Keindonesiaan Yang Belum Selesai

  • Uploaded by: ari nabawi
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Keindonesiaan Yang Belum Selesai as PDF for free.

More details

  • Words: 941
  • Pages: 3
Keindonesiaan yang Belum Selesai (Catatan tentang Negara Kemerdekaan yang Penuh Utopia) Oleh Thomas Koten Adalah benar bahwa sebuah negara bangsa dibangun di atas dasar kesamaan nasib dan teleologi “kebaikan umum” (common good) sebagaimana tesis Ernest Renan yang dikutip Soekarno. Atau, menurut teori terbentuknya negara atau peristiwa historik, lahirnya suatu bangsa dalam pengalaman kehidupan manusia, selalu diprakarsai pertama-tama oleh tumbuh dan berkecambahnya kesadaran dalam suatu kolektiva akan adanya kesamaan cita-cita sebagai tolok ukur yang menyatukan. Di situlah dapat dimengerti jika negara dan bangsa Indonesia yang dibangun di tengah desingan peluru dan di atas puing-puing kehancuran akibat penjajahan pun berlandaskan pada cita-cita bersama, yaitu memperjuangkan dan menciptakan suatu masyarakat yang adil dan sejahtera. Lantas, keindonesiaan yang kita banggakan ini pun mengendap dalam memori kolektif kita sebagai keniscayaan sejarah atau tapal batas sejarah –the end of history-, istilah Fukuyama. Pada gilirannya, dalam rangka mempertanyakan maksud dan tujuan berbangsa dan bernegara, bangsa ini pun tidak henti-hentinya mengkritisi segala bentuk pengelolaan negara dalam memenuhi panggilan sejarahnya, yakni menciptakan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Lalu, apa yang kita lihat dengan sosok negara yang kini telah berusia 64 tahun ini? Perangkap utopis Indonesia kini telah memasuki usia kemerdekaannya yang ke-64 tahun. Kita pun merayakannya dengan aneka macam ekspresi kegembiraan. Tetapi, ternyata, separatisme belum juga mengendap sempurna di Bumi Nusantara alias masih bisa menyeruak di sejumlah daerah kapan saja? Dalam kondisi lain, yang kita saksikan adalah fenomena kemiskinan dan gizi buruk serta pengangguran yang masih sulit terkendalikan. Belum lagi terorisme dan fenomena konflik bernuansa SARA yang belum mati. Apa yang hendak dikatakan dengan semua ini? Itu semua sesungguhnya memuncratkan tentang keindonesiaan yang belum rampung dikerjakan untuk memenuhi cita-cita kemerdekaan. Cita-cita kemerdekaan yakni menciptakan kesejahteraan bersama seolah semakin jauh dari harapan imajinasi-utopis. Yang kaya semakin kaya dan miskin semakin melarat. Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, dapat dikatakan hanyalah baru pada tingkat meresmikan dirinya sebagai identitas suatu negara bangsa (nation state) sekaligus perekat pluralisme sosio-kultural sebagai mozaik NKRI yang final dan mutlak eksistensinya dari segi hukum formal. Yang ada adalah keindonesiaan yang belum selesai atau belum rampung dikerjakan. Dan itu akhirnya menjadi sebuah proyek masa depan yang harus segera diselesaikan, meski berat dan sulit. Meminjam istilah Benedict Anderson, Indonesia adalah sebuah immagined communities (komunitas-komunitas terbayang). Atau, Indonesia dalam bahasa David Steinberg, adalah suatu ciptaan baru-produk loncatan imajinasi yang besar dan tidak mudah, dengan cita-cita dan mencakupi medan kerja yang

