Kartel Politik dan Kursi Kabinet Praksis politik perburuan kekuasaan di negeri ini, mulai memasuki babak baru, yakni babak perburuan kursi kabinet. Babak baru pasca perburuan kursi legislatif, kursi presiden dan wakil presiden ini cukup menguras energi politik dan menyita perhatian publik. Dan karena jabatan menteri merupakan jabatan eksekutif dalam politik, maka jabatan itu selalu ramai diperebutkan oleh partai politik dan diperjuangkan secara maksimal oleh para politisi. Dan suasana perburuan kursi kabinet yang cukup ramai ini mengingatkan publik pada ungkapan filsuf kenamaan Friederich Wilhelm Nietzsche (1844-1900). Filsuf eksistensialis ini menulis, “Saat kesunyian berakhir, di situlah pasar dimulai; dan ketika pasar dimulai, di situ pulalah kegaduhan aktor-aktor besar serta dengungan lalat beracun terjadi.” Aktor-aktor besar adalah para politisi perebut kekuasaan dan mencabik kebisuan massa, dan lalat beracun adalah berbagai agitasi dan propaganda politisi demi meyakinkan publik agar bisa dipilih menduduki kursi kekuasaan. Dalam perburuan kursi kekuasaan apa pun, termasuk dalam perburuan kursi kabinet ini, sebagaimana dalam pasar politik ala Nietzsche, setiap individu politik mengoptimalkan kepentingan diri, dan parpol-parpol pun mengusung para kadernya, tidak lain hanya untuk menggapai keuntungan tertinggi dan pemuasan ego politiknya. Dan figur-figur yang berhasil adalah figur-figur yang mampu menaklukkan pembeli dus meninabobokan kerumunan pasar politik. Kartel politik Bertolak dari riil politik yang dapat disimak dan dikalkulasikan, maka sebenarnya babak perburuan ini tidak terlalu rumit, karena Presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono, dengan hak prerogatifnya langsung memilih figur-figur yang sudah disediakan oleh Partai Demokrat dan partai-partai yang telah tergabung dalam barisan koalisi, seperti PKS, PAN, PKB dan lain-lain. Tetapi, karena politik itu selalu cair dan berubah sesuai dengan lilitan kepentingan para politisi di sekelilingnya, dus adagium politik juga menegaskan bahwa tidak ada kawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan, maka kalkulasi politik pun akan terus berubah sesuai dengan perubahan selera politik. Namun, ironisnya, gelagat politik yang berkembang belakangan ini begitu membingungkan, karena parpol yang selama ini berseberangan dan berada di luar barisan koalisi, tampak mulai berpelukan dan bergandengan tangan. Perbedaan sikap, cara pandang, kepentingan, ideologi dan lain-lain yang egoistik perlahan disingkirkan. Yang ada hanyalah masing-masing berusaha menyatukan persepsi dan kepentingan tentang kekuasaan, bahwa semua itu hanya ditujukan untuk kepentingan bangsa dan negara dus menjalankan amanat penderitaan rakyat. Tetapi, apakah memang demikian dalam berpolitik? Hampir tidak seorang elite politik yang terlibat dalam aksi perburuan atau perebutan kekuasaan, merasa menyesal atau berubah atas pilihan-pilihan politik mereka yang berbalutkan egoisme. Realitas itu tampaknya memiliki pertautan dengan rendahnya komitmen etis elite politik untuk benar-benar membenahi kesemrawutan bangsa dan kenestapaan rakyat. Mereka seolah tidak berniat memulihkan tanggung jawab moral
