BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai latar belakang, rumusan masalah dan tujuan dari perencanaan Pusat Rehabilitasi Sosial terhadap Anak Korban Perdagangan dan Eksploitasi di Denpasar, Bali. Bab ini sebagai dasar untuk melanjutkan penyusunan proposal ke bab berikutnya.
1.1 Latar Belakang Dewasa ini tindak kriminalitas makin marak terjadi di Indonesia. Berbagai jenis kejahatan, seperti pembunuhan, pemerkosaan, perdagangan manusia, kekerasan, dsb tidak pernah luput dari pemberitaan media massa. Kemajuan teknologi yang disalahgunakan pemakaiannya memiliki peran utama dibalik kemunduran moral dan
page | 1
nilai norma yang dianut masyarakat milenial saat ini dan anak seringkali menjadi korban utamanya. Padahal, Irwanto berpendapat dalam bukunya Perdagangan Anak Indonesia (2001) bahwa anak rentan sekali menjadi korban penyalahgunaan pihak tidak bertanggungjawab karena seorang anak hanya individu yang cenderung belum bisa membela diri maupun mengambil keputusan. Oleh karena itu, sebagai generasi penerus bangsa, negara wajib menjamin keamanan dan keselamatan penduduknya terutama anak-anak dari tindak kejahatan. Tindak kejahatan yang sering menimpa pada anak adalah perdagangan dan eksploitasi anak dibawah umur. Perdagangan manusia merupakan bentuk modern dari perbudakan. Perdagangan manusia selalu mengarah pada eksploitasi termasuk untuk tujuan seksual, seperti prostitusi, wisata seks, dan pornografi. Faktanya, Berdasarkan data perdagangan manusia tahun 2009 yang dihimpun oleh badan UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime), menyatakan perdagangan manusia menjadi kejahatan terbesar ketiga di seluruh dunia dan 80% tujuannya adalah untuk eksploitasi seksual dengan mayoritas korbannya adalah perempuan dan anak-anak. Di Indonesia, fakta mengejutkan lainnya yaitu sebesar 30% pekerja seks komersial merupakan anak dibawah umur 18 tahun dimana sekitar 30-40 ribu generasi muda Indonesia menjadi korban eksploitasi seks komersial anak (UNICEF, 2009). Sepanjang tahun 2017, Divisi Riset ECPAT Indonesia mencatat bahwa terdapat 404 korban ESKA (Eksploitasi Seksual Komersial Anak) dari 537 kasus dimana 71% korbannya berjenis kelamin perempuan dan sebanyak 87% pelakunya orang dewasa. Jawa Barat menjadi provinsi dengan kasus perdagangan anak tertinggi di Indonesia yaitu sebesar 16% bersamaan dengan Jawa Timur (12%) dan Riau (8%).
Bali
menjadi salah satu dari 5 Provinsi di Indonesia yang memiliki angka tertinggi dalam hal perdagangan dan eksploitasi anak. Bali merupakan provinsi dengan penyumbang devisa negara terbesar dari segi pariwisatanya. Menurut Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, setiap tahunnya jumlah wisatawan yang datang ke Bali mengalami kenaikan. Jika dilihat dari data (Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, 2017), kenaikan jumlah wisatawan cukup tinggi pada
page | 2
tahun 2016 yang mengalami kenaikan 23.14% dari jumlah 4.001.835 wisatawan pada tahun sebelumnya dan 15.62% pada tahun 2017 menjadi 5.697.739 wisatawan yang datang ke Bali dengan tujuan berlibur dan bisnis. Oleh karena itu, sebagai pulau wisata menjadikan Bali rentan akan banyaknya kasus perdagangan dan eksploitasi anak, modus operandinya pun beragam seperti eksploitasi anak yang dijadikan terapis plus-plus di tempat spa, salon, atau lainnya. Salah satu kasus yang pernah menggemparkan pulau yang dijuluki dengan seribu pura ini dan menjadi sorotan dunia adalah kasus pembunuhan gadis kecil berusia 8 tahun bernama Angeline oleh ibu asuhnya sendiri di Denpasar, Bali. Pembunuhan yang terjadi pertengahan mei 2015 ini, bermula dari laporan keluarga angkatnya di laman facebook tentang anak hilang. Margarite Christine Megawe (63 tahun), ibu angkat dari Angeline kerap kali menyiksa gadis kecil tersebut baik dari segi fisik maupun mental. Angeline