortalitas yang lebih tinggi. Apabila terdapat volume darah yang besar dan pertumbuhan dari volume hematoma, prognosis biasanya buruk dan outcome fungsionalnya juga sangat buruk dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Adanya darah dalam ventrikel bisa meningkatkan resiko kematian dua kali lipat. Pasien yang menggunakan antikoagulasi oral yang berhubungan dengan perdarahan intraserebral juga memiliki outcome fungsional yang buruk dan tingkat mortilitas yang tinggi.

12. PENCEGAHAN STROKE HEMORAGIK Pencegahan primer pada stroke meliputi upaya memperbaiki gaya hidup dan mengatasi berbagai faktor risiko. Upaya ini ditujukan pada orang sehat maupun kelompok risiko tinggi yang berlum pernah terserang stroke. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan adalah:  Mengatur pola makan yang sehat

28

 Melakukan olah raga yang teratur  Menghentikan rokok  Menhindari minum alkohol dan penyalahgunaan obat  Memelihara berat badan yang layak  Perhatikan pemakaian kontrasepsi oral bagi yang beresiko tinggi  Penanganan stres dan beristirahat yang cukup  Pemeriksaan kesehatan teratur dan taat advis dokter dalam hal diet dan obat  Pemakaian antiplatelet Pada pencehagan sekunder stroke, yang harus dilakukan adalah pengendalian faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, dan pengendalian faktor risiko yang dapat dimodifikasi seperti hipertensi, diabetes mellitus, riwayat TIA, dislipidemia, dan sebagainya.

29

BAB III LAPORAN KASUS

A. Identitas Nama

: Ny. Dintje Pongayow

Jenis Kelamin

: Perempuan

Umur

: 54 tahun

Pekerjaan

: IRT

Tempat/Tangal Lahir : Manado / 13 Desember 1963 No. RM

: 55.36.08

Agama

: Katholik

Alamat

: Mapanget Barat Lk IV Kec. Mapanget

MRS

: 10 Desember 2018

B. Anamnesis

Keluhan Utama: Penurunan Kesadaran

Riwayat Penyakit Sekarang: Penurunan kesadaran tiba-tiba sejak 1 hari SMRS saat sedang beraktivitas. 1 hari sebelumnya pasien mengeluh nyeri kepala. Muntah ±10 kali tidak menyemprot, isi cairan dan makanan. Pasien tampak mengantuk, bicara kacau, tidak tampak anggota gerak kanan atau kiri lebih aktif. Riwayat trauma (-), demam (-), kejang (-).

Riwayat Penyakit Dahulu: Hipertensi tidak terkontrol (+)  Captopril 12.5 mg (tidak rutin).

30

Riwayat stroke, sakit jantung, DM, ginjal, paru, kolesterol disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga: Riwayat Hipertensi (+)

Riwayat Kebiasaan: Merokok (-) Alkohol (-)

C. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik Umum KU: Berat , Kes: Sopor TD: 200/120 mmHg N: 82x/m

R: 26x/m

SB: 36,5ºC

SpO2:

97%

Pemeriksaan Status Neurologis GCS: E3M5V3

pupil bulat isokor Ø 2mm/2mm

RCL +/+

RCTL +/+

TRM: Kaku Kuduk (-)

Lasseque >70/>70

N. Cranial: Kesan Paresis N. VII UMN Dextra St. Motorik: Hemiparesis dextra Tonus Otot:

↓|n ↓|n

Refleks Fisiologis:

+/+/+|++/++/++ +/+|++/++

31

Kernig >135/>135

Refleks Patologis:

-|-|-

St. Sensorik: tde St. Otonom: retensi urine (-)

