WRAP UP SKENARIO III SESAK NAPAS BLOK RESPIRASI
KELOMPOK : B-10 KETUA
: QOLBI MUTILLAH
(1102017180)
SEKRETARIS
: NABILA ASHILA FATHYA
(1102017161)
SABRINA
(1102016194)
MOH FIRDAUS
(1102017140)
NANDA FEBYLIA
(1102017167)
RAUDHATUL AISY FACHRUDIN
(1102017189)
RIZKY AMALIA FIRLY
(1102017202)
TRIANA RAHAYU
(1102017235)
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI 2018/2019 Jl. Letjen. Suprapto, Cempaka Putih, Jakarta 10510 Telp. 62.21.4244574 Fax. 62.21.4244574
DAFTAR ISI Daftar Isi................................................................................................................................ 2 Skenario................................................................................................................................. 4 Kata Sulit............................................................................................................................... 5 Pertanyaan..............................................................................................................................5 Jawaban.................................................................................................................................. 6 Hipotesis................................................................................................................................ 7 Sasaran Belajar...................................................................................................................... 8 LI.1 Mempelajari dan Memahami Asma pada Anak............................................................ 9 LO.1.1 Menjelaskan Definisi....................................................................................... 9 LO.1.2 Menjelaskan Etiologi....................................................................................... 9 LO.1.3 Menjelaskan Epidemiologi...............................................................................10 LO.1.4 Menjelaskan Klasifikasi................................................................................... 10 LO.1.5 Menjelaskan Patogenesis dan Patofisiologi..................................................... 13 LO.1.6 Menjelaskan Manifestasi Klinis....................................................................... 17 LO.1.7 Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis Banding.............................................. 19 LO.1.8 Menjelaskan Tatalaksana................................................................................. 25 LO.1.9 Menjelaskan Pencegahan................................................................................. 37 LO.1.10 Menjelaskan Komplikasi................................................................................38 LO.1.11 Menjelaskan Prognosis.................................................................................. 38 LI.2 Mempelajari dan Memahami Terapi Inhalasi pada Anak.............................................. 39 LO.2.1 Menjelaskan Prinsip Dasar Terapi Inhalasi......................................................39 LO.2.2 Menjelaskan Jenis Terapi Inhalasi................................................................... 40 2
Daftar Pustaka....................................................................................................................... 48
3
SKENARIO 3
SESAK NAPAS Seorang anak Laki-laki berusia 12 tahun mengalami sesak napas disertai bunyi mengi sejak 2 jam sebelum dibawa orangtuanya berobat ke IGD RS. Sesak napas sudah dirasakan hilang timbul sejak 2 hari sebelum masuk RS. Serangan bersifat nokturnal, hilang setelah pasien menggunakan obat inhaler. Pasien juga mengeluh batuk disertai rasa tertekan pada dada. Keluhan ini sudah dirasakan pasien berulang sejak usia 8 tahun, biasanya serangan didahului oleh beberapa faktor pencetus seperti batuk, pilek, atau makan ikan laut. Terdapat riwayat atopi pada keluarga.
Pada pemeriksaan fisik pasien tampak sesak, masih bisa bicara dalam kalimat, frekusi napas dan frekuensi nadi meningkat, terdapat retraksi interkostal, geographic tongue (+), terdapat wheezing pada kedua lapang paru.
Dokter mendiagnosis asma persisten ringan serangan sedang. Sebelum memberikan nebulisasi dengan agosin β2 kerja pendek, dokter melakukan spirometri untuk menilai PEF atau FEV1. Dokter melakukan pemeriksaan analisis gas darah dan foto toraks. Untuk mencegah berulangnya sesak, dokter memberikan KIE pada pasien, menganjurkan nebulisasi dirumah saat serangan dan menjelaskan tatalaksana jangka panjang.
4
KATA SULIT 1. Retraksi Interkostal : Kontraksi yang terjadi pada otot-otot perut dan iga yang tertarik kedalam saat bernapas. 2. Spirometri : Pengukuran kapasitas pernapasan (kapasitas paru-paru), seperti pada uji fungsi paru. 3. Geograpic tongue : Pada lidah terdapat gambaran menyerupai pulau-pulau sehingga terlihat seperti peta. 4. Nebulisasi : Teknik peresapan obat yang diberikan pada pasien sehingga obat tetap masuk kedalam saluran pernapasan walaupun dalam keadaan sulit bernapas. 5. FEV1 : Forced expiratory volume, yaitu volume udara yang dapat dihembuskan paksa pada 1 detik pertama. 6. PEF : Peak expiratory flow, yaitu pergerakan udara keluar paru-paru pada awal ekspirasi dalam satuan detik. 7. Analisis Gas Darah : Tes darah yang diambil melalui pembuluh darah arteri untuk mengukur kadar oksigen, karbondioksida, dan tingkat asam basa (PH) didalam darah. 8. Wheezing : Suara bersiul bernada tinggi timbul karena saluran napas menyempit. 9. Mengi : Suara yang dihasilkan ketika udara melewati saluran napas yang menyempit, saat ekspirasi. 10. Agonis β2 : Obat bronkodilator untuk melegakan otot-otot saluran pernapasan. 11. Atopi : Predisposisi genetik untuk membentuk reaksi hipersensitivitas cepat terhadap antigen lingkungan umum. 12. KIE : Komunikasi, informasi, dan edukasi. PERTANYAAN 1. Kenapa terjadi retraksi ? 2. Mengapa serangan bersifat nokturnal ? 3. Mengapa sesak napas disertai bunyi mengi ? 4. Mengapa batuk disertai dengan rasa tertekan di dada? 5. Apa hubungan keluhan pasien dengan riwayat atopi pada keluarga ? 6. Apa yang menyebabkan geographic tongue ? 7. Mengapa pasien diberikan agonis β2 sesuai inhalasi ? 8. Apa keluhan pasien berhubungan dengan usia ? 9. Mengapa dokter mendiagnosis asma persisten ringan serangan sedang ? 5
10. Apa tujuan penatalaksanaan asma jangka panjang ? 11. Apa saja pemeriksaan yang dapat dilakukan ? JAWABAN 1. Karena untuk mengkompensasi sesak napas, sehingga otot-otot inspirasi berkontraksi lebih keras. 2. Karena serangan terjadi pada malam hari. Saat malam udara terasa dingin, sehingga mengaktifkan respon alergi dan saat itu respon imun tubuh juga sedang menurun. 3. Karena saluran pernapasan menyempit. 4. Karena batuk merupakan proses mengeluarkan benda asing. Saat saluran pernapasan menyempit, batuknya akan terasa lebih sakit dan nyeri pada dada. 5. Hubungannya karena asma merupakan reaksi hipersensitivitas tipe 1 dan bersifat menurun (genetik). 6. Penyebabnya bisa karena bakteri, hal tersebut terjadi karena saat bernapas melalui mulut jadi bakteri mudah masuk dan bermanifestasi (saat terjadi serangan). 7. Karena pasien masih anak kecil, jadi pemberian obat harus efektif dengan memberikan nebulisasi yaitu obatnya langsung menuju saluran napas. 8. Iya, karena pasien anak kecil sehingga sistem imunnya lebih rendah makanya gampang terserang asma. 9. Karena pasien masih bisa bicara lewat kalimat. 10. Tujuannya untuk meminimalkan gejala, menghilangan serangan, meminimalkan penggunaan bronkodilator, meminimalkan efek samping obat, meminimalkan keterbatasan aktivitas fisik. 11. Pemeriksaan spirometri untuk menilai PEF atau FEV1, analisis gas darah untuk mengukur kadar oksigen, karbondioksida, dan tingkat asam basa (PH) di dalam darah, dan foto toraks untuk menyingkirkan diagnosis banding.
6
HIPOTESIS Asma merupakan reaksi hipersensitivitas tipe 1, yang menimbulkan gejala batuk dan nyeri dada akibat menyempitnya saluran pernapasan. Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan spirometri untuk menilai PEF dan FEV1, analisis gas darah dan foto toraks. Penatalaksanaan yang dapat diberikan dengan pemberian obat agonis β2 kerja pendek dan dapat dicegah pada waktu serangan dengan terapi inhalasi dan nebulisasi. Penatalaksaan jangka panjang juga diberikan untuk meminimalkan gejala, menghilangkan serangan, meminimalkan penggunaan bronkodilator, meminimalkan efek samping obat, meminimalkan keterbatasan aktivitas fisik.
7
SASARAN BELAJAR LI.1 Mempelajari dan Menjelaskan Asma pada Anak LO.1.1 Menjelaskan Definisi LO.1.2 Menjelaskan Etiologi LO.1.3 Menjelaskan Epidemiologi LO.1.4 Menjelaskan Klasifikasi LO.1.5 Menjelaskan Patogenesis dan Patofisiologi LO.1.6 Menjelaskan Manifestasi Klinis LO.1.7 Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis Banding LO.1.8 Menjelaskan Tatalaksana LO.1.9 Menjelaskan Pencegahan LO.1.10 Menjelaskan Komplikasi LO.1.11 Menjelaskan Prognosis LI.2 Mempelajari dan Memahami Terapi Inhalasi pada Anak LO.2.1 Menjelaskan Prinsip Dasar Tereapi Inhalasi LO.2.2 Menjelaskan Jenis Terapi Inhalasi
8
LI.1 Mempelajari dan Memahami Asma pada Anak LO.1.1 Menjelaskan Definisi Asma didefinisikan sebagai suatu kondisi ketika terjadi gangguan pada sistem pernapasan yang menyebabkan penderita mengalami mengi (wheezing), sesak napas, batuk, dan sesak di dada terutama ketika malam hari atau dini hari. (Global Initiative for Asthma, GINA.2015) Asma adalah penyakit saluran respiratori dengan dasar inflamasi kronik yang mengakibatkan obstruksi dan hiper reaktivitas saluran respiratori dengan derajat bervariasi. (UKK Respirologi IDAI) LO.1.2 Menjelaskan Etiologi Faktor pencetus asma banyak dijumpai di lingkungan baik di dalam maupun di luar rumah, tetapi anak dengan riwayat asma pada keluarga memiliki risiko lebih besar terkena asma. Tiap penderita asma akan memiliki faktor pencetus yang berbeda dengan penderita asma lainnya sehingga orang tua perlu mengidentifikasi faktor yang dapat mencetus kejadian asma pada anak. Faktor pencetus asma dibagi dalam dua kelompok:
1. Genetik, di antaranya atopi/alergi bronkus, eksim, hipereaktivitas, faktor yang memodifikasi penyakit genetik, jenis kelamin, ras/etnik.