kerap kali dipaksa untuk bekerja, tidak diberi makan, dibiarkan kelaparan, dan dibentak bahkan rumah tempat tinggalnya jauh dari kata layak. Belum sampai disitu, puncak dari kekejaman ibunya yang akhirnya mampu meregang nyawanya dan mengubur jasadnya di halaman belakang rumahnya tertutup timbunan sampah. Belum lagi, kasus-kasus lainnya dimana anak juga menjadi korban dari wisata seks yang berkembang di Bali. Ironisnya, anak 10-17 tahun rentan akan perdagangan seks bebas. Kejahatan ini memberikan dampak yang sangat besar terhadap anak. Memaksa anak melakukan sesuatu yang didasarkan kepentingan pribadi, ekonomi, ataupun politik tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk mendapat bimbingan dan perlindungan merupakan pelanggaran akan hak asasi manusia yang dapat membahayakan kehidupan anak di masa yang akan datang. Dampak yang timbul dapat berupa dampak fisik maupun psikologis. Sudah barang tentu eksploitasi anak menghambat proses tumbuh dan berkembang anak, contohnya pada anak yang di eksploitasi untuk dijadikan pekerja seks komersil yang membahayakan nyawanya karena resiko terjangkit penyakit lebih besar, seperti HIV & AIDS. Sedangkan, dari
page | 3
segi psikologis anak yang mengalami eksploitasi akan mengalami keterlambatan kognitif dan rasa empati dibandingkan dengan anak yang hidup normal. Sejauh ini kasus yang terungkap dan korban selalu dilarikan ke Polda dan dilarikan ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak di Denpasar, Bali untuk dilindungi dan diberikan layanan kesehatan serta bimbingan. Dengan bertambahnya jumlah korban tiap tahunnya, maka harus diimbangi dengan fasilitas rehabilitasi yang ada, terlebih untuk memulihkan mental korban eksploitasi dibutuhkan waktu yang tidak sebentar bahkan terhitung dapat memakan waktu bertahun-tahun lamanya. Selain itu, penanganan kasus pada anak dibawah umur dirasa perlu untuk dibedakan, seperti fasilitas rumah tahanan dimana pelaku kejahatan dibawah umur ditahan dilapas anak, tidak disatukan dengan para tahanan dewasa. Dapat disimpulkan bahwa angka korban anak kasus perdagangan dan eksploitasi terus meningkat tiap tahunnya.
Maka, diperlukan sebuah tempat yang dapat
mewadahi pemulihan kondisi fisik maupun kejiwaan korban anak, seperti Pusat Rehabilitasi Sosial terhadap Anak Korban Perdagangan dan Eksploitasi di Denpasar, Bali ini yang akan dirancang guna memenuhi kebutuhan yang telah disebutkan. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan terkait dengan perencanaan Pusat Rehabilitasi Sosial terhadap Anak Korban Perdagangan dan Eksploitasi di Denpasar, Bali, yaitu bagaimana menciptakan spesifikasi rancangan, pemrograman, kriteria desain, serta konsep perancangan yang sesuai dengan fungsi bangunan sehingga tercipta bangunan yang fungsional serta memberikan kenyamanan? 1.3 Tujuan Adapun tujuan dari penyelesaian rumusan masalah, yaitu terciptanya spesifikasi rancangan, pemrograman, kriteria desain, serta konsep perancangan yang sesuai dengan fungsi bangunan sehingga tercipta bangunan yang fungsional serta memberikan kenyamanan.
page | 4
1.4 Sasaran Adapun sasaran dari perancangan fasilitas ini, yaitu: 1. Sirkulasi Sirkulasi pada tapak dan bangunan harus lancar, jelas, dan mudah dipahami agar tidak terjadi cross dalam tapak maupun bangunan. 2. Kenyamanan Fasilitas ini harus memberikan kenyamanan bagi civitasnya dalam beraktivitas di tapak maupun bangunan dengan pengelolaan yang tepat. 3. Keamanan Keamanan di tapak dan bangunan harus dapat memberikan rasa aman bagi civitasnya, terutama pada bangunan, dimana civitas lebih banyak beraktivitas di dalamnya. 4. Kebisingan Kebisingan dalam fasilitas harus diatur terutama dalam bangunan yang menjadi pusat berkegiatannya civitas yang memerlukan ketenangan. 5. Tampilan Bangunan Tampilan bangunan harus terlihat rapi dan menarik.
page | 5