D. Diagnosa Kerja -

CVD SH H-2

-

Hipertensi Emergensi

E. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium (10/12/2018) Leukosit

12.2 103/µL

Eritrosit

5.37 106/µL

Hemoglobin

15.5 g/dL

Hematokrit

45.0%

Trombosit

340 103/µL

MCH

28.9 pg

MCHC

34.4 g/dL

MCV

83.8 fL

Ureum

27 mg/dL

Creatinin

0.8 mg/dL

GDS

202 mg/dL

SGOT

35 U/L

SGPT

54 U/L

Na

140 mEq/L

K

3.02 mEq/L

32

Cl

96.9 mEq/L

Foto Thorax:

CT-Scan:

33

Kesan: Tampak lesi hiperdens di temporal sinistra ±18 cc

EKG: Sinus Takikardi 100 bpm dengan SI change suspek proses infeksi dd elekrolit imbalance dd iskemik

F. Diagnosa Intracerebral Hemmorhagic temporal sinistra vol. ±18 cc. Hipertensi emergensi Hipokalemia (3.02)

34

G. Tatalaksana KIE keluarga O2 2-4 lpm via nasal canul Bed rest dan elevasi kepala 30° Mobilisasi kanan kiri tiap 2 jam Chest fisioterapi + oral hygiene Pasang NGT dan Kateter Urin IVFD NaCl 0.9% 500 mL intravena tiap 8 jam Nicardipine 10 mg dalam NaCL 0,9% 100 ml titrasi per 15 menit mulai 50 gtt sampai TD ≤ 160/90 mmHg Manitol 20% 300 ml loading 15-20 menit, dilanjutkan 150 ml tiap 6 jam bila TD ≥ 130/80 mmHg Ranitidin 50 mg intravena tiap 12 jam Paracetamol 500 mg oral tiap 8 jam via NGT Lactulac syr 30 ml oral tiap 24 jam via NGT KSR 600 mg oral tiap 12 jam via NGT

H. Follow Up

11/12/2018

S: Penurunan Kesadaran O:

35

KU: Berat, Kes: Sopor TD: 180/100 mmHg N: 98x/m

R: 20x/m

SB: 35,7ºC

SpO2:

98% GCS: E3M5V3

pupil bulat isokor Ø 2mm/2mm

RCL +/+

RCTL +/+

TRM: Kaku Kuduk (-)

Lasseque >70/>70

Kernig >135/>135

N. Cranial: Kesan Paresis N. VII UMN Dextra St. Motorik: Hemiparesis dextra Tonus Otot:

↓|n ↓|n

Refleks Fisiologis:

+/+/+|++/++/++ +/+|++/++

Refleks Patologis:

-|-|-

St. Sensorik: tde St. Otonom: BAK via kateter

A:

ICH regio temporal sinistra vol. ±18 cc onset H2 Hipertensi Grade II

P: Bed rest elevasi kepala 30° Oksigenasi adekuat 6-8 lpm via NRM

36

Miring kiri dan kanan 2 jam Chest fisioterapi + oral hygiene IVFD NaCl 0,9% 500 cc 21 tpm Nicardipine 10 mg dalam NaCL 0,9% 100 ml titrasi per 15 menit mulai 50 gtt sampai TD ≤ 140/90 mmHg Manitol 20% 150 ml intravena tiap 6 jam bila TD ≥ 130/80 mmHg Ranitidine 50 mg intravena tiap 12 jqm Ceftriaxone 1 gr intravena tiap 12 jam Amlodipin 10 mg oral 1-0-0 via NGT Telmisartan 80 mg oral 0-0-1 via NGT Paracetamol 500 mg oral tiap 8 jam via NGT Lactulac syr 30 ml oral tiap 24 jam via NGT KSR 600 mg oral tiap 12 jam via NGT

12/11/2018

S: tidak sadar, buka mata dengan panggilan, pasien bicara tanpa kata-kata O: KU: Sedang, Kes: Sopor TD: 180/100 mmHg N: 82x/m

R: 24x/m

SB: 37,0ºC

SpO2:

96% GCS: E3M5V2 TRM: Kaku Kuduk (-)

Lasseque >70/>70

N. Cranial: Paresis N. VII UMN Dextra St. Motorik: Hemiparesis dextra Tonus Otot:

↓|n ↓|n

37

Kernig >135/>135

Refleks Fisiologis:

+/+/+|++/++/++ +/+|++/++

Refleks Patologis:

-|-|-

St. Sensorik: sde St. Otonom: BAK via kateter

A:

ICH regio temporal sinistra vol. ±18 cc onset H3 Hipertensi Grade II

P: Bed rest elevasi kepala 30° O2 ganti kanul Miring kiri dan kanan 2 jam Chest fisioterapi + oral hygiene IVFD NaCl 0,9% 500 cc 21 tpm Nicardipine 10 mg dalam NaCL 0,9% 100 ml titrasi per 15 menit mulai 50 gtt jika TD ≥ 130/90 mmHg Manitol 20% 150 ml intravena tiap 8 jam bila TD ≥ 130/80 mmHg Ceftriaxone 1 gr intravena tiap 12 jam Ranitidin 50 mg intravena tiap 12 jam Amlodipin 10 mg oral 1-0-0 via NGT Telmisartan 80 mg oral 0-0-1 via NGT Paracetamol 500 mg oral tiap 8 jam via NGT Lactulac syr 30 ml oral tiap 24 jam via NGT

38

KSR 600 mg oral tiap 12 jam via NGT

13/12/2018

S: Kontak (+) O: KU: Sedang, Kes: CM TD: 160/100 mmHg N: 66x/m

R: 20x/m

SB: 36,5ºC

SpO2:

99% GCS: 15 afasia TRM: Kaku Kuduk (-)

Lasseque >70/>70

Kernig >135/>135

N. Cranial: Paresis N. VII UMN Dextra St. Motorik: Hemiparesis dextra Tonus Otot:

↓|n ↓|n

Refleks Fisiologis:

+/+/+|++/++/++ +/+|++/++

Refleks Patologis:

-|-|-

St. Sensorik: tde St. Otonom: inkontinensia urin et alvi (-)

A:

ICH regio temporal sinistra vol. ±18 cc onset H4

39

Hipertensi Grade II

P: Bed rest elevasi kepala 30° O2 2-4 lpm via kanul Miring kiri dan kanan 2 jam Chest fisioterapi + oral hygiene Aff NGT dan kateter IVFD NaCl 0,9% 500 cc 21 tpm Nicardipine 10 mg dalam NaCL 0,9% 100 ml titrasi per 15 menit mulai 50 gtt jika TD ≥ 130/90 mmHg Manitol 20% 150 ml intravena tiap 12 jam bila TD ≥ 130/80 mmHg Ceftriaxone 1 gr intravena tiap 12 jam Ranitidine 50 mg intravena tiap 12 jqm Amlodipin 10 mg oral 1-0-0 Telmisartan 80 mg oral 0-0-1 Paracetamol 500 mg oral tiap 8 jam Lactulac syr 30 ml oral tiap 24 jam KSR 600 mg oral tiap 12 jam Hidroclorotiazid 25 mg oral tiap 12 jam

14/12/2018

S: Kontak (+), tidak mengerti pembicaraan, tidak bicara O: KU: Sedang, Kes: CM TD: 130/60 mmHg

N: 65x/m

R: 20x/m

99% 40

SB: 36,5ºC

SpO2:

GCS: 15 afasia global TRM: Kaku Kuduk (-)

Lasseque >70/>70

Kernig >135/>135

N. Cranial: Paresis N. VII UMN Dextra St. Motorik: Hemiparesis dextra Tonus Otot:

↓|n ↓|n

Refleks Fisiologis:

+/+/+|++/++/++ +/+|++/++

Refleks Patologis:

-|-|-

St. Sensorik: tde St. Otonom: inkontinensia urin et alvi (-) St. Neurobehaviour singkat : bahasa naming, repetisi, komprehensif terganggu

A:

ICH regio temporal sinistra vol. ±18 cc onset H5 Hipertensi terkontrol Afasia global