2. Faktor pencetus di lingkungan: a. Alergen di dalam ruangan (tungau, debu rumah, kelembaban dalam rumah, bulu binatang, alternaria/jamur dll). b. Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari). c. Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan laut, susu sapi, telur). d. Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, β blocker, dll). e. Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray, dll). f. Asap rokok dari perokok aktif dan pasif. g. Polusi udara di luar dan di dalam ruangan. (asap kendaraan bermotor, asap dapur, pembakaran sampah).
9
h. Execise induces asthma (mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas tertentu). i. Perubahan cuaca. (Canadian Lung Association .Asthma: asthma treatment.2015 dan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2004. Asma Pedoman & Penatalaksanaan di Indonesia.Hal 7) LO.1.3 Menjelaskan Epidemiologi Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak factor, antara lain jenis kelamin, umur pasien, status atopi, faktor keturunan, serta faktor lingkungan. Pada masa kanak-kanak ditemukan prevalensi anak laki-laki berbanding anak perempuan 1,5:1, tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak dari laki-laki. Umumnya prevalensi asma anak lebih tinggi dari dewasa, tetapi ada pula prevalensi dewasa lebih tinggi dari anak. Angka ini juga berbeda-beda antara satu kota dengan kota yang lain di negara yang sama. Di Indonesia prevalensi asma berkisar antara 5-7%. Hasil penelitian menggunakan kuesioner ISAAC di beberapa kota menunjukkan hasil yang cukup bervariasi. Prevalens berkisar antara 3% di Bandung (Kartasasmita CB) sampai 8% di Palembang (Tanjung) pada kelompok usia 6-7 tahun. Sedangkan pada kelompok 13-14 tahun kisaran antara 2,6% di Bandung (Rosalina I) dan tertinggi di Subang 24,4% (Sundaru). Tingginya prevalens asma di Subang yang dibandingkan dengan prevalens pada kelompok asma di Jakarta (12,5%), hampir 2 kali lipat; diduga disebabkan karena tingginya angka polusiudaradiSubangakibatsulphurdariGunung Tangkuban Perahu(Sundaru). Di Bandung dilakukan penelitian ulangan dengan kuesioneryangsama,
pada
kelompok
13-14
tahun,setelah5tahunterjadipeningkatan2kali!lipatmenjadi5,2%. Pada tahun 2012, hasil penelitian didaerah rural kota madya Bandung pada anak usia 7-14 tahun mendapatkan hasil prevalens asma sebesar 9,6% dari332 subyek penelitian (Kartasamita dkk). (Sudoyo, AW,dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV Hal 478.2014) LO.1.4 Menjelaskan Klasifikasi Berdasarkan umur 10
•
Asma bayi – baduta (bawah dua tahun).
•
Asma balita (bawah lima tahun).
•
Asma usia sekolah (5-11 tahun).
•
Asma remaja (12-17 tahun).
Berdasarkan fenotip Fenotip asma adalah pengelompokan asma berdasarkan penampakan yang serupa dalam aspek klinis, patofisologis, atau demografis. •
Asma tercetus infeksi virus.
•
Asma tercetus aktivitas (exercise induced asthma).
•
Asma tercetus alergen.
•
Asma terkait obesitas.
•
Asma dengan banyak pencetus (multiple triggered asthma).
Berdasarkan kekerapan timbulnya gejala •
Asma intermiten: episode gejala asma < 6x/tahun atau jarak antar gejala ≥ 6
minggu. •
Asma persisten ringan: episode gejala asma > 1x /bulan, < 1x/minggu.
•
Asma persisten sedang: episode gejala asma >1x/minggu, namun tidak setiap
hari. •
Asma persisten berat: episode gejala asma terjadi hampir setiap hari.
Berdasarkan derajat beratnya serangan Asma merupakan penyakit kronik yang dapat mengalami episode gejala akut yang memberat dengan progresif disebut sebagai serangan asma. •
Asma serangan ringan-sedang.
•
Asma serangan berat.
11
•
Serangan asma dengan ancaman henti napas.
(Klasifikasi derajat serangan digunakan sebagai dasar penentuan tata laksana). Berdasarkan derajat kendali Tujuan utama tata laksana asma adalah terkendalinya penyakit. Asma terkendali adalah asma yang tidak bergejala, dengan atau tanpa obat pengendali dan kualitas hidup pasien baik. •
Asma terkendali penuh (well controlled). o
Tanpa obat pengendali : pada asma intermiten.
o
Dengan obat pengendali : pada asma persisten (ringan/sedang/berat).
•
Asma terkendali sebagian (partly controlled).
•
Asma tidak terkendali (uncontrolled).
(Klasifikasi derajat kendali dipakai untuk menilai keberhasilan tata laksana yang tengah dijalani dan untuk penentuan naik jenjang (step up), pemeliharaan (maintenance) atau turun jenjang (step down) tata laksana yang akan diberikan). Berdasarkan keadaan saat ini •
Tanpa gejala.
•
Ada gejala.
•
Serangan ringan-sedang.
•
Serangan berat.
•
Ancaman gagal napas.
Serangan asma adalah episode perburukan yang progresif akut dari gejalagejala batuk, sesak napas, wheezing, rasa dada tertekan, atau berbagai kombinasi dari gejala-gejala tersebut.
12
(Pedoman Nasional Asma Anak. Edisi 2 cetakan ke-2.UKK Respirologi PP IDAI.2016. Hal 30-31) LO.1.5 Menjelaskan Patogenesis dan Patofisiologi Patogenesis
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan, terutama sel mast, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil, sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk asma seperti asma alergik, asma nonalergik, asma kerja dan asma yang dicetuskan aspirin. 1.
Inflamasi akut Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain virus, iritan, alergen yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. a. Reaksi asma tipe cepat dan spasmogenik Jika ada pencetus terjadi peningkatan tahanan saluran napas yang cepat dalam 10–15 menit. Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan performed mediator seperti histamin protease dan newly generated mediator seperti leukotrien, prostaglandin dan platelet activating factor yang menyebabkan kontraksi otot polos, sekresi mukus dan vasodilatasi. Reaksi tersebut dapat hilang segera, baik secara spontan maupun dengan bronkodilator seperti simpatomimetik. Perubahan ini dapat dicegah dengan pemberian kromoglikat atau antagonis H1 dan H2 sebelumnya. Keadaan ini tidak dipengaruhi oleh pemberian kortikosteroid beberapa saat sebelumnya. Tetapi pemberian kortikosteroid untuk beberapa hari sebelumnya dapat mencegah reaksi ini.
b. Reaksi fase lambat dan lama Reaksi ini timbul antara 6–9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel CD4+, netrofil dan makrofag. 13
Patogenesis reaksi yang tergantung pada IgE, biasanya berhubungan dengan pengumpulan netrofil 4–8 jam setelah rangsangan. Reaksi lamabat ini mungkin juga berhubungan dengan reaktivasi sel mast. Leukotrien, prostaglandin dan tromboksan mungkin juga mempunyai peranan pada reaksi lambat karena mediator ini menyebabkan kontraksi otot polos bronkus yang lama dan edema submukosa. Reaksi lambat dapat dihambat oleh pemberian kromiglikat, kortikosteroid, dan ketotifen sebelumnya. 2.
Inflamasi kronik Asma yang berlanjut yang tidak dobati atau kurang terkontrol berhubungan dengan inflamasi di dalam dan disekitar bronkus. Berbagai sel terlibat dan teraktivasi, seperti limfosit T, eosinofil, makrofag, sel mast, sel epitel, fibroblas dan otot polos bronkus. Pada otopsi ditemukan infiltrasi bronkus oleh eosinofil dan sel mononuklear. Sering ditemukan sumbatan bronkus oleh mukus yang lengket dan kental. Sumbatan bronkus oleh mukus ini bahkan dapat terlihat sampai alveoli. Infiltrasi eosinofil dan sel-sel mononuklear terjadi akibat factor kemotaktik dari sel mast seperti ECF-A dan LTB4. Mediator PAF yang dihasilkan oleh sel mast, basofil dan makrofag yang dapat menyebabkan hipertrofi otot polos dan kerusakan mukosa bronkus
serta
menyebabkan
bronkokonstriksi
yang lebih kuat.