politik elite penguasa yang selama ini tak henti-hentinya mengangkangi rakyat pasca peraihan kekuasaan. Bagi mereka, politik seolah hanya bersentuhan dengan kekuasaan, alias “siapa mendapatkan apa dan bagaimana cara mendapatkan”. Juga, seakan politik hanya memenangkan kepentingan, dus mengubah yang tidak mungkin menjadi mungkin”. Padahal, di situlah dimensi buruk, kotor dan degilnya politik yang senantiasa menjadi sumber sinisme publik. Mereka lupa bahwa politik itu sesungguhnya amat suci dan luhur sebagai kesadaran membangun kesejahteraan rakyat dan keadaban bangsa. Tentu saja tidak ada yang salah dalam berpolitik, tatkala gelagat politik yang sebelumnya bertingkah sebagai lawan, kini mulai berubah menjadi kawan. Dan tak ada hukum positif pun yang melarangnya. Namun, politik bukan semata-mata soal boleh dan tidak boleh, melanggar dan tidak melanggar, tetapi juga menyangkut pantas, tidak pantas, etis tidak etis atau soal kesantunan dalam berpolitik. Dalam berpolitik, soal etikalah yang menjadi takaran akan konsistensi dan integritas seorang politisi. Karena nasib bangsa hanya dapat dipercayakan kepada para politisi yang memiliki integritas yang tinggi dalam berpolitik. Sulit dibayangkan misalnya jika bangsa yang masih membutuhkan pembenahan di bidang moral dan mentalitas, diserahkan kepada para politisi yang kurang memiliki integritas. Dan menjadi celakanya tatkala yang diutamakan dalam mengelola politik adalah pemenangan dan pemenuhan kepentingan di negara yang sedang giat-giatnya membangun dan mengembangkan demokrasi. Demokrasi yang berwibawa dan berkualitas hanya dapat diraih lewat terbangunnya kontrol politik, baik dari partai politik maupun dari publik. Ironisnya, hubungan kepartaian politik di Indonesia selama reformasi tidak lain seperti apa yang disebut sebagai kartel politik. Kartel politik, -menyitir Sunny Tanuwidjaya dalam sebuah esainya, merupakan bentuk relasi antarelite politik yang dicirikan dengan tingginya kekompakkan elite, minimnya kekuatan oposisi, dan terbendungnya para elite dari mekanisme akuntabilitas yang nyata. Maka, pertanyaan, bagaimana dengan nasib demokrasi Indonesia ke depan, khususnya dalam tubuh pemerintahan negara ini? Pertanyaan ini begitu penting dijawab, mengingat yang menjadi salah satu pilar utama dalam demokrasi adalah adanya mekanisme check and balances dan akuntabilitas antarelite. Bukankah sulit dibayangkan jika demokrasi dikembangkan di bawah minimnya akuntabilitas dan ketiadaan check and balances? Teori politik Hegel Perjuangan politik dari para pemenang pemilu untuk membangun koalisi pasca pilpres demi memperkokoh eksisnya kekuasaan, boleh dan sah-sah saja. Dan kehendak politik untuk “berkoalisi” dengan partai pemenang pemilu pasca pilpres pun, seperti sudah disinggung di atas, tidak menyalahi hukum positif. Dalam hal mana, konflik dan kompetisi antarelite hanya terjadi menjelang dan saat pemilu, setelah itu, demi kekuasaan, mayoritas elite politik kembali kompak bekerja sama, menyatukan pandangan dan cita-cita untuk membangun negeri. Artinya, tidak mustahil dalam perjuangan untuk mencapai ambisi menikmati empuk dan legitnya kekuasaan, kerap terjadi “perkelahian” politik. Bahkan, kadangkadang, “perkelahian” itu terkesan menjijikan. Dan ingat bahwa pasangan presiden dan wakil presiden Yudhoyono-Boediono saat ini pun adalah hasil dari sebuah perkelahian politik yang cukup lama dan gencar dari berbagai kubu politik. Namun, perlu diingat,
seperti dalam teori politik dari sang ahli filsafat dan politik Hegel, ada yang disebut, ciri khas hubungan kekuasaan hasil perkelahian, desakan dan pertandingan menang-kalah adalah ketidakstabilan. Hegel meyakini, perdamaian dan dukungan pasca perkelahian adalah palsu, karena lambat laun niscaya menghasilkan perkelahian baru. Jadi, persoalannya, terletak pada sejauh mana membangun postur kabinetnya dengan komposisi yang pas dus mempertimbangkan secara matang tentang, the right man in the right place dengan mengabaikan komposisi kabinet yang terlalu bernuansa “dagang sapi” politik. Karena, ingat bahwa ketidakpuasan yang selalu saja muncul, akan berbalik menjadi “gugatan” politik tatkala berbagai ketidakpuasan ditemukan dalam kinerja para menteri. Penulis, Direktur Social Development Center