P: Bed rest elevasi kepala 30° O2 2-4 lpm via kanul Miring kiri dan kanan 2 jam Chest fisioterapi + oral hygiene

41

IVFD NaCl 0,9% 500 cc 21 tpm Nicardipine 10 mg dalam NaCL 0,9% 100 ml titrasi per 15 menit mulai 50 gtt jika TD ≥ 130/90 mmHg Manitol 20% 150 ml intravena tiap 12 jam bila TD ≥ 130/80 mmHg Ceftriaxone 1 gr intravena tiap 12 jam Ranitidine 50 mg intravena tiap 12 jqm Amlodipin 10 mg oral 1-0-0 Telmisartan 80 mg oral 0-0-1 Paracetamol 500 mg oral tiap 8 jam Lactulac syr 30 ml oral tiap 24 jam KSR 600 mg oral tiap 12 jam Hidroclorotiazid 25 mg oral tiap 12 jam Cek lab puasa, HbA1c Konsul NB

15/12/2018

S: Kontak (+) O: KU: Sedang, Kes: CM TD: 160/100 mmHg N: 66x/m

R: 20x/m

SB: 36,5ºC

SpO2:

99% GCS: 15 afasia global TRM: Kaku Kuduk (-)

Lasseque >70/>70

N. Cranial: Paresis N. VII UMN Dextra

42

Kernig >135/>135

St. Motorik: Hemiparesis dextra Tonus Otot:

↓|n ↓|n

Refleks Fisiologis:

+/+/+|++/++/++ +/+|++/++

Refleks Patologis:

-|-|-

St. Sensorik: tde St. Otonom: inkontinensia urin et alvi (-) St. lokalis : likenifikasi regio gluteal sacrum dextra et sinistra

A:

ICH regio temporal sinistra vol. ±18 cc onset H6 Hipertensi terkontrol Afasia global Tinea corporis

P: Bed rest elevasi kepala 30° O2 2-4 lpm via kanul Miring kiri dan kanan 2 jam Chest fisioterapi + oral hygiene IVFD NaCl 0,9% 500 cc 21 tpm Nicardipine 10 mg dalam NaCL 0,9% 100 ml titrasi per 15 menit mulai 50 gtt jika TD ≥ 130/90 mmHg

43

Manitol 20% 150 ml intravena tiap 12 jam bila TD ≥ 130/80 mmHg Ceftriaxone 1 gr intravena tiap 12 jam Ranitidine 50 mg intravena tiap 12 jqm Amlodipin 10 mg oral 1-0-0 Telmisartan 80 mg oral 0-0-1 Paracetamol 500 mg oral tiap 8 jam Lactulac syr 30 ml oral tiap 24 jam KSR 600 mg oral tiap 12 jam Hidroclorotiazid 25 mg oral tiap 12 jam Konsul kulit dan kelamin Latihan aff oksigen

