LAPORAN KASUS Hipertensi Emergency, Chronic Kidney Disease Stage V
Pembimbing dr. Buyung A.H, Sp.PD Penguji: dr. Indraka P Sp.PD dr. Buyung A.H, Sp.PD Disusun oleh: Fatimah Hartina Faradillah 112017100
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA PERIODE 4 Juni 2018 – 25 Agustus 2018 RUMAH SAKIT TNI AU DR ESNAWAN ANTARIKSA FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA (UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)
Jl.Terusan Arjuna No. 6 Kebon Jeruk - Jakarta Barat KEPANITERAAN KLINIK STATUS ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA SMF PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT TNI AU DR. ESNAWAN ANTARIKSA Nama
: Fatimah Hartina Faradillah
Tanda Tangan
NIM
: 11.2017.100
.......................
Dr. Pembimbing/Penguji: dr. Jusdiono, Sp. JP
.....................
dr. Buyung Arif, Sp.PD
......................
IDENTITAS PASIEN Nama lengkap : Tn. HBW Tempat /Tanggal Lahir: Jakarta, 11 Desember 1945 Status perkawinan : Menikah Pekerjaan : Pensiunan Alamat : PTB Duren Sawit Blok O
Jenis kelamin : Laki-laki Suku Bangsa : Batak Agama : Islam Pendidikan : S1 No. Rekam Medik : 172344
A. ANAMNESIS Diambil dari: Autoanamnesis
Tanggal: 31 Juli 2018, Jam: 11:00 WIB
Keluhan Utama Nyeri kepala sejak 4 hari SMRS Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke IGD RSAU pada tanggal 28 juli 2018 , dengan keluhan nyeri kepala sejak 4 hari SMRS. Nyeri kepala dirasa pada seluruh kepala seperti dipukul benda keras, nyeri kepala dirasa hilang timbul dan seringkali timbul ketika pasien baru bangun dari tidur siang. Pasien tidak merasakan nyeri dipengaruhi oleh perubahan posisi. Pasien juga tidak mengatakan merasa pusing berputar dan tidak merasa telinganya berdenging. Pasien mengeluhkan tengkuk terasa berat. 2 hari SMRS pasien merasakan sesak sehingga pasien terbangun ketika tidur. Pasien merasa cepat lelah walau hanya jalan beberapa meter. Pasien tidur dengan 1 sampai 2 bantal, pasien juga merasa nyeri kepala memberat dan menetap disertai rasa mual tanpa disertai muntah dan tanpa penurunan kesadaran.
1 hari SMRS pasien merasakan nyeri kepala bertambah berat,mual dan lemas juga dirasa. Pasien mengeluhkan hal tersebut setelah menjalani HD yang ke 7. Pasien mengeluhkan badan juga terasa lemas. Pasien mengatakan sejak kurang lebih 3 bulan napsu makannya dirasa berkurang. Pasien tidak merasa adanya kelemahan pada badan ataupun kaki dan tangan. BAK dan BAB tidak ada keluhan. Pasien mengatakan bahwa mempunyai riwayat hipertensi sejak 30 tahun yang lalu ketika pasien masih bekerja namun belum minum obat secara rutin. Pasien minum obat secara rutin kurang lebih 27 tahun yang lalu. Pada tahun 2006 pasien mengatakan mempunyai batu ginjal dan sudah ditembak pada ginjal kanan dan kiri. Riwayat kencing manis, asma dan jantung tidak ada. Pasien tidak merokok. Pasien mengatakan bahwa ayah dan sudaranya memiliki riwayat hipertensi. Saat ini pasien rutin menjalani HD setiap hari Rabu dan Jumat dan melakukan pemeriksaan di poli penyakit dalam. Pasien rutin mengkonsumsi obat caco3, bicnat,as.folat,alupurinol,furosemid.
Riwayat Penyakit Dahulu ( - ) Cacar
( - ) Malaria
( + ) Batu ginjal / Saluran
( - ) Cacar air ( - ) Difteri ( - ) Batu rejan ( - ) Campak ( - ) Influensa
( - ) Disentri ( - ) Hepatitis ( - ) Tifus Abdominalis ( - ) Skrofula ( - ) Sifilis
kemih ( - ) Burut (Hernia) ( - ) Penyakit prostate ( - ) Wasir ( - ) Diabetes ( - ) Alergi
( - ) Tonsilitis ( - ) Korea ( - ) Demam Rematik Akut ( - ) Pneumonia ( - ) Pleuritis ( - ) Tuberkolosis
( - ) Gonore ( +) Hipertensi ( - ) Ulkus Ventrikuli ( - ) Ulkus Duodeni ( - ) Gastritis ( - ) Batu Empedu
( - ) Tumor ( - ) Penyakit Pembuluh ( - ) Perdarahan otak ( - ) Psikosis ( - ) Neurosis Lain Lain: ( - ) Operasi ( - ) Kecelakaan (+) batu ginjal
Riwayat Keluarga Hubungan Kakek Nenek Ayah Ibu Saudara Istri Anak Pertama
Umur ( Tahun ) 69 45
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Laki laki Perempuan Perempuan Laki laki
Keadaan Kesehatan Meninggal Meninggal Meninggal Meninggal Sehat Sehat
Penyebab Meninggal -
Anak Kedua
34
Perempuan
Sehat
-
Anak Ketiga
30
Laki-laki
Sehat
-
Adakah kerabat yang menderita Penyakit Alergi Asma Tuberkulosis Artritis Rematisme Hipertensi Jantung Ginjal Lambung
Ya √ -
Tidak √ √ √ √ √ √ √ -
Hubungan Ayah dan saudara -
ANAMNESIS SISTEM Kulit ( - ) Bisul ( - ) Kuku Kepala (-) (-) Mata (-) (-) (-) (+) Telinga (-) (-) (-)
( - ) Rambut ( - ) Kuning / Ikterus
( - ) Keringat malam ( - ) Sianosis
Trauma Sinkop
( + ) Sakit kepala ( - ) Nyeri pada sinus
Nyeri Sekret Kuning / Ikterus Anemis
( - ) Radang ( - ) Gangguan penglihatan ( - ) Ketajaman penglihatan
Nyeri Sekret Tinitus
( - ) Gangguan pendengaran ( - ) Kehilangan pendengaran
Hidung ( - ) Trauma ( - ) Nyeri ( - ) Sekret ( - ) Epistaksis Mulut ( - ) Bibir ( - ) Gusi ( - ) Selaput Tenggorokan ( - ) Nyeri tenggorokan
( - ) Gejala penyumbatan ( - ) Gangguan penciuman ( - ) Pilek ( - ) Lidah ( - ) Gangguan pengecap ( - ) Stomatisis ( - ) Perubahan suara
Leher ( - ) Benjolan Dada ( Jantung / Paru – paru) ( - ) Nyeri dada ( - ) Berdebar ( - ) Ortopnoe
( - ) Nyeri leher ( + ) Sesak napas ( - ) Batuk darah ( - ) Batuk
Abdomen (Lambung/ Usus) ( - ) Rasa kembung ( + ) Mual ( - ) Muntah ( - ) Muntah darah ( - ) Sukar menelan ( - ) Nyeri perut, kolik ( - ) Perut membesar Saluran kemih / Alat kelamin ( - ) Disuria ( - ) Stranguri ( - ) Polliuria ( - ) Polakisuria ( - ) Hematuria ( - ) Kencing batu ( - ) Ngompol (tidak disadari) Katamenia ( - ) Leukore ( - ) Lain – lain
(-) (-) (-) (-) (-) (-)
Wasir Mencret Tinja darah Tinja berwarna dempul Tinja berwarna ter Benjolan
(-) (-) (-) (-) (-) (-) (-)
Kencing nanah Kolik Oliguria Anuria Retensi urin Kencing menetes Penyakit prostat
( - ) Perdarahan
Saraf dan Otot ( - ) Anestesi ( - ) Parestesi ( - ) Otot lemah ( - ) Kejang ( - ) Afasia ( - ) Amnesia ( - ) lain – lain Ekstremitas ( - ) Bengkak ( - ) Nyeri
(-) (-) (-) (- ) (- ) (- ) (- )
Sukar mengingat Ataksia Hipo / Hiper-esthesi Pingsan Kedutan (’tick’) Pusing (Vertigo) Gangguan bicara (Disarti)