Kortikosteroid biasanya memberikan hasil yang baik. Diduga, ketotifen dapat juga mencegah fase ketiga ini. Airway Remodeling Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan remodeling. Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen lainnya seperti matriks ekstraselular, membran retikular basal, matriks interstitial, fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya, pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus. Perubahan struktur yang terjadi : 1. Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas. 2. Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus 3. Penebalan membran retikular basal 4. Pembuluh darah meningkat 5. Matriks ekstraselular fungsinya meningkat 6. Perubahan struktur parenkim 14
7. Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis Airway remodeling merupakan fenomena sekunder dari inflamasi atau merupakan akibat inflamasi yang terus menerus. Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala dan tanda asma seperti hiperreaktivitas jalan napas, masalah distenbilitas/regangan jalan napas dan obstruksi jalan napas. Sehingga pemahaman airway remodeling bermanfaat dalam manajemen asma terutama pencegahan dan pengobatan dari proses tersebut. Patologi Anatomi Gambaran makroskopik yang penting dari asma yang lanjut adalah : a. Mukus penyumbat dalam bronki, b. Inflasi paru yang berlebihan, tetapi bukan emfisema yang nyata, dan c. Kadang-kadang terdapat daerah bronkiektasis terutama dalam kasus yang berhubungan dengan aspergilosis. Jalan udara seringkali tersumbat oleh mukus, yang terdiri dari sel yang mengalami deskuamasi. Musin sering mengandung komponen seroprotein yang timbul dari reaksi peradangan hebat dalam submukosa. Dinding bronki tampak lebih tebal dari biasa. Apabila eksudat supuratif terdapat dalam lumen, maka superinfeksi dan bronkitis harus diwaspadai. Secara mikroskopik terdapat hiperplasia dari kelenjar mucus, bertambah tebalnya otot polos bronkus dan hipertofi serta hiperplasia dari sel goblet mukosa. Daerahdaerah yang tidak mengandung epitel respirasi sering ditemukan, ditambah dengan edema subepitel. Pertambahan jumlah limfosit peradangan yang agak banyak, terutama eosinofil terdapat pada mukosa yang edema. Patofisiologi Individu dengan asma mengalami respon imun yang buruk terhadap lingkungan mereka. Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan antibodi, menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (disebut mediator) seperti histamin, bradikinin dan prostaglandin serta anafilaksis dari substansi yang bereaksi lambat (SRS-A). Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru mempengaruhi otot polos dan
15
kelenjar
jalan
napas,
bronkospasme,
pembengkakan
membran
mukosa
dan
pembentukan mukus yang sangat banyak. Sistem saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot bronkial diatur oleh impuls saraf vagal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik atau non alergi ketika ujung saraf pada jalan nafas dirangsang oleh faktor seperti infeksi, latihan, dingin, merokok, emosi dan polutan, jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat. Pelepasan asetilkolin ini secara langsung menyebabkan bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan mediator kimiawi yang dibahas diatas. Individu dengan asma dapat mempunyai toleransi rendah terhadap respon parasimpatis. Selain itu, reseptor α- dan β-adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak dalam bronki. Ketika reseptor α adrenergik dirangsang , terjadi bronkokonstriksi; bronkodilatasi terjadi ketika reseptor β-adrenergik yang dirangsang. Keseimbangan antara reseptor α- dan β-adrenergik dikendalikan terutama oleh siklik adenosin monofosfat (cAMP). Stimulasi reseptor -alfa mengakibatkan penurunan c-AMP, yang mengarah pada peningkatan mediator kimiawi yang dilepaskan oleh sel-sel mast bronkokonstriksi. Stimulasi respon beta- mengakibatkan peningkatan tingkat cAMP, yang menghambat pelepasan mediator kimiawi dan menyebabkan bronkodilatasi. Teori yang diajukan adalah bahwa penyekatan b-adrenergik terjadi pada individu dengan asma. Akibatnya, asmatik rentan terhadap peningkatan pelepasan mediator kimiawi dan konstriksi otot polos.
16
LO.1.6 Menjelaskan Manifestasi Klinis Pada serangan asma ringan:
Anak tampak sesak saat berjalan.
Pada bayi: menangis keras.
Posisi anak: bisa berbaring.
Dapat berbicara dengan kalimat.
Kesadaran: mungkin irritable.
Tidak ada sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).
Mengi sedang, sering hanya pada akhir ekspirasi.
Biasanya tidak menggunakan otot bantu pernafasan.
Retraksi interkostal dan dangkal.
Frekuensi nafas: cepat (takipnea).
Frekuensi nadi: normal.
Tidak ada pulsus paradoksus (< 10 mmHg)
SaO2 % > 95%. 17
PaO2 normal, biasanya tidak perlu diperiksa.
PaCO2 < 45 mmHg
Pada serangan asma sedang:
Anak tampak sesak saat berbicara.
Pada bayi: menangis pendek dan lemah, sulit menyusu/makan.
Posisi anak: lebih suka duduk.
Dapat berbicara dengan kalimat yang terpenggal/terputus.
Kesadaran: biasanya irritable.
Tidak ada sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).
Mengi nyaring, sepanjang ekspirasi ± inspirasi.
Biasanya menggunakan otot bantu pernafasan.
Retraksi interkostal dan suprasternal, sifatnya sedang.
Frekuensi nafas: cepat (takipnea).
Frekuensi nadi: cepat (takikardi).
Ada pulsus paradoksus (10-20 mmHg)
SaO2 % sebesar 91-95%.
PaO2 > 60 mmHg.
PaCO2 < 45 mmHg
Pada serangan asma berat tanpa disertai ancaman henti nafas:
Anak tampak sesak saat beristirahat.
Pada bayi: tidak mau minum/makan.
Posisi anak: duduk bertopang lengan.
Dapat berbicara dengan kata-kata.
Kesadaran: biasanya irritable.
Terdapat sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).
Mengi sangat nyaring, terdengar tanpa stetoskop sepanjang ekspirasi dan inspirasi.
Menggunakan otot bantu pernafasan.
Retraksi interkostal dan suprasternal, sifatnya dalam, ditambah nafas cuping hidung.
Frekuensi nafas: cepat (takipnea).
Frekuensi nadi: cepat (takikardi). 18
Ada pulsus paradoksus (> 20 mmHg)
SaO2 % sebesar < 90 %.
PaO2 < 60 mmHg.
PaCO2 > 45 mmHg
Pada serangan asma berat disertai ancaman henti nafas:
Kesadaran: kebingungan.
Nyata terdapat sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).
Mengi sulit atau tidak terdengar.
Penggunaan otot bantu pernafasan: terdapat gerakan paradoks torakoabdominal.
Retraksi dangkal/hilang.
Frekuensi nafas: lambat (bradipnea).
Frekuensi nadi: lambat (bradikardi).
Tidak ada pulsus paradoksus; tanda kelelahan otot nafas.
Pedoman nilai baku frekuensi nafas pada anak sadar: Usia Frekuensi nafas normal : -
< 2 bulan < 60 x / menit
-
2 – 12 bulan < 50 x / menit
-
1 – 5 tahun < 40 x / menit
-
6 – 8 tahun < 30 x / menit
Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak: -
Usia Frekuensi nadi normal
-
2 – 12 bulan < 160 x / menit
-
1 – 2 tahun < 120 x / menit
-
3 – 8 tahun < 110 x / menit
LO.1.7 Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis Banding Diagnosis 1. Anamnesis Gejala timbul secara episodik atau berulang. 19
Timbul bila ada faktor pencetus, seperti: o Iritan: asap rokok, asap kebakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu dingin, udara kering, makanan minuman dingin, penyedap rasa, pengawet makanan, pewarna makanan. o Alergen: debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari. o Infeksi: respiratori akut karena virus, selesma, common cold, rinofaringitis. o Aktivitas fisis: berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa berlebihan. Adanya riwayat alergi pada pasien atau keluarganya. Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan dalam 24 jam. Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal). Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau dengan pemberian obat pereda asma. (Pedoman Nasional Asma Anak. Edisi 2 cetakan ke-2.UKK Respirologi PP IDAI.2016. Hal 26) Ada beberapa hal yang harus ditanyakan dari pasien asma antara lain: a. Apakah ada batuk yang berulang terutama pada malam menjelang dini hari ? b. Apakah pasien mengalami mengi atau dada terasa berat atau batuk setelah terpajan alergen atau polutan ? c. Apakah pada waktu pasien mengalami selesma (commond cold) merasakan sesak di dada dan selesmanya menjadi berkepanjangan (10 hari atau lebih) ? d. Apakah ada mengi atau rasa berat di dada atau batuk setelah melakukan aktivitas atau olahraga ? e. Apakah gejala-gejala tersebut diatas berkurang/hilang setelah pemberian obat pelega (bronkodilator) ? f. Apakah ada batuk, mengi, sesak di dada jika terjadi perubahan musim/cuaca atau suhu yang ekstrim (tiba-tiba) ? g. Apakah ada penyakit alergi lainnya (rinitis, dermatitis atopi, konjungtivitis alergi) ? h. Apakah dalam keluarga (kakek/nenek, orang tua, anak, saudara kandung, saudara sepupu) ada yang menderita asma atau alergi ?
20
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2004. Asma Pedoman & Penatalaksanaan di Indonesia.Hal 7-8) 2. Pemeriksaan fisik Dalam keadaan stabil tanpa gejala, tidak ditemukan kelainan. Dalam keadaan sedang bergejala batuk atau sesak dapat terdengar wheezing, baik yang terdengar langsung (audible wheeze) atau yang terdengar dengan stetoskop. Perlu dicari gejala alergi lain pada pasien seperti dermatitis atopi atau rinitis alergi, dan dapat dijumpai tanda alergi seperti allergic shiners atau geographic tongue. (Pedoman Nasional Asma Anak. Edisi 2 cetakan ke-2.UKK Respirologi PP IDAI.2016. Hal 26) Tanda asma yang paling sering ditemukan adalah mengi, tapi sebagian pasien asma tidak didapatkan mengi diluar serangan. Pada pasien asma yang sangat berat mengi dapat tidak terdengar (silent chest), biasanya pasien dalam keadaan sianosis dari kesadaran menurun. Hal yang ditemukan pada pasien yang sedang mengalami serangan asma, sesuai derajat serangan: 1. Inspeksi Pasien terlihat gelisah. Sesak (napas cuping hidung, napas cepat, retraksi sela iga, retraksi epigastrium, retraksi suprasternal. Sianosis. 2. Palpasi Biasanya tidak ditemukan kelainan. Pada serangan berat dapat terjadi pulsus paradoksus. 3. Perkusi Biasanya tidak ditemukan kelainan. 4. Auskultasi Ekspirasi memanjang. Mengi. Suara lendir.
