Tesis Evaluasi Kebijakan Kemitraan Pengusahaan Pariwisata Alam ( Ppa ) Taman Nasional Bali Barat

  • Uploaded by: Nyoman Rudana
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tesis Evaluasi Kebijakan Kemitraan Pengusahaan Pariwisata Alam ( Ppa ) Taman Nasional Bali Barat as PDF for free.

More details

  • Words: 34,364
  • Pages: 187
TESIS

EVALUASI KEBIJAKAN KEMITRAAN PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM TAMAN NASIONAL BALI BARAT

DALAM MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Disusun Oleh :

NAMA

: Nyoman Rudana

NOMOR POKOK

: 08.D.040

PROGRAM STUDI

: MANAJEMEN PEMBANGUNAN DAERAH

Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat guna memperoleh gelar Magister Administrasi Publik (M.AP) dalam Ilmu Administrasi

PROGRAM MAGISTER ILMU ADMINISTRASI SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA JAKARTA 2009

1

PROGRAM MAGISTER ILMU ADMINISTRASI SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PROGRAM STUDI MANAJEMEN PEMBANGUNAN DAERAH

LEMBAR PERSETUJUAN TESIS

Judul Tesis :

EVALUASI KEBIJAKAN KEMITRAAN PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM TAMAN NASIONAL BALI BARAT DALAM MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Diterima dan disetujui untuk dipertahankan

Pembimbing Tesis

( Prof. Dr. Johanes Basuki, M.Psi )

(Prof. Dr. Juni Pranoto, M.Pd)

2

PROGRAM MAGISTER ILMU ADMINISTRASI SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PROGRAM STUDI MANAJEMEN PEMBANGUNAN DAERAH

LEMBAR PENGESAHAN NAMA

: NYOMAN RUDANA

NOMOR POKOK

: 08.D.040

PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PEMBANGUNAN DAERAH JUDUL TESIS

: EVALUASI KEBIJAKAN KEMITRAAN PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM TAMAN NASIONAL BALI BARAT DALAM MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Telah mempertahankan Tesis di hadapan Panitia Penguji Tesis Program Magister Ilmu Administrasi, Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Lembaga Administrasi Negara, Pada : Hari

: Senin

Tanggal Pukul

: 3 Agustus 2009 : 09.00 TELAH DINYATAKAN LULUS

PANITIA PENGUJI TESIS : Ketua Sidang : Dr. Muhammad Taufiq, DEA Sekretaris

: Dr. Adi Suryanto, M.Si

: ............................... :

............................... Pembimbing Tesis : Prof. Dr. Johanes Basuki, M.Psi

:

............................... Pembimbing Tesis

: Prof. Dr. Juni Pranoto, M.Pd

..............................

3

:

PERNYATAAN

Tesis ini merupakan tulisan murni saya dan bukan merupakan hasil tulisan/penelitian yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar akademik tertentu pada universitas atau institusi maupun yang sederajat. Adapun isi dari tesis ini belum pernah ditulis atau dipublikasikan oleh orang lain, kecuali beberapa hal pokok yang berupa kutipan-kutipan yang telah mengangkat dan memberikan motivasi yang kuat untuk membantu terlaksananya penelitian ini.

Jakarta,

3 Agustus 2009

NYOMAN RUDANA NPM. 08.D. 040

4

PROGRAM MAGISTER ILMU ADMINISTRASI SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PROGRAM STUDI MANAJEMEN PEMBANGUNAN DAERAH

ABSTRAK

Nyoman Rudana,08.D.040,Evaluasi Kebijakan Kemitraan Pengusahaan Pariwisata Alam Taman Nasional Bali Barat dalam Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan 140 halaman, 5 Bab, 13 tabel, 3 gambar, 6 peta, 18 foto, 13 lampiran Daftar Pustaka 57 buku dan peraturan (1980-2008) Pembangunan berkelanjutan ( sustainability development ) dengan tiga pilar yaitu aspek ekonomi, lingkungan serta sosial dalam pelaksanaannya dilaksanakan dengan melibatkan pihak swasta, mengingat keterbatasan pemerintah dana, sumber daya serta keahlian, tidak terkecuali ekowisata, dimana pengelolaan Taman Nasional termasuk di dalamnya. Dalam kemitraan pemerintah dengan swasta, terdapat perbedaan kepentingan yang mendasar. Pemerintah ( Dephut ) berkepentingan memberikan pelayanan publik melalui pelestarian lingkungan hidup di Taman Nasional Bali Barat. Di sisi lain, PT SBW berorientasi mengejar keuntungan. Namun dalam kenyataan keduanya disatukan dalam kemitraan dalam bentuk konsesi yang berjalan saat ini. Fokus penelitian adalah evaluasi kebijakan kemitraan pengusahaan pariwisata alam (PPA ) Taman Nasional Bali Barat dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan pada PT. Shorea Barito Wisata (SBW ) antara tahun 2003 sampai 2009. Landasan kebijakan yang diteliti adalah Keputusan Menteri Kehutanan no 184 / Kpts – II / 1998, tentang Pemberian Izin Pengusahaan Pariwisata Alam kepada PT.Shorea Barito Wisata Pada Sebagian Zona Pemanfaatan Taman Nasional Bali Barat, yang selaras dengan pembangunan berkelanjutan yaitu aspek pembangunan ekonomi, aspek lingkungan hidup, dan aspek sosial. Acuan teori yang kemudian diterjemahkan ke dalam kerangka berpikir adalah pembangunan berkelanjutan menurut Askarz dengan tiga pilarnya yang meliputi aspek ekonomi, lingkungan hidup dan aspek sosial

5

Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif, dengan melakukan observasi langsung dan wawancara dengan informan sebagai data primer dan telaah dokumen sebagai data sekunder, dengan melakukan triangulasi pada saat pengolahan data. Dari penelitian ditemukan bahwa menyangkut kebijakan kemitraan bidang pembangunan ekonomi, kurang ada koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, dimana wilayah TNBB sebagai kawasan ekowisata, tidak didukung oleh aliran listrik yang memadai. Kendala eksternal seperti krisis global, penyakit flu babi, flu burung, serta ancaman bom dan terorisme, harus pula dicermati. Terkait kebijakan kemitraan dalam aspek lingkungan hidup, PT. SBW sudah melakukan reforestasi,pelestarian curik Bali, pembersihan pantai, patroli bersama melalui FKMPP ( Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Pesisir ) dan lain-lain. Masyarakat desa Sumber Klampok mendukung dengan landasan awig –awig adat. Namun upaya penegakan hukum bagi pelanggar hukum masih kurang optimal. Terkait aspek sosial, PT. SBW merekrut penduduk desa Sumber Klampok sebagai karyawan di Waka Shorea, Resort and Spa, bermitra dengan masyarakat dalam pengelolaan perahu motor untuk wisata bahari, pengelolaan lahan parkir, memberi bantuan bantuan bibit tanaman tahunan, serta bantuan bea siswa kepada siswa SD. Ditemukan juga inkonsistensi kebijakan antara pusat dan daerah yaitu adanya pungutan ganda untuk retribusi hotel dan restoran. Beberapa hal yang disarankan adalah bahwa untuk mendukung kebijakan kemitraan dalam pembangunan ekonomi diperlukan kebijakan TNBB yang dikelola swasta. Selain itu Pemda Buleleng harus mampu meningkatkan daya saing daerah dengan memberikan stimulus insentif bagi para calon investor untuk pengembangan wilayah TNBB sebagai kawasan ekowisata. Juga perlu ada promosi pariwisata bersama antara dinas budpar dan swasta. Terkait pelestarian lingkungan, dapat dilakukan program tree adoption untuk mempertahankan keasrian kawasan TNBB serta starling adoption, yaitu pelepasliaran curik ( jalak ) Bali untuk mempertahankan populasinya yang kian langka. Hal ini dapat dilakukan dengan upaya pemberdayaan masyarakat ( aspek sosial dari pembangunan berkelanjutan). Juga nilai – nilai sakral di wilayah TNBB terutama di sekitar kawasan Waka Shorea Resort and Spa perlu dipahami sebagai modal budaya yang penting untuk dilestarikan. Terakhir, untuk mengatasi inkonsistensi kebijakan, perlu dilakukan sinkronisasi kebijakan antara pusat dan daerah dengan membuat perda yang tidak bertentangan dengan kebijakan di atasnya.

