Laporan Kasus 2 Leptospirosis.docx

  • Uploaded by: Fiky setiawan
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laporan Kasus 2 Leptospirosis.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,582
  • Pages: 18
Laporan kasus- Leptospirosis Dr. Fiki Setiawan Subjective

Pasien seorang laki-laki berusia 18 tahun, dibawa keluarga ke IGD RSUD Petala Bumi dengan keluhan Nyeri Pada otot extremitas, nyeri dirasakan sejak 5hari yang lalu, dirasakan semakin lama semakin berat, hingga dirasakan bagian tubuh yang nyeri sulit untuk digerakan, terutama pada betis kaki dan lengan tangan. Awalnya nyeri didahului dengan Demam sejak 6hari yang lalu, demam tinggi, terus menerus, disertai menggigil, suhu saat demam tidak diukur. Mimisan, gusi berdarah dan Bab hitam disangkal. Pasien juga mengeluhkan kulit menjadi kuning sejak 3hari yang lalu. Bak dikatakan pasien menjadi berwarna kuning pekat seperti warna kunyit sejak 3hari yang lalu, Bak tidak berbau busuk tidak dirasakan nyeri atau panas saat bak. Bab tidak ada keluhan. Pasien juga mengatakan muntah tadi pagi sebanyak 1x, isi air. Makan dan minum tidak ada keluhan. Riwayat pasien 7hari yang lalu bekerja memasang tenda saat hujan dan, kaki pasien beberapa kali masuk kedalam lumpur hingga setinggi betis dan dikatakan ada luka pada kaki pasien yang terkena lumpur. Bercak-bercak kemerahan pada betis disangkal dan riwayat digigit binatang disangkal. Riwayat keluarga atau teman yang terkena penyakit kuning disangkal, riwayat memakai tato, jarum suntik bekas, berhubungan seksual dan transfuse darah disangkal. Riwayat kejang dan tertusuk paku atau pecahan kaca disangkal. Riwayat trauma disangkal. Dirumah pasien sudah minum obat penurun panas yaitu paracetamol tablet 500mg yang dibeli diapotik, demam turun kemudian naik lagi. Riwayat alergi obat atau makanan disangkal oleh pasien. Tidak ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga pasien.

Objective Status generalis Keadaan umum Kesadaran GCS Tekanan darah Frekuensi nadi Frekuensi nafas Suhu

: Sakit sedang : komposmentis : E4M6V5 : 130/90 mmHg : 118 x /menit : 22 x/ menit : 38,6oC

SpO2

: 100%

Pemeriksaan Sistemik : Kulit : Teraba hangat, tampak ikterik Kelenjar Getah Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening di regio colli, Bening axilla, supraklavikula, infraklavikula dan inguinal. Rambut : Hitam, tidak mudah rontok Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera ikterik, pupil isokor diameter pupil 2 mm/2mm, reflek cahaya+/+ normal Telinga : Keluar cairan dari telinga tidak ada, eritem tidak ada Hidung : Nafas cuping hidung tidak ada Mulut : Mukosa mulut dan bibir basah, sianosis sirkum oral tidak ada Tenggorokan : Uvula ditengah, faring tidak hiperemis, T1T1 tidak hiperemis Leher : Kuduk kaku (-) kaku kuduk(-) Dada : Paru  Inspeksi : Normochest, pergerakan dinding dada simetris kiri dan kanan, retraksi di epigastrium tidak ada  Palpasi : fremitus sulit dilakukan  Perkusi : sonor dikedua lapangan paru  Auskultasi : Vesikuler, Ronkhi tidak ada, Wheezing tidak ada Jantung  Inspeksi: Iktus kordis tidak terlihat  Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari medial linea mid clavicularis sinistra RIC V  Perkusi : dalam batas normal  Auskultasi : irama reguler, bising tidak ada, gallop tidak ada Perut : Inspeksi : Distensi tidak ada Palpasi : Supel, nyeri tekan dan nyeri lepas tidak ada, hepar dan lien tidak teraba. Murphy (-) Hepatomegali (-) Perkusi: Timpani Auskultasi : Bising usus (+) normal Punggung : Inspeksi : Deformitas tidak ada Palpasi : massa tidak ada