21
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2004. Asma Pedoman & Penatalaksanaan di Indonesia.Hal 8) 3. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan ini dilakukan untuk menunjukkan variabilitas gangguan aliran napas akibat obstruksi, hiperreaktivitas, dan inflamasi saluran respiratori, atau adanya atopi pada pasien. Uji fungsi paru dengan spirometri sekaligus uji reversibilitas dan untuk menilai variabilitas. Pada fasilitas terbatas dapat dilakukan pemeriksaan dengan peak flow meter. (Pedoman Nasional Asma Anak. Edisi 2 cetakan ke-2.UKK Respirologi PP IDAI.2016. Hal 26)
Uji spirometri merupakan cara paling cepat dan sederhana untuk menegakkan mendiagnosis asma adalah melihat respons pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan ini dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator hirup (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik beta. Peningkatan VEP1 sebanyak ≥ 12% atau (≥ 200 ml) menunjukkan diagnosis asma. Tapi pada respons ≤ 12% atau 200 ml, tidak berarti bukan asma. Hal ini bisa dijumpai pada pasien yang sudah normal atau mendekati normal. Uji reversibilitas diperlukan kombinasi golongan obat adrenergik beta, teofilin dan bahkan kortikosteroid untuk pengobatan 2-3 minggu. (Sudoyo, AW,dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV Hal 481.2014) Uji cukit kulit (skin prick test), eosinofil total darah, pemeriksaan IgE spesifik. (Pedoman Nasional Asma Anak. Edisi 2 cetakan ke-2.UKK Respirologi PP IDAI.2016. Hal 27)
Uji kulit untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik dalam tubuh. Uji ini hanya menyokong anamnesis, karena uji alergen dengan hasil yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma, demikian pula sebaliknya. 22
Pemeriksaan eosinofil total dalam darah sering meningkat pada pasien asma dan dapat membantu dalam membedakan asma dari bronkitis kronik. Pemeriksaan ini dipakai sebagai patokan untuk menentukan cukup tidaknya dosis kortikosteroid yang dibutuhkan pasien asma. Pemeriksaan IgE Total untuk menyokong adanya atopi dan IgE Spesifik dilakukan jika uji kulit tidak dapat dilakukan atau hasilnya kurang dapat dipercaya. (Sudoyo, AW,dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV Hal 481.2014) Uji inflamasi saluran respiratori: FeNO (fractional exhaled nitric oxide), eosinofil sputum (sangat karakteristik untuk asma). (Pedoman Nasional Asma Anak. Edisi 2 cetakan ke-2.UKK Respirologi PP IDAI.2016. Hal 27) Uji provokasi bronkus dengan exercise, metakolin, dan larutan salin hipertonik. (Pedoman Nasional Asma Anak. Edisi 2 cetakan ke-2.UKK Respirologi PP IDAI.2016. Hal 27)
Uji provokasi bronkus untuk menunjukkan adanya hiperreaktivitas bronkus. Ada beberapa cara melakukan uji provokasi bronkus seperti uji provokasi dengan histamin, metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin, larutan garam hipertonik, dan aqua destilata. Uji dengan kegiatan jasmani dilakukan dengan menyuruh pasien berlari cepat selama 6 menit sehingga mencapai denyut jantung 80-90% dari maksimum. Uji prvokasi dengan alergen, hanya dilakukan pada pasien yang alergi dengan alergen yang diuji. (Sudoyo, AW,dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV Hal 481.2014) Jika terindikasi dan fasilitas tersedia, lakukan pemeriksaan untuk mencari kemungkinan diagnosis banding, misalnya uji tuberkulin, foto sinus paranasalis, foto toraks, uji refluks gastro-esofagus, uji keringat, uji gerakan silia, uji defisiensi
23
imun,
CT-scan
toraks,
endoskopi
respiratori
(rinoskopi,
laringoskopi,
bronkoskopi).
Kriteria diagnosis asma Gejala
Karakteristik
Wheezing, batuk, sesak napas, dada Biasanya lebih dari 1 gejala respiratori Gejala
tertekan, produksi sputum
berfluktuasi
intensitasnya
seiring waktu Gejala memberat pada malam atau dini hari Gejala timbul bila ada pencetus. Konfirmasi adanya limitasi aliran udara ekspirasi Gambaran obstruksi saluran respiratori
FEV1 rendah (< 80% nilai prediksi) FEV1/FVC ≤ 90%
Uji
reversibilitas Peningkatan FEV1 > 12%
(pascabronkodilator) Variabilitas
Perbedaan PERF harian > 13%
Uji provokasi
Penurunan FEV1 > 20% atau PERF > 15%
(Pedoman Nasional Asma Anak. Edisi 2 cetakan ke-2.UKK Respirologi PP IDAI.2016. Hal 27) Diagnosis Banding Inflamasi: Infeksi, alergi Rinitis, rinosinusitis Chronic upper airway caugh syndrome Infeksi respiratori berulang Bronkiolitis Aspirasi berulang Defisiensi imun Tuberkulosis 24
Obstruksi mekanis Laringomalasia, trakeomalasia Hipertrofi timus Pembesaran kelenjar getah bening Aspirasi benda asing Vascullaring, laryngeal web Disfungsi pita suara Malformasi kongenital saluran respiratori
Patologi bronkus Displasia bronkopulmonal Bronkiestasis Diskinesia silia primer Fibrosis kistik
Kelainan sistem organ lain Penyakit refluks gastro-esofagus (GERD) Penyakit jantung bawaan Gangguan neuromuskular Batuk psikogen (Pedoman Nasional Asma Anak. Edisi 2 cetakan ke-2.UKK Respirologi PP IDAI.2016. Hal 29) LO.1.8 Menjelaskan Tatalaksana Tatalaksana pasien asma untuk meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatandalam melakukan aktivitas sehari-hari. Tujuan : Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma. Mencegah ekserbasi akut. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin.
25
Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise. Menghindari efek saling obat. Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) irreversibbel. Mencegah kematian karena asma. Kusus anak, untuk mempertahankan tumbuh kembang anak sesuai potensi genetiknya. Ada 5 komponen yang dapat diterapkan dalam penatalaksanaan asma, yaitu KIE dan hubungan dokter-pasien. Identifikasi dan menurunkan pajanan terhadap faktor risiko. Penilaian, pengobatan dan monitor asma. Penatalaksanaan asma eksaserbasi akut. Keadaan khusus seperti ibu hamil, hipertensi, diabetes melitus, dll. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2004. Asma Pedoman & Penatalaksanaan di Indonesia.Hal 12-13) Komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) merupakan unsur penting dalam tatalaksana asma. Tujuan program ini adalah memberi informasi dan pelatihan yang sesuai terhadap pasien dan keluarga pasien untuk meningkatkan pengetahuan atau pemahaman, keterampilan, dan kepercayaan diri dalam mengenali gejala serangan asma, mengambil langkah-langkah yang sesuai serta memotivasi dalam menghindari faktor-faktor
pencetus,
sehingga
meningkatkan
keteraturan
terhadap
rencana
pengobatan yang sudah ditetapkan dan meningkatkan kemandirian dalam tatalaksana asma yang lebih baik. Beberapa komponen yang harus diperhatikan oleh seorang dokter/petugas kesehatan yang memberi pelayanan: Mengutamakan terjalinnya hubungan baik dengan pasien. Hal ini adalah proses yang berkesinambungan, sehingga KIE selalu diberikan di setiap kesempatan bertemu dengan pasien. Berbagi dan bertukar informasi dengan pasien tentang asma dan penatalaksanaannya. Penilaian kendali asma, derajat dan pemakaian obat-obatan. Harapan akan tercapainya kendali asma. 26
Meredam ketakutan dan kekhawatiran. Penerapan program KIE dimulai saat pertama kali diagnosis ditegakkan dan berlangsung terus-menerus dan terintegrasi ke dalam setiap langkah tatalaksana asma. Program ini dilakukan disemua tempat pelayanan, seperti klinik, rumah sakit, unit gawat darurat, sekolah, rumah, dan pusat-pusat keramaian. Selain anak dan orangtua, KIE juga melibatkan dokter, perawat, apoteker, guru, kelompok bermain, keluarga dan masyarakat. Pelaksanaan KIE dilakukan melalui ceramah, komunikasi/nasehat saat berobat,
supervisi,
diskusi,
serta
video
presentasi,
brosur,
chart,
dan
mendemonstrasikan penggunaan PFM (peak flow meter), spirometer, alat terapi inhalasi, dan spacer. Dalam melakukan KIE selalu menggunakan kata-kata atau kalimat yang bersifat komunikatif. (Pedoman Nasional Asma Anak. Edisi 2 cetakan ke-2.UKK Respirologi PP IDAI.2016. Hal 73-74) Pada prinsipnya penatalaksanaan asma di klasifikasikan menjadi dua: penatalaksanaan asma akut/saat serangan dan penatalaksanaan asma jangka panjang. 1. Penatalaksanaan asma akut/saat serangan The global initiative of asthma (GINA) membagi tatalaksana serangan asma menjadi dua: tatalaksana dirumah dan di fasilitas pelayanan kesehatan/RS. Tatalaksana dirumah Dilakukan oleh pasien atau orangtuanya sendiri dirumah. Pasien dan keluarganya diberikan edukasi tentang bagaimana memantau gejala asma, gejala-gejala serangan asma dan rencana tatalaksana asma yang diberikan tertulis (asthma action plan, AAP). Terapi awalnya berupa inhalasi agonis β2 kerja pendek hingga tiga kali dalam satu jam. Pasien atau keluarganya diminta untuk melakukan penilaian respons untuk penentuan derajat serangan, kemudian ditindaklanjuti sesuai derajatnya. Pasien harus segera dibawa ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat jika:
Pasien mempunyai satu atau lebih faktor risiko .
Pasien tiba-tiba dalam kondisi keadaan distres respirasi (sesak berat).
Tatalaksana yang dapat dilakukan pasien/keluarganya dirumah: Berikan inhalasi agonis β2 kerja pendek, via nebulizer atau dengan MDI + spacer. 27
Jika via nebulizer :
Berikan agonis β2 kerja pendek, lihat responsnya. Bila gejala (sesak napas dan wheezing) menghilang, cukup diberikan satu kali.