6

MAGISTER PROGRAM OF ADMINISTRATION SCIENCE GRADUATE SCHOOL OF ADMINISTRATION SCIENCE NATIONAL INSTITUTE OF PUBLIC ADMINISTRATION MASTER DEGREE DEVELOPMENT

PROGRAM

ON

THE

MANAGEMENT

OF

REGIONAL

ABSTRACT

Nyoman Rudana ,08.D.040, Evaluation of The Partnership Policy on Nature Tourism Concession of West Bali National Park in Achieving Sustainable Deve-lopment. 140 pages 5 chapters, 13 tables, 3 pictures, 6 maps, 18 photographs, 13 appendices, bibliography of 57 books and regulations ( 1980 – 2008 ).

Sustainable development with its three pilars of economics, environment and social aspects are conducted with private sectors as government partners due to the limitation of the government in funding, resources and skills. In this case, ecotourism including the National Parks is also included. There is different interest in the Public Private Partnership ( PPP ) between the government ( The Ministry of Forestry ) and the private sector ( PT. Shorea Barito Wisata ), in which government must serve public in sustainable development in West Bali National Park situated in Buleleng and Jembrana regencies (or Taman nasional Bali Barat / TNBB ) in Bahasa, while the private sector has single interest in profit maximation. But in this study, both interests were united into concession form of PPP which has been lasted since 1998 up to now and the TNBB examined was the one in Buleleng regency only where Waka Shorea Resort and Spa was located. This study was focused on the Evaluation of The Partnership Policy on Nature Tourism Concession of West Bali National Park in Achieving Sustainable Development applied to PT. SBW between 2003 – 2009. The underlying policy examined was the Minister of Forestry Decree no 184/ Kpts – II / 1998, on The Nature Tourism Concession Permit given to PT.Shorea Barito Wisata on Some Parts of the Intensive Use Zone of West Bali National Park ( TNBB ), in accordance to the sustainable development aspects that are economy viable, socially acceptable dan environmental sound. The theory reference depicted in the frame of thought was the theory of sustainable development from Askarz with the three pillars of economics, environment and social aspects. This study used descriptive method with qualitative approach, with direct observation and interviews with informants as primary data and documents 7

study as secondary data, using triangulation technique during data processing. Some facts found from the study was that referring to the partnership policy in economic development, where there was lack of coordination between central and regional governments, in which TNBB up to now is not fully supported by electricity infrastructure which is very essential for ecotourism development. External obstacles such as global economic crisis, disease ( swine flu, bird flu ), bomb threats and terrorism should also be acknowledged. Regarding the partnership policy in evnvironmental aspect, PT. SBW has managed some actions including reforestation, Bali starling conservation, coastal clean up, sea patrol program collaborating with the Coastal Care Society Communication Forum ( FKMPP ) etc. Local socities in Sumber Klampok village have also supported these environmental actions by implementing their own awig awig rules concerning resources conservation. But this action needs further law of enforcement which has not yet fully implemented yet. Regarding partnership policy in social aspect, PT SBW has also taken many actions in society empowerment, by recruiting the local people to be their employees at Waka Shorea Resort and Spa where they were trained according to the hotel standard. Also, this company has established partnership with the local people in marine tourism, gave away scholarships to children and seeds of productive plants ( bamboos, fruits, chillis ). During the study, there were some findings found regarding some policy inconsistencies between central and regional governments, with major finding related to double taxation for hotel and restaurant retribution. Some policy recommendations that could be taken into actions are as follow: infrastructured policy in power generation ( electricity ) for TNBB area is very much needed to support the partnership policy in economic aspect. Regional government of Buleleng should also be able to increase the competitive ability by establishing incentive stimulus for investors. Co promotion between PT SBW and local cultural and tourism office should also be taken into action. Regarding conservation effort, tree adoption and starling adoption can be applied to maintain the sustainability of the local origin trees and the starling birds. These actions can be done by involving local socities therefore they can also be considered as the people empowerment programs. Also, the value of local genious in the Waka Shorea Resort and Spa and its surrounding should also be preserved. At last, extra effort should be taken into consideration by both central and local governments for sincronizing the policies from top level to lower ones by developing ’perda’ or local regulations that are inline with the higher regulations.

8

KATA PENGANTAR Penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan nikmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan tesis ini dapat terselesaikan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Administrasi Publik (MAP). Penulis yakin dalam penulisan ini masih perlu penyempurnaan materi, redaksi dan

metodologinya, oleh karena itu dengan segala kerendahan

hati, kritik dan sumbang saran berbagai pihak sangat diharapkan demi kesempurnaan tesis ini. Penulis menghaturkan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat Prof. Dr. Johanes Basuki, M.Psi selaku dosen pembimbing I dan Prof. Dr. Juni Pranoto, M.Pd selaku dosen pembimbing II yang telah berkenan meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing dan membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Dengan

segala

hormat

penulis

mengucapkan

terima

kasih

sebesar-besarnya kepada : 1. Prof. Dr. Johanes Basuki, M.Psi, Ketua STIA LAN Jakarta, yang memiliki komitmen tinggi dalam memajukan ilmu pengetahuan dalam administrasi publik. 2. Para anggota majelis penguji, yang dengan tekun dan perhatian membangun

disiplin

serta

sangat

pendapat peneliti selama ini.

9

memperhatikan

pendapat



3. Bapak/Ibu Para Dosen pengajar, yang telah mengajarkan ilmu yang bermanfaat bagi peneliti dan membangkitkan semangat belajar demi kemajuan ilmu pengetahuan. 4. Para Kabag beserta staf STIA LAN Jakarta, termasuk para sfat administrasi dan perpustakaan yang telah memberikan dukungan sehingga peneliti mampu menyelesaikan penelitian ini. 5. Ir. Iwan J Prawira, Direktur PT. Shorea Barito Wisata yang mengijinkan penulis untuk meneliti kebijakan kemitraan serta memberikan data dan informasi yang diperlukan, dan memberikan pemahaman mengenai usaha ekowisata yang bermanfaat bagi peneliti, serta memberikan tempat bermalam selama penulis mengadakan penelitian. 6. Drs.P.Bambang Darmadja,MS,

Kepala Balai TNBB (Departemen

Kehutanan) dan Drs. Putu Tastra, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Buleleng, yang telah memberikan kesempatan seluas – luasnya bagi peneliti serta memberikan fasilitas bagi peneliti dalam menyelesaikan penelitian ini. 7. Putu Artana ( Kepala Desa Sumber Klampok), Jero Made Kampium (Klian Desa pakraman Sumber Klampok), Moh. Djatim (Tokoh masyarakat Islam), Rusdi Dedeg (Prajuru adat) dan masyarakat desa Sumber Klampok yang telah banyak memberikan pencerahan kepada penulis mengenai peran masyarakat dalam pelestarian lingkungan hidup khususnya TNBB. 8. Istri Ni Wayan Olasthini tercinta dan anak – anak saya ( Putu Supadma Rudana,MBA, Kadek Ari Putra Rudana,SE, Komang Kristina Rudana, MIB dan Friska Rudana

10

yang senantiasa mendampingi,

memberi dukungan, do’a serta semangat sehingga terselesaikannya penelitian ini. 9. Seluruh staf dan fotografer yang telah membantu dengan penuh rasa bakti dan tanggung jawab. 10. Rekan-rekan studiwan program magister MPD STIA LAN Jakarta angkatan 2008 serta semua pihak yang telah memberikan bantuan moril dan spirituil yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Akhir kata semoga STIA LAN Jakarta semakin maju dan mencetak insan – insan pelayan publik yang menjunjung tinggi nilai – nilai budaya bangsa dalam meweujudkan Indonesia yang kokoh dan unggul serta masyarakat yang sejahtera.

Jakarta, 3 Agustus 2009

Penulis

NR

11

DAFTAR ISI

Lembar Judul ........................................................... ...............................

i

Lembar Persetujuan............................................................................. ....

ii

Lembar

Pengesahan

.....................................................................................

....................iii

Pernyataan............................................................................. ..................

iv

Abstrak ( Indonesia )............................................................................. ...

v

Abstrak ( Inggris ).....................................................................................

vii

Kata Pengantar................................................................. .......................

ix

Daftar Isi.................................................................................. .................

xii

Daftar Istilah.............................................................................. ...............

xvi

Daftar Tabel.............................................................................. ................

xvii

Daftar Gambar..........................................................................................

xix

Daftar Peta......................................................................... ......................

xx

Daftar Foto................................................................... ............................

xxi

Daftar Lampiran............................................................ ........................... xxiii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan ............................................