luas dalam arti geografis dan setumpuk persoalan; ekonomi, politik, sosial, dan hukum yang harus diselesaikan. Hingga saat ini masyarakat bangsa terus berupaya menjaga agar imajinasi-utopis akan kebersamaan masa depan yang dicita-citakan selalu hidup dalam bayangannya. Ini merupakan upaya agar keberadaan dan keutuhan sebuah bangsa tetap terjaga. Ironisnya, masyarakat politik Indonesia hingga saat ini tetap terperangkap dalam suatu utopia yang tidak jelas. Soekarno menggiring rakyat Indonesia pada sebuah utopia bernama revolusi. Soeharto mengusung utopia baru yang bernama pembangunanisme. Presiden-presiden selanjutnya pasca reformasi, tulis Imam Cahyono dalam sebuah esainya, tidak menawarkan utopia apa pun. Mereka sibuk mengumbar janji-janji manis, tetapi rakyat tidak tahu pasti ke arah mana bangsa ini hendak dikemudikan. Akhirnya, rakyat seperti kehilangan harapan dan semangat hidup. Keindonesiaan ini pun seolah harus meniti labirin tanpa terminal. Perjalanan menuju masa depan yang lebih baik seperti tanpa ujung. Semua itu membuat kita kehilangan energi dan gairah untuk berbicara tentang nasionalisme dan patriotisme keindonesiaan kita. Kalau mau jujur, idealisme membangun jati diri keindonesiaan yang dinamis, berkembang-maju-kokoh, tampaknya masih jauh dari cita-cita awal para founding fathers. Referendum 31/8/1999 yang berujung pada lepasnya Timor Timur bisa dilihat sebagai sinyalemen serius tentang betapa sukarnya mengokohkan keindonesiaan. Bukan mustahil, ancaman demi ancaman terhadap keutuhan NKRI, seperti terus menyeruaknya separatisme akan tetap menggerogoti eksistensi negara. Semua ini lalu membenarkan apa yang diasumsikan sebagai proyek masa depan, bahwa Indonesia bukanlah taken for granted akan ada atau tetap eksis sepanjang zaman. Mengapa? Sebab, keindonesiaan kita selama ini gagal meletakkan fondasi yang kokoh untuk mandiri dan mengembangkan diri dalam potensi dan aktualisasinya –nation and character building-, sebagai sebuah negara bangsa di mana cita-cita kemerdekaan tentang Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera masih dalam angan-angan. Lebih parah lagi, kepemimpinan negara, yang bersifat patrimonial, selalu gagal melindungi kaum miskin. Kepemimpinan pasar, yang bersifat predatory masih tidak sanggup mengembangkan kesempatan kerja. Korupsi tatap merajalela di tengah hukum yang masih kehilangan nyali. Individualisme berkembang pesat di tengah kepemimpinan komunitas, yang bersifat komunalistik, gagal merajut solidaritas sosial. Menerjemahkan utopia Tanpa berpretensi menentukan Indonesia yang bagaimana untuk mengerdilkan cita-cita NKRI, persoalan yang harus dikerjakan dalam kerangka merampungkan atau menyelesaikan keindonesiaan kita adalah mencakup sebuah bangsa yang ditentukan oleh dinamika peradabannya, sehingga keindonesiaan kita bukan sekadar sebuah immajined communities –Benedict Anderson-, di atas, yang bertalian sejauh bisa dibayangkan, melainkan suatu entitas konstruktif yang turut serta membentuk sejarah. Maka, yang perlu dikerjakan adalah bagaimana negara dan bangsa ini segera dan serius bekerja dalam menyelesaikan persoalan masyarakat bangsa dengan menerjemahkan utopia Indonesia berdasarkan pada optimisme menuju masa depan yang adil, makmur dan sejahtera. Mewujudkan utopia Indonesia berarti menemukan sosok Indonesia, sebuah republik, dengan menggali segala potensi untuk maju dan berdiri tegak sebagai sebuah negara yang berwibawa dan bangsa besar yang terhormat.

Menyelesaikan tumpukan persoalan bangsa yang masih bertumpuk bukanlah perkara mudah. Namun, itu semua tentu bukanlah mustahil diselesaikan jika dikerjakan secara serius dan bijak. Bangsa yang bijak adalah bangsa yang mau untuk terus-menerus belajar dari sejarah tanpa terkungkung pengalaman traumatik masa lampau, berani menghadapi realitas masa kini yang memprihatinkan dan menggalang masa depan yang bergelora yang penuh optimisme. Tulis David Kolb, penggagas the clinical experiental learning model di Amerika, pengalaman nyata –masa lampau dan masa kini, adalah titik awal tumbuh kembang yang akan dialami bangsa yang mau merobah nasibnya dan terus belajar dan ingin maju. Pengalaman adalah sumber sejarah aspiratif pembelajaran dan tumbuh-kembang. Penulis, Direktur Social Development Center

Related Documents


More Documents from "lp3y.org"