Jika gejala belum membaik dalam 30 menit, ulangi pemberian sekali lagi.
Jika dengan dua kali pemberian agonis β2 kerja pendek via nebulizer belum membaik, segera bawa ke fasilitas pelayanan kesehatan.
Jika via MDI + spacer:
Berikan agonis β2 kerja pendek via spacer dengan dosis: 2-4 semprot. Berikan satu semprot obat ke dalam spacer diikuti 6-8 tarikan napas melalui antar muka (interface) spacer berupa masker atau maouthpiece. Bila belum ada respons berikan semprot berikutnya dengan siklus yang sama.
Jika membaik dengan dosis ≤ 4 semprot, inhalasi dihentikan.
Jika gejala tidak membaik dengan dosis 4 semprot, segera bawa ke fasilitas pelayanan kesehatan.
Pemberian agonis β2 kerja pendek via MDI + spacer mempunyai efektivitas yang sama dengan pemberian via nebulizer, dengan catatan:
Pasien tidak dalam serangan asma berat atau ancaman henti napas.
Pasien dapat menggunakan MDI dengan spacer.
Sebaiknya menggunakan spacer yang baru atau sebelumnya dicuci dengan air deterjen dan dikeringkan di udara kamar.
Bila tidak tersedia spacer, dapat digunakan botol atau gelas plastik 500 ml sebagai penggantui spacer.
(Pedoman Nasional Asma Anak. Edisi 2 cetakan ke-2.UKK Respirologi PP IDAI.2016. Hal 51-53) Tatalaksana di fasilitas pelayanan kesehatan primer Sebelumnya dokter di anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pada pasien. Tindak lanjut:
28
Bila pasien memiliki kriteria untuk dipulangkan, obat yang dibawa pulang adalah agonis β2 kerja pendek inhalasi dan steroid oral. Pemberian steroid oral bisa dilanjutkan sampai 3-5 hari lalu dapat dihentikan langsung tanpa tappering off.
Jika pasien dengan asma persisten, berikan obat pengendali. Apabila pasien sebelumnya sudah dibei obat pengendali, lalu evaluasi dan sesuaikan ulang dosisnya.
Jika obat diberikan dalam bentuk inhaler, sebelum pasien dipulangkan, pastikan teknik pemakaian inhaler sudah tepat.
Kontrol ulang ke fasilitas pelayanan kesehatan 3-5 hari kemudian.
(Pedoman Nasional Asma Anak. Edisi 2 cetakan ke-2.UKK Respirologi PP IDAI.2016. Hal 57) Tatalaksana di rumah sakit (UGD) Untuk tatalaksana pasien dengan serangan asma berat atau serangan asma dengan ancaman henti napas yang dirujuk dari fasilitas pelayanan kesehatan primer. Sebagai langkah awal, nilai airway, breathing, circulation, serta derajat kesadaran pasien. Jika terdapat ancaman henti napas, yaitu gejala distres respirasi berat, dengan penurunan kesadaran (tampak mengantuk atau gelisah), dan suara paru tak terdengar, segera siapkan untuk perawatan PICU. Sambil menunggu persiapan tersebut, beri inhalasi agonis β2 kerja pendek via nebulizer, oksigen dan siapkan intubasi jika perlu. Untuk serangan asma berat: 1.
Berikan inhalasi agonis β2 kerja pendek dan ipratropium bromida via
nebulizer. 2.
Pasang jalur parenteral.
3.
Berikan steroid sistemik (prednison atau prednisolon 1-2 mg/kgBB/hari, maksimum 40 mg/hari).
4.
Berikan oksigen.
5.
Rontgen toraks.
6.
Rawat inap. Sambil menunggu persiapan rawat inap, pemberian inhalasi agonis β2 kerja
pendek dan ipratropium bromida dapat diberikan ulang, sesuai dengan kondisi
29
pasien. Anamnesis yang singkat dan terfokus serta pemeriksaan fisis yang relevan harus dilakukan bersamaan dengan pemberian terapi awal. Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisis harus dicatat di rekam medis. (Pedoman Nasional Asma Anak. Edisi 2 cetakan ke-2.UKK Respirologi PP IDAI.2016. Hal 57-58)
Obat-obatan untuk serangan asma 1. Agonis β2 kerja pendek Pilihan utama bagi serangan asma ringan sedang yang terjadi dirumah maupun fasilitas pelayanan kesehatan. Pemberian dapat diulang hingga 2 kali dengan interval 20 menit. Obat ini sebagai premedikasi untuk serangan asma yang dipicu latihan (exercise induced asthma). Contoh agonis β2 kerja pendek adalah salbutamol, terbutalin, dan prokaterol. Pada serangan asma, agonis β2 kerja pendek diberikan secara inhalasi lewat DPI, MDI dengan atau tanpa spacer, atau nebulizer dengan dosis yang sesuai dengan beratnya serangan dan respons pasien. Pemberian agonis β2 kerja pendek harus diberikan dengan dosis pendek dan frekuensi terkecil, yaitu hanya bila diperlukan, penggunaan berlebihan atau seringnya pemakaian menandakan kendali asma yang buruk. Efek samping penggunaan pertama kali seperti tremor dan takikardia, tapi seiring waktu efek tersebut cepat ditolereansi. (Pedoman Nasional Asma Anak. Edisi 2 cetakan ke-2.UKK Respirologi PP IDAI.2016. Hal 65) 2. Ipratropium bromida Obat ini memberikan efek dilatasi bronkus lewat peningkatan tonus parasimpatis dalam inervasi otonom di saluran napas. Kombinasi ipratropium bromida dengan agonis β2 kerja pendek pada serangan asma ringan-sedang menurunkan risiko rawat inap dan memperbaiki PEF dan FEV, dibandingkan dengan agonis β2 saja. Kombinasi bisa diberikan untuk obat pulangyang dipakai dirumah dan dapat diedukasi dengan baik dan dapat menilai bahwa serangan yang terjadi dinilai berat. (Pedoman Nasional Asma Anak. Edisi 2 cetakan ke-2.UKK Respirologi PP IDAI.2016. Hal 66) 3. Aminofilin intravena
30
Diberikan pada anak dengan serangan asma berat atau dengan ancaman henti napas yang tidak berespons terhadap dosis maksimal inhalasi agonis β2 dan steroid sistemik. Penambahan obat ini pada terapi awal meningkatkan fungsi paru dalam 6 jam pertama, tapi tidak mengurangi gejala, jumlah nebulisasi, dan lama rawat inap. Efek samping aminofilin adalah mual, muntah, takikardi dan agitas. Toksisitas yang berat dapat menyebabkan aritmia, hipotensi, dan kejang. Kadar aminofilin serum yang tinggi dapat menyebabkan kematian. Dosis obat ini adalah dosis inhalasi bolus pelan 6-8 mg/kgBB diberikan selama 20 menit dilanjutkan dengan pemberian rumatan secara drip 1 mg/kg/jam. Loading 1 mg/kg akan meningkatkan kadar aminofilin serum 2 mcg/ml. Untuk efek terapi maksimal, kadar aminofilin serum adalah 10-20 ug/ml. Kadar aminofilin serum diukur 1-2 jam setelah loadingdose diberikan. (Pedoman Nasional Asma Anak. Edisi 2 cetakan ke-2.UKK Respirologi PP IDAI.2016. Hal 66) 4. Steroid sistemik Pemberian obat ini dapat mempercepat perbaikan serangan dan mempercepat kekambuhan, dan direkomendasikan pada semua jenis serangan. Jika memungkinkan, steroid oral diberikan 1 jam pertama. Keuntungan steroid oral adalah lebih murah dan tidak invasif. Pemberian oral memerlukan waktu sekitar 4 jam untuk memberikan perbaikan klinis. Pemberian secara intravena direkomendasikan bila pasien tidak dapat menelan obat (misalnya terlalu sesak, muntah atau pasien memerlukan intubasi). Steroid sistemil berupa prednison atau prednisolon diberikan per oral dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum sampai 40 mg/hari, maksimal 1 kali dalam 1 bulan. Lama pemberian 3-5 hari tanpa tappering off. (Pedoman Nasional Asma Anak. Edisi 2 cetakan ke-2.UKK Respirologi PP IDAI.2016. Hal 66-67) 5. Adrenalin Dapat digunakan adrenalin, jika tidak tersedia obatan lain. Epinefrin (adrenalin) intamuskular diberikan sebagai terapi tambahan asma dengan anafilaksis dan angioedema yang dosisnya 10 ug/kgBB (0,01 ml/kgBB adrenalin 1:1.000), dengan dosis maksimal 500 ug (0,5 ml). Obat ini tidak diindikasikan untuk serangan asma lainnya. 31
(Pedoman Nasional Asma Anak. Edisi 2 cetakan ke-2.UKK Respirologi PP IDAI.2016. Hal 67) 6. Magnesium sulfat Obat ini hanya sebagai alternatif bila pengobatan standar tidak ada perbaikan. Pemberian magnesium sulfat (MgSO4) intravena 50 mg/kgBB (inisial) dalam 20 menit dilanjutkan dengan 30 mg/kgBB/jam mempunyai efektivitas yang sama dengan agonis β2. Pembeerian obat ini dapat meningkatkan FEV dan mengurangi angka perawatan di RS. Obat ini tersedia dalam sediaan 20% dan 40% diberikan dengan bolus., bolus diulang, drip kontinu, dan inhalasi. Cara bolus berulang serta inhalasi jarang digunakan. Pemberian lewatr drip kontinu melalui pompa intravena dilakukan dengan melarutkan sediaan dalam larutan destrose 5% atau larutan salin dengan pengenceran 60 mg/ml lalu diberikan dengan kecepatan 10-20 mg/kgBB/jam dan target kadar magnesium 4 mg/dl. Untuk pemberian cara bolus, dosisnya 20-100 mg/kgBB (maksimum 2 gram) selama 20 menit, sedangkan dengan bolus berulang dosis magnesium sulfat yang dianjurkan 2050 mg/kgBB/dosis setiap 4 jam. (Pedoman Nasional Asma Anak. Edisi 2 cetakan ke-2.UKK Respirologi PP IDAI.2016. Hal 67-68) 7. Steroid inhalasi Steroid dengan nebulisasi dosis tinggi (1600-2400 ug budesonide) digunakan untuk serangan asma. Pemberian obat ini terbatas pada pasien-pasien dengan kontraindikasi terhadap steroid sistemik. (Pedoman Nasional Asma Anak. Edisi 2 cetakan ke-2.UKK Respirologi PP IDAI.2016. Hal 68) 8. Mukolitik Obat ini dapat diberikan pada serangan asma ringan, tapi harus hati-hati pada anak dengan refleks batuk yang tidak optimal. Hati-hati pemberian mukolitik pada bayi dan anak dibawah usia 2 tahun. (Pedoman Nasional Asma Anak. Edisi 2 cetakan ke-2.UKK Respirologi PP IDAI.2016. Hal 68) 9. Antibiotik Pemberian antibiotik tidak dianjurkan karena sebagian besar pencetusnya bukan infeksi bakteri melainkan infeksi virus. Pada serangan berat perlu 32