1

B. Pokok Permasalahan .......................................... ................

8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................ ...........

8

1. Tujuan Penelitian .................................... .........................

10

2. Manfaat Penelitian ......................................... ..................

10

BAB II KERANGKA TEORI A. Tinjauan Teori dan Konsep Kunci.......................... ................

11

1. Kemitraan Pemerintah dan Swasta...................................

11

2. Kebijakan Publik........................................ .........................

18

a. Teori Kebijakan Publik....................... .............................

18

b. Evaluasi Kebijakan.................................. .......................

21

3. Pembangunan. Berkelanjutan............................................. .

30

12

a. Teori Pembangunan Berkelanjutan................... ..........

30

b. Kebijakan Terkait Pembangunan Berkelanjutan. ......

33

c. Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan dan Ekowisata ................................................................. ...

36

d. Pengembangan Ekowisata Indonesia di Taman Nasional............................................................ ...........

44

B Kerangka Berpikir................................................. ..............

48

C Pertanyaan Penelitian.............................................. ..........

50

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV

A. Metode Penelitian ................................. ...............................

51

B. Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data ........................

52

1. Instrumen Penelitian ................................ ......................

52

2. Teknik Pengumpulan Data ............................... ..............

53

a. Teknik Observasi ............................................. ..........

54

b. Wawancara ....................................................... ..........

55

c. Studi Dokumentasi dan Kepustakaan ........................

57

C. Prosedur Pengolahan Data dan Analisa ...........................

58

HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Taman Nasional Bali Barat........................

63

1. Data Pokok .................................................. ......................

63

2. Visi, Misi dan Prinsip Pengelolaan TNBB.........................

67

3. Penataan Organisasi Taman Nasional Bali Barat.............

67

4. Pengembangan Pariwisata Alam......................................

68

a. Pengusahaan Pariwisata Alam.....................................

68

b. Sarana Penunjang Kegiatan Wisata Alam .................... 69 c. Lokasi Wisata di kawasan TNBB................................... 71 B. Pengusahaan Pariwisata Alam oleh PT. Shorea Barito Wisata Pada Sebagian Zona Pemanfaatan Taman Nasional Bali Barat ...................................................................... ..............

73

1. Data Pokok ...................................................................

74

a. Letak, Luas, dan Batas Areal Pengusahaan ................

74

b. Iklim...................................................................... ............

76

13

c. Potensi Biologi..................................................... ...... 76 1). Flora.................................................................

76

2). Fauna.............................................. .....................

79

3). Biota Perairan...................................... ................

81

d. Aksesibilitas..................................................... ........... 83 e. Demografi Masyarakat Sekitar TNBB....................... 85 1). Kependudukan........................................... ...........

85

2). Pola Penggunaan Lahan........................ ..............

86

3). Kondisi Perekonomian....................................... ...

86

4). Pendidikan, Kesehatandan Fasilitas Umum........

87

5). Budaya Masyarakat .........................................

88

2. Dasar – Dasar Kebijakan untuk Evaluasi Kebijakan Kemitraan PPA TNBB ............................................

89

3. Struktur Organisasi PT. Shorea.............................

92

C. Analisa dan Pembahasan ............................................... .....

94

1. Peran Balai TNBB dalam Pengusahaan Pariwisata Alam TNBB................................................................... .. 96 2. Peran PT. SBW dalam Kemitraan Pengusahaan Pariwisata Alam dalam Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan.......................................................... . 103 a. Peran PT.SBW dalam Pembangunan Ekonomi ........................................................... 103 1). Pelaksanaan Pembangunan Sarana dan Prasarana di TNBB ....................................

103

2).Pengembangan Kepariwisataan.....................

109

b. Peran PT. SBW dalam Pelestarian Lingkungan Hidup 1). Pengelolaan Sumber Daya Alam........................... 114 2). Pengelolaan Kebersihan Lingkungan dan Pengendalian Kelestarian Perairan di Sekitar Wilayah PPA TNBB ............................ .................... 116 3). Upaya Pencegahan Dampak Perubahan Iklim...... 117 14

4). Upaya Perlindungan dan Keamanan Hutan Di Wilayah PPA TNBB.......................................... .. 118 5). Upaya Menjamin Keamanan dan Ketertiban Pengunjung.....................................................

119

c. Peran PT. SBW dalam Aspek Sosial 1). Pemberdayaan Masyarakat............................... ..... 122 2). Mempertahankan Kearifan Lokal........................... 125 3. Kendala – Kendala yang Dihadapi a. Terkait dengan Kebijakan Kemitraan dalam Aspek Pembangunan Ekonomi............................. ................... 127 b. Terkait dengan Kebijakan Kemitraan dalam Aspek Lingkungan Hidup..................................................... ...... 128 c. Terkait dengan Kebijakan Kemitraan dalam Aspek Sosial ( Pemberdayaan Masyarakat)............................ . 129 d. Inkonsistensi Kebijakan antara Pusat dan Daerah...... 130 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ............................................... .............................. 133 B. Saran........................................................................ ................ 137 DAFTAR PUSTAKA

15

DAFTAR ISTILAH

1. TNBB

Taman Nasional Bali Barat

2. PPA

Pengusahaan Pariwisata alam

3. Wilayah PPA

Wilayah PPA yang dikelola oleh PT. Shorea Barito Wisata (PT. SBW ) yang meliputi Blok I Gilimanuk di kabupaten Jembrana, Blok II Tanjung Kotal dan Blok III Labuan Lalang. Blok II dan III berada di kabupaten Buleleng.

4. PT. SBW

PT. Shorea Barito Wisata

5. Waka Shorea Resort and Spa Butik hotel yang merupakan bagian dari grup hotel Waka, yang dikelola oleh PT. SBW. Waka Shorea terletak di Blok II Tanjung Kotal, kabupaten Buleleng

16

DAFTAR TABEL

Nomor

Judul Tabel

Halaman

1. Alokasi Tanggung Jawab Berdasarkan Pilihan Bentuk PPP / KPS................................................................................ 17 2. Perbandingan antara Evaluasi Formatif dan Evauasi Sumatif...

25

3. Indikator evaluasi kebijakan menurut Dunn..............................

27

4. Prinsip dan Kriteria Ekowisata..................................................

42

5. Key Informan Penelitian.................................................................

56

6. Batas Areal Kerja Pengusahaan Pariwisata Alam (PPA) PT.SBW..................................................................................

74

7. Struktur tegakan, Komposisi jenis, dominasi atau Indek Nilai Penting (INP), keanekaragaman jenis (H’) dan jenis dilindungi ..........................................................................

77

8. Kondisi habitat, kelimpahan dan keanekaragaman jenis dan tropik satwa liar.................................................................

79

9. Penduduk di sekitar areal Pengusahaan Pariwisata Alam (PPA) .............................................................................85 10. Potensi Wisata Alam di wilayah PPA TNBB .........................

105

11. Jenis kegiatan dan produk usaha yang akan dan sudah dikembangkan.....................................................................

106

12. Obyek Wisata Alam di Luar Kawasan TNBB........................

110

13. Proyeksi dan pencapaian jumlah pengunjung baik di area kerja PPA maupun di kawasan TNBB secara umum ....................

17

111

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Judul Gambar

Halaman

1.

Tiga Pilar Pembangunan Berkelanjutan …………..

33

2.

Kerangka berpikir .................................................

49

3.

Struktur organisasi PT. Shorea Barito Wisata.......

92

18

DAFTAR PETA

Nomor

Judul Peta

Halaman

1.

50 Taman Nasional di Indonesia ..............................

I

2.

Peta Lokasi Taman Nasional Barat ..........................

III

3.

Lokasi Waka Shorea Resort and Spa.......................

IV

4. Areal usaha Pengusahaan Pariwisata Alam PT. SBW....

V

5.

VI

Hasil Uji Petik Sarana dan Prasana Blok II Tanjung Kotal ..

6. Hasil Uji Petik Sarana dan Prasarana Blok III Labuan Lalang... VII

19

DAFTAR FOTO Nomor

Judul Foto

Halaman

1. Penulis di TNBB.............................................

63

2. Curik Bali ( burung jalak putih ).......................

66

3. Kantor Balai TNBB di desa Cekik, Gilimanuk, kabupaten Jembrana ...................................................................