Anggota gerak

: Akral hangat, CRT <2 detik Motorik 5/5/5/5 Nyeri Remas Gastrocnemius +/+ Swimmer itch (-) Nyeri Remas Bicep +/+ ROM tidak terbatas Krepitasi sendi (-) Udem(-) Hiperemis (-)

Pemeriksaan Penunjang: Hb

: 13.6 mg/dl

Leukosit

: 21.350/mm

Diff count

: Basofil

0

Eusinofil

0

Neutrofil

87

Limfosit

4

Monosit

9

Eritrosit

: 4.82 jt

Trombosit

: 355.000

Hematocrit

: 38.8

LED

:-

URINALISA : Kuning keruh

Keton –

Bj 1.025

Nitrit –

Ph 5

Bakteri –

Protein -

Eritrosit 1-2

Reduksi –

Leukosit 2-5

Bilirubin +

Epitel gepeng +

Urobilinogen +

Kimia Darah Ureum

22

Creatinine

0.7

SGOT

35

SGPT

71

Bilirubin

Direk 2.7 Indirek 0.7

HBsAg

-

Assessment Pasien laki-laki 18th, datang ke IGD RSUD Petala Bumi dengan diagnoas kerja Obs Febs H-6 ec Susp Leptospirosis dd Weil’s deasase. Diagnosa ditegakkan berdasarakan anamenasis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaa Penunjang. Berdasarkan anamnesa didapatkan keluhan nyeri pada otot ekstremitas dirasaka semakin memberat, disertai demam sejak 6hari yang lalu, demam disertai menggigil dan kulit pasien menguning sejak 3hari smrs. Pasien juga mengeluh muntah sebanyak 1x dan bak berwarna kuning pekat. Pasien diketahui memiliki riwayat terkena hujan dan saat bekerja kaki menginjak lumpur hingga setinggi betis dan terdapat bekas luka pada kaki yang terkena lumpur. Pada pemeriksaan fisik pasien tampak sakit sedang, kesadaran komposmentis, suhu tubuh meningkat 38,6C. dan pemeriksaan generalis tampak sklera mata ikteri, kulit tubuh tampak Ikterik, nyeri remas pada gastrocnemius dextra dan sinistra dan otot Bicep dextra dan sinistra. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil leukositosis dengan peningkatakan neutrophil Pada pemeriksaan urinalisa didapat hasil bilirubin, urobilinogen, eritrosit dan leukosit yang positif

Dan pada pemeriksaan kimia darah didapat peningkatan pada SGOT dan Bilirubin direct. Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikroorganisme patogen yang dikenal dengan nama Leptosira Interrogans . Penyakit ini pertama kali dikemukakan oleh Weil pada tahun 1886 sebagai penyakit yang berbeda dengan penyakit lain yang juga ditandai oleh ikterus.Gejala penyakit ini sangat bervariasi mulai dari gejala infeksi ringan sampai dengan gejala infeksi berat dan fatal. Dalam bentuk ringan, leptospirosis dapat menampilkan gejala seperti influenza disertai nyeri kepala dan mialgia. Dalam bentuk parah (disebut sebagai Weil’s syndrome), leptospirosis secara khas menampilkan gejala ikterus, disfungsi renal, dan diatesis hemoragika. Leptospirosis mengenai paling kurang 160 spesies mamalia. Ada berbagai jenis penjamu dari leptospira, mulai dari yang berukuran kecil dimana manusia dapat kontak dengan misalnya tikus, kelinci hingga reptile, babi, kucing dan anjing. Manusia dapat terinfeksi melalui kontak,dengan air, tanah, atau lumpur yang telah terkontaminasi oleh urin binatang yang telah terinfeksi leptospira. Infeksi terjadi jika terjadi erosi pada kulit ataupun selaput lendir. Ekspos yang lama pada kulit yang utuh juga dapat menularkan leptospirosis. Orang-orang yang mempunyai resiko tinggi