( - ) Deformitas ( - ) Sianosis
BERAT BADAN Berat badan rata-rata (Kg) : tidak tahu Berat tertinggi kapan (Kg) : tidak tahu Berat badan sekarang (Kg) : 63 kg (Bila pasien tidak tahu dengan pasti) Tetap ( - ) Turun (√ ) Naik ( - )
RIWAYAT HIDUP
Riwayat Kelahiran Tempat lahir :
(√ ) Rumah
( - ) Rumah Bersalin ( - ) RS. Bersalin
Ditolong oleh :
( - ) Dokter
(√ ) Bidan
( - ) Dukun
( - ) Lain-lain
( - ) DPT
( - ) Polio
Riwayat Imunisasi ( - ) Hepatitis
( - ) BCG
( - ) Campak
( - ) Tetanus
Riwayat Makanan Frekuensi / Hari
: 3x/hari
Jumlah / Hari
: ½ sampai 1 piring
Variasi / Hari
: bervariasi
Nafsu makan
: menurun
Pendidikan ( - ) SD
( - ) SLTP
(- ) SLTA
( - ) Sekolah Kejuruan
( + ) Universitas
( - ) Kursus
( - ) Tidak sekolah
Akademi Kesulitan Keuangan
: Tidak ada
Pekerjaan
: Pensiunan
Keluarga
: Tidak ada
Lain-lain
: Tidak ada
B. PEMERIKSAAN JASMANI Pemeriksaan Umum Tinggi badan
: 175 cm
Berat badan
: 63 kg
IMT
: Normal
Tekanan darah
: 200/120 mmHg
Nadi
: 102x/menit, kuat angkat, reguler
Suhu
: 37,3˚C
Pernapasan
: 26x/menit, torakoabdominalis
Keadaan gizi
: normal
Keadaan umum
: sakit sedang
Kesadaran
: compos mentis
(
-
)
Sianosis
: tidak ada
Udema umum
: tidak ada
Cara berjalan
: normal
Mobilisasi (Aktif / Pasif)
: aktif
Umur menurut perkiraan pemeriksa : sesuai umur Aspek Kejiwaan Tingkah laku
:
wajar / gelisah / tenang / hipoaktif / hiperaktif
Alam perasaan
:
biasa / sedih / gembira / cemas / takut / marah
Proses pikir
:
wajar / cepat / gangguan waham / fobia / obsesi
Kulit Warna : sawo matang, pucat
Effloresensi: tidak ada
Jaringan parut : tidak ada
Pigmentasi : merata
Pertumbuhan rambut : merata
Pembuluh darah: tidak melebar
Suhu raba : hangat
Lembab / kering: lembab
Keringat : normal
Turgor : normal
Lapisan lemak : normal
Edema: pada tangan kiri
Lain-lain : tidak ada
Ikterus: tidak ada
Kepala Ekspresi wajah
: normal
Simetri muka
: simetris
Rambut
: hitam keabuan
Pembuluh darah temporal
: teraba pulsasi
Mata Exophthalmus
: tidak ada
Enopthalmus : tidak ada
Kelopak
: ptosis ( - ), edema ( - )
Lensa
Konjungtiva
: anemis
Sklera
: tidak ikterik
: jernih
Visus: pasien memakai kacamata plus Gerakan mata : aktif
Lapangan penglihatan : normal
Tekanan bola mata : normal
Deviatio konjugae
Nystagmus: tidak ada
: tidak ada
Telinga Tuli
: tidak tuli
Selaput pendengaran : putih mutiara, utuh
Lubang
: lapang
Penyumbatan
: tidak ada
Serumen
: tidak ada
Perdarahan
: tidak ada
Cairan
: tidak ada
Bibir
: kering, tampak pucat
Mulut Tonsil
Langit-langit : tidak ada kelainan Gigi geligi
: utuh, normal
Faring
: hiperemis (-)
Lidah
: tidak atrofi,
: T1/T1, tidak hiperemis
Bau pernapasan : tidak berbau Trismus
: tidak ada
Leher Tekanan vena Jugularis (JVP): 5+1 cmH2O Kelenjar tiroid
: tidak teraba membesar
Kelenjar limfe
: tidak teraba membesar
Terpasang CDL dileher kanan Kelenjar getah bening Submandibula
: tidak teraba
Leher : tidak teraba
Supraklavikula
: tidak teraba
Ketiak : tidak teraba
Lipat paha
: tidak teraba
Dada Bentuk
: simetris, tidak ada yang tertinggal
Pembuluh darah
: tidak ada pelebaran
Paru-paru Pemeriksaan Inspeksi
Kiri Kanan
Palpasi
Kiri Kanan
Perkusi Auskultasi
Kiri Kanan Kiri Kanan
Depan Simetris saat statis dan dinamis Simetris saat statis dan dinamis Sela iga normal, tidak ada benjolan, tidak ada nyeri tekan, fremitus melemah Sela iga normal, tidak ada benjolan, tidak ada nyeri tekan, fremitus normal redup di basal paru Sonor di seluruh lapang paru suara napas vesikuler tidak ada wheezing ada ronkhi/riction rub suara napas vesikuler tidak ada wheezing
Belakang Simetris saat statis dan dinamis Simetris saat statis dan dinamis Sela iga normal, tidak ada benjolan, tidak ada nyeri tekan, fremitus melemah Sela iga normal, tidak ada benjolan, tidak ada nyeri tekan, fremitus normal redup di basal paru Sonor di seluruh lapang paru suara napas vesikuler tidak ada wheezing ada ronkhi/rioction rub suara napas vesikuler tidak ada wheezing
tidak ada ronkhi
tidak ada ronkhi
Jantung Inspeksi Palpasi Perkusi
Auskultasi
Ictus cordis tidak tampak, tidak ada lesi kulit, tidak ada bekas operasi Ictus cordisteraba di linea midclavicula sinistra sela iga IV Batas kanan : linea sternalis dextra sela iga IV Batas kiri : linea axillaris anterior sinistra sela iga IV Batas atas : linea sternalis sinistra sela iga II Batas bawah: linea midclavicula sinistra sela iga VI Batas pinggang jantung : linea parasternalis sinistra sela iga IV BJ I-II murni, reguler, tidak ada murmur, tidak ada gallop
Pembuluh Darah Arteri Temporalis Arteri Karotis Arteri Brakhialis Arteri Radialis Perut Inspeksi
: : : :
teraba pulsasi teraba pulsasi teraba pulsasi teraba pulsasi
Arteri Femoralis Arteri Poplitea Arteri Tibialis Posterior Arteri Dorsalis Pedis
: : : :
teraba pulsasi teraba pulsasi teraba pulsasi teraba pulsasi
: warna kulit sawo matang, datar, tidak ada benjolan, tidak ada bekas
operasi, tidak pelebaran pembuluh darah. Palpasi :Dinding perut : supel, datar, tidak teraba massa atau benjolan. Hati : tidak teraba membesar Limpa : tidak teraba membesar Ginjal : ballotemen ( - ) Lain-lain : tidak ada Perkusi : tympani, nyeri ketok CVA ( - ), shifting dullness ( - ), undulasi ( - ) Auskultasi : bising usus normoperistaktik. Refleks dinding perut : normal Alat Kelamin (atas indikasi) : Tidak dilakukan karena tidak ada indikasi Anggota Gerak Lengan Otot Tonus Massa Sendi Gerakan Kekuatan Edema Lain-lain Tungkai dan Kaki Luka Varises Otot Tonus Massa
: : : : : : :
Kanan
Kiri
normotonus eutrofi tidak nyeri aktif +++++ tidak ada palmar eritem (-) flapping tremor (-)
normotonus eutrofi tidak nyeri aktif +++++ + palmar eritem (-) flapping tremor (-)
Kanan : tidak ada : tidak ada : :
normotonus eutrofi
Kiri tidak ada tidak ada normotonus eutrofi
Sendi Gerakan Kekuatan Edema Lain-lain Refleks Bisep Trisep Patela Achiles
: : : : :
tidak nyeri aktif +++++ tidak ada tidak ada Kanan Normorefleks Normorefleks Normorefleks Normorefleks
tidak nyeri aktif +++++ tidak ada tidak ada Kiri Normorefleks Normorefleks Normorefleks Normorefleks
Colok Dubur (atas indikasi) Tidak dilakukan karena tidak ada indikasi.
