Mewaspadai Janji

  • Uploaded by: ari nabawi
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Mewaspadai Janji as PDF for free.

More details

  • Words: 953
  • Pages: 3
Mewaspadai Janji-janji Surga Oleh Thomas Koten Setiap kali pilkada atau pemilu tiba, akustik ruang publik politik tak pelak disesaki oleh ingar-ingar janji-janji politik, alias janji-janji surga, dan jual “kecap” manis para kandidat. Seolah tidak ada hari dan ruang kosong publik yang dijejaki iming-iming politik yang menggiurkan bagi massa-politik. Iming-iming politik, janji-janji surga dan jual “kecap” yang ditawarkan oleh para calon pemimpin, beserta tim kampanyenya, terlihat dari spanduk, iklan, brosur, maupun secara langsung dari mulut para kandidat. Belum lagi intimidasi, politik uang (money politics) dan pelbagai bentuk manipulasi dan kecurangan yang membius hati, rasa dan pikiran massa-rakyat. Rakyat memang benar-benar dijejali oleh berbagai mimpi-mimpi indah tentang perbaikan nasib. Demikian juga dalam pilkada di Propinsi Sumatera Utara (Sumut) yang sedianya akan digelar April 2008 ini, massa-rakyat Sumut sedang dipengaruhi dan diiming-imingi dengan aneka macam janji-janji surga. Tim kampanye para kandidat secara tidak hentihentinya berupaya merayu massa agar gampang percaya kepada kandidat yang diusung. Massa-rakyat diyakini bahwa sang kandidat adalah seorang dermawan dan jago “menyulap” rakyat yang melarat menjadi sejahtera. Singkatnya, tidak ada janji pahit buat rakyat menjelang pilkada. Menundukkan massa-rakyat Semua upaya yang dilakukan oleh para kandidat dan seluruh tim kampanye, tidak lain bertujuan untuk menundukkan, bahkan menjerat massa-rakyat dalam batas-batas ketidaksadaran. Psikologi massa-rakyat dikerangkeng, atau diombang-ambingkan emosinya untuk mudah percaya lalu menjatuhkan pilihannya pada kandidat yang dimaksud. Massa seolah raja yang mesti disanjung-sanjung dan dilayani setiap kepentingannya. Untuk membuktikannya, dalam situasi seperti itu, rakyat dibodohi dengan beberapa karya nyata. Rakyat didatangi dengan membawa sejumlah hadiah. Segerombongan wartawan pun diajak agar kedermawanannya tersiar ke seluruh pelosok daerah dan kota. Tidak hanya dengan itu, para kandidat melakukan “bakti sosial” di sejumlah titik strategis sambil membagi-bagikan sembako. Ada juga yang menyumbangkan sak semen dan aspal. Gang-gang becek yang rusak pun diperbaiki. Tetapi, semua itu dilakukan tidak secara sembunyi-sembunyi dan diam-diam. Malah, bantuan itu diumumkan ke publik dan para wartawan “dibayar” untuk menuliskannya di koran dan majalah tentang kedermawanannya. Maka, apa yang kita lihat, itu adalah sebuah kebohongan publik/politik. Politik dan kebohongan memang kembar siam. Kata Glen Newey, seorang peneliti Inggris (2003), kebohongan merupakan bagian penting dari kehidupan politik modern. Kebohongan menjadi suatu yang wajar, dan terkandang perlu untuk merebut hati rakyat. Tetapi, perlu dicatat bahwa ketidaksanggupan seorang pemimpin dalam merealisadikan janji-janji politik yang pernah ditaburkan, sesungguhnya sang pemimpin telah melakukan suatu dosa politik. Kata Charles Ford, seorang psikolog yang banyak