mendapat penyakit adalah pekerja-pekerja sawah, perkebunan,

peternakan. Pada kasus ini, pasien bekerja di pasar sebagai pedagang di pasar, sehari-hari bekerja dikondisi pasar yang lembab, tanah yang becek, dan banyak didapatkan tikus. Sehingga pasien merupakan pekerja dengan resiko terkena leptospirosis. Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui abrasi kulit atau mukosa yang intak, khususnya konjungtiva dan mukosa oronasofaring. Meminum air yang terkontaminasi bisa membuat leptospira masuk melaui mulut,tenggorokan dan esophagus. Setelah masuk kedalam tubuh, leptospirosis berkembang dan menyebar keseluruh organ. Multiplikasi terjadi di darah dan cairan serebrospinal dalam waktu 4-10 hari pertama. Semua bentuk leptospira dapat merusak pembuluh darah kapiler yang menyebabkan vaskulitis. Vaskulitis ini akan menyebabkan kebocoran dan ekstravasasi sel termasuk perdarahan. Pathogenesis terjadinya leptospirosis adalah adesi pada permukaan sel dan toksisitas. Vaskulitis merusak pembuluh darah dan meningkatkan permeabilitas kapiler, menyebabkan kebocoran plasma dan hipovolemia. Hal ini akan menyebabkan gagal ginjal. Selain itu juga leptospira dapat bergerak di interstisium, tubulus ginjal, dan lumen tubulus, dan akan

mengakibatkan nefritis dan nekrosis tubuler. Selain di ginjal, organ yang dapat terlibat adalah liver, otot, dan paru. Pada otot, leptospira akan menembus otot

mengakibatkan kaki bengkak,

vakuolisasi myofibril dan nekrosis.

1. Gambar: Leptospira Weil sindrom adalah bentuk leptospirosis yang berat. Di tandai adanya ikterik, kelainan ginjal dan diathesis hemoragik. Keterlibatan paru terjadi pada banyak kasus, dengan tingkat kematian 5-15%. Di Eropa, serovar yang banyak didapatkan pada sindrom ini adalah icterohemorrhagik/copenhagi. Onset leptospirosis jenis ini sama dengan yang lain yaitu hari ke 49. Ikterik, kelainan ginjal dan perdarahan terjadi. Hepatomegali dan kaku pada quadran kanan atas biasa didapatkan. Splenomegali ditemukan pada 20 % kasus Gagal ginjal dapat terjadi pada sekitar minggu kedua. Hipovolemia dan penurunan perfusi ginjal ngsi turut berperan terjadinya tubuler akut sindrom dengan oliguri atau anuri. Dialysis kadang dibutuhkan. Fungsi ginjal mungkin dapat dipulihkan. Paru dapat terlibat dengan keluhan batuk, sesak nafas, nyeri dada dan hemoptisis. Manifestasi

perdarahan

seperti

epistaksis

petekie purpura

dan

ekimosis

biasa

didapatkan.perdarahan saluran cerna yang berat dan adrenal dan perdarahan subarachnoid jarang terjadi. Rhabdomiolisis, hemolisis, miokarditis, pericarditis, gagal jantung kongestif, ARDS, pancreatitis, dan gagal organ multipel biasa digambarkan pada leptospirosis berat.

Leptospirosis mempunyai 2 fase penyakit yang khas yaitu fase leptospiremia dan fase imun. Pada fase leptospiremia ditandai dengan adanya leptospira pada darah dan cairan serebrospinal. Gejala klinisnya berupa demam, sakit kepala, mialgia terutama paha dan betis ,mual muntah dan pada hari ke-3 dan 4 dapat dijumpai konjungtiva suffusion, kadang-kadang dijumpai splenomegali, hepatomegali dan limfadenopati. Fase ini berlangsung 4-7 hari, jika ditangani pasien akan membaik, namun bila kondisi semakin berat demam turun diikuti oleh bebas demam dan setelah itu akan demam kembali dan pasien memasuki fase kedua atau fase imun.