44

BAB IV PEMBAHASAN Pada kasus didapatkan seorang perempuan berusia 54 tahun datang ke Instalasi Gawat Darurat RSUP Prof. Dr. dr. Kandou Manado dengan keluhan penurunan kesadaran tiba-tiba sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit saat sedang beraktivitas. 1 hari sebelumnya pasien mengeluh nyeri kepala. Muntah ±10 kali tidak menyemprot, isi cairan dan makanan. Pasien tampak mengantuk, bicara kacau, tidak tampak anggota gerak kanan atau kiri lebih aktif. Riwayat trauma tidak ada, demam tidak ada, kejang tidak ada. Sebuah perdarahan intraserebral dimulai tiba-tiba. Di sekitar setengah dari jumlah penderita, serangan dimulai dengan sakit kepala parah, sering selama aktivitas. Gejala klinis stroke ada berbagai macam, diantaranya adalah ditemukan perdarahan intraserebral (ICH) yang dapat dibedakan secara klinis dari stroke iskemik, hipertensi biasanya ditemukan, tingkat kesadaran yang berubah atau koma lebih umum pada stroke hemoragik dibandingkan dengan stroke iskemik. Seringkali, hal ini disebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Beberapa gejala, seperti kelemahan, kelumpuhan, hilangnya sensasi, dan mati rasa, sering hanya mempengaruhi satu sisi tubuh. Orang mungkin tidak dapat berbicara atau menjadi bingung. Mual, muntah, kejang, dan hilangnya kesadaran yang umum dan dapat terjadi dalam beberapa detik untuk menit. Riwayat hipertensi tidak terkontrol karena pasien meminum obat darah tinggi tidak rutin. Riwayat diabetes melitus dan dislipidemia disangkal pasien. Hipertensi yang diderita pasien merupakan faktor resiko penting terjadinya stroke. Hipertensi menyebabkan lemahnya pembuluh darah pada otak. Jika hipertensi tidak terkontrol, akan menyebabkan tekanan yang terus tinggi pada pembuluh darah dan dapat menyebabkan terjadinya perdarahan pada otak. Pada pemeriksaan fisik didapatkan GCS E4M6Vafasia. Pada pemeriksaan tanda rangsang meningeal, tidak ditemukan kaku kuduk, laseque dan kernig pun normal. Pada pemeriksaan nervus-nervus cranialis didapatkan parese pada nervus VII (Facialis)

45

UMN Dextra. Pada pemeriksaan status motorik pasien, didapatkan kesan hemiparesis dextra tonus otot kanan menurun, hiporefleks pada sisi kanan dan tidak ditemukan refleks patologis. Status sensorik tidak dapat diperiksa oleh karena pasien afasia. Sedangkan tidak ditemukan gangguan autonom. Afasia pada pasien ditemukan oleh karena pasien tidak dapat mengikuti perintah pemeriksa dan pasien tidak dapat berkata-kata ketika ditanya. Afasia dapat disebabkan olehkarena terganggunya daerah berbahasa di otak pasien. Afasia sensorik terjadi bila daerah otak yang bernama wernick terganggu. Pemeriksaan tanda ransang meningeal dilakukan untuk menyingkirkan bila terlibatnya selaput mengineal seperti pada penyakit meningitis atau perdarahan otak tipe subaranoid. Terdapat paresis nervus VII menunjukan adanya lesi yang mengganggu jalan nervus VII. Perbedaan lesi UMN dan LMN pada pasersis nervus VII adalah gejala yang ditemukan. Pada lesi UMN biasanya gejala adalah mencong pada mulut, dan biasanya saat pemeriksaan mengerutkan dahi, masih ditemukan normal. Tetapi pada lesi LMN, satu sisi akan lemah, sehingga pada tes mengerutkan dahi akan ditemukan dahi yang tertinggal pada sisi yang sakit. Gangguan hempiparesis ditemukan olehkarena terganggunya traktus piramidalis di otak. Gambaran hipotonus, hiporefleks terjadi olehkarena adanya syok medula spinalis oleh karena stroke hemoragik. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan gambaran normal, kecuali ada peningkatan pada leukosit, GDS dan fungsi hati, serta penurunan pada kalium dan klorida. Pemeriksaan penunjang berupa X-foto Thorax dan CT-Scan kepala non kontras ditemukan gambaran Intracerebral Hemorrhagic (ICH) pada regio temporal sinistra volume 18 cc. Gambaran ICH ini menegakkan diagnosa pada pasien ini yaitu terjadinya stroke hemoragik oleh karena adanya perdarahan intracerebral didaerah temporal, yang menyebabkan penekanan pada daerah sekitar perdarahan dan menyebabkan gejala-gejala seperti adanya hemiparesis dextra, parese nervus VII dextra dan afasia global Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, didapatkan diagnosa pada pasien ini adalah stoke hemoragik e.c ICH regio temporal sinistra vol 18cc. Stroke hemoragik yang terjadi disebabkan oleh karena hipertensi pasien yang

46

tidak terkontrol sehingga pecah pembuluh darah di otak dan terjadi intracerebral hemoragik.

Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien stroke hemoragik adalah

berupa penatalaksanaan farmakologis dan non-farmakologis. Penatalaksanaan nonfarmakologis pada pasien ini adalah pemberian Oksigen 2-4 liter per menit via nasal kanul, bedrest, elevasi kepala 30-600, pemasangan NGT dan Kateter dan mobilisasi kanan dan kiri per 2 jam. Pemberian oksigen bertujuan untuk memberikan suplai nutrisi yang baik ke otak sehingga membantu proses penyembuhannya. Elevasi kepala 30-60o dilakukan untuk meningkatkan venous return yang akan menyebabkan aliran darah yang cukup ke otak. Pemasangan NGT dan Kateter urin bertujuan untuk memonitor keseimbangan cairan pasien. Penatalaksanaan farmakologis yang diberikan adalah IVFD NaCl 0.9% Intravena untuk balance cairan, Nicardipine 10 mg intravena, Amlodipin 10 mg oral 10-0 dan telmisartan 80 mg oral 0-0-1 untuk mengontrol hipertensi yang diderita pasien, Paracetamol 500 mg oral 3x1 sebagai antipiretik dan analgetik, Cetriaxone 2gr intravena 1x1 untuk mengatasi infeksi.

47

BAB V KESIMPULAN Seorang perempuan berusia 54 tahun datang ke Instalasi Gawat Darurat RSUP Prof. Dr. dr. Kandou Manado dengan keluhan penurunan kesadaran tiba-tiba sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit saat sedang beraktivitas. 1 hari sebelumnya pasien mengeluh nyeri kepala. Muntah ±10 kali tidak menyemprot, isi cairan dan makanan. Pasien tampak mengantuk, bicara kacau, tidak tampak anggota gerak kanan atau kiri lebih aktif. Riwayat trauma tidak ada, demam tidak ada, kejang tidak ada. Riwayat hipertensi tidak terkontrol. Pada pemeriksaan fisik didapatkan GCS E4M6Vafasia dengan parese nervus VII (Facialis) UMN Dextra dan hemiparesis Dextra. Pada pemeriksaan CT-Scan kepala non-kontras didapatkan gamabaran Intracerebral Hemoragik regio temporal sinitra volume 18cc. Pasien didiagnosa dengan stroke hemoragik e.c. ICH regio temporal sinistra vol 18cc. Pasien diberikan penatalaksanaan nonfarmakologis dengan pemberian oksigen 2-4 lpm via nasal kanul, bedrest, elevasi kepala 30-600 dan penatalaksanaan farmakologis dengan pemberian IVFD NaCl 0.9%, Nicardipine, Amlodipin, Telmisartan, Paracetamol dan Ceftriaxone.

48

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Cerebrovascular disorders: a clinical and research classification. Geneva: World Health Organization; 1978. 2. Roger VL, Go AS, Lloyd‐Jones DM, Benjamin EJ, Berry JD, Borden WB, dkk. Heart Disease And Stroke Statistics‐2012 update: a report from the American Heart Association. Circulation. 2012;125(1): e2‐e220. 3. Shiber JR, Fontane E, Adewale A. Stroke registry: Hemorrhagic vs Ischemic Strokes. Am J Emerg Med. 2010; 28(3): 331‐3. 4. Khairunnisa N. Hemiparese sinistra, parese nervus vii, ix, x, xii e.c stroke Nonhemorrhagic. JUKE Unila. 2014; 2(3):53. 5. Kementerian kesehatan RI. 2014. Pusat Data dan Informasi. Jakarta selatan. http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/buletin/buleti n-ptm.pdf 6. Yeon H.P & Hae-Ra H. (2010).Nurses’ Perceptions and Experiences at Daycare for Elderly With Stroke. Journal of Nursing Scholarship. 42. 262–269. 7. Junaidi, I. 2011. Stroke Waspadai Ancamannya. Penerbit Andi, Yogyakarta

49

Related Documents


More Documents from "pooh"