70

4. Dolpihin Watching di Pulau Menjangan ………

73

5. Hutan mangrove di TNBB ………………………

77

6.

82

Terumbu karang di pulau Menjangan …………

7. Waka Shorea Resort and Spa ........................

94

8. Pantai di Waka Shorea Resort and Spa..........

95

9. Kepala Balai TNBB drs. Bambang Dharmadja..

96

10. Kandang pelepasliaran curik Bali di Teluk Brumbun Kabupaten Buleleng................................................ 98 11. Polisi hutan Balai TNBB di Resort Teluk Brumbun Kabupaten Buleleng ..........................................

98

12. Kepala Desa Sumber Klampok, Klian Desa Pakraman dan stafnya di Kantor Kepala Desa…..

102

13. Direktur PT. Shorea Barito Wisata Ir. Iwan J. Prawira ... 108 14. Penulis bersama wisatawan Austria di Waka Shorea Resort and Spa ...................................................

20

114

Nomor

Judul Foto

Halaman

15. Warning sign bagi pengunjung………………..… 121 16. Perahu motor milik koperasi nelayan Desa Sumber Klampok.................................................................. 17.

Salah satu pura di kawasan TNBB......................

18.

Menghaturkan sesajen sebagai salah bentuk kearifan lokal .............................................................

21

123 126

127

DAFTAR LAMPIRAN

1. Pedoman Observasi 2. Transkrip Wawancara 3. Keputusan Menteri Kehutanan no 184 / Kpts – II / 1998 tentang Pemberian Izin Pengusahaan Pariwisata Alam kepada PT.Shorea Barito Wisata Pada Sebagian Zona Pemanfaatan Taman Nasional Bali Barat 4. Keputusan Menteri Kehutanan No. 566/Kpts-II/1999 tanggal 21 Juli 1999 tentang Penetapan Batas Areal Kerja PT.Shorea Barito Wisata 5. Surat Edaran Menteri Kehutanan RI no SE 2/ Menhut-IV / 2007 tentang Perijinan dan pungutan pajak / retribusi, dalam pengusahaan pariwisata alam di kawasan konservasi 6 Juli 2007 6. Surat dari Sekda Buleleng no 970/ 919 / Dispenda tentang Pengenaan Pajak Hotel dan Pajak Restaurant di Kawasan TNBB tanggal 17 September 2007 7. Surat dari PT. SBW kepada Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam Dirjen PHKA Dephut tentang Pajak PHR tanggal 10 Januari 2008 8. Surat Teguran I dari Dispenda Kabupaten Buleleng kepada PT. SBW no973 / 02/ Pjk daerah / Dispenda / 08 tentang Tunggakan PHR , 8 Januari 2008 9. Surat Teguran II dari dari Dispenda Kabupaten Buleleng kepada PT. SBW no 973 / 1403 / Dispenda / 2008 tentang Tunggakan PHR, 17

22

Nopember 2008 10. Surat dari STIA LAN kepada Kepala Balai TNBB no 470 / II/3/6 /2009 tanggal 22 Juni 2009 11. Jawaban surat dari Balai TNBB ( Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi ( SIMAKSI ) no S 823 / BTNBB – 1 /2009 12. Daftar Riwayat Hidup

23

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan Pembangunan berkelanjutan ( sustainability development ) bukanlah hal baru namun banyak yang masih mempunyai pengertian bahwa istilah berkelanjutan berkaitan dengan lingkungan hidup semata. Padahal

ada

tiga

pilar

dalam

berlangsungnya

pembangunan

berkelanjutan yaitu aspek ekonomi, sosial serta lingkungan. Peraturan Presiden RI no 7 tahun 2005 tentang RPJMN 2004 – 2009 Bab 32 mengenai Perbaikan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai “upaya memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang.” Seluruh kegiatannya harus dilandasi tiga pilar pembangunan secara seimbang yaitu menguntungkan secara ekonomi ( economy viable ), diterima secara sosial ( socially acceptable ) dan ramah lingkungan ( environmental sound ). Prinsip tersebut harus dijabarkan dalam bentuk instrumen kebijakan dan peraturan perundangan lingkungan yang dapat mendorong investasi pembangunan jangka menengah. Dalam pelaksanaannya, seringkali karena keterbatasannya, baik keterbatasan dana, sumber daya serta keahlian, melibatkan pihak swasta dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan di berbagai bidang, tidak terkecuali dalam bidang ekowisata, dimana pengelolaan Taman Nasional termasuk di dalamnya. Ekowisata telah menjadi trend baru

di

dunia

Internasional

sebagai

salah

satu

dari

isu

4T

(Transportation, Telecommuni-cation, Tourism dan Technology) dalam milenium ketiga. Ekowisata tidak hanya diyakini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi

secara

regional

maupun

lokal

untuk

meningkatkan

kesejahteraan masyarakat, namun juga memelihara kelestarian sumber daya alam, dalam hal ini keaneka ragaman hayati sebagai daya tarik

24

wisata. Penyelenggaraan ekowisata secara umum tercantum dalam Undang Undang

Nomor 9 / 1990 tentang Kepariwisataan, pasal 18

mengenai Pengelompokan Pengusahaan Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam. Khusus untuk propinsi Bali, Pemerintah Propinsi Bali merumuskan pembangunan berkelanjutan tersebut dalam Rencana Strategis atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah ( RPJM ) 2003 – 2008 yaitu Terwujudnya Bali Dwipa Jaya Berlandaskan Tri Hita Karana. Bali Dwipa Jaya dalam konteks pembangunan, merupakan suatu proses pembangunan yang dinamis dilandasi oleh nilai, norma, tradisi, dan kearifan lokal yang bersumber pada budaya Bali yang dijiwai oleh Agama Hindu sehingga terwujud kesejahteraan sosial (jagadhita), ekonomi, kelestarian budaya dan lingkungan hidup yang harmonis dan berkesinambungan. Dalam RPJM ini terdapat tiga sektor utama pembangunan sebagai prioritas yaitu sektor pertanian dalam arti luas, sektor pariwisata yang bermodalkan kebudayaan dan sektor industri dan kerajinan terutama yang berkaitan

dengan sektor pertanian dan

pariwisata. Filosofi Tri Hita Karana ( tiga cara mencapai kedamaian ) terkandung makna hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhannya

(parahyangan

),

antara

manusia

dengan

sesamanya

( pawongan ), serta manusia dengan alam sekitarnya ( palemahan ). Tri Hita Karana diterapkan dalam setiap sektor kehidupan masyarakatnya. Salah satu unsurnya menjelaskan hubungan antara manusia dengan alam sekitar / lingkungannya, yang merupakan dasar yang kuat bagi masyarakat Bali untuk sedapat mungkin menjaga kelastarian alamnya,

25

tidak hanya untuk keberlangsungan pariwisata namun terutama untuk keberlangsungan hidup. Dalam Tri Hita Karana terkandung kemitraan di antara semua stakeholder / pemangku pentingan dalam pembangunan pariwisata, yaitu antara pemerintah, industri pariwisata, masyarakat ,lokal, Lembaga Swadaya Masyarakat ( LSM ), serta lembaga donor internasional. Seperti sudah sempat disinggung di atas, dalam pengelolaan Taman Nasional, di beberapa daerah, pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan bermitra dengan dunia usaha swasta dalam mengembangkan wilayah taman nasional yang luas tersebut menjadi kawasan wisata potensial yang mampu menjadi destinasi wisata baru selain wisata pantai atau wisata budaya yang sudah lebih dahulu berkembang. Saat ini terdapat 50 Taman Nasional di Indonesia ( peta 1), menurut data dari Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan tahun 2004 yang pengelolaannya di bawah Departemen Kehutanan. Enam diantaranya, ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia (World Heritage Sites), yaitu Taman Nasional Ujung Kulon ( Jawa Barat ), Taman Nasional Komodo ( NTT), Taman Nasional Lorentz di Papua, dan tiga Taman Nasional di Sumatra yang termasuk dalam Tropical Rainforest Heritage, yaitu Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Taman Nasional Kerinci Seblat dan Taman Nasional Gunung Leuser ( http:// www.unep-wcmc.org/sites/ wh/ index.html ).

26

Satu – satunya Taman Nasional di Bali adalahTaman Nasional Bali Barat (TNBB) ( peta 2 ), yang secara administratif terletak di kabupaten Jembrana dan Buleleng. Menurut Undang Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, “Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.” Sedangkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam dijelaskan lebih lanjut bahwa Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam tersebut untuk kegiatan pariwisata dapat diselenggarakan melalui kegiatan pengusahaan pariwisata alam, dimana penyelenggaraannya perlu dilakukan dengan sebaik - baiknya sehingga tidak merusak lingkungan kawasan.