2. Gambar

: Penularan dan Manifestasi Leptospirosis

Fase ini ditandai dengan peningkatan titer antibodi dapat timbul demam yang mencapai 40 derajat Celsius, disertai menggigil dan kelemahan umum. Terdapat perdarahan berupa epistaksis, perdarahan gusi, atau hematemesis . Terdapat juga tanda-tanda meningitis pada fase ini. Pada leptospirosis, kerusakan ginjal bervariasi. Mulai dari ditemukannya perubahan sedimen urin yaitu adanya leukosit, eritrosit,dan silinder hialin atau silinder granuler, proteinuria pada leptospirosis anikterik hingga gagal ginjal dan azotemia pada kasus berat. Pada Sindrom Weil ditemukan leukositosis, trombositopeni dan berhubungan dengan gagal ginjal.

Berbeda dengan hepatitis viral akut, kenaikan bilirubin dan alkali fosfatase ringan sama seperti aminotransferase.Ketika reaksi meningeal terjadi PMN leukosit akan meningkat lebih dulu dan mononuclear sel meningkat kemudian. Konsentrasi protein pada cairan serebrospinal dapat meningkat, kadar gula normal. Pada leptospirosis berat,kelainan foto thorax biasa terlihat di lobus bawah lapangan paru dengan gambaran infiltrat yang berhubungan dengan proses perdarahan alveolar. Kelainan ini didapatkan 3-9 hari setelah sakit. Diagnosis pasti leptospirosis berdasarkan ditemukannya leptospira dari pasien atau serokonversi atau peningkatan titer antibody pada test aglutinasi mikroskopik (MAT). Pada kasuskasus dengan bukti klinis yang kuat akan infeksi, titer antibody 1200-1800 dibutuhkan. Dan peningkatan empat kali atau lebih pada titer akan lebih menguatkan. Antibodi umumnya tidak akan terdeteksi sampai minggu kedua. Respon antibodi juga akan dipengaruhi oleh terapi yang cepat. Diagnosis leptospirosis dapat ditegakkan atas dasar pemeriksaan klinis dan laboratorium. dapat dibagi dalam 3 klasifikasi, yaitu : 

Suspek  bila ada gejala klinis tapi tanpa dukungan tes laboratorium.



Probable  bila gejala klinis sesuai leptospirosis dan hasil tes serologi penyaring yaitu dipstick, lateral flow, atau dri dot positif.



Definitif  bila hasil pemeriksaan laboratorium secara langsung positif, atau gejala klinis sesuai dengan leptospirosis dan hasil MAT / ELISA serial menunjukkan adanya serokonversi atau peningkatan titer 4 kali atau lebih

MAT yang menggunakan strain leptospira hidup dan ELISA yang menggunakan antigen adalah standar serologi prosedur. Tes ini biasanya hanya tersedia di lab khusus dan digunakan untuk mengetahui titer antibodi dan identifikasi serogrup dan serovar, dimana hal ini penting untuk