C. LABORATORIUM RUTIN Laboratorium Tanggal 28/07/2018 Darah Rutin Hemoglobin Hematokrit Leukosit Trombosit
: 7.2 g/dL : 23 % : 5700 mm3 : 155.000 mm3
Faal Ginjal Ureum Kreatinin
: 6 mg/dL : 6.5 mg/dL
Rontgen thorax Deskripsi : ukuran dan bentuk jantung normal. Efusi pleura kiri. Sinus costofrenicus kiri datar dan diafragma normal. Skeletal dinding toraks normal. Kesan : cor normal, efusi pleura kiri, tak tampak proses spesifik maupun pnenumonia EKG Dalam batas normal Laboratorium tanggal 30/07/2018 Darah Rutin Hemoglobin Hematokrit Leukosit Trombosit
: 9.8 g/dL : 29 % : 6500 mm3 : 161.000 mm3
Faal Ginjal Ureum Kreatinin
: 128* mg/dL : 9.8* mg/dL
D. Ringkasan (Resume) Pasien laki laki 73 tahun datang ke igd dengan keluhan sakit kepala sejak 4 hari SMRS di serti sesak napas sejak 2 hari yang lalu pasien juag merasakan lemas dan napsu makannya menurun. Pasien rutin melakukan HD setiap hari Rabu dan Jumat. Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 30 tahun yang lalu. Tekanan darah didapat 200/120 mmHg napas 26 kali/menit. Pada pemeriksaan fisik didapatkan taktil fremitus melemah,suara napas melemah,ronki/friction rub pada basal paru kiri. Pemeriksaan penunjang Hb 2 kali pemeriksaan 7,2 g/dL dan 9,8 g/dL,ureum 6 mg/dL dan 128 mg/dL
E. Diagnosis kerja dan dasar diagnosis Diagnosis kerja
1. hipertensi emergensi 2.CKD grade 5 3.Anemia Dasar diagnosis 1. Hipertensi emergensi Anamnesis: pasien mengeluh sakit kepala seperti tendih benda berat tanpa dipengaruhi perubahan posisi, tengkuk terasa berat. Pasien memiliki riwayat hipertensi yang lama dan pasien rutin minum obat hipertensi,pasien juga memiliki riwayat penyakit ginjal dan rutin melakukan HD . PF:Tekanan darah 200/120 PP:efusi pleura 2. CKD grade 5 on HD Anamnesis: pasien memiliki riwayat hipertensi emergensi dan sudah hipertensi lebih dari 10 tahun ,sudah melakukan HD sebanyak 8 kali PF: Udema di tangan kiri PP: Ureum: 128* mg/dL, Kreatinin: 9.8* mg/dL 3. Anemia Anamnesis:pasien merasa lemas PF:kunjungtifa anemis PP:Hemoglobin darah dalam 2 kali pemeriksaan tetap dibawah normal dengan rincian 7,2 gr/dl dan post transfuse menjadi 9,8 gr/dl Tatalaksana -
Tirah baring Diet bubur kasar O2 3 lpm di igd
-
IVFD nefrosteril I/24 jam Furosemid drip 15 mg/jam hanya 4 hari dari di igd Bicnat 2x1 Caco3 3x1 Amlodipin 10mg 1x1 Ibesartan1x1
- Transfusi PRC 500 cc - Periksa DPL post transfuse
TINJAUAN PUSTAKA 1. DEFINISI KRISIS HIPERTENSI Krisis hipertensi adalah suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan darah yang sangat tinggi (tekanan diastolik> 140 mmHg) dengan kemungkinan akan timbulnya atau telah terjadinya kelainan organ target. Krisis hipertensi meliputi dua kelompk yaitu: 1. Hipertensi emergensi (darurat) ditandai dengan TD Diastolik > 120 mmHg, disertai kerusakan berat dari organ sasaran yang disebabkan oleh satu atau lebih penyakit/kondisi akut. (tabel I). Keterlambatan pengobatan akan menyebabkan timbulnya sequele atau kematian. TD harus diturunkan sampai batas tertentu dalam satu sampai beberapa jam. Penderita perlu dirawat di ruangan intensive care unit atau (ICU). 2. Hipertensi urgensi (mendesak), TD diastolik > 120 mmHg dan dengan tanpa kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. TD harus diturunkan dalam 24 jam sampai batas yang aman memerlukan terapi parenteral. (tabel II). A. KRITERIA KRISIS HIPERTENSI Tabel I : Hipertensi emergensi ( darurat ) TD Diastolik > 120 mmHg disertai dengan satu atau lebih kondisi akut.
Pendarahan intracranial, trombotikatau pendarahan subarakhnoid. Hipertensi ensefalopati. Aorta diseksi akut. Oedema paru akut. Eklampsi. Feokhromositoma.
Funduskopi KW III atau IV. Insufisiensi ginjal akut. Infark miokard akut, angina unstable. Sindroma kelebihan Katekholamin yang lain : - Sindrome withdrawal obat anti hipertensi. - Cedera kepala. - Luka bakar. - Interaksi obat.
Tabel II : Hipertensi urgensi ( mendesak ) Hipertensi berat dengan TD Diastolik > 120 mmHg, tetapi dengan minimal
atau tanpa kerusakan organ sasaran dan tidak dijumpai keadaan pada tabel I. KW I atau II pada funduskopi. Hipertensi post operasi. Hipertensi tak terkontrol / tanpa diobati pada perioperatif.
B. EPIDEMIOLOGI Secara statistik, bila seluruh populasi hipertensi (HT) dihitung, terdapat sekitar 70% pasien yang menderita HT ringan, 20% HT sedang dan 10% HT berat. Pada setiap jenis HT ini dapat timbul krisis hipertensi yang merupakan suatu kegawatan medik dan memerlukan pengelolaan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita. Angka kejadian krisis HT menurut laporan dari hasil penelitian dekade lalu di negara maju berkisar 2 – 7% dari populasi HT, terutama pada usia 40 – 60 tahun dengan pengobatan yang tidak teratur selama 2 – 10 tahun. Angka ini menjadi lebih rendah lagi dalam 10 tahun belakangan ini karena kemajuan dalam pengobatan HT, seperti di Amerika hanya lebih kurang 1% dari 60 juta penduduk yang menderita hipertensi. Di Indonesia belum ada laporan tentang angka kejadian ini. C. PATOFISIOLOGI Arteri normal pada individu normotensi akan mengalami dilatasi atau kontriksi dalam merespon terhadap perubahan tekanan darah untuk mempertahankan aliran (mekanisme autoregulasi) yang tetap terhadap vascular beeds sehingga kerusakan arteriol tidak terjadi. Pada krisis hipertensi terjadi perubahan mekanisme autoregulasi pada vascular beeds (terutama jantung, SSP, dan ginjal) yang mengakibatkan terjadinya perfusi. Akibat perubahan ini akan terjad efek local dengan berpengaruhnya prostaglandin, radikal bebas
dan lain-lain yang mengakibatkan nekrosis fibrinoid arteriol, disfungsi endotel, deposit platelet, proliferasi miointimal, dan efek siskemik akan mempengaruhi renin-angiotensin, katekolamin, vesopresin, antinatriuretik kerusakan vaskular sehingga terjadi iskemia organ target. Jantung, SSP, ginjal dan mata mempunyai mekanisme autoregulasi yang dapat melindungi organ tersebut dari iskemia yang akut, bila tekanan darah mendadak turun atau naik. Misalkan individu normotensi, mempunyai autoregulasi untuk mempertahankan perfusi ke SSP pada tekanan arteri rata-rata. Mean Arterial Pressure (MAP) = Diastole + 1/3 (Sistole - Diastole) Pada individu hipertensi kronis autoregulasi bergeser kekanan pada tekanan arteri rata-rata (110-180mmHg).Mekanisme adaptasi ini tidak terjadi pada tekanan darah yang mendadak naik (krisis hipertensi), akibatnya pada SSP akan terjadi endema dan ensefalopati, demikian juga halnya dengan jantung, ginjal dan mata. D. DIAGNOSIS Diagnosa krisis hipertensi harus ditegakkan sedini mungkin, karena hasil terapi tergantung kepada tindakan yang cepat dan tepat.Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan yang menyeluruh walaupun dengan data-data yang minimal kita sudah dapat mendiagnosa suatu krisis hipertensi. 1. Anamnesa Hal yang penting ditanyakan yaitu :
Riwayat hipertensi : lama dan beratnya.