Terkait dengan pengelolaan Taman Nasional Bali Barat ( TNBB ), Departemen Kehutanan bermitra dengan tiga perusahaan swasta, yaitu PT. Shorea Barito Wisata, PT. Trimbawan Swastama Sejati ( Penyediaan Resort dengan wisata alam sebagai atraksi wisata ) , dan PT. Disthi Kumala Bahari ( Pengusahaan pariwisata alam dengan penangkaran mutiara sebagai atraksi wisata ).

Mengingat luasnya wilayah TNBB

maka penelitian ini difokuskan kepada kemitraan antara pemerintah dengan PT. Shorea Barito Wisata ( SBW ), sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan no 184 / Kpts – II / 1998 tentang 27

Pemberian Izin Pengusahaan Pariwisata Alam kepada PT.Shorea Barito Wisata Pada Sebagian Zona Pemanfaatan Taman Nasional Bali Barat ( terlampir ). Penelitian dilakukan di wilayah pengelolaan yang berada di Blok II Tanjung Kotal, dan Blok III Labuan Lalang. Waka Shorea Resort and Spa ( peta 3 ) yang dibangun di blok II Tanjung Kotal, yang menjadi fokus penelitian, adalah hotel butik yang berada di bawah payung PT. SBW. Dalam websitenya ( http://www.tnbalibarat.com/ ) serta Buku Informasi Taman Nasional Bali Barat dijelaskan bahwa TNBB masih melimpah, habitat dan letak geomorfologinya serta keindahan alamnya. mempunyai luas 19.002,89 ha. terdiri dari kawasan terestrial seluas 15.587,89 ha. dan kawasan perairan seluas 3.415 ha. Sebagai salah satu kawasan konservasi, pengelolaan Taman Nasional Bali Barat (TNBB) ditujukan untuk :

1.

Perlindungan populasi curik ( jalak ) Bali serta ekosistem lain seperti ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove, hutan pantai dan hutan daratan rendah sampai pegunungan sebagai sistem penyangga kehidupan terutama ditujukan untuk menjaga keaslian, keutuhan dan keragaman suksesi alam dalam unit-unit ekosistem yang mantap dan mampu mendukung kehidupan secara optimal.

2. Pengawetan keragaman jenis flora dan fauna serta ekosistemnya ditujukan untuk melindungi, memulihkan keaslian, mengembangkan populasi dan keragaman genetik dalam kawasan TNBB dari gangguan manusia.

28

3. Pemanfaatan secara lestari Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya ditujukan untuk berbagai pemanfaatan seperti: sebagai laboratorium lapangan bagi peneliti untuk pengembangan ilmu dan teknologi. 4. Sebagai

tempat

pendidikan

untuk

kepentingan

meningkatkan

pengetahuan dan ketrampilan bagi masyarakat.

5.

Obyek wisata akan pada zona khusus pemanfaatan yang dapat dibangun fasilitas pariwisata.

6.

Menunjang budidaya penangkaran jenis flora dan fauna dalam rangka memenuhi kebutuhan protein, binatang kesayangan dan tumbuhan obat-obatan.

Menurut pengamatan awal dari penulis, kebijakan kemitraan pemerintah dengan PT. Shorea Barito Wisata ( SBW ) sebagai sebuah perusahaan swasta memiliki beberapa masalah yang perlu dicermati lebih jauh. Kepentingan antara pemerintah dan PT SBW pada dasarnya memiliki resiko yang cukup besar. Ini disebabkan perbedaan kepentingan yang mendasar dari kedua pihak yang bermitra. Pemerintah dalam hal ini adalah Departemen Kehutanan memiliki kepentingan memberikan pelayanan publik melalui pelestarian lingkungan hidup di Taman Nasional Bali Barat. Disisi lain, PT SBW adalah sebuah perusahaan swasta yang berorientasi tunggal yaitu mengejar keuntungan. Namun dalam kenyataan kedua organisasi yang memiliki kepentingan berbeda tersebut bisa disatukan dalam kemitraan yang berjalan saat ini. Bentuk kerjasama yang dilakukan melalui cara konsesi memiliki resiko dimana PT SBW dapat saja bertindak yang bertentangan dengan prinsip sustainable development.

Kedua, masalah potensi konflik antara PT

SBW dengan masyarakat di sekitar Taman Nasional Bali Barat. Hal ini disebabkan persaingan dalam pemanfaatan sumber daya alam di dalam Taman Nasional tersebut. Untuk melihat lebih jauh permasalahan tersebut di atas maka penulis tertarik untuk mengangkat penelitian ini dengan tema judul Evaluasi

29

Kebijakan

Kemitraan

Nasional

Bali

dalam

Barat

Pengusahaan

dalam

Pariwisata

Mewujudkan

Taman

Pembangunan

Berkelanjutan. Beberapa pertimbangan penting tentang mengapa penelitian ini dilakukan yaitu bahwa masih kurang atau bahkan belum ada penelitian menyangkut upaya kemitraan di TNBB. Juga sampai sekarang sebagian besar Taman Nasional masih dikelola oleh pemerintah sehingga belum optimal pemanfaatannya dalam menunjang pembangunan berkelanjutan termasuk dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitarnya. Kemitraan dalam pengelolaan TNBB dapat dijadikan contoh bagi Taman Nasional lain. Selain itu lokasi TNBB yang berada di wilayah yang bukan merupakan sentra industri pariwisata yaitu di kabupaten Buleleng dan Jembrana yang jauh dari Denpasar ( sekitar 4 jam jarak tempuh dengan mobil ), juga merupakan tantangan tersendiri bagi para stakeholdernya dalam mengembangkan wilayah tersebut menjadi wilayah tujuan wisata. Dalam upaya kemitraan ini juga dapat diamati adanya berbagai kebijakan di daerah ( kabupaten Buleleng ) yang tidak konsisten dengan kebijakan di atasnya, sehingga dapat menimbulkan ekonomi biaya tinggi yang tentunya memberatkan pengusaha swasta, yang pada akhirnya membuat kemitraan tersebut tidak seimbang adanya. Kesadaran mengenai pentingnya pemeliharaan lingkungan hidup yang secara umum rendah pada masyarakat Indonesia, karena tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi yang rata – rata masih rendah, sehingga kurang peleduliannya terhadap hal – hal yang dianggap tidak langsung berhubungan dengan tingkat kesejahteraannya, serta tidak adanya sangsi yang tegas dari aparat penegak hukum terhadap pelaku tindak perusakan lingkungan hidup, juga menjadi pendorong yang kuat mengapa penelitian ini dilakukan. Dalam implementasi kemitraan dapat diamati bagaimana para pengusaha yang beroperasi di Bali berbisnis sambil tetap mempertahankan kearifan lokal yang menjadi landasan filosofi hidup masyarakat Bali yaitu Tri Hita Karana, yang menempatkan keharmonisan hubungan antara manusia dengan alam sekitar sama pentingnya dengan keharmonisan hubungan antar manusia.

30

B. Fokus Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan seperti yang telah dijelaskan di atas, tentunya diperlukan pembatasan fokus permasalahan sehingga penelitian menjadi lebih terarah. Sebenarnya ijin PPA ( pengusahaan pariwisata alam ) sesuai SK Menteri Kehutanan no 184 / Kpts – II / 1998 tentang Pemberian Izin Pengusahaan Pariwisata Alam kepada PT.Shorea Barito Wisata Pada Sebagian Zona Pemanfaatan Taman Nasional Bali Barat berlaku di Kabupaten Buleleng dan Jembrana namun karena wilayah yang dikembangkan oleh PT. Shorea Barito Wisata adalah blok II Tanjung Kotal ( dimana Waka Shorea Resort and Spa berada ) dan blok III Labuan Lalang, yang keduanya berlokasi di kabupaten Buleleng, sedangkan di Blok I Gilimanuk, lokasi masih berupa lahan kosong, serta adanya keterbatasan waktu penelitian, maka lokus penelitian dilakukan pada kabupaten Buleleng. ( peta 4,5,6 ). Fokus penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : “Bagaimana evaluasi kebijakan kemitraan dalam pengusahaan pariwisata alam Taman Nasional Bali Barat dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan ?”. Sebagai studi kasus adalah PT. Shorea Barito Wisata berdasarkan kepada Keputusan Menteri Kehutanan no 184 / Kpts – II / 1998. Sedangkan dalam batasan waktu, penelitian ini mengambil data terkait dengan kebijakan kemitraan Departemen Kehutanan dengan PT SBW yang berlangsung dari tahun 2003-2009.