gambaran prevalensi antigen serovar pada area geografi tertentu.Namun serologi tes tidak bisa digunakan sebagai dasar untuk memulai terapi. Selain MAT dan ELISA terdapat rapid test. Leptospirosis bisa diisolasi dari darah dan cairan serebrospinalis pada 10 hari pertama sakit dan dari urin pada beberapa minggu dimulai pada minggu pertama. Kultur biasanya positif setelah 24 minggu dengan kisaran 1 minggu hingga 6 bulan. Kadang-kadang urin kultur dapat positif setelah berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun setelah sakit. Untuk isolasi leptospirosis dari cairan tubuh dan jaringan, digunakan medium Ellinghausen-McCullough-Johnson-Harris (EMJH). Selain itu Fletcher medium and Korthof medium juga bisa digunakan. Isolasi leptospirosis penting sejak cara itu yang hanya bisa mengidentifikasi serovar yang menginfeksi. Pemeriksaan medan gelap dari darah dan urin biasanya misdiagnosis dan sebaiknya tidak digunakan. Hasil serologi pada pasien ini negatif, Hal ini dapat terjadi karena belum terbentuk antibodi dalam tubuh karena dilakukan pemeriksaan pada minggu pertama, sehingga direncanakan untuk mengulang tes serologi tersebut pada minggu berikutnya. Namun atas pertimbangan biaya pemeriksaan tersebut tidak dilakukan. Hasil serologi yang negatif juga bisa dikarenakan terapi antibiotik diawal perjalanan penyakit sehingga mempengaruhi terbentuknya antibodi. Selain itu juga dikarenakan banyaknya serovar pada leptospira sehingga bisa saja terjadi ketidaksesuaian serovar . Walaupun antibiotik review untuk terapi leptospirosis menyimpulkan bahwa bukti-bukti tidak kuat untuk dibuat panduan yang jelas, namun hasil dari penelitian yang ada menyarankan pengunaan penisilin dan doksisiklin. Terapi harus diberikan secepat mungkin walaupun pada penelitian sebelumnya menunjukkkan terapi setelah 4 hari sakit masih efektif. Pada kasus yang ringan, terapi oral dengan tetrasiklin, doksisiklin , ampicillin dan amoksilin dapat digunakan. Untuk kasus yang berat, penggunaan penisilin G, amoxicillin, ampicillin dan eritromisin direkomendasi. Satu penelitian membandingkan efikasi ceftriakson dan penisilin untuk terapi leptospirosis berat, didapatkan tidak ada perbedaan antara dua obat tersebut dalam komplikasi dan mortalitas. Penelitian lain membandingkan cefotaksim, penisilin G, dan doksisiklin untuk terapi tersangka leptospirosis berat. Pada 264 pasien dengan leptospirosis yang telah dikonfirmasi dengan tes serologi dan kultur, angka kematian 5%. Tidak ada perbedaan antara antibiotikantibiotik tersebut dalam hal mortalitas, kesembuhan, dan waktu pemulihan kelainan laboratorium.

Sehingga doksisklin, cefotaksim atau seftriakson merupakan alternatif terapi untuk terapi leptospirosis. Pada pasien ini digunakan ceftriakson pada awalnya kemudian diganti dengan penisilin

karena penisilin masih merupakan pilihan pertama pada leptospirosis. Setelah

penggunaan penisilin, kondisi pasien membaik. Selain antibiotik, penatalaksanaan yang penting pada pasien ini adalah hemodialisis untuk mengatasi masalah gagal ginjal. Table 164-1 Treatment and Chemoprophylaxis of Leptospirosis

Purpose of Drug Administration Regimen Treatment Mild leptospirosis

Doxycycline, 100 mg orally bid or Ampicillin, 500–750 mg orally qid or Amoxicillin, 500 mg orally qid

Moderate/severe leptospirosis

Penicillin G, 1.5 million units IV qid or Ampicillin, 1 g IV qid or Amoxicillin, 1 g IV qid or Ceftriaxone, 1 g IV once daily or Cefotaxime, 1 g IV qid or Erythromycin, 500 mg IV qid

Chemoprophylaxis

Doxycycline, 200 mg orally once a week

Note: All regimens used for treatment are administered for 7 days

Prognosis pada pasien dengan Leptospirosis Jika tidak ada ikterus, penyakit jarang fatal. Pada kasus dengan ikterus, angka kematian 5 % pada umur di bawah 30 tahun, dan pada usia lanjut menjadi 30-40 %

Faktor-faktor sebagai indikator prognosis mortalitas, yaitu : Leptospirosis yang terjadi pada masa kehamilan menyebabkan mortalitas janin yang tinggi Planning Diagnosis Pasien didiagnosis dengan Febris ec susp Leptospirosis dd weil deasase Terapia 1. Preventif -

Hindari kontak dengan air kotor/diperkirakan tercemar Leptospira

-

Gunakan pelindung pada daerah resiko tinggi

-

Hindari kontak urin hewan peliharaan

-

Perhatikan sanitasi dan limbah peternakan

2. Kuratif Terapi pilihan (DOC) untuk leptospirosis sedang dan berat adalah Penicillin G, dosis dewasa 4 x 1,5 juta unit /i.m, biasanya diberikan 2 x 2,4 unit/i.m, selama 7 hari.