Obat anti hipertensi yang digunakan dan kepatuhannya.
Usia : sering pada usia 40 – 60 tahun.
Gejala sistem syaraf ( sakit kepala, pusing, perubahan mental, ansietas ).
Gejala sistem ginjal ( gross hematuri, jumlah urine berkurang ).
Gejala sistem kardiovascular ( adanya payah jantung, kongestif dan oedem paru, nyeri dada ).
Riwayat penyakit : glomerulonefrosis, pyelonefritis.
Riwayat kehamilan : tanda eklampsi.
2. Pemeriksaan fisik : Pada pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran TD (baring dan berdiri) mencari kerusakan organ sasaran (retinopati, gangguan neurologi, gagal jantung kongestif).Perlu dibedakan komplikasi krisis hipertensi dengan kegawatan neurologi ataupun payah jantung, kongestif dan oedema paru. Perlu dicari penyakit penyerta lain seperti penyakit jantung koroner. 3. Pemeriksaan penunjang : Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara yaitu : 1.
Pemeriksaan yang segera seperti : a. darah
: rutin, BUN, creatinine, elektrolit.
b. urine
: Urinalisa dan kultur urine.
c. EKG
: 12 Lead, melihat tanda iskemi.
d. Foto dada
:
apakah
ada
oedema
paru(
dapat
ditunggu
setelah
pengobatanterlaksana ). 2.
Pemeriksaan lanjutan (tergantung dari keadaan klinis dan hasil pemeriksaan yang pertama) : a. Sangkaan kelainan renal : IVP, Renal angiography ( kasus tertentu ), biopsi renal ( kasus tertentu ). b.
Menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi : Spinal tab, CAT Scan.
c. Bila disangsikan Feokhromositoma : urine 24 jam untuk Katekholamine, metamefrin, venumandelic Acid ( VMA ). F.DIFERENSIAL DIAGNOSIS 3 Krisis hipertensi harus dibedakan dari keadaan yang menyerupai krisis hipertensi seperti : - Hipertensi berat - Emergensi neurologi yang dapat dikoreksi dengan pembedahan. - Ansietas dengan hipertensi labil. - Oedema paru dengan payah jantung kiri.
G.PENGOBATAN KRISIS HIPERTENSI 1. Dasar-Dasar Penanggulangan Krisis Hipertensi: 1,6 Seperti keadaan klinik gawat yang lain, penderita dengan krisis hipertensi sebaiknya dirawat di ruang perawatan intensif. Pengobatan krisis hipertensi dapat dibagi: 1. Penurunan tekanan darah Pada dasarnya penurunan tekanan darah harus dilakukan secepat mungkin tapi seaman mungkin. Tingkat tekanan darah yang akan dicapai tidak boleh terlalu rendah, karena akan menyebabkan hipoperfusi target organ. Untuk menentukan tingkat tekanan darah yang diinginkan, perlu ditinjau kasus demi kasus. Dalam pengobatan krisis hipertensi, pengurangan Mean Arterial Pressure (MAP) sebanyak 20–25% dalam beberapa menit/jam, tergantung dari apakah emergensi atau urgensi penurunan TD pada penderita aorta diseksi akut ataupun oedema paru akibat payah jantung kiri dilakukan dalam tempo 15–30 menit dan bisa lebih rendah lagi dibandingkan hipertensi emergensi lainnya. Penderita hipertensi ensefalopati, penurunan TD 25% dalam 2–3 jam.Untuk pasien dengan infark cerebri akut ataupun pendarahan intrakranial, pengurangan TD dilakukan lebih lambat (6 – 12 jam) dan harus dijaga agar TD tidak lebih rendah dari 170 – 180/100 mmHg. 2. Pengobatan target organ Meskipun penurunan tekanan darah yang tepat sudah memperbaiki fungsi target organ, pada umumnya masih diperlukan pengobatan dan pengelolaan khusus untuk mengatasi kelainan target organ yang terganggu. Misalnya pada krisis hipertensi dengan gagal jantung kiri akut diperlukan pengelolaan khusus termasuk pemberian diuretic, pemakaian obat-obat yang menurunkan preload dan afterload.Pada krisis hipertensi yang disertai gagal ginjal akut, diperlukan pengelolaan
khusus
untuk
ginjalnya,
yang
kadang-kadang
memerlukan
hemodialisis. 3. Pengelolaan khusus Beberapa bentuk krisis hipertensi memerlukan pengelolaan khusus, terutama yang berhubungan dengan etiloginya, misalnya eklampsia gravidarum. 2. Penanggulangan Hipertensi Emergensi :1,5,6 Bila diagnosa hipertensi emergensi telah ditegakkan maka TD perlu segera diturunkan. Langkah-langkah yang perlu diambil adalah :
Rawat di ICU, pasang femoral intraarterial line dan pulmonari arterial catether (bila ada indikasi ). Untuk menentukan fungsi kordiopulmonair dan status volume
intravaskuler. Anamnesis singkat dan pemeriksaan fisik. - tentukan penyebab krisis hipertensi - singkirkan penyakit lain yang menyerupai krisis HT - tentukan adanya kerusakan organ sasaran
Tentukan TD yang diinginkan didasari dari lamanya tingginya TD sebelumnya, cepatnya kenaikan dan keparahan hipertensi, masalah klinis yang menyertai dan usia pasien. -
Penurunan TD diastolik tidak kurang dari 100 mmHg, TD sistolik tidak kurang dari 160 mmHg, ataupun MAP tidak kurang dari 120 mmHg selama 48 jam pertama, kecuali pada krisis hipertensi tertentu ( misal : disecting aortic aneurysm ). Penurunan TD tidak lebih dari 25% dari MAP ataupun TD yang didapat.
-
Penurunan TD secara akut ke TD normal / subnormal pada awal pengobatan dapat menyebabkan berkurangnya perfusike ke otak, jantung dan ginjal dan hal ini harus dihindari pada beberapa hari permulaan, kecuali pada keadaan tertentu, misal : dissecting anneurysma aorta.
-
TD secara bertahap diusahakan mencapai normal dalam satu atau dua minggu.
Pemakaian obat-obat untuk krisis hipertensi 1,2,6 Obat anti hipertensi oral atau parenteral yang digunakan pada krisis hipertensi tergantung dari apakah pasien dengan hipertensi emergensi atau urgensi. Jika hipertensi emergensi dan disertai dengan kerusakan organ sasaran maka penderita dirawat diruangan intensive care unit, ( ICU ) dan diberi salah satu dari obat anti hipertensi intravena ( IV ). 1. Sodium Nitroprusside : merupakan vasodilator direkuat baik arterial maupun venous. Secara IV mempunyai onsep of action yang cepat yaitu : 1 – 2 dosis 1 – 6 ug / kg / menit. Efek samping : mual, muntah, keringat, foto sensitif, hipotensi.