31

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi kebijakan kemitraan antara pemerintah dan swasta dalam pengelolaan pariwisata alam TNBB di Kabupaten Buleleng dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan dengan studi kasus PT. Shorea Barito Wisata. Temuan – temuan yang didapat nantinya dianalisa dan diberikan usulan jalan keluarnya.

2. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini sebagai berikut : a.

Aspek Akademis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan referensi bagi

penelitian

tentang

evaluasi

kebijakan

kemitraan

antara

pemerintah dan swasta terkait metodologi yang digunakan dan interaksi antar stakeholders yang terkait dengan ekowisata, ataupun penelitian yang sejenis serta memperkaya dunia akademis di bidang kebijakan kemitraan dalam pengelolaan ekowisata.

b. Aspek Praktis

1. Departemen Kehutanan : Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan evaluasi kebijakan publik bagi Departemen Kehutanan dan pelaksanaan kebijakan oleh Balai TNBB sebagai kepanjangan tangan Departemen Kehutanan di lapangan dalam menjalankan

32

kebijakan dari pusat

yang bersifat kemitraan, bersama dengan mitra swastanya yaitu PT. Shorea Barito Wisata.

2.

Kabupaten Buleleng : mendorong timbulnya political will dari pemda Buleleng untuk lebih mempromosikan kemitraan pemerintah swasta ( KPS ) obyek wisata alam di Bali.

3. Bagi pihak PT. Shorea Barito Wisata : Penelitian ini diharapkan dapat memberikan penilaian yang obyektif mengenai keberlangsungan dan daya saing perusahaan dengan tetap mempertahankan kaidah pembangunan berkelanjutan. 4. Bagi masyarakat Bali ( khususnya di sekitar kawasan TNBB ) : Memberikan

masukan

yang

berharga

mengenai

bagaimana

masyarakat dapat meningkatkan partisipasinya dalam menjaga lingkungan, dan bekerjasama dengan pemerintah Balai TNBB dan PT. Shorea Barito Wisata dalam budaya dan ekonominya.

33

meningkatkan kegiatan sosial

BAB II KERANGKA TEORI

A. Tinjauan Teori dan Konsep Kunci Terkait dengan tema yang dipilih dalam penelitian ini, yaitu tentang evaluasi kebijakan kemitraan pengelolaan pariwisata alam ( PPA ) Taman Nasional Bali Barat ( TNBB ) di kabupaten Buleleng, maka beberapa teori dan konsep kunci yang dianggap relevan untuk dibahas, adalah tentang kemitraan,

evaluasi

kebijakan

publik,

pembangunan

berkelanjutan,

pembangunan pariwisata berkelanjutan, ekowisata serta pengertian mengenai Taman Nasional.

1. Kemitraan pemerintah dan swasta ( KPS ) Globalisasi yang begitu cepat menuntut pelayanan publik untuk dapat memenuhi harapan masyarakat yang kebutuhannya meningkat dan cakupannya makin luas. Untuk itu diperlukan kerjasama yang baik antara sektor publik, yaitu pemerintah dan swasta sebagai penggerak ekonomi, yang dapat diformulasikan ke dalam Kemitraan Sektor Publik dan Swasta yang dikenal dengan istilah Public Private Partnerships ( PPP ). Terminologi kerjasama ( partnership ) atau kemitraan,

lazim

digunakan untuk menggambarkan sebuah jalinan kerja antara dua atau lebih individu / organisasi untuk memproduksi suatu barang (goods) atau memberikan suatu pelayanan jasa (service delivery) ( Kariem, 2003:12 ). Pakar lain (Savas, 1988; Donahue, 1992) menambahkan bahwa kemitraan sering juga dilihat sebagai proses peningkatan kualitas 34

layanan atau produk dengan atau tanpa penurunan beban biaya (increasing quality of service and reducing cost). Dengan demikian kemitraan dapat memainkan peran yang signifikan dalam menciptakan sebuah nilai yang terbaik di mana proses peningkatan mutu diharapkan terjadi dengan tanpa menambahkan beban biaya. Dalam kerangka kebijakan, kemitraan merupakan prinsip ke 11 dari good governance versi Bappenas, yaitu kemitraan dengan dunia usaha swasta dan masyarakat ( private and civil society partnership). Menurut Bappenas, dalam Modul Penerapan Prinsip – Prinsip Tata Pemerintahan yang Baik ( Bappenas 2007 : 105 ) , kemitraan harus didasarkan pada kebutuhan rill (demand driven). Sektor swasta seringkali sulit tumbuh karena mengalami hambatan birokratis (red tape) seperti sulitnya memperoleh berbagai bentuk izin dan kemudahan lainnya. Hambatan ini harus diakhiri antara lain dengan pembentukan pelayanan satu atap, pelayanan terpadu, dan sebagainya. Indikator minimal yang diperlukan adalah pemahaman aparat pemerintah tentang pola-pola kemitraan, lingkungan yang kondusif bagi masyarakat kurang mampu (powerless) untuk berkarya, terbukanya kesempatan bagi masyarakat / dunia usaha swasta untuk turut berperan dalam penyediaan pelayanan umum, pemberdayaan institusi ekonomi lokal/ usaha mikro, kecil dan menengah. Sedangkan perangkat pendukung indikatornya adalah peraturan - peraturan dan pedoman yang mendorong kemitraan pemerintah - dunia usaha swasta – masyarakat, peraturan yang berpihak pada masyarakat kurang mampu, serta adanya program – program pemberdayaan. Beberapa pertimbangan pengembangkan kemitraan ( Kariem, 2003 :16 )

35

: a.

Efisiensi dan kualitas, dimana kemitraan merupakan sarana untuk meningkatkan efisiensi dan peningkatan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat. Hal ini dibangun melalui penyertaan modal ataupun bentuk kontrak (contracting out).

b. Efektivitas,

dimana

setiap

organisasi

dalam

rangka

mencapai

tujuannya dituntut untuk semaksimal mungkin sesuai dengan yang telah ditetapkannya (efektif) dan dengan menggunakan sumber daya sekecil-kecilnya (efisien). Namun apabila terjadi dinamika internal misalnya, menonjolnya kepentingan pribadi (vested interest) dari para anggota organisasi dalam menjalankan tugasnya,

keterbatasan

kemampuan pelaksana, dan konflik antar anggota, maka harus dilakukan monitoring dan pengendalian. c. Memacu dinamika organisasi, dimana dengan membuka kesempatan bagi masyarakat untuk menjadi mitra, kerjasama pemerintah maka akan membuka peluang usaha lebih banyak bagi masyarakat. d. Membagi resiko dan keuntungan (risk and benefit sharing) dengan mitra kerjanya. Selain juga menciptakan keuntungan bagi kedua belah pihak. Keuntungan yang dapat diperoleh dengan melakukan kemitraan menurut Society of Information Technology Management ( SOCITM ) (1999 ) adalah : (1)Fleksibilitas

untuk

menyelesaikan

masalah,

khususnya dalam

"transactional contract". (2) Menjadi jalan keluar dari permasalahan kekurangan modal dan atau kekurangan kompetensi keahlian untuk melakukan sebuah kegiatan (3) Mengeliminasi aspek duplikasi dalam alokasi sumber daya dan program kerja. (4) Menjaga keberlanjutan

36

keluaran (outcomes) dari produk dan jasa yang dihasilkan. Dalam kemitraan akan tercipta sebuah mekanisme check and balance dari dua belah pihak yang bekerjasama. Indikator yang dapat dipakai yang cenderung mengikat dalam kemitraan antara pemerintah dan swasta menurut Agenda 21 Sektoral – Indikator Pembangunan Berkelanjutan ( Kementerian Negara Lingkungan Hidup 2000:36 ) antara lain adalah : (1) rasa saling menghargai dan memahami misi dan mandat masing – masing, (2) kepedulian terhadap mitra yang lemah, (3) komunikasi yang jelas dan lancar, (4) transparansi dalam pengambilan keputusan. Selain itu peran swasta juga dapat dipantau melalui hal – hal : (1) menjaga ekonomi pasar yang kompetitif, (2) mengundang investor dalam dan luar negeri, (3) menciptakan lapangan kerja, (4) mengawasi jalannya pemerintahan dalam pelayanan kepada usaha swasta, (5) peduli terhadap masalah lingkungan dan manusia. Ada beberapa model kemitraan yang didasarkan pada derajat risiko yang ditanggung kedua belah pihak; jumlah keahlian yang diperlukan dari setiap pihak untuk menegosiasikan perjanjian; serta implikasi yang muncul dari hubungan tersebut, sebagai berikut ( Saleh, 2008: 30 – 38 ) :

1. Penjualan Aset ( Asset Sales ) yaitu penjualan aset sektor publik yang berlebihan. 2. Perluasan Pasar ( Wider Markets ) yaitu masuknya ketrampilan dan keu-angan sektor swasta untuk meningkatkan nilai guna aset ( fisik dan intelek-tual ) pada sektor publik.