Tujuan Pemberian Obat 1.

Regimen

Treatment a. Leptospirosis ringan

Doksisiklin 2 x 100 mg/oral atau Ampisillin 4 x 500-750 mg/oral atau Amoxicillin 4 x 500 mg/oral

b.Leptospirosis sedang/ berat

Penicillin G 1,5 juta unit/6jam i.m atau Ampicillin 1 g/6jam i.v atau Amoxicillin 1 g/6jam i.v atau

Eritromycin 4 x 500 mg i.v

2.

Kemoprofilaksis

Doksisiklin 200 mg/oral/minggu

• Terapi untuk leptospirosis ringan Pada bentuk yang sangat ringan bahkan oleh penderita seperti sakit flu biasa. Pada golongan ini tidak perlu dirawat. Demam merupakan gejala dan tanda yang menyebabkan penderita mencari pengobatan. Ikterus kalaupun ada masih belum tampak nyata. Sehingga penatalaksanaan cukup secara konservatif.15 Penatalaksanaan konservatif 

Pemberian antipiretik, terutama apabila demamnya melebihi 38°C



Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat. Kalori diberikan dengan mempertimbangkan keseimbangan nitrogen, dianjurkan sekitar 2000-3000 kalori tergantung berat badan penderita. Karbohidrat dalam jumlah cukup untuk mencegah terjadinya ketosis. Protein diberikan 0,2 – 0,5 gram/kgBB/hari yang cukup mengandung asam amino essensial.



Pemberian antibiotik-antikuman leptospira. paling tepat diberikan pada fase leptospiremia yaitu diperkirakan pada minggu pertama setelah infeksi. Pemberian penicilin setelah hari ke tujuh atau setelah terjadi ikterus tidak efektif. Penicillin diberikan dalam dosis 2-8 juta unit, bahkan pada kasus yang berat atau sesudah hari ke-4 dapat diberikan sampai 12 juta unit (sheena A Waitkins, 1997). Lama pemberian penisilin bervariasi, bahkan ada yang memberikan selama 10 hari.



Terapi suportif supaya tidak jatuh ke kondisi yang lebih berat. Pengawasan terhadap fungsi ginjal sangat perlu.

Terapi untuk leptospirosis berat16 

Antipiretik



Nutrisi dan cairan. Pemberian nutrisi perlu diperhatikan karena nafsu makan penderita biasanya menurun maka intake menjadi kurang. Harus diberikan nutrisi yang seimbang dengan kebutuhan kalori dan keadaan fungsi hati dan ginjal yang berkurang. Diberikan protein essensial dalam jumlah cukup. Karena kemungkinan sudah terjadi hiperkalemia maka masukan kalium dibatasi sampai hanya 40mEq/hari. Kadar Na tidak boleh terlalu tinggi. Pada fase oligurik maksimal 0,5gram/hari. Pada fase ologurik pemberian cairan harus dibatasi. Hindari pemberian cairan yang terlalu banyak atau cairan yang justru membebani kerja hati maupun ginjal. Infus ringer laktat misalnya, justru akan membebani kerja hati yang sudah terganggu. Pemberian cairan yang berlebihan akan menambah beban ginjal. Untuk dapat memberikan cairan dalam jumlah yang cukup atau tidak berlebihan secara sederhana dapat dikerjakan monitoring / balance cairan secara cermat. Pada penderita yang muntah hebat atau tidak mau makan diberikan makan secara parenteral. Sekarang tersedia cairan infus yang praktis dan cukup kandungan nutrisinya.



Pemberian antibiotik ◦

Pada kasus yang berat atau sesudah hari ke-4 dapat diberikan sampai 12 juta unit (sheena A Waitkins, 1997). Lama pemberian penisilin bervariasi, bahkan ada yang memberikan selama 10 hari. Penelitian terakhir : AB gol. fluoroquinolone dan beta laktam (sefalosporin, ceftriaxone) > baik dibanding antibiotik konvensional tersebut di atas, meskipun masih perlu dibuktikan keunggulannya secara in vivo.