2. Nitroglycerini : merupakan vasodilator vena pada dosis rendah tetapi bila dengan dosis tinggi sebagai vasodilator arteri dan vena. Onset of action 2 – 5 menit, duration of action 3 – 5 menit. Dosis : 5 – 100 ug / menit, secara infus IV. Efek samping : sakit kepala, mual, muntah, hipotensi. 3. Diazolxide : merupakan vasodilator arteri direk yang kuat diberikan secara IV bolus. Onset of action 1 – 2 menit, efek puncak pada 3 – 5 menit, duration of action 4 – 12 jam. Dosis permulaan : 50 mg bolus, dapat diulang dengan 25 – 75 mg setiap 5 menit sampai TD yang diinginkan. Efek samping : hipotensi dan shock, mual, muntah, distensi abdomen, hiperuricemia, aritmia, dll. 4. Hydralazine : merupakan vasodilator direk arteri. Onset of action : oral 0,5 – 1 jam, IV :10 – 20 menit duration of action : 6 – 12 jam. Dosis : 10 – 20 mg i.v bolus : 10 – 40 mg i.m. Pemberiannya bersama dengan alpha agonist central ataupun Beta Blocker untuk mengurangi refleks takhikardi dan diuretik untuk mengurangi volume intravaskular. Efek samping : refleks takhikardi, meningkatkan stroke volume dan cardiac out put, eksaserbasi angina, MCI akut dll. 5. Enalapriat : merupakan vasodelator golongan ACE inhibitor. Onsep on action 15 – 60 menit. Dosis 0,625 – 1,25 mg tiap 6 jam i.v. 6. Phentolamine ( regitine) : termasuk golongan alpha andrenergic blockers. Terutama untuk mengatasi kelainan akibat kelebihan ketekholamin. Dosis 5 – 20 mg secar i.v bolus atau i.m. Onset of action 11 – 2 menit, duration of action 3 – 10 menit. 7. Trimethaphan camsylate : termasuk ganglion blocking agent dan menginhibisi sistem simpatis dan parasimpatis. Dosis : 1 – 4 mg / menit secara infus i.v. Onset of action : 1 – 5 menit. Duration of action : 10 menit.
Efek samping : opstipasi, ileus, retensia urine, respiratori arrest, glaukoma, hipotensi, mulut kering. 8. Labetalol : termasuk golongan beta dan alpha blocking agent. Dosis : 20 – 80 mg secara i.v. bolus setiap 10 menit ; 2 mg / menit secara infus i.v. Onset of action 5 – 10 menit Efek samping : hipotensi orthostatik, somnolen, hoyong, sakit kepala, bradikardi, dll. Juga tersedia dalam bentuk oral dengan onset of action 2 jam, duration of action 10 jam dan efek samping hipotensi, respons unpredictable dan komplikasi lebih sering dijumpai. 9. Methyldopa : termasuk golongan alpha agonist sentral dan menekan sistem syaraf simpatis. Dosis : 250 – 500 mg secara infus i.v / 6 jam. Onset of action : 30 – 60 menit, duration of action kira-kira 12 jam. Efek samping : Coombs test ( + ) demam, gangguan gastrointestino, withdrawal sindrome dll. Karena onset of actionnya bisa takterduga dan kasiatnya tidak konsisten, obat ini kurang disukai untuk terapi awal. 10. Clonidine : termasuk golongan alpha agonist sentral. Dosis : 0,15 mg i.v pelan-pelan dalam 10 cc dekstrose 5% atau i.m.150 ug dalam 100 cc dekstrose dengan titrasi dosis. Onset of action 5 –10 menit dan mencapai maksimal setelah 1 jam atau beberapa jam. Efek samping : rasa ngantuk, sedasi, pusing, mulut kering, rasa sakit pada parotis. Bila dihentikan secara tiba-tiba dapat menimbulkan sindroma putus obat. Walaupun akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk memberikan obat-obat oral yang cara pemberiannya lebih mudah tetapi pemberian obat parenteral adalah lebih aman. Dengan Sodium nitrotprusside, Nitroglycirine, Trimethaphan TD dapat diturunkan baik secara perlahan maupun cepat sesuai keinginan dengan cara menatur tetesan infus. Bila terjadi penurunan TD berlebihan, infus distop dan TD dapat naik kembali dalam beberapa menit. Demikian juga pemberian labetalol ataupun Diazoxide secara bolus intermitten intravena dapat menyebabkan TD turun bertahap.Bila TD yang diinginkan telah dicapai, injeksi dapat di stop, dan TD naik kembali.Perlu diingat bila digunakan obat
parenteral yang long acting ataupun obat oral, penurunan TD yang berlebihan sulit untuk dinaikkan kembali. *Pilihan obat-obatan pada hipertensi emergensi 1,6, Dari berbagai jenis hipertensi emergensi, obat pilihan yang dianjurkan maupun yang sebaiknya dihindari adalah sbb : 1. Hipertensi encephalopati: Anjuran : Sodium nitroprusside, Labetalol, diazoxide. Hindarkan : B-antagonist, Methyidopa, Clonidine. 2. Cerebral infark : Anjuran : Sodium nitropsside, Labetalol, Hindarkan : B-antagonist, Methydopa, Clonidine. 3. Perdarahan intacerebral, perdarahan subarakhnoid : Anjuran : Sodiun nitroprusside Labetalol Hindarkan : B-antagonist, Methydopa, Clonodine. 4. Miokard iskemi, miokrad infark : Anjuran : Nitroglycerine, Labetalol, Caantagonist, Sodium Nitroprusside dan loop diuretuk. Hindarkan : Hyralazine, Diazoxide, Minoxidil. 5. Oedem paru akut : Anjuran : Sodium nitroroprusside dan loopdiuretik. Hindarkan : Hydralacine, Diazoxide, B-antagonist, Labetalol. 6. Aorta disseksi : Anjuran : Sodium nitroprussidedan B-antagonist, Trimethaohaan dan B-antagonist, labetalol. Hindarkan : Hydralazine, Diaozoxide, Minoxidil 7. Eklampsi : Anjuran : Hydralazine, Diazoxide, labetalol, Ca antagonist, sodium nitroprusside. Hindarkan: Trimethaphan, Diuretik, B-antagonist 8. Renal insufisiensi akut : Anjuran : Sodium nitroprusside, labetalol, Ca-antagonist Hindarkan : B- antagonist, Trimethaphan 9. KW III-IV : Anjuran : Sodium nitroprusside, Labetalol, Ca – antagonist. Hindarkan : B-antagonist, Clonidine, Methyldopa. 10. Mikroaangiopati hemolitik anemia : Anjuran : Sodium nitroprosside, Labetalol, Caantagonist. Hindarkan : B-antagonist. Dari berbagai sediaan obat anti hipertensi parenteral yang tersedia, Sodium nitroprusside merupakan drug of choice pada kebanyakan hipertensi emergensi. Karena pemakaian obat ini haruslah dengan cara tetesan intravena dan harus dengan monitoring ketat, penderita harus dirawat di ICU karena dapat menimbulkan hipotensi berat.
Nicardipine suatu calsium channel antagonist merupakan obat baru yang diperukan secara intravena, telah diteliti untuk kasus hipertensi emergensi (dalam jumlah kecil) dan tampaknya memberikan harapan yang baik. • Obat oral untuk hipertensi emergensi :5,6, Dari berbagai penelitian akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk menggunakan obat oral seperti Nifedipine ( Ca antagonist ) Captopril dalam penanganan hipertensi emergensi. Pada tahun 1993 telah diteliti penggunaan obat oral nifedipine sublingual dan captoprial pada penderita hipertensi krisis memberikan hasil yang cukup memuaskan setelah menit ke 20.Captopril dan Nifedipine sublingual tidak berbeda bermakna dam menurunkan TD. Captopril 25mg atau Nifedipine 10mg digerus dan diberikan secara sublingual kepada pasien. TD dan tanda Vital dicatat tiap lima menit sampai 60 menit dan juga dicatat tandatanda efek samping yang timbul. Pasien digolongkan non-respon bila penurunan TD diastolik <10mmHg setelah 20 menit pemberian obat.Respon bila TD diastolik mencapai <120mmHg atau MAP <150mmHg dan adanya perbaikan simptom dan sign dari gangguan organ sasaran yang dinilai secara klinis setelah 60 menit pemberian obat.Inkomplit respons bila setelah 60 menit pemberian obat.Inkomplit respons bila setelah 60 menit TD masih >120mmHg atau MAP masih >150mmHg, tetapi jelas terjadi perbaikan dari simptom dan sign dari organ sasaran. 3. Penanggulangan hipertensi urgensi :1 Penderita dengan hipertensi urgensi tidak memerlukan rawat inap di rumah sakit.Sebaiknya penderita ditempatkan diruangan yang tenang, tidak terang dan TD diukur kembali dalam 30 menit.Bila TD tetap masih sangat meningkat, maka dapat dimulai pengobatan.Umumnya digunakan obat-obat oral anti hipertensi dalam menggulangi hipertensi urgensi ini dan hasilnya cukup memuaskan. Obat-obat oral anti hipertensi yang digunakan a.l : Nifedipine : pemberian bisa secara sublingual (onset 5-10 menit). Buccal (onset 5 –10 menit), oral (onset 15-20 menit), duration 5 – 15 menit secara sublingual/ buccal). Efek samping : sakit kepala, takhikardi, hipotensi, flushing, hoyong. Clondine : Pemberian secara oral dengan onset 30 – 60 menit Duration of Action 8-12 jam. Dosis : 0,1-0,2 mg,dijutkan 0,05mg-0,1 mg setiap jam s/d 0,7mg. Efek samping : sedasi,mulut kering.Hindari pemakaian pada 2nd degree atau 3rd degree, heart block, brakardi,sick sinus syndrome.Over dosis dapat diobati dengan tolazoline.