37

3. Penjualan Usaha Bisnis ( Sales of Businesses ) yang merupakan penjualan sebagian kecil atau besar saham BUMN / BUMD dengan mengambangkan (floatation ) atau mengobralnya ( trade sale ) di bursa saham / pasar modal. 4. Perusahaan

Berkemitraan

(

Partnership

Companies

),

melalui

masuknya kepemilikan seckor swasta ke dalam BUMN / BUMD, dengan tetap menjamin / mengedepankan kepentingan public dan tujuan kebijakan publik melalui pengaturan, legislasi, perjanjian kemitraan atau menahan saham khusus pemerintah. 5. Prakarsa Pendanaan Swasta ( PFI = Financially Free Standing Projects ) yaitu kontrak jangka panjang sektor swasta untuk membeli kualitas pelayanan sektor publik dengan tingkat kinerja tertentu, termasuk memelihara dan atau membangun infrastruktur tertentu. 6. Kemitraan dalam Kebijakan ( Policy Partnership ) yaitu pengaturan yang melibatkan swasta baik sebagai individu maupun kelompok dalam mengem-bangkan atau melaksanakan kebijakan publik Selanjutnya Saleh mengatakan bahwa aplikasi dari model kemitraan di atas dapat dilakukan dalam bentuk : 1. Kontrak Pelayanan ( Service Contracts ) atau outsourcing, yang lebih banyak menitikberatkan pada peran pemerintah, dari sisi investasi maupun penyediaan jasa layanan. Outsourcing paling efisien dari segi biaya, namun tidak dapat diterapkan pada pelayanan publik yang pengelolaan utilitasnya tidak efisien dan pemulihan biayanya buruk. 2. Kontrak pengelolaan ( management contract ), yang melibatkan swasta dalam hal managerial atau lebih jauh lagi, menerapkan insentif

38

lebih

besar

untuk

mencapai

tingkat

efisiensi

tertentu

dengan

menetapkan target kinerja berdasarkan remunerasi minimal. 3. Kontrak sewa

( leases ) merupakan model kemitraan yang paling

tepat untuk mencapai efisiensi operasi tapi terbatas untuk lingkup proyek investasi baru. Sering direkomendasikan sebagai batu loncatan menuju peran serta . 4. Konsesi ( concession ), dimana swasta bertanggung jawab dalam pengoperasian, pemeliharaan serta nvestasi. Dalam praktek, sistem ini banyak dilaksanakan secara patungan ( joint venture ) antara pemerintah dan badan usaha dengan membentuk perusahaan baru. Ekuitas dalam perusahaan mayoritas dikuasai pemerintah. 5. Bangun Operasi Alih / Milik ( BOA ) atau Build Operate Transfer ( BOT ) / Own Contract pengaturannya mirip konsesi, diutamakan untuk menyediakan jasa layanan skala besar, tapi normalnya berlaku untuk proyek – proyek yang kental dengan tuntutan berwawasan lingkungan. Peran swasta adalah membangun utilitas baru, mengoperasikan untuk jangka waktu tertentu dengan memperoleh manfaat dan menanggung resiko darinya, dan pada akhir kontrak mengalihkan semua hak kembali kepada sektor publik. BOM ( Bangun Operasi Milik ) adalah varian BOA, dimana setelah waktu tertentu asset menjadi milik swasta. 6. Divestasi Sebagian / Penuh ( Full or Partial Divestation ), dimana divestasi asset sektor publik dapat dilakukan melalui penjualan saham, asset, atau manajemen baik parsial maupun total Tugas

39

pemerintah terbatas pada pengaturan, yang menjamin terlindunginya kepentingan konsumen dari harga monopolistik dan buruknya layanan. Tabel 1. Alokasi Tanggung Jawab Berdasarkan Pilihan Bentuk PPP / KPS Bentuk & Tanggung Jawab

Pemilikan Asset

Operasi & Pelihar a

Modal Investas i

Resiko Komersi al

Jangka Waktu (th)

K o n tr a k P e la y a n a n

Publik

Publik & swasta

Publik

Publik

K o n tr a k M a n aj e m e n

Publik

Swasta

Publik

Publik

3-5

P e n ye w a a an

Publik

Swasta

Publik

Publik dan swasta

8 - 15

K o n se s i

Publik

Swasta

Swasta

Swasta

25 - 30

BOA

Publik dan swasta

Swasta

Swasta

Swasta

20 - 30

D iv e s t as i

Publik atau Publik dan swasta

Swasta

Swasta

Swasta

1 -2

Tidak terhingga( perlu dibatasi dengan ijin )

Model PPP juga dapat menjadi alternatif untuk mendorong investasi karena ada kepastian pengembalian modal dan keuntungan bagi pihak swasta yang menanamkan modalnya. PPP tidak hanya visibel bagi proyek-proyek infrastruktur yang padat modal, tapi juga dapat diterapkan untuk berbagai jenis pemeliharaan fasilitas publik, seperti pemeliharaan jalan,

tempat

rekreasi,

dan

gedung-gedung

pemerintah.

Biaya

pemeliharaan fasilitas tersebut umumnya menjadi beban anggaran publik,

40

padahal biaya yang diperlukan cukup besar, sehingga melalui PPP, biaya tersebut dapat ditanggung bersama oleh pihak-pihak yang bermitra.

Dalam penelitian ini, kemitraan antara pemerintah dan swasta merupakan kerjasama konsesi, dimana PT. Shorea Barito Wisata ( SBW ) mendapatkan hak pengusahaan pariwisata alam ( PPA ) di TNBB selama 30 tahun sejak tahun 1998 yang dapat diperpanjang kembali. Untuk itu semua

pendanaan

dalam

pembangunan

sarana

prasarana

serta

pemeliharaan kelestarian alam serta perlindungan keamanan hutan menjadi tanggung jawab PT. SBW sepenuhnya. Dengan kemitraan ini, Departemen Kehutanan dapat membagi tanggung jawabnya dalam menjaga kelestarian hutan yang memerlukan biaya yang tidak sedikit, dan pihak swasta selain mendapatkan keuntungan juga dapat membantu menjalankan fungsi pelayanan publik.

2. Kebijakan Publik a. Teori Kebijakan Publik Secara Umum, istilah "Kebijakan" atau "Policy" dipergunakan untuk menunjukkan perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, ataupun suatu lembaga pemerintah atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Lembaga Administrasi Negara (1982 : 2), merumuskan pengertian kebijakan sebagai ketentuan-ketentuan yang harus dijadikan pedoman, pegangan atau petunjuk bagi setiap usaha dari aparatur pemerintah, sehingga tercapai kelancaran dan keterpaduan dalam mencapai tujuan. Mustopadidjaja dalam makalah Kebijakan Publik, Teori dan Aplikasi ( 2008 ) menyatakan bahwa ”kebijakan pubik adalah keputusan