Penanganan kegagalan ginjal. Gagak ginjal mendadak adalah salah sati komplikasi berat dari leptospirosis. Kelainan ada ginjal berupa akut tubular nekrosis (ATN). Terjadinya ATN dapat diketahui dengan

melihat ratio osmolaritas urine dan plasma (normal bila ratio <1). Juga dengan melihat perbandingankreatinin urine dan plasma, ”renal failire index” dll. 

Pengobatan terhadap infeksi sekunder. Penderita leptospirosis sangat rentan terhadap terjadinya beberapa infeksi sekunderakibat dari penyakitnya sendiri atau akibat tindakan medik, antara lain: bronkopneumonia, infeksi saluran kencing, peritonitis (komplikasi dialisis peritoneal), dan sepsis. Dilaporkan kelainan paru pada leptospirosis terdapat pada 20-70% kasus (Kevins O Neal, 1991). Pengelolaan sangat tergantung dari jenis komplikasi yang terjadi. Pada penderita leptospirosis, sepsis / syok septik mempunyai angka kematian yang tinggi.



Penanganan khusus 1. Hiperkalemia  diberikan kalsium glukonas 1 gram atau glukosa insulin (10-20 U regular insulin dalam infus dextrose 40%) Merupakan keadaan yang harus segera ditangani karena menyebabkan cardiac arrest. 2. Asidosis metabolik  diberikan natrium bikarbonas dengan dosis (0,3 x KgBB x defisit HCO3 plasma dalam mEq/L) 3. Hipertensi  diberikan antihipertensi 4. Gagal jantung  pembatasan cairan, digitalis dan diuretik 5. Kejang Dapat terjadi karena hiponatremia, hipokalsemia, hipertensi ensefalopati dan uremia. Penting untuk menangani kausa ptimernya, mempertahankan oksigenasi / sirkulasi darah ke otak, dan pemberian obat anti konvulsi. 6. Perdarahan  transfusi Merupakan komplikasi penting pada leptospirosis, dan sering mnakutkan. Manifestasi perdarahan dapat dari ringan sampai berat. Perdarahan kadang0kadang

terjadi

pada

waktu

mengerjakan

dialisis

peritoneal.

Untuk

menyampingkan enyebab lain perlu dilakukan pemeriksaan faal koagulasi secara lengkap. Perdarahan terjadi akibat timbunan bahan-bahan toksik dan akibat trpmbositopati.

-

Gagal ginjal akut  hidrasi cairan dan elektrolit, dopamin, diuretik, dialisis.

3. Edukasi -

Edukasi keluarga tentang penyakit dan cara mencegah serta pengobatan yang benar

DAFTAR PUSTAKA

1. Zein U. Leptospirosis. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid III, edisi IV. Sudoyo AW (Eds). Jakartar: Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam FK UI, 2006. Hal:1823-26 2. Fauci AS. Leptospirosis. In Harrison’s Principles of Internal Medicine, 17th ed. Braunwald E (Eds). New York: Mc Graw Hill: 2008 3. World Health Organization/International Leptospirosis Society: Human Leptospirosis: Guidance for Diagnosis, Surveillance and Control. Geneva, World Health Organization. Di unduh dari www.who.int/csr/don/en/WHO_CDS_CSR_EPH_2002.23.pdf 4. Widarso, Ganefa S. pedoman diagnosis dan penatalaksanaan kasus penanggulangan leptospirosis di Indonesia. Sub Direktorat Zoonosis, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit

Menular

dan

Penyehatan

Lingkungan

Depkes,2004

http://pusdiknakes.or.id/persinew/?show=detailnews&kode=881&tbl=kesling 5. Vinetz JM: Leptospirosis. Curr Opin Infect Dis 14:527, 2001 [PMID: 11964872]