dipikirkan adanya pneumonia atipikal, bila ada kecurigaan berikan antibiotik golongan makrolid. (Pedoman Nasional Asma Anak. Edisi 2 cetakan ke-2.UKK Respirologi PP IDAI.2016. Hal 69) 2. Penatalaksanaan asma jangka panjang Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk mengontrol asma dan mencegah serangan. Pengobatan asma jangka panjang disesuaikan dengan klasifikasi beratnya asma. Prinsip pengobatan jangka panjang meliputi: edukasi, obat asma (pengontrol dan pelega), dan menjaga kebugaran. Edukasi Edukasi yang diberikan mencakup : Kapan pasien berobat/mencari pertolongan. Mengenali gejala serangan asma secara dini. Mengetahui obat-obatan pelega dan pengontrol serta cara dan waktu penggunaannya. Mengenali dan menghindari faktor pencetus. Kontrol teratur. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2004. Asma Pedoman & Penatalaksanaan di Indonesia.Hal 14) Obat asma dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever)/obat pelega/obat serangan dan obat pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma bila sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi, maka pemakaian obat ini dihentikan. Obat pengendali digunakan untuk mencegah serangan asma. Obat ini untuk mengatasi masalah dasar asma yaitu inflamasi respiratori kronik, sehingga tidak timbul serangan atau gejala asma. Obat ini dipakai terus-menerus dalam waktu yang relatif lama, tergantung pada kekerapan gejala asma dan respon terhadap pengobatan/penanggulangannya. Obat pengendali asma terdiri dari steroid antiinflamasi inhalasi atau sistemik, antileukotrien, kombinasi steroid-agonis β2 kerja panjang, teofilin lepas lambat dan anti imunoglobulin E.
33
(Pedoman Nasional Asma Anak. Edisi 2 cetakan ke-2.UKK Respirologi PP IDAI.2016. Hal 35-36) Cara pemberian obat Obat asma diberikan secara inhalasi. Pemberian teknik inhalasi berdasarkan golongan umur dan kemampaun anak. Pemilihan alat inhalasi sebaiknya mempertimbangkan efikasi obat, keamanan, kenyamanan penggunaan, dan biaya. Inhalasi dosis terukur/Metered Dose Inhaler (MDI) dengan spacer merupakan pilihan utama karena memberikan kenyamanan pasda pasien, jumlah obat yang mencapai paru lebih banyak, risiko dan efek sampng minimal, serta biayanya lebih murah. Lebih dari 50% anak asma tidak dapat memakai alat hirupan tanpa spacer (MDI). Jenis alat inhalasi sesuai usia Umur
Alat inhalasi
< 5 tahun
Nebulizer dengan masker Metered dose inhaler (MDI) dengan spacer : aerochamber, optichamber, babyhaler.
5-8 tahun
Nebulizer dengan mouth piece MDI dengan spacer Dry
powder
inhaler
(DPI):
diskhaler,easyhaler,
swinghaler,turbuholer. >8 tahun
Nebulizer dengan mouth piece MDI dengan atau tanpa spacer DPI: diskhaler, swinghaler, turbuhaler.
Pemakaian spacer mengurangi deposisi obat dalam mulut (orofaring), menyebabkan jumlah obat yang akan tertelan berkurang sehingga mengurangi efek sistemik. Pemakaian spacer akan mengatasi masalah kesulitan teknik pemakaian obat MDI. Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering/Dry powder inhaler (DPI) seperti diskhaler, swinghaler, turbuhaler, dan easyhaler memerlukan inspirasi yang kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk anak sekolah.
34
Jika spacer seperti volumatic, nebuhaler, aerochamber, babyhaler, autohaler tidak dapat atau sulit diperoleh, spacer dapat dibuat dari gelas plastik atau botol plastik dengan volume 500 ml. (Pedoman Nasional Asma Anak. Edisi 2 cetakan ke-2.UKK Respirologi PP IDAI.2016. Hal 36-37) Obat pengendali asma 1. Steroid inhalasi Merupakan obat pengendali asma yang efektif. Obat ini dapat menekan inflamasi saluran respiratori dan berperan dalam tatalaksana asma jangka panjang. Pemberian obat ini setara dosis budesonid 100-200 µg/hari dapat menurunkan angka kekambuhan asma dan memperbaiki fungsi paru pada pasien asma.untuk mengendalikan asma dan mencegah timbulnya serangan asma setelah berolahraga memerlukan dosis 400 µg/hari.pada anak diatas 5 tahun, steroid inhalasi dapat mengendalikan asma, menurunkan angka kekambuhan, mengurangi risiko masuk rumah sakit, memperbaiki kualitas hidup, memperbaiki fungsi paru. Dan menurunkan serangan asma akibat berolahraga. Steroid inhalasi atau sistemik tidak digunakan untuk asma intermitten dan wheezing akibat infeksi virus. Obat ini tidak mempengaruhi tinggi badan dan densitas tulang. Efek samping obat ini kandidiasis oral dan suara parau, yang dapat dicegah dengan berkumur setiap hari setelah pemeberian steroid. (Pedoman Nasional Asma Anak. Edisi 2 cetakan ke-2.UKK Respirologi PP IDAI.2016. Hal 37-38) 2. Agonis β2 kerja panjang (long acting β2-agonist,LABA) Obat ini digunakan bersama steroid inhalasi. Kombinasi kedua obat memperbaiki fungsi paru dan menurunkan angka kekambuhan asma, serta mencegah spasme bronkus yang dipicu olahraga dan mampu memproteksi lebih lama dibandingkan agonis β2 inhalasi kerj pendek. Contoh obat agonis β2 kerja panjang adalah formoterol, yang memiliki awitan kerja yang cepat dan berfungsi sebagai obat pereda.
35
(Pedoman Nasional Asma Anak. Edisi 2 cetakan ke-2.UKK Respirologi PP IDAI.2016. Hal 39) 3. Antileukotrien Obat ini terdiri dari antagonis reseptor cysteinyl-leukotrien 1 (CysLT1) seperti montelukast, pranlukast, dan zafirlukast, serta inhibitor 5 – lipoxygenase seperti zileuton. Obat ini memiliki efek bronkodilator yang kecil dan bervariasi, mengurangi gejala termasuk batuk, memperbaiki fungsi paru, dan mengurangi inflamasi jalan napas dan mengurangi eksaserbasi. Kombinasi steroid inhalasi dengan antileukotrien dapat menurunkan angka serangan
asma
dan
menurunkan
kebutuhan
dosis
steroid
inhalasi.
Antileukotrien dapat mencegah serangan asma akibat berolahraga ( exercise induced asthma, EIA) dan obstructive sleep apnea (OSA). Obat ini juga dapat mencegah serangan asma akibat infeksi virus pada anak balita. (Pedoman Nasional Asma Anak. Edisi 2 cetakan ke-2.UKK Respirologi PP IDAI.2016. Hal 40) 4. Teofilin lepas lambat Obat ini dapat diberikan sebagai kombinasi dengan steroid inhalasi pada anak usia diatas 5 tahun. Kombinasi ini akan memperbaiki kendali asma dan menurunkan dosis steroid inhalasi pada anak dengan asma persisten. Efek samping teofilin lepas lambat adalah mual, muntah, anoreksia, sakit kepala, palipitasi, takikardi, aritmia, nyeri perut, dan diare. Efek samping obat ini timbul pada pemberian dosis tinggi, diatas 10 mg/kgBB/hari. (Pedoman Nasional Asma Anak. Edisi 2 cetakan ke-2.UKK Respirologi PP IDAI.2016. Hal 40) 5. Anti-imunoglobulin E (Anti-IgE) Anti-IgE
(omalizumab)
dalah
antibodi
monoklonal
yang
mampu
mengurangi kadar IgE bebas dalam serum. Pada orang dewasa dan anak diatas usia 5 tahun, omazulimab diberikan pada pasien asma yang telah mendapat steroid inhalasi dosis tinggi dan agonis β2 kerja panjang tapi masih sering mengalami eksaserbasi dan asma karena alergi. Obat ini diberikan secara injeksi subkutan setiap 2- 4 minggu. Reaksi anafilaksis terjadi pada pemberian 36
dosis pertama, tapi juga terjadi setelah pemberian selama satu tahun. Karena adanya risiko anafilaksis, obat ini harus dibawah pengawasan dokter spesialis. Obat ini memperbaiki gejala pada asma persisten sedang dan berat yang disebabkan
karena
alergi.
