Yudhoyono dan Keagungan Pemimpin Oleh Thomas Koten Melalui slogan atau semboyan yang ditampilkan secara impersif, komunikatif dan persuasif, serta dengan gaya bahasa yang santun dan memikat sebagai cermin kerendahan hati dari seorang pemimpin, sang incumbent, Susilo Bambang Yudhoyono secara langsung atau tidak telah membius rakyat untuk kembali menjatuhkan pilihan politiknya kepada putra Pacitan ini untuk meneruskan kepemimpinan negara lima tahun yang akan datang. Megawati dan Jusuf Kalla yang dikatakan oleh sebagian pengamat mengalami peningkatan popularitas menjelang pilpres 8 Juli pun seolah hanya lips service-manis di bibir, tak ada bukti yang valid. Di samping itu, dengan penekanan sang incumbent pada perlunya integritas, moralitas dan kesantunan politik baik dalam kampanye maupun dalam mengembangkan demokrasi, hakikatnya bukan saja membuat para pesaingnya tak berdaya di hadapannya, melainkan diyakini akan terus memengaruhi dan mewarnai kehidupan politik demokratik Indonesia ke depan. Bukan tidak mungkin, kesantunan politik atau politik yang beretika dan bermoral akan menjadi sebuah budaya politik baru di negeri ini. Dan kesantunan politik alias politik yang beretika dan bermoral bagi Republik ini, bukan saja perlu, melainkan telah menjadi sebuah kemestian di sebuah bangsa yang terkenal dengan budaya timurnya yang santun. Apalagi di era reformasi yang dipengaruhi oleh budaya global, telah membuat bangsa ini semakin kebablasan dalam berpolitik, terutama kesantunan dalam berdemokrasi, sehingga demokrasi kita pun kerap berubah menjadi amokrasi, dan kritik publik terhadap pemimpin pun kerap kehilangan kontrol. Cermin pemimpin agung Kata-kata bijak Yudhoyono tentang perlunya kesantunan politik atau moralitas demokrasi sebagai landasan bangunan budaya politik baru tersebut, dapat diselami dari kata-kata sosiolog Max Weber tentang pemimpin dan kepemimpinan, bahwa seorang pemimpin bukan saja berdiri sebagai panutan masyarakat, tetapi juga merupakan tokoh sentral yang mempunyai peran strategis dalam menentukan perkembangan budaya dan beradaban bangsanya. Lewat kehadiran pemimpin, keberadaan masyarakat bangsanya dapat dibaca. Dan melalui sentuhan tangan, kata-kata bijak, dan perilaku-perilaku etis, serta keputusan-keputusannya yang populis, kondisi dan nasib bangsa dapat ditentukan. Maka, seorang pakar di bidang kepemimpinan asal Jerman, Peter Koestenbaum dalam bukunya Leadership the Inner Side of Greatness (1991), mengklaim faktor kepemimpinan dalam spektrum moral dan kesantunan politik. Bahwasanya, faktor-faktor intern dalam terminologi kepemimpinan seperti kesantunan, ketenangan, dan kerendahan hati secara bersama-sama membumbung pemahaman orang akan terbentuknya suatu frame makna hidup moral etis yang berwibawa. Sebab, kepemimpinan yang berwibawa dengan kepribadian yang santun dan agung merupakan proses moralitas untuk mencapai tingkat tertentu, dan terpenuhinya hasrat hati yang hakiki bagi yang dipimpinnya. Dari pemimpin dengan karakter kepemimpinan yang kuat dalam moralitas, etikalitas, kredibel dan santunlah, potret perilaku masyarakat dapat disandarkan dan menjadi panutan. Dari pemimpin seperti itulah terpancar perilaku, sifat dan jiwa dus kata-
katanya yang dapat dikomunikasikan kepada bawahan atau rakyat dalam bentuk keteladanan, motivasi dan daya juang. Di sini, setiap jejak langkah seorang pemimpin menjadi standarisasi maksimal dan tuntutan hidup sejati sesuai dengan kata hati moral dan jiwa etika masyarakat. Oleh karena itulah, kerap dikatakan pemimpin adalah pelita hati yang menerangi kegelapan. Pemimpin yang berwibawa, santun, jujur, berakhlak, beretika dan bermoral, kata Koestebaum, merupakan cermin keagungan dirinya yang dikehendaki bawahannya. Pemimpin yang agung, lebih daripada pelita, ia adalah matahari yang menerangi bumi. Artinya, dengan keberadaan pemimpin seperti itu, ia dapat memancarkan dan menerangi paradigma kehidupan bangsa. Para pemimpin agung dengan kepribadian yang santun dan berwibawa, tidak muncul setiap waktu, melainkan hanya muncul pada saat dan zaman yang memang membutuhkannya. Dan Yudhoyono muncul sebagai pemimpin yang agung, santun dan berwibawa, pas di tengah bangsa yang sedang mengalami krisis, terutama krisis moral, dan yang lebih khusus lagi adalah krisis kejujuran yang sedang melanda negeri mulai dari kalangan elite hingga kalangan masyarakat bawah. Rontoknya negeri ini ke dalam lembah multikrisis, sebenarnya disebabkan oleh bobroknya moral bangsa, terutama oleh tipisnya rasa kejujuran dan kesantunan para pemimpin dan kaum elite. Perilaku jujur dan seruan moral selama ini hanya sekadar retorika belaka dan amat jauh dari realitas. Banyaknya bantuan yang menguap dan mewabahnya korupsi, terutama disebabkan oleh bobroknya moral bangsa dan ketidakjujuran elitenya. Seperti kata Mochtar Lubis dalam sebuah ceramahnya, ”Manusia Indonesia; Sebuah Pertanggungjawaban” (1977), bahwa salah satu sisi buruk para pemimpin kita adalah hipokrisis; suka berpura-pura alias suka berbohong. Tuntutan Indonesia Oleh karena itu, kehadiran Yudhoyono di masa krisis setelah melewati beberapa pemimpin sebelumnya, dus dengan program utama pemberantasan korupsi pada periode sebelumnya, dan kini diteruskan pada periode berikutnya dengan slogan magis ”lanjutkan” tidak lain merupakan sebuah tuntutan Indonesia. Oleh sebagian kalangan yang mengatakan kemenangan Yudhoyono lebih disebabkan oleh sikap melodramatik masyarakat Indonesia yang menentukan pilihan cenderung berdasarkan emosi daripada rasio, tidak terlalu benar. Sebab, di samping masyarakat Indonesia semakin cerdas politik, juga karena Indonesia menuntut sang incumbent untuk melanjutkan program pemberantasan korupsi dan perbaikan akhlak bangsa. Karena betapa mustahilnya membangun bangsa menjadi lebih maju dan beradab, jika moral bangsa tidak dibenahi dan korupsi dibiarkan merajalela. Sebagimana tulis Edgardo Buscaglia dan Maria Dakolias dalam An Analysis of the Causes of Corruption in the Judiciary (1999), adalah mustahil memperbaiki negara ketika korupsi masih merajalela dan akhlak bangsa masih rendah. Maka, perang melawan korupsi dan perbaikan akhlak bangsa merupakan prioritas utama dan pertama seorang pemimpin sebelum melanjutkan pembangunan. Dan pemimpin yang sanggup memberantas korupsi, bukan saja namanya akan tercatat dalam catatan kaki buku sejarah, tetapi akan diukir dengan tinta emas dalam buku sejarah bangsanya. Penulis, Direktur Social Development Center