Mewaspadai Kekalahan Dalam Pemilu

  • Uploaded by: ari nabawi
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Mewaspadai Kekalahan Dalam Pemilu as PDF for free.

More details

  • Words: 951
  • Pages: 3
Mewaspadai Kekalahan dalam Pemilu Oleh Thomas Koten Dramaturgi demokrasi yang berlangsung di Republik ini sungguh mencengangkan, di tengah keriuhan liputan media massa elektronik dan cetak yang sangat virtualistik. Jika dilihat dari waktu kampanye hingga 9 bulan, jumlah parpol nasional 38, plus 6 parpol lokal, dan melibatkan 171.068.667 calon pemilih, serta jumlah politisi perebut kekuasaan lebih dari satu juta, telah mematrikan prosesi pemilu di Republik ini sebagai sebuah pesta demokrasi yang paling kolosal, paling heboh, paling lama, paling ruwet dan paling mahal di muka bumi. Lebih dari itu, prosesi pemilu di negeri ini juga telah menciptakan sebuah pertarungan politik di luar dan di dalam parpol yang sangat keras, khususnya di legislatif, yang dikalkulasi secara politik, jika tidak hati-hati dapat membuat otak miring. Bayangkan, sebanyak 11.215 orang caleg memperebutkan 560 kursi DPR, dan 1.109 orang bersaing mendapatkan 132 kursi DPD. Selain itu, sekitar 112.000 orang bertarung untuk mendapatkan 1.998 kursi di DPRD provinsi dan 1,5 juta orang bersaing merebut 15.750 kursi DPRD kabupaten/kota. Pertanyaan, bagaimana menghadapi “semacam” tragedi pasca pemilu, yang bersenyawa dengan psikologi politisi yang kalah, dan konflik akibat berbagai kekecewaan massa? Apakah yang kalah akan mengakui keunggulan yang menang sebagai lawan yang bersahaja (friendly enemy) istilah Chantal Mouffe)? Ataukah yang kalah akan mengobarkan ketidakpuasan dengan memprovokasi massa yang dapat memuncratkan konflik horisontal, karena memang menerima kekalahan belum mentradisi di Republik ini? Atau, yang lebih tragis lagi, apakah barisan orang-orang kalah itu akan menjadi penghuni baru di rumah sakit jiwa? Sejumlah persoalan Sejumlah persoalan yang biasa menyembul pasca pemilu adalah munculnya kekecewaan dan keputusasaan dari kelompok atau pihak yang kalah, yang kemudian melahirkan konflik. Apalagi jika kekecewaan itu dipicu lagi oleh kecurigaan adanya kecurangan pemilu seperti penggelembungan daftar pemilih, politik uang, dan sejumlah pelanggaran lain yang menyulut emosi massa. Hal itu dapat disitir dari apa yang dikatakan oleh kedua ahli psikologi-politik Marcus dan Mackuen (1993) bahwa perilaku atau aktivitas pemilihan itu sendiri pun sebenarnya sudah dilandasi oleh kompleksitas efektif personal dan emosi individu, yang jika tidak dikelola dengan baik akan melahirkan konflik akibat dipicu oleh berbagai hal yang sensitif. Ia memiliki keterkaitan pula dengan “provokasi” media massa. Ini disebabkan pula oleh argumentasi Schumpeterian bahwa kehendak memilih (willing to vote) bukanlah kemauan asli (genuine will), melainkan yang dibentuk (manufactured will) oleh kepentingan elite yang diiklankan di ruang publik. Konflik yang memblundel dalam perilaku anarkisme massa, kerusakan dan/atau radikalisme umumnya, juga dipicu oleh sikap fanatisme massa yang berakar kecintaan pada ideologi yang berlebihan dan ikatan primordialisme yang mengental. Kemudian, diikuti pula oleh sikap yang tidak menyenangkan seperti ejekan yang disemburkan oleh