meneliti motivasi dan kondisi psikologis yang melatari seseorang untuk berbohong, sebagai sebuah kepincangan psikologis sang pembohong. Kebohongan besar yang ditujukan kepada banyak orang tidak lain sebagai sebuah bentuk keserakahan (grady lie). Dan ini biasanya terjadi dalam sebuah kultur dan struktur sosial politik yang korup. Artinya, kedermawanan yang ditunjukkan oleh para kandidat pada menjelang pilkada Sumut, misalnya, mesti hanya dilihat sebagai upaya strategis para kandidat untuk merebut hati massa-rakyat. Jadi, jangan berharap kedermawanan itu dilakukannya lagi pada saat ia menjadi pemimpin. Sebab, ia bukanlah seorang dermawan sejati. Seorang dermawan sejati, tidak akan pernah mengharapkan imbalan. Dermawan sejati penuh keikhlasan, tanpa pamrih. Karena itu, perlu disimak, perilaku seorang kandidat, baik sekadar mengumbar janj-janji kosong maupun pura-pura menunjukkan perilaku dermawan, sama saja nilainya, yakni melakukan kebohongan politik yang harus diwaspadai oleh massa-rakyat calon pemilih pada pilkada atau pemilu. Apalagi, misalnya, kebohongan politik itu dijejali lagi dengan politik uang, bagi-bagi uang. Uang sebagai suatu kekuatan yang biasa dipakai para kandidat untuk membeli suara rakyat. Tulis George Bernard seorang pemikir politik Inggris, kekuatan uang itu begitu dahsyat dan pembicaraan publik politik seputar moralitas pribadi, tidak terlepas dari fakta politik uang. Intinya, segala janji surga, jual kecap manis, dan taburan-taburan mimpi yang membius dan menterlenakan rakyat pada saat-saat menjelang pilkada atau pemilu tidak lain bertujuan menundukkan massa-rakyat. Dan segala taburan janji-janji politik kemudian diikuti perilaku yang memberi kesan kedermawanan tentu ingin meyakinkan kepada rakyat bahwa para kandidat tidak main-main dalam mencalonkan diri dan mereka memang sanggup merealisasikan janji-janjinya demi memenuhi mimpi-mimpi rakyat, yakni kesejahteraan hidup. Padahal, itu semua tidak lain sebagai suatu perilaku politik yang mengonabobokan rasionalitas massa pemilih. Perlu dipahami, siapa pun yang suka berbohong, akan mudah lari dari rasa tanggung jawab sosial dan tanggung jawab moral. Apakah ini juga akan dilakukan oleh para kandidat pasca pilkada atau pemilu? Janji sebagai kontrak politik Di balik aneka janji surga dan aksi kedermawanan yang semu dari para kandidat itu, ada hal yang perlu ditelisik oleh para pemilih untuk kemudian menjatuhkan pilihannya pada kandidat yang dikehendakinya, adalah pertama-tama menilai programprogram serta visi dan misi yang dipaparkan oleh para kandidat. Setelah itu, barulah sejumlah janji penting lainnya yang digelontorkan pada saat kampanye. Dan kampanye harus dijadikan sebagai momentum yang tepat untuk lebih mengetahui dan menilai program politik yang ditawarkan para kandidat. Melalui kampanye dan penilaian terhadap program, pemilih diharapkan dapat menentukan pilihan secara rasional. Beberapa kali pemilu dan pilkada yang sudah digelar di negeri ini pasca reformasi, sangat diharapkan telah membuat rakyat semakin cerdas dan rasional dalam menentukan pilihan. Supaya rakyat tidak terus-menerus dijadikan obyek pembodohan politik oleh para kandidat seperti yang terjadi selama ini, maka rakyat harus menjadikan aneka janji yang ditaburkan dan program-program yang ditawarkan sebagai sebuah kontrak politik. Sebagaimana Tajuk Batak Pos 22/2, “Janji adalah kontrak politik” Sebuah ungkapan yang disitir dari pernyataan Akbar Tandjung dan Adnan Buyung

Nasution sehari sebelumnya, sebagai upaya memberikan pendidikan politik bagi msyarakat Sumut. Kita yakin masyarakat politik di Sumut kini sudah mulai cerdas dan kritis dalam memeraktekkan hak-hak politiknya, terutama yang bertalian dengan penentuan pilihan politik pada pilkada sebagai momentum perbaikan nasibnya sendiri. Dan supaya pilkada Sumut dapat bermanfaat, masyarakat pemilih Sumut harus jeli melihat kemampuan para kandidat dan kemudian menjatuhkan pilihan yang tepat. Selanjutnya, masyarakat Sumut harus terus menerus melakukan kontrol yang ketat terhadap segala kinerja pemimpinnya pasca pilkada dan tidak lupa menagih janji-janji politik yang ditabur pada saat menjelang pilkada. Karena itu, segala janji kampanye perlu diwaspadai. Penulis, alumnus Fakultas Filsafat Universitas Sint Thomas Medan.

Related Documents


More Documents from "adam"