Captopril : pemberian secara oral/sublingual. Dosis 25mg dan dapat diulang setiap 30 menit sesuai kebutuhan. Efek samping : angio neurotik oedema, rash, gagal ginjal akut pada penderita bilateral renal arteri sinosis. Prazosin : Pemberian secara oral dengan dosis 1-2mg dan diulang perjam bila perlu. Efek samping : first dosyncope, hiponsi orthostatik, palpitasi, takhikaro sakit kepala. Dengan pemberian Nifedipine ataupun Clonidine oral dicapai penurunan MAP sebanyak 20 % ataupun TD<120 mmHg.Demikian juga Captopril, Prazosin terutama digunakan pada penderita hipertensi urgensi akibat dari peningkatan katekholamine.Perlu diingat bahwa pemberian obat anti hipertensi oral/sublingual dapat menyebabkan penurunan TD yang cepat dan berlebihan bahkan sampai kebatas hipotensi (walaupun hal ini jarang sekali terjadi). Dikenal adanya “first dose” efek dari Prozosin.Dilaporkan bahwa reaksi hipotensi akibat pemberian oral Nifedifine dapat menyebabkan timbulnya infark miokard dan stroke. Dengan pengaturan titrasi dosis Nifedipine ataupun Clonidin biasanya TD dapat diturunkan bertahap dan mencapai batas aman dari MAP. Penderita yang telah mendapat pengobatan anti hipertensi cenderung lebih sensitive terhadap penambahan terapi.Untuk penderita ini dan pada penderita dengan riwayat penyakit cerebrovaskular dan koroner, juga pada pasien umur tua dan pasien dengan volume depletion maka dosis obat Nifedipine dan Clonidine harus dikurangi.Seluruh penderita diobservasi paling sedikit selama 6 jam setelah TD turun untuk mengetahui efek terapi dan juga kemungkinan timbulnya orthotatis. Bila TD penderita yang obati tidak berkurang maka sebaiknya penderita dirawat dirumah sakit. H. PROGNOSIS3 Sebelum ditemukannya obat anti hipertensi yang efektif survival penderita hanyalah 20% dalam 1 tahun.Kematian sebabkan oleh uremia (19%), gagal jantung kongestif (13%), cerebro vascular accident (20%), gagal jantung kongestif disertai uremia (48%), infrak Miokard (1%), diseksi aorta (1%). Prognosis menjadi lebih baik berkat ditemukannya obat yang efektif dan penanggulangan penderita gagal ginjal dengan analisis dan transplantasi ginjal. 2.CKD grade 5 The NationalKidney Foundation- Kidney Dialysis Outcome Quality Iniatiative (NKFK/DOQI) mendefinisikan CKD sebagai (1) kerusakan ginjal yang terjadi selama tiga
bulan atau lebih, berupa kelainan struktural atau fungsional ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi kelainan patologis atau petanda (marker) kerusakan ginjal , termasuk kelainan dalam komposisi darah maupun urin, atau kelainan dalam tes pencitraan ; atau (2) LFG < 60 ml/menit/1,73m2 selama tiga bulan atau lebih, dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Berdasarkan derajat penyakit, yang ditentukan dari nilai laju filtrasi glomerulus, maka NKF-K/DOQI merekomendasikan klasifikasi CKD menjadi 5 stadium. Menurut klasifikasi ini, CKD stage V ditegakkan bila nilai LFG < 15 ml/menit/1,73 m2 . 3 Gejala klinik yang ditunjukkan oleh penderita CKD meliputi: (1) sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurisemi, Lupus Eritematosus Sistemik dan lain sebagainya. (2) gejala-gejala Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overloaded), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma. (3) Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida).4 Pada kasus ini, pasien laki-laki, 54 tahun, mengeluh sesak nafas sejak 1 minggu SMRS, yang bertambah berat bila pasien berbaring atau beraktivitas, namun agak membaik dengan perubahan posisi dan beristirahat. Pasien juga mengeluh batuk yang muncul bersamaan dengan keluhan sesak, berisi dahak yang berwarna putih dan kadang-kadang berbuih. Pasien juga mengalami muntah yang didahului rasa mual, muncul beberapa saat setelah pasien makan atau minum sesuatu. Pasien mengeluh kedua kakinya bengkak secara bersamaan. Semenjak timbulnya keluhan-keluhan diatas, pasien merasa badannya lemah seperti tidak bertenaga. Lemah dirasakan sepanjang hari, hingga membuat pasien lebih banyak berbaring di tempat tidur. Dalam kepustakaan disebutkan bahwa penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia th. 2000 meliputi: Glomerulonefritis (46,39%), Diabetes melitus (18,65%), Obstruksi dan infeksi (12,85%), Hipertensi (8,46%), Sebab lain (13,65%).4 Pada kasus ini, pasien memiliki riwayat penyakit batu ginjal (pada ginjal kiri) sejak 10 tahun yang lalu, namun tidak dilakukan oerasi, karena pasien menolak tindakan operasi. Pasien juga mempunyai riwayat hipertensi sejak 5 tahun yang lalu, dan telah mendapatkan pengobatan captopril 2 x 1 tablet sehari. Akan tetapi pasien tidak rutin minum obat. Riwayat penyakit lain seperti diabetes melitus, penyakit jantung serta asma disangkal, demikian pula tidak ada riwayat trauma pada kedua ginjal. Gambaran laboratorium CKD meliputi: (1) sesuai dengan penyakit yang mendasarinya; (2) penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum serta penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault; (3) kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin (anemia), peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik dan (4) kelainan urinalisis yang meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isostenuria.4 Dari hasil pemeriksaan darah lengkap pada kasu ini, dijumpai adanya anemia ringan normokromik normositer (hemoglobin 9,40 g/dl, MCV 91,50 fL, MCH 27,70 Pg) dan trombositopenia (126,40 x 103 /μL). Pada pemeriksaan kimia klinik ditemukan adanya peningkatan kadar BUN (88 mg/dl), peningkatan kreatinin (16,63 mg/dl) dan penurunan LFG (5,03 ml/menit/1,73 m2) . Pada pemeriksaan analisis gas darah ditemukan adanya asidosis metabolik terkompensasi parsial (pH 7,32, PCO2 21,00 mmHg, PO2 147,00 mmHg, HCO3 10,60 mmol/L, BEecf -15,30 mmol/L) dan hiponatremia (136,00 mmol/L). Pada pemeriksaan urinalisis ditemukan leukosuria (25,00 Leu/uL), proteinuria (500,00 mg/dl), glukosuria (50,00 mg/dl) dan haematuria (150,00 Ery/uL) Pemeriksaan radiologis pada CKD meliputi foto polos abdomen, pielografi intravena, ultrasonografi, serta renografi. Pada foto polos abdomen bisa tampak adanya batu radioopak. Pielografi intravena jarang
dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi. Sedangkan pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.4 Pada kasus ini, telah dilakukan pemeriksaan foto polos (BOF) abdomen dan didapatkan kesan adanya batu radiopaque di ureter kiri 1/3 distal, dan batu radiopaque di buli-buli. Untuk mendapatkan pencitraan ginjal yang lebih spesifik, maka pada pasien ini juga direncanakan pemeriksaan ultrasonografi abdomen. Pada pasien juga dilakukan pemeriksaan foto thorax AP, dan didapatkan kesan adanya kardiomegali dengan edema pulmonum. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, maka pasien ini didiagnosis dengan CKD Stage V karena secara klinis dijumpai 3 gejala/tanda klasik CKD yaitu edema, anemia, dan hipertensi, ditambah penurunan fungsi ginjal yang ditandai dengan LFG < 15 ml/menit/1,73m2. Kausa PNC dipilih karena pasien memiliki riwayat batu saluran kencing yang dikuatkan oleh bukti radiologis. Penatalaksanaan CKD meliputi: (1) terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya, (2) pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (faktor komorbid tersebut antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya), (3) memperlambat perburukan fungsi ginjal (restriksi protein dan terapi farmakologis),(4) pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular (pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia, anemia, hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit), (5) pencegahan dan terapi terhadap komplikasi (anemia, osteodistrofi renal, pembatasan cairan dan elektrolit) dan (6) terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.4 Terapi pengganti ginjal merupakan terapi definitif pada CKD stadium V. Terapi pengganti ginjal tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis, dan transplantasi ginjal. Hemodialisis emergensi adalah salah satu pilihan hemodialisis yang dikerjakan pada pasien-pasien CKD dengan LFG < 5 ml/menit/1,73 m2 dan atau bila ditemukan salah satu dari keadaan berikut: (1) adanya keadaan umum yang buruk dan kondisi klinis yang nyata, (2) serum kalium > 6 meq/L, (3) ureum darah > 200 mg/dL,(4) pH darah < 7,1, (5) anuria berkepanjangan (> 5 hari), (6) serta adanya bukti fluid overload. 3.Anemia Definisi Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer. Kriteria Parameter yang paling umum untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Harga normal hemoglobin sangat bervariasi secara fisiologis tergantung jenis kelamin, usia, kehamilan dan ketinggian tempat tinggal.