kelompok massa atau partai politik lain yang memiliki ideologi berbeda. Apalagi jika sikap berupa ejekan itu diperlakukan oleh kelompok atau parpol yang menang terhadap partai atau kelompok yang kalah. Konflik fisik pada umumnya dilatari oleh perilakuperilaku massa seperti ini. Ilmuwan kriminologi Lonnie H Athens (1980) seperti dikutip Boni Hargens (2004) yang menegaskan bahwa interpretasi situasi (interpretation of situation) merupakan awal dari gejala perilaku kekerasan. Tatkala gerak gerik lawan diterjemahkan sebagai ejekan, hinaan, maka reaksi yang paling mungkin adalah mendefinisikan situasi sebagai situasi yang kacau (violent situation). Pemicu lain adalah indikasi kecurangan dan rekayasa pemilu yang dicurigai dilakukan oleh pihak-pihak tertentu, khususnya pihak pemenang pemilu. Ini dapat dicurigai dari apa yang sudah disinggung di atas, yakni penggelembungan jumlah daftar pemilu alias pemilih “hantu”, manipulasi perhitungan suara dan politik uang (money politics). Itulah sejumlah persoalan yang harus diwaspadai pasca pemilu, yakni muncratnya aksi radikalisme massa yang menodai demokrasi. Namun, satu hal yang tidak kalah menarik dan perlu diwaspadi adalah kekalahan yang dialami oleh para caleg ambisius egoistik yang gagal menggapai kursi anggota legislatif, yang mana kekalahan itu tidak diterima sebagai suatu kewajaran dalam pertarungan yang selalu menghasilkan menang dan kalah. Tidak sanggupnya menerima kekalahan akan sangat memengaruhi mental dan dapat merusak kejiwaan. Akhirnya, jangan-jangan rumah sakit jiwa menjadi rumah baru bagi para caleg yang kalah. Keikhlasan politik Demi kemurnian demokrasi, maka konflik dalam aneka macam bentuk apalagi konflik yang menjurus pada lahirnya anarkisme massa harus benar-benar dicegah dan dihindari. Sejumlah aksi solutif mesti segera dibangun dengan mengembangkan sikap politik parpol yang edukatif alias memberikan pendidikan politik terhadap kader dan para konstituennya. Parpol harus sanggup meredam konflik dus membangun manajemen konflik, baik untuk mencegah lahirnya konflik maupun untuk menyelesaikan konflik secara cepat, tepat dan elegan. Untuk itu, budaya siap menang siap kalah harus dibangun dalam pendidikan politik parpol. Artinya, siap menang-siap kalah bukan hanya sekadar slogan belaka, tetapi harus menjadi sebuah etika politik yang wajib diperhatikan oleh para politisi yang terlibat dalam persaingan perebutan kekuasaan. Dan sikap siap menang siap kalah dus secara berani mengaku kalah ini hanya terjadi jika dalam diri para politisi itu telah tumbuh subur kedewasaan politik, kecerdasan politik dan ketulusan atau keikhlasan politik. Keikhlasan politik khususnya dapat terjadi jika di dalam diri para politisi telah tumbuh dan terpatri motivasi dan atau niat yang lurus dalam perjuangan politiknya, yakni ingin menyejahterakan rakyat, tidak lebih. Ketiadaan keikhlasan dalam berpolitik biasanya selalu melahirkan kekecewaan dan penyesalan ketika menghadapi kekalahan. Apalagi misalnya, persaingan yang berujung pada kekalahan itu telah menelan materi yang tidak sedikit, hingga rumah digadai dan mobil dijual. Celakanya, penyesalan itu berpuncak pada keputusasaan yang tidak dapat terkontrol, yang akhirnya melahirkan ketidaksehatan mental alias sakit jiwa, sebuah kondisi psikologis yang sangat mengerikan.

Maka, bagi segenap politisi, harus benar-benar siap mental dengan melakukan tindakan politik yang terukur dan rasional sesuai dengan kapabilitasnya, baik itu kapabilitas intelektual, kapabilitas material, maupun kapabilitas moral, etika dan nurani dalam berpolitik. Ini penting karena politik itu sendiri adalah arena permainan yang riil, sehingga perlu dikerjakan dengan optimisme yang riil pula. Jika politik dimaknai sebagai suatu ruang kosong yang dapat dikamuflase, maka ia hanya menghasilkan suatu “halusinasi” politik yang memungkinkan banyak politisi terhanyut dalam tindakantindakan irrasionalitas politik yang berujung pada kekecewaan, keputusasaan dan hilangnya sehat mental. Penulis, Direktur Social Development Center

Related Documents

Usaha Dalam Pemilu??
April 2020 22
Pemilu
August 2019 51
Pemilu
May 2020 36
Mewaspadai Janji
May 2020 38

More Documents from "ari nabawi"