“Nama saya dipakai untuk mengambil kredit sepeda motor Suzuki Smash melalui Adira Financia oleh Bapak Yulianto SE, sehingga saat ini saya didatangi petugas dari Adira karena keterlambatan angsuran bulan Februari dan Maret 2005. Pada satu tahun pertama angsurannya lancar, sehingga saya tenang-tenang saja. Awal perkenalan saya dengan Bpk. Yuli, bahwa beliau mengaku sebagai wartawan Solo Pos dan Paranormal dengan menunjukkan kartu Wartawannya. Beberapa bulan beliau singgah/tinggal di rumah saya. Saya begitu percaya disuruh mengambilkan kredit motor untuk kelancaran urusan beliau. Pada waktu saya menanyakan alamat rumahnya, malah beliau marah-marah dan menjadikan putus hubungan dengan keluarga saya. Dan saya tidak pernah tahu di mana beliau berada.”Surat pembaca yang ditulis oleh Sukandar, penduduk Nglipar, Gunungkidul ini pernah dimuat di harian Kedaulatan Rakyat (7/42005). Peristiwa yang dialami oleh Sukandar ini merupakan salah satu beberapa persoalan yang berasal dari perusahaan pembiayaan konsumen. Masyarakat lebih mengenalnya perusahaan “pemberi kredit sepeda motor.” Penggunaan istilah ini sebenarnya kurang tepat, karena istilah kredit hanya digunakan dalam istilah perbankan.Makin berkembangnya kebutuhan masyarakat saat ini yang diikuti dengan kenaikan harga BBM yang semakin besar, semakin membentuk suatu masyarakat yang materialistik dan konsumtif tapi tidak diimbangi dengan kemampuan daya beli dari masyarakat itu sendiri.
Dalam kenyataan ini, maka makin pesatlah pertumbuhan lembaga pembiayaan. Mereka menawarkan jasa memudahkan cara-cara pembiayaan secara mudah dan cepat dengan berbagai macam penawaran yang menarik. Akan tetapi perlu disadari pula bahwa keberadaan lembaga pembiayaan ini tidak hanya berfungsi sebagai lembaga yang menawarkan jasa saja, tetapi juga memiliki motivasi untuk mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya yang berorientasi bisnis. Dalam kaitan ini, sering muncul sengketa antara konsumen dengan perusahaan pembiayaan yang berasal dari isi perjanjian yang telah ditandatangani. Menghadapi berbagai permasalahan ini Lembaga Ombudsman Swasta (LOS) selaku mitra konsumen berusaha memecahkan permasalahan ini melalui jalan mediasi maupun litigasi. Kerangka kerja yang dipakai LOS adalah bersuaha melindungi dan memberdayakan masyarakat sebagai konsumen seperti yang telah diatur dan dilindungi dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), No. 8,Tahun 1999.
Pada kasus tersebut, perlu ditelusuri sejauh mana kedua belah pihak melakukan perjanjian antara konsumen dengan perusahaan, karena secara umum perjanjian yangdigunakan tersebut telah dibuat secara standar atau baku oleh pihak perusahaan pembiayaan. Dalam praktik kesehariannya banyak konsumen yang mengeluh karena tidak punya kesempatan untuk membaca dan memahami isi perjanjian itu. Mereka hanya diberikan setumpuk perjanjian untuk ditandatangani, tanpa melalui proses perundingan dan pemberian penjelasan yang memadai kepada konsumen
Sebuah contoh kasus, seorang konsumen atau pembeli sepeda motor yang belum membayar angsuran pada hari kedua jatuh tempo terpaksa merelakan sepeda motornya diambil oleh debt collector. Padahal, konsumen telah diberi waktu tenggang pembayaran selama tiga hari sebelum jatuh tempo. Tapi, barang sudah diambil pada hari kedua. Dengan kata lain, status konsumen yang merupakan pemilik akhirnya bisa berubah menjadi sekedar penyewa. Selain itu, konsumen diminta mengisi kuitansi kosong saat pembelian sepeda motor. Ternyata, kuitansi itu pula yang kemudian menjadi alat bea balik nama apabila sepeda motor konsumen yang ditarik kemudian dijual lagi. "Umumnya, perjanjian antara perusahaan pembiayaan dengan konsumen telah ditetapkan secara standar atau baku oleh pihak perusahaan pembiayaan. Terbukti, calon konsumen hanya disodori setumpuk perjanjian yang telah dicetak secara massal oleh pihak pengusaha. Artinya, klausul-klausul yang ada dalam perjanjian itu telah ditetapkan secara sepihak oleh pengusaha. Logikanya, jika klausul telah dibuat oleh salah satu pihak, maka kepentingan pihak pembuatlah, dalam hal ini perusahaan pembiayaan konsumen yang lebih banyak tercover dan terlindungi dalam perjanjian itu," papar Imma.
Supaya persoalan ini tidak berlarut-larut, maka perlu segera dicari solusi dan rekomendasi hukum yang memberikan keadilan secara merata kepada semua pihak (win - win solution). Solusi yang pertama adalah langkah pencegahan sejak dari awal prosedur pemberian pembiayaan ini. Para surveyor dari perusahaan pembiayaan perlu diberi pengarahan supaya mereka tetap menjaga prinsip kehati-hatian dan profesionalitas kerja. Mereka harus tetap melakukan survei sesuai dengan prosedur dan standar yang ditetapkan sekalipun calon konsumen yang disurvei adalah kenalannya atau bahkan saudaranya. Mereka harus memahami bahwa perjanjian konsumen yang akan dilaksanakan adalah murni urusan bisnis, seperti pepatah 'bussinnes is bussinnes.' Peniadaan survei biasanya terjadi karena para surveyor hanya mengejar target. Untuk itu, perlu dilakukan pembenahan terhadap mekanisme kerja surveyor.
Selanjutnya, perusahaan pembiayaan konsumen menyadari bahwa perjanjian baku atau standar ini harus dihilangkan karena bertentangan dengan hukum. Dalam pasal 1320 KUH, terdapat syarat-syarat suatu perjanjian dapat dikatakan sah, yaitu jika memiliki unsur-unsur berikut: (1). Kesepakatan antara para pihak; (2). kecakapan para pihak; (3). obyek yang tertentu; (4). suatu sebab yang halal.
Solusi berikutnya, adalah pendaftaran jaminan fidusia yang disertakan dalam perjanjian pembiayaan konsumen. Seperti ditetapkan dalam UU No 42 tahun 1999, pemberian jaminan secara fidusia harus memenuhi asas publisitas. Dengan kata lain, jaminan fidusia tersebut akan diakui keberadaan jika sudah didaftarkan oleh perusahaan pembiayaan ke kantor pendaftaran fidusia di wilayah hukum setempat. Jika hal ini tidak dilakukan, maka perusahaan pembiayaan tidak dapat melakukan eksekusi secara sepihak. Pemberian jaminan fidusia dalam perjanjian pembiayaan konsumen sebenarnya telah memberi kepastian dan perlindungan hukum yang kuat bagi perusahaan pembiayaan sepanjang proses pembebanannya dilakukan sesuai prosedur yang ditetapkan undang -undang. Artinya, jika perusahaan pembiayaan konsumen telah mendaftarkan jaminan fidusia atas kendaraan bermotor itu, maka mereka tidak perlu lagi mencantumkan klausul baku yang melanggar ketentuan hukum.