Kriteria anemia menurut WHO adalah: NO 1. 2. 3.
KELOMPOK Laki-laki dewasa Wanita dewasa tidak hamil Wanita hamil
KRITERIA ANEMIA < 13 g/dl < 12 g/dl < 11 g/dl
Klasifikasi Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan etiologi. Klasifikasi morfologi didasarkan pada ukuran dan kandungan hemoglobin.
N
Morfologi Sel
o 1.
Anemia makrositik Bentuk - normokromik
2.
Keterangan
Jenis Anemia
eritrosit
yang - Anemia Pernisiosa
besar dengan konsentrasi - Anemia defisiensi folat
hemoglobin yang normal Anemia mikrositik Bentuk eritrosit yang - Anemia defisiensi besi - hipokromik
kecil dengan konsentrasi - Anemia sideroblastik hemoglobin
3.
yang - Thalasemia
menurun Anemia normositik Penghancuran - normokromik
penurunan
atau - Anemia aplastik jumlah - Anemia posthemoragik
eritrosit tanpa disertai - Anemia hemolitik kelainan
bentuk
dan - Anemia Sickle Cell
konsentrasi hemoglobin
- Anemia
pada
penyakit
kronis Menurut etiologinya, anemia dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu gangguan produksi sel darah merah pada sumsum tulang (hipoproliferasi), gangguan pematangan sel darah merah (eritropoiesis yang tidak efektif), dan penurunan waktu hidup sel darah merah (kehilangan darah atau hemolisis). 1. Hipoproliferatif Hipoproliferatif merupakan penyebab anemia yang terbanyak. Anemia hipoproliferatif ini dapat disebabkan karena: a. Kerusakan sumsum tulang
Keadaan ini dapat disebabkan oleh obat-obatan, penyakit infiltratif (contohnya: leukemia, limfoma), dan aplasia sumsum tulang. b. Defisiensi besi c. Stimulasi eritropoietin (EPO) yang inadekuat Keadaan ini terjadi pada gangguan fungsi ginjal d. Supresi produksi EPO yang disebabkan oleh sitokin inflamasi (misalnya: interleukin 1) e. Penurunan kebutuhan jaringan terhadap oksigen (misalnya pada keadaan hipotiroid) Pada jenis ini biasanya ditemukan eritrosit yang normokrom normositer, namun dapat pula ditemukan gambaran eritrosit yang hipokrom mikrositer, yaitu pada defisiensi besi ringan hingga sedang dan penyakit inflamasi. Kedua keadaan tersebut dapat dibedakan melalui pemeriksaan persediaan dan penyimpanan zat besi.
Fe serum TIBC Saturasi transferin Feritin serum
Defisiensi besi Rendah Tinggi Rendah Rendah
Inflamasi Rendah Normal atau rendah Rendah Normal atau tinggi
2. Gangguan pematangan Pada keadaan anemia jenis ini biasanya ditemukan kadar retikulosit yang “rendah”, gangguan morfologi sel (makrositik atau mikrositik), dan indeks eritrosit yang abnormal. Gangguan pematangan dapat dikelompokkan menjadi 2 macam yaitu: a. Gangguan pematangan inti Pada keadaan ini biasanya ditmukan kelainan morfologi berupa makrositik. Penyebab dari gangguan pematangan inti adalah defisiensi asam folat, defisiensi vitamin B12, obat-obatan yang mempengaruhi metabolisme DNA (seperti metotreksat, alkylating agent), dan myelodisplasia. Alkohol juga dapat menyebabkan gangguan pematangan inti, namun keadaan ini lebih disebabkan oleh defisiensi asam folat. b. Gangguan pematangan sitoplasma Pada keadaan ini biasanya ditmukan kelainan morfologi berupa mikrositik dan hipokromik. Penyebab dari gangguan pematangan sitoplasma adalah defisiensi besi yang berat, gangguan sintesa globin (misalnya pada thalasemia), dan gangguan sintesa heme (misalnya pada anemia sideroblastik) 3. Penurunan waktu hidup sel darah merah
Anemia jenis ini dapat disebabkan oleh kehilangan darah atau hemolisis. Pada kedua keadan ini akan didapatkan peningkatan jumlah retikulosit. Kehilangan darah dapat terjadi secara akut maupun kronis. Pada fase akut, belum ditemukan peningkatan retikulosit yang bermakna karena diperlukan waktu untuk terjadinya peningkatan eritropoietin dan proliferasi sel dari sumsum tulang. Sedangkan pada fase kronis gambarannya akan menyerupai anemia defisiensi besi. Gambaran dari anemia hemolitik dapat bermacam-macam, dapat akut maupun kronis. Pada anemia hemolisis kronis, seperti pada sferositosis herediter, pasien datang bukan karena keadaan anemia itu sendiri, melainkan karena komplikasi yang ditimbulkan oleh pemecahan sel darah merah dalam jangka waktu lama, seperti splenomegali, krisis aplastik, dan batu empedu. Pada keadaan yang disebabkan karena autoimun, hemolisis dapat terjadi secara episodik (self limiting).