Pemberian
omazulimab
akan
menurukan
kebutuhansteroid inhalasi dan menurunkan angka serangan asma. Efek samping obat ini, seperti urtikaria, kemerahan, gatal. (Pedoman Nasional Asma Anak. Edisi 2 cetakan ke-2.UKK Respirologi PP IDAI.2016. Hal 35-36) LO.1.9 Menjelaskan Pencegahan Upaya pencegahan asma dapat dibedakan menjadi 3 yaitu: 1.
Pencegahan primer ditujukan untuk mencegah sensitisasi pada bayi dengan risiko asma (orangtua asma), dengan cara : a. Penghindaran asap rokok dan polutan lain selama kehamilan dan masa perkembangan bayi/anak. b. Diet hipoalergenik ibu hamil, asalkan / dengan syarat diet tersebut tidak mengganggu asupan janin. c. Pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan. d. Diet hipoalergenik ibu menyusui.
2.
Pencegahan sekunder ditujukan untuk mencegah inflamasi pada anak yang telah tersentisisasi dengan cara menghindari pajanan asap rokok, serta allergen dalam ruangan terutama tungau debu rumah.
3.
Pencegahan tersier ditujukan untuk mencegah manifestasi asma pada anak yang telah menunjukkan manifestasi penyakit alergi. Sebuah penelitian multi senter yang dikenal dengan nama ETAC Study (early treatment of atopic children) mendapatkan bahwa pemberian Setirizin selama 18 bulan pada anak atopi dengan dermatitis atopi dan IgE spesifik terhadap serbuk rumput (Pollen) dan tungau debu rumah menurunkan kejadian asma sebanyak 50%. Perlu ditekankan bahwa pemberian setirizin pada penelitian ini bukan sebagai pengendali asma (controller).
37
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2004. Asma Pedoman & Penatalaksanaan di Indonesia.Hal 6-7) LO.1.10 Menjelaskan Komplikasi
Pneumothorax Keadaan dimana terdapat udara atau gas dalam rongga pleura, sehingga paru – paru kesulitan untuk mengembang.
Pneumodiastinum Adanya udara atau gas bebas yang ditemukan pada mediastinum.
Emfisema Pembesaran permanen abnormal ruang udara distal ke bronkiolus terminal, disertai dengan kerusakan dinding alveolar dan tanpa fibrosis yang jelas.
Atelektasis Pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paruakibat penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal.
Bronchiti Peradangan pada cabang tenggorokan/ bronkus.
Gagal nafas
Perubahan bentuk thorax Thorax membungkuk kedepan dan memanjang. Pada foto rontgen terlihat diafragma letaknya rendah, gambaran jantung menyempit, hilus kiri dan kanan bertambah. Pada asma berat dapat terjadi bentuk dada burung (pektus karinatum/ pigeon chest) dan tampak sulkus Harrison.
LO.1.11 Menjelaskan Prognosis Mortalitas akibat asma jumlahnya kecil. Gambaran yang paling akhir menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang jumlahnya kira-kira 10 juta penduduk. Angka kematian cenderung meningkat di pinggiran kota dengan fasilitas kesehatan terbatas. Informasi mengenai perjalanan klinis asma menyatakan bahwa prognosis baik ditemukan pada 50–80% pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan dan timbul pada masa kanakkanak. Jumlah anak yang masih menderita asma 7–10 tahun setelah diagnosis pertama bervariasi dari 26–78% dengan nilai rata-rata 46%, akan tetapi persentase anak yang menderita ringan dan timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang menderita asma penyakit yang 38
berat relatif berat (6 –19%). Secara keseluruhan dapat dikatakan 70–80% asma anak bila diikuti sampai dengan umur 21 tahun asmanya sudah menghilang.
LI.2 Mempelajari dan Memahami Terapi Inhalasi pada Anak LO.2.1 Menjelaskan Prinsip Dasar Terapi Inhalasi Prinsip farmakologis terapi inhalasi yang ideal untuk penyakit saluran napas adalah obat dapat sampai pada organ target dengan menghasilkan partikel aerosol berukuran optimal agar terdeposisi di paru, onset kerjanya cepat, dosis obat kecil, efek samping minimal karena konsentrasi obat di dalam darah sedikit atau rendah, mudah digunakan, serta efek terapeutik tercapai yang ditandai dengan tampaknya perbaikanklinis. Meskipun saluran napas mempunyai beberapa mekanisme antara lain refleks batuk, bersin serta klirens mukosilier yang akan melindungi terhadap masuk dan mengendapnya partikel obat sehingga akan mengeliminasi obat inhalasi. Dengan memperhatikan metode untuk menghasilkan aerosol serta cara penyampaian/delivery obat yang akan mempengaruhi ukuran partikel yang dihasilkan dan jumlah obat yang mencapai berbagai tempat di saluran napas maka diharapkan obat terdeposisi secara efektif. Ukuran partikel akan mempengaruhi sampai sejauh mana partikel menembus saluran napas. Partikel berukuran > 15 mm tersaring oleh filtrasi rambut hidung sedangkan > 10 mm akan mengendap di hidung dan nasofaring. Partikel yang besar ini terutama mengendap karena benturan inersial bila terdapat aliran udara yang cepat disertai perubahan arah atau arus turbulen. Partikel berukuran 0,5 – 5 mm akan mengendap secara sedimentasi karena gaya gravitasi sedangkan partikel berukuran < 0,1 mm akan mengendap karena gerak Brown. Dengan demikian, untuk mendapatkan manfaat obat yang optimal, obat yang diberikan secara inhalasi harus dapat mencapai tempat kerjanya di dalam saluran pernapasan. Bentuk aerosol yang digunakan yaitu suspensi partikel di dalam gas, dan partikel dalam aerosol yang mempunyai ukuran berkisar 2-10 Ïm7 atau 1-7 Ïm.9 Penelitian lainnya mendapatkan bahwa partikel berukuran 1-8 Ïm mengalami benturan dan pengendapan di saluran nafas besar, kecil, dan alveoli. (Bambang Supriyatno, Heda Melinda D Nataprawira. Jurnal Terapi Inhalasi pada Asma Anak Hal 68. Sari Pediatri, Vol. 4, No. 2, September 2002)
39
LO.2.2 Menjelaskan Jenis Terapi Inhalasi Pemberian aerosol yang ideal adalah dengan alat yang sederhana, mudah dibawa, tidak mahal, secara selektif mencapai saluran napas bawah, hanya sedikit yang tertinggal di saluran napas atas serta dapat digunakan oleh anak, orang cacat, atau orang tua. Namun keadaan ideal tersebut tidak dapat sepenuhnya tercapai dan masing-masing jenis alat terapi inhalasi mempunyai beberapa keuntungan dan kerugian. Hingga saat ini dikenal 3 sistem inhalasi yang digunakan dalam klinik sehari-hari yaitu, 1. Nebuliser 2. Metered dosed inhaler aerosol ( dengan atau tanpa spacer / alat penyambung) 3. Dry powder inhaler
1. Nebuliser Alat nebuliser dapat mengubah obat yang berbentuk larutan menjadi aerosol secara terus menerus dengan tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan atau gelombang ultrasonik sehingga dalam prakteknya dikenal 2 jenis alat nebuliser yaitu ultrasonic nebuliser dan jet nebuliser. Hasil pengobatan dengan nebuliser lebih banyak bergantung pada jenis nebuliser yang digunakan. Terdapat nebuliser yang dapat menghasilkan partikel aerosol terus menerus ada juga yang dapat diatur sehingga aerosol hanya timbul pada saat penderita melakukan inhalasi sehingga obat tidak banyak terbuang. Keuntungan terapi inhalasi menggunakan nebuliser adalah tidak atau sedikit memerlukan koordinasi pasien, hanya memerlukan pernafasan tidal, beberapa jenis obat
dapat
dicampur
(misalnya
salbutamol
dan
natrium
kromoglikat).
Kekurangannya adalah karena alat cukup besar, memerlukan sumber tenaga listrik dan relatif mahal.
40
Ultrasonic nebuliser Alat ini menghasilkan aerosol melalui osilasi frekuensi tinggi dari piezoelectric crystal yang berada dekat larutan dan cairan memecah menjadi aerosol. Keuntungan jenis nebuliser ini adalah tidak menimbulkan suara bising dan terus menerus dapat mengubah larutan menjadi aerosol sedangkan kekurangannya alat ini mahal dan memerlukan biaya perawatan lebih besar.
Jet nebuliser Alat ini paling banyak digunakan banyak negara karena relatif lebih murah daripada ultrasonic nebuliser. Dengan gas jet berkecepatan tinggi yang berasal dari udara yang dipadatkan dalam silinder ditiupkan melalui lubang kecil dan akan dihasilkan tekanan negatif yang selanjutnya akan memecah larutan menjadi bentuk aerosol. Aerosol yang terbentuk dihisap pasien melalui mouth piece atau sungkup. Dengan mengisi suatu tempat pada nebuliser sebanyak 4 ml maka dihasilkan partikel aerosol berukuran < 5 Ïm, sebanyak 60-80% larutan nebulisasi akan terpakai dan lama nebulisasi dapat dibatasi. Dengan cara yang optimal maka hanya 12% larutan akan terdeposit di paru-paru. Bronkodilator yang diberikan dengan nebuliser memberikan efek bronkodilatasi yang bermakna tanpa menimbulkan efek samping.