Klinis varicella yaitu dimulai dengan gejala prodromal seperti demam yang biasanya berlangsung selama lesi baru masih timbul, dan tingginya demam sesuai dengan beratnya erupsi kulit. Demam yang berkepanjangan atau yang kambuh kembali dapat disebabkan oleh infeksi sekunder bakterial atau komplikasi lainnya.4 Selain itu terdapat gejala malese dan nyeri kepala, kemudian disusul timbulnya erupsi kulit berupa papul eritematosa yang dalam lalu waktu beberapa jam berubah menjadi vesikel. Bentuk vesikel ini khas mirip tetesan embun (tear drops) di atas dasar kulit yang eritematosa dan kemudian menjadi krusta. Sementara proses ini berlangsung, timbul lagi vesikel-vesikel baru sehingga tampak gambaran polimorfik. Penyebaran lesi terutama di daerah badan, kemudian menyebar secara sentrifugal ke wajah dan ekstremitas.1 Dari anamnesis juga diketahui kemungkinan adanya riwayat kontak dengan pasien varicella yang lain, yaitu kakak dan adik pasien yang tidak menggunakan masker. Hal ini sesuai dengan kepustakaan dimana dikatakan bahwa jalur penularan virus varicella zooster bisa secara aerogen, kontak langsung, dan transplasental. Droplet lewat udara memegang peranan penting dalam mekanisme transmisi, tapi infeksi bisa juga disebabkan melalui kontak langsung. Krusta varisela tidak infeksius. Manusia merupakan satu-satunya reservoir, dan tidak ada vektor lain yang berperan dalam jalur penularan.2 Pemeriksaan untuk memastikan adanya Varicella Zoster Virus dapat dilakukan dengan percobaan Tzanck dengan cara membuat sediaan hapus yang diwarnai, dimana bahan pemeriksaan diambil dari kerokan dari dasar vesikel yang muncul lebih awal, kemudian diletakkan di atas object glass, dan difiksasi dengan ethanol atau methanol, dan diwarnai dengan pewarnaan hematoxylineosin, Giemsa, Papanicolaou, atau pewarnaan Paragon. Hasilnya akan didapati sel datia berinti banyak.3,4

Gambar 1 Sel raksasa berinti banyak

Di samping itu Varicella Zoster Virus polymerase chain reaction adalah metode pilihan untuk diagnosis varicella. Varicella Zoster Virus juga dapat diisolasi dari kultur jaringan, meskipun kurang sensitif dan membutuhkan beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya. Bahan yang paling sering digunakan adalah isolasi dari cairan vesikuler.4 Tatalaksana pasien varicella adalah acyclovir 4x400 mg/ hari selama 7 hari, untuk mengurangi gejala klinis diberikan antipiretik parasetamol 3 x 300 mg/hari, clorpheniramin maleate 1x2 mg/hari, sedangkan topikal yaitu bedak Caladine diberikan untuk mempertahankan vesikel agar tidak pecah dan Gentamycin Cream untuk lesi yang seudah pecah agar mencegah

terjadinya infeksi sekunder. Pasien disarankan agar istirahat yang cukup, makan makanan yang bergizi, menjaga kebersihan tubuh, dan tidak memecahan vesikel. Prognosis umumnya baik, bergantung pada kecepatan penanganan dan kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi. Pada pasien ini prognosis Quo ad vitam adalah bonam karena penyakit ini tidak mengancam jiwa, sebab dari pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda komplikasi. Prognosis Quo ad functionam adalah bonam karena fungsi kulit yang terkena tidak terganggu. Prognosis Quo ad sanationam adalah bonam karena varisela merupakan penyakit yang bersifat self-limiting disease dan tidak mengganggu kehidupan sosial penderita, sebab penanganan yang cepat maka perjalanan penyakit dapat diperpendek.2

Related Documents

Laporan Kasus 2 Morbili.docx
December 2019 38
Laporan Kasus
June 2020 61
Laporan Kasus
June 2020 56
Laporan Kasus
June 2020 53
Laporan Kasus
June 2020 47

More Documents from "tyas galuh"

Portofolio Dbd Anak.docx
December 2019 31
Kronologis Pasien.pdf
December 2019 32
Kronologis Pasien.docx
December 2019 33
Kronologis Pasien.pdf
December 2019 32
Kronologis Pasien.docx
December 2019 27