Gambar 1: klasifikasi anemia berdasarkan indeks eritrosit Gejala Klinis Gejala dan tanda anemia bergantung pada derajat dan kecepatan terjadinya anemia, juga kebutuhan oksigen penderita. Gejala akan lebih ringan pada anemia yang terjadi perlahanlahan, karena ada kesempatan bagi mekanisme homeostatik untuk menyesuaikan dengan berkurangnya kemampuan darah membawa oksigen. Gejala anemia disebabkan oleh 2 faktor: -
Berkurangnya pasokan oksigen ke jaringan
-
Adanya hipovolemia (pada penderita dengan perdarahan akut dan masif ) Pasokan oksigen dapat dipertahankan pada keadaan istirahat dengan mekanisme
kompensasi peningkatan volume sekuncup, denyut jantung dan curah jantung pada kadar Hb mencapai 5 g% (Ht 15%). Gejala timbul bila kadar Hb turun di bawah 5 g%, pada kadar Hb lebih tinggi selama aktivitas atau ketika terjadi gangguan mekanisme kompensasi jantung karena penyakit jantung yang mendasarinya. Gejala utama adalah sesak napas saat beraktivitas, sesak pada saat istirahat, fatigue, gejala dan tanda keadaan hiperdinamik (denyut nadi kuat, jantung berdebar, dan roaring in the ears). Pada anemia yang lebih berat, dapat timbul letargi, konfusi, dan komplikasi yang mengancam jiwa (gagal jantung, angina, aritmia dan/atau infark miokard). Anemia
yang disebabkan
perdarahan
akut
berhubungan
dengan
komplikasi
berkurangnya volume intraseluler dan ekstraseluler. Keadaan ini menimbulkan gejala mudah lelah, lassitude (tidak bertenaga), dan kram otot. Gejala dapat berlanjut menjadi postural dizzines, letargi, sinkop; pada keadaan berat, dapat terjadi hipotensi persisten, syok, dan kematian. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Laboratorium yang digunakan untuk menegakkan diagnosis anemia adalah: 1. Complete Blood Count (CBC) A. Eritrosit a. Hemoglobin (N ♀: 12-16 gr/dl ; ♂: 14-18 gr/dl) b. Hematokrit (N ♀: 37-47% ; ♂: 42-52%) B. Indeks eritrosit a. Mean Cell Volume (MCV) =
hematokrit x 10 Jumlah eritrosit x 10 6
(N: 90 + 8 fl) b. Mean Cell Hemoglobin (MCH) =
hemoglobin x 10 Jumlah eritrosit x 10 6
(N: 30 + 3 pg) c. Mean Cell Hemoglobin Concentration (MCHC) =
hemoglobin x 10
Hematokrit (N: 33 + 2%) C. Leukosit (N : 4500 – 11.000/mm3) D. Trombosit (N : 150.000 – 450.000/mm3) 2. Sediaan Apus Darah Tepi a. Ukuran sel b. Anisositosis c. Poikolisitosis d. Polikromasia 3. Hitung Retikulosit ( N: 1-2%) 4. Persediaan Zat Besi a. Kadar Fe serum ( N: 9-27µmol/liter ) b. Total Iron Binding Capacity ( N: 54-64 µmol/liter) c. Feritin Serum ( N ♀: 30 µmol/liter ; ♂: 100 µmol/liter) 5. Pemeriksaan Sumsum Tulang a. Aspirasi -
E/G ratio
-
Morfologi sel
-
Pewarnaan Fe
b. Biopsi -
Selularitas
-
Morfologi
I. Pemeriksaan Complete Blood Count (CBC) Kriteria apakah seseorang menderita anemia dapat dilihat dari kadar hemoglobin dan hematokritnya. Selain itu, indeks eritrosit dapat digunakan untuk menilai abnormalitas ukuran eritrosit dan defek sintesa hemoglobin. Bila MCV < 80, maka disebut mikrositosis dan bila > 100 dapat disebut sebagai makrositosis. Sedangkan MCH dan MCHC dapat menilai adanya defek dalam sintesa hemoglobin (hipokromia) II.
Sediaan Apus Darah Tepi (SADT) SADT akan memberikan informasi yang penting apakah ada gangguan atau defek pada produksi sel darah merah. Istilah anisositosis menunjukkan ukuran eritrosit yang
bervariasi, sedangkan poikilositosis menunjukkan adanya bentuk dari eritrosit yang beraneka ragam. III.
Hitung Retikulosit Pemeriksaan ini merupakan skrining awal untuk membedakan etiologi anemia. Normalnya, retikulosit adalah sel darah merah yang baru dilepas dari sumsum tulang. Retikulosit mengandung residual RNA yang akan dimetabolisme dalam waktu 24-36 jam (waktu hidup retikulosit dalam sirkulasi). Kadar normal retikulosit 1-2% yang menunjukkan penggantian harian sekitar 0,8-1% dari jumlah sel darah merah di sirkulasi. Indeks retikulosit merupakan perhitungan dari produksi sel darah merah. Nilai retikulosit akan disesuaikan dengan kadar hemoglobin dan hematokrit pasien berdasarkan usia, gender, sarta koreksi lain bila ditemukan pelepasan retikulosit prematur (polikromasia). Hal ini disebabkan karena waktu hidup dari retikulosit prematur lebih panjang sehingga dapat menghasilkan nilai retikulosit yang seolah-olah tinggi. RI = (% retikulosit x kadar hematokrit/45%) x (1/ faktor koreksi) Faktor koreksi untuk: Ht 35% : 1,5 Ht 25% : 2,0 Ht 15% : 2,5 Keterangan: RI < 2-2,5% : produksi atau pematangan eritrosit yang tidak adekuat RI > 2,5% : penghancuran eritrosit yang berlebihan
IV.
Persediaan dan Penyimpanan Zat Besi Saturasi transferin didapatkan dari pembagian kadar Fe serum dengan TIBC dikali 100 (N: 25-50%). Pada pengukuran kadar Fe plasma dan persen saturasi transferin, terdapat suatu variasi diurnal dengan puncaknya pada pk 09.00 dan pk. 10.00. Serum feritin digunakan untuk menilai cadangan total besi tubuh. Namun, feritin juga merupakan suatu reaktan fase akut, dan pada keadaan inflamasi baik akut maupun kronis, kadarnya dapat meningkat.
V.
Pemeriksaan Sumsum Tulang Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menilai apakah ada gangguan pada sumsum tulang misalnya myelofibrosis, gangguan pematangan, atau penyakit infiltratif. Peningkatan atau penurunan perbandingan dari suatu kelompok sel (myeloid atau eritroid) dapat ditemukan dari hitung jenis sel-sel berinti pada suumsum tulang (ratio eritroid dan granuloid). Daftar Pustaka 1. A.V. Hoffbrand, J.E. Pettit, P.A.H. VI.EGC.Jakarta.2006.Hal: 13-67, 269-270.
Moss.Kapita
Selekta
Hematologi.Edisi
2. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson.Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume I.Edisi VI.EGC.Jakarta.2006.Hal: 258-260. 3. Abidin Widjanarko, Aru W. Sudoyo, Hans Salonder.Anemia Aplastik.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.Edisi IV.Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.Jakarta.2006.Hal:627-633. 4. Budihussodo, Unggul. 2006. Karsinoma Hati. Editor: Aru W. Suyono dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 edisi keIV. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 5. Lindseth, Glenda N. 2006. Gangguan Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas. Editor:
Sylvia A. Price dan Lorraine M. Wilson dalam Buku Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses Penyakit Volume 1 edisi 6. Jakarta: EGC 6. Desen, Wan. 2008. Tumor Abdomen. Dalam Buku Ajar Onkologi Klinik edisi 2. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI. 7. Singgih B., Datau E.A., 2006, Hepatoma dan Sindrom Hepatorenal. Jacobson R.D., 2009.
Hepatocelluler Carcinoma. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/369226overview 8. Rasyid, Abdul. 2006. Temuan Ultrasonografi Kanker Hati Hepato Selular (Hepatoma).
Diakses dari http:/ repository.usu.ac.id/bitstream.pdf 9. Honda,
Hiroshi, dkk. Differential Diagnosis of Hepatic Tumors (Hepatoma, Hemangioma, and Metastasis) with CT. Diakses dari http://www.ajronline.org/cgi/reprint/159/4/735.pdf
10. Braunwald, Fugene, MD. Principles Of Internal Medicine. In Horrison’s 15 th editon.
TANGGAL 31 Juli 2018
S Sakit kepala berkurang ,lemas berkurang , mual berkurang , sesak (-)
O ▪ KU: sakit sedang ▪ Kesadaran : compos mentis ▪ Tanda vital - TD : 150/80 mmHg - Nadi: 84x/menit - Suhu: 36, 90C - RR: 20x/menit - SpO2: 98% - Kepala: Normochepali. Mata: (-) CA, (+/+) SI (-) pupil isokor. Telinga: normal, nafas cuping hidung (-), Mulut bibir kering, leher: tidak ada pembesaran KGB, Pulmo: suara nafas vesikuler normal (+/ +), Rh (-/+), Wheezing (-/-), Cor: murmur (-), Gallop (-), Abdomen: Supel, Nyeri tekan epigastrium (-)
A CKD grade V on HD + Hipertensi
P
-
Tirah baring Diet bubur kasar O2 3 lpm di igd IVFD nefrosteril
-
I/24 jam Furosemid drip 15
emergency
mg/jam hanya 4 -
hari dari di igd Bicnat 2x1 Caco3 3x1 Amlodipin 10mg
-
1x1 Ibesartan1x1
- Transfusi PRC 500 cc - Periksa DPL post transfuse