41
(Bambang Supriyatno, Heda Melinda D Nataprawira. Jurnal Terapi Inhalasi pada Asma Anak Hal 69. Sari Pediatri, Vol. 4, No. 2, September 2002) 2. Metered dose inhaler (MDI) Metered dose inhaler (MDI) atau inhaler dosis terukur merupakan cara inhalasi yang memerlukan teknik inhalasi tertentu agar sejumlah dosis obat mencapai saluran pernafasan. Pada inhaler ini bahan aktif obat disuspensikan dalam kurang lebih 10 ml cairan pendorong (propelan) dan yang biasa digunakan adalah kloroflurokarbon (chlorofluorocarbon = CFC) pada tekanan tinggi. Akhirakhir ini mulai dikembangkan penggunaan bahan non-CFC yaitu hidrofluroalkana (HFA) yang tidak merusak lapisan ozon. Propelan mempunyai tekanan uap tinggi sehingga di dalam tabung (kanister) tetap berbentuk cairan. Bila kanister ditekan, aerosol disemprotkan keluar dengan kecepatan tinggi yaitu 30 m/detik dalam bentuk droplet dengan dosis tertentu melalui aktuator (lubang). Pada ujung aktuator ukuran partikel berkisar 35 Ïm, pada jarak 10 cm dari kanister besarnya menjadi 14 Ïm, dan setelah propelan mengalami evaporasi seluruhnya ukuran partikel menjadi 2,8-4,3 Ïm. Dengan teknik inhalasi yang benar maka 80% aerosol akan mengendap di mulut dan orofarings karena kecepatan yang tinggi dan ukurannya besar, 10% tetap berada dalam aktuator, dan hanya sekitar 10% aerosol yang disemprotkan akan sampai ke dalam paru-paru. Pada cara inhalasi ini diperlukan koordinasi antara penekanan kanister dengan inspirasi napas. Untuk mendapatkan hasil optimal maka pemakaian inhaler ini hendaklah dikerjakan sebagai berikut: Terlebih dahulu kanister dikocok agar obat tetap homogen, lalu tutup kanister dibuka Inhaler dipegang tegak kemudian pasien melakukan ekspirasi maksimal secara perlahan Mulut kanister diletakkan diantara bibir, lalu bibir dirapatkan dan dilakukan inspirasi perlahan sampai maksimal Pada pertengahan inspirasi kanister ditekan agar obat keluar Pasien menahan nafas 10 detik atau dengan menghitung 10 hitungan pada inspirasi maksimal Setelah 30 detik atau 1 menit prosedur yang sama diulang kembali 42
Setelah proses selesai, jangan lupa berkumur untuk mencegah efek samping. Langkah-langkah di atas harus dilaksanakan sebelum pasien menggunakan obat asma jenis MDI. Langkah di atas sering tidak diikuti sehingga pengobatan asma kurang efektif dan timbul efek samping yang tidak diinginkan. Beberapa kesalahan yang sering dijumpai antara lain kurangnya koordinasi pada saat menekan kanister dan saat menghisap, terlalu cepat inspirasi, tidak berhenti sesaat setelah inspirasi, tidak mengocok kanister sebelum digunakan, dan terbalik pemakaiannya. Kesalahan-kesalahan di atas umumnya dilakukan oleh anak yang lebih muda, manula, wanita, dan penderita dengan sosial ekonomi dan pendidikan yang rendah.
(Bambang Supriyatno, Heda Melinda D Nataprawira. Jurnal Terapi Inhalasi pada Asma Anak Hal 69-70. Sari Pediatri, Vol. 4, No. 2, September 2002) MDI dengan spacer Spacer (alat penyambung) akan menambah jarak antara aktuator dengan mulut sehingga kecepatan aerosol pada saat dihisap menjadi berkurang dan akan dihasilkan partikel berukuran kecil yang berpenetrasi ke saluran pernafasan perifer. Hal ini merupakan kelebihan dari penggunaan spacer karena mengurangi pengendapan di orofaring. Spacer ini berupa tabung (dapat bervolume 80 ml) dengan panjang sekitar 10-20 cm, atau bentuk lain berupa kerucut dengan volume 700-1000 ml. Untuk bayi dianjurkan menggunakan spacer volume kecil (babyhaler) agar aerosol yang dihasilkan lebih mampat sehingga lebih banyak obat akan terinhalasi pada setiap inspirasi. Beberapa alat dilengkapi dengan katup satu arah yang akan terbuka saat inhalasi dan
43
akan menutup pada saat ekshalasi misalnya Nebuhaler (Astra), Volumatic (A&H). Pengendapan di orofaring akan berkurang yaitu sekitar 5% dosis yang diberikan bila digunakan spacer dengan katup satu arah. Pada spacer tanpa katup satu arah, pengendapan di orofaring sekitar 8-60% dosis. Dengan penggunaan spacer, deposit pada paru akan meningkat menjadi 20% dibandingkan tanpa spacer. Penggunaan spacer ini sangat menguntungkan pada anak karena pada anak koordinasinya belum baik. Dengan bantuan spacer, koordinasi pada saat menekan kanister dengan saat penghisapan dapat dikurangi atau bahkan tidak memerlukan koordinasi. Apabila spacer ini tidak tersedia maka sebagai penggantinya bisa digunakan spacer sederhana yang murah dan mudah dibuat yaitu dari plastic coffee cup yang dilubangi dasarnya untuk tempat aerosol. Cara ini sudah terbukti bermanfaat hanya untuk bronkodilator dan belum dibuktikan berguna untuk natrium kromoglikat dan steroid.
(Bambang Supriyatno, Heda Melinda D Nataprawira. Jurnal Terapi Inhalasi pada Asma Anak Hal 70. Sari Pediatri, Vol. 4, No. 2, September 2002) 44
Easyhaler Easyhaler adalah inhaler serbuk multidosis yang merupakan alternatif dari MDI. Komponennya terdiri dari plastik dan cincin stainless steel dan mengandung serbuk untuk sekurang-kurangnya 200 dosis. Masing-masing dosis obat dihitung secara akurat dengan cara menekan puncak alat (overcap) yang akan memutari silinder (metering cylindric) pada bagian bawah alat tersebut. Cekungan dosis berisi sejumlah obat berhubungan langsung dengan mouth piece. Saluran udara ke arah mouthpiece berbentuk corong dengan tujuan untuk mengoptimalkan deposisi obat di saluran napas. Terdapat takaran dosis yang berguna untuk memberi informasi kepada pasien mengenai sisa dosis obat. Pelindung penutup berguna untuk mencegah kelembaban. Partikel obat yang halus (<10 Ï) sulit untuk melayang jauh dan cenderung untuk menggumpal, oleh karena itu zat aktif tersebut dicampur dengan sejumlah kecil laktosa yang berperan sebagai pembawa. Pada easyhaler ukuran partikel laktosa cukup besar untuk deposit di saluran napas bawah sehingga diharapkan akan jatuh di orofaring. Keadaan ini mempunyai keuntungan untuk memberitahukan pada penderita bahwa obatnya benar terhisap dengan rasa manis di mulut.
(Bambang Supriyatno, Heda Melinda D Nataprawira. Jurnal Terapi Inhalasi pada Asma Anak Hal 70-71. Sari Pediatri, Vol. 4, No. 2, September 2002) 3. Dry Powder Inhaler Pada awalnya di tahun 1957 jenis inhaler ini digunakan untuk delivery serbuk antibiotik. Selanjutnya banyak penelitian uji klinis yang menunjukkan bahwa
DPI
bisa
digunakan
untuk
pengobatan
asma
anak.
Dalam
perkembangannya pada tahun 1970 dibuat inhaler yang hanya memuat serbuk 45
kering dosis tunggal seperti misalnya spinhaler dan rotahaler, dan akhir tahun 1980 diperkenalkan inhaler yang memuat multiple dosis yaitu yang dikenal dengan diskhaler (8 dosis) dan turbuhaler. Beberapa tahun terakhir ini diperkenalkan diskus (di Inggris dikenal dengan accuhaler) yang memuat 60 dosis dan dapat dipergunakan untuk 1 bulan terapi. Inhaler jenis ini tidak mengandung propelan sehingga mempunyai kelebihan dari MDI. Penggunaan obat serbuk kering pada DPI memerlukan inspirasi yang cukup kuat. Pada anak yang kecil hal ini sulit dilakukan mengingat inspirasi kuat belum dapat dilakukan, sehingga deposisi obat pada saluran pernafasan berkurang. Pada anak yang lebih besar, penggunaan obat serbuk ini dapat lebih mudah, karena kurang memerlukan koordinasi di bandingkan dengan MDI. Dengan cara ini deposisi obat di dalam paru lebih tinggi dan lebih konstan dibandingkan MDI sehingga dianjurkan diberikan pada anak di atas 5 tahun. Cara DPI ini tidak memerlukan spacer sebagai alat bantu sehingga mudah dibawa dan dimasukkan ke dalam saku. Hal ini yang juga memudahkan pasien dan lebih praktis.
(Bambang Supriyatno, Heda Melinda D Nataprawira. Jurnal Terapi Inhalasi pada Asma Anak Hal 71. Sari Pediatri, Vol. 4, No. 2, September 2002)
Nebulizer pada Kelompok Umur Umur
Pereda
Pengendali
(tahun) 0-3
P
MDI/
dengan
nebulizer 3-5
P
MDI/
nebulizer
spacer P
MDI/
dengan
spacer
dengan
spacer
nebulizer dengan
spacer P
MDI/
nebulizer DPI (?)
46
> 5
P MDI/ dengan spacer DPI P MDI/ dengan spacer DPI nebulizer
(Dolovich dan Everad)
47
DAFTAR PUSTAKA Bambang Supriyatno, Heda Melinda D Nataprawira. Jurnal Terapi Inhalasi pada Asma Anak. Sari Pediatri, Vol. 4, No. 2, September 2002. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2004. Asma Pedoman & Penatalaksanaan di Indonesia. Pedoman Nasional Asma Anak. 2016. Edisi 2 cetakan ke-2.UKK Respirologi PP IDAI. Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S, editors.2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Canadian Lung Association .Asthma: asthma treatment. Ottawa; 2015 . Available from:http://www.lung.ca/lung-health/lung-disease/asthma/treatment. (Diakses pada tanggal 23 Februari 2019) Global Initiative for Asthma (GINA). Global strategy for asthma mana-gement and prevention. 2015. Available from:http://www.ginasthma.org/documents/3. (Diakses pada tanggal 23 Februari 2019)
48