yang

diambil

oleh

instansi

41

yang

berkewenangan,

dan

dimaksudkan untuk mengatasi masalah tertentu atau untuk mencapai tujuan tertentu, yang penting bagi kepentingan publik.” Thomas R. Dye ( 1998 : 2 ) mengatakan bahwa ” public policy is wahetever government choose to do or not to do.” Sedangkan menurut William N. Dunn (2003 : 109), kebijakan publik adalah serangkaian pilihan yang kurang lebih saling berhubungan (termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak) yang dibuat oleh badan atau pejabat pemerintah. Kebijakan publik sebagai keputusan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara tersebut ( LAN, 2005:106) : 1. merupakan kebijakan yang berupa pilihan bagi Pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. 2. bertujuan menghadapi situasi atau permasalahan tertentu yang bermakna "demi kepentingan publik", dalam rangka memperbaiki kualitas kehidupan dan penghidupan untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, aman, dan sejahtera. 3. memandu penyelenggaraan pelayanan publik yang dilaksanakan aparatur pemerintah; berdasarkan pada peraturan perundangundangan, yang dikeluarkan oleh lembaga negara yang berwenang 4. berdasarkan pada peraturan perundang – undangan yang dikeluarkan oleh lembaga negara yang berwenang. Sedangkan sistem kebijakan menurut Mustopadijaja ( 2005: 7 ) adalah : Tatanan kelembagaan yang berperan atau merupakan "wahana" dalam penyelenggaraan sebagian atau keseluruhan "proses kebijakan" (formulasi, implementasi, dan evaluasi kinerja kebijakan) yang mengakomodasikan kegiatan tehnis (technical process) maupun sosiopolitis (socio- political process) serta saling hubungan atau interaksi antar empat faktor dinamik yaitu (1) lingkungan kebijakan, (2) pembuat dan pelaksana kebijakan, (3) kebijakan itu sendiri, dan (4) kelompok sasaran kebijakan. Lingkungan kebijakan (policy environment) adalah keadaan

42

yang melatarbelakangi atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya "issues" kebijakan (policy issues), yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh para pelaku kebijakan dan oleh sesuatu kebijakan; (2) pembuat dan pelaksana kebijakan (policy maker and implementer), adalah orang atau sekelompok orang, atau organisasi yang mempunyai "peranan tertentu" dalam proses kebijakan, sebab mereka berada dalam posisi menentukan atau pun mempengaruhi baik dalam pembuatan kebijakan ataupun dalam tahap lainnya, seperti pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian atas hasil atau kinerja yang dicapai dalam perkembangan pelaksanaan kebijakan; (3) kebijakan itu sendiri (policy contents), adalah keputusan atas sejumlah pilihan yang kurang lebih berhubungan satu sama lain yang dimaksudkan untuk mencapai sejumlah tujuan tertentu; dan (4) kelompok sasaran kebijakan (target groups), adalah orang atau sekelompok orang, atau organisasi dalam masyarakat yang perilaku dan atau keadaannya ingin dipengaruhi oleh kebijakan bersangkutan" (Mustopadidjaja AR, 1988). Proses kebijakan publik dilakukan melalui beberapa tahapan ( LAN 2005:128): 1. Identifikasi permasalahan : mengemukakan tuntutan agar penguasa mengambil tindakan. 2. Menata agenda formulasi kebijakan ( agenda setting ) : memutuskan isu apa yang dipilih dan permasalahan apa yang hendak dikemukakan. 3. Perumusan proposal kebijakan : mengembangkan personal kebijakan untuk menangani permasalahan tersebut. 4. Legitimasi kebijakan : memilih satu buah proposal yang dinilai terbaik untuk kemudian mencari dukungan politik agar dapat diterima sebagai sebuah hukum. 5. Implementasi kebijakan ( merepresentasikan fungsi manajemen : actuating ) : mengorganisasi birokrasi dan menyediakan pelayanan serta pengumpulan pajak. 6.

Evaluasi kebijakan (merepresentasikan fungsi manajemen controliing ) : melakukan studi tentang program, melaporkan outputnya, mengevaluasi pengaruh dan kelompok sasaran serta memberikan rekomendasi serta penyempurnaan kebijakan.

43

Berdasarkan keterangan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah apa yang pemerintah memilih untuk lakukan atau tidak lakukan dan prosesnya terdiri dari tahap – tahap identifikasi masalah, agenda setting, perumusan proposal kebijakan, legitimasi kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan.

b. Evaluasi Kebijakan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara no Per / 15 / M.Pan / 7 / 2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi menyebutkan bahwa ”evaluasi adalah suatu kegiatan menilai hasil suatu kegiatan yang sedang atau sudah dilaksanakan. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui kesesuaian pelaksanaan kegiatan dengan tujuan yang telah ditetapkan. ” Hal ini berbeda dengan monitoring dimana monitoring dilakukan ketika sebuah kebijakan sedang diimplementasikan ( Subarsono, cetakan II 2006 : 113). Mustopadidjaja (2003 : 45 ) mengatakan bahwa ”evaluasi merupakan kegiatan pemberian nilai atas suatu fenomena, yang di dalamnya terkandung pertimbangan nilai ( value judgement tertentu ).” Fenomena yang dinilai adalah berbagai fenomena mengenai kebijakan, seperti tujuan dan sasaran kebijakan,kelompok sasaran yang ingin dipengaruhi, instrumen kebijakan yang dipergunakan, respons dari lingkungan kebijakan, kinerja yang dicapai, dampak yang terjadi dan lain – lain.

Sedangkan evaluasi kinerja kebijakan merupakan bagian

dari evaluasi kebijakan yang secara spesifik terfokus pada berbagai indikator kinerja yang terkait kebijakan dan rencana yang telah ditetapkan.

44

Esensi dari evaluasi menurut buku SANKRI ( LAN 2005 : 131 ) adalah untuk menyediakan umpan balik ( feedback ), yang mengarah pada hasil yang baik (successful outcomes ) menurut ukuran nyata dan obyektif. Pada hakekatnya, tujuan evaluasi adalah untuk perbaikan ( bila perlu, bukan dalam rangka pembuktian / to improve, not to prove ). Dua hal yang ingin diungkap melalui evaluasi adalah : (1) Keluaran kebijakan ( policy output ), yaitu apa yang dihasilkan dengan adanya perumusan kebijakan; ( 2 ) hasil / dampak kebijakan ( policy outcomes / consequences ), yaitu akibat dan konsekuensi yang ditimbulkan

dengan

diterbitkan

dan

diimplementasikannya

suatu

kebijakan. Secara umum, tujuan evaluasi menurut Mark, et.al. (2000:13) ada empat: a. Penilaian terhadap unggulan dan nilai (assessment of merit and worth),

yaitu

mengembangkan

penilaian-penilaian

yang

dapat

dipercaya, pada tingkat individu dan masyarakat, dari suatu kebijakan atau program. b. Penyempurnaan

program

dan

organisasi

(program

and

organizational improvement), yait u usaha untuk m enggunakan inform asi

yang

s ec ar a

langs ung

m emodif ik as i

dan

mendukung operasi program. c. Kekeliruan dan kesesuaian (oversight and compliance), penilaian terhadap perluasan dari program

seperti

status

perintah,

peraturan, aturan, mandat baku dan harapan formal lainnya. d. Pengembangan

pengetahuan

(knowledge

development),

pemeriksaan atau pengujian teori umum, proposisi hipotesis dalam

45

konteks kebijakan dan program. Langkah penting berikutnya adalah menentukan jenis atau

metode penelitian yang digunakan. Menurut Mark, et.al.

(2000:15) terdapat 4 jenis/metode penelitian dalam pelaksanaan evaluasi: 1.

Deskripsi, yaitu metode yang digunakan untuk mengukur atau

menggambarkan

kejadian-kejadian

atau

berbagai

pengalaman, seperti karakteristik klien, tingkat penyediaan pelayanan,

ketersediaan

sumberdaya,

atau

kemampuan

klien atas dasar berbagai variable outcome yang potensial yang dimiliki. ( 2008:116 ) mengatakan bahwa metode deskriptif lebih mengarah kepada tipe penelitian evaluasi proses ( process of public policy implementation ). 2.

Klasifikasi, mengelompokkan

yaitu

dan

metode

menyelidiki

yang

digunakan

struktur

utama

untuk dari

s e s u a t u d a t a a t a u b e n d a - b e n d a , s e p e r t i pengembangan atau penerapan dari suatu taksonomi subtipe-subtipe program. 3. Analisis sebab akibat (causal analysis), yaitu metode yang digunakan untuk menggali dan menguji hubungan sebab akibat (diantara pelayanan program dengan pemanfaatannya oleh klien misalnya) atau untuk mempelajari mekanisme melalui akibat-akibat yang terjadi. Widodo ( 2008:116 ) mengatakan bahwa evaluasi ini lebih mengarah kepada penelitian evaluasi dampak ( outcomes of public policy implementation ). 4.

Penyelidikan nilai-nilai (value inquiry), yaitu metode yang

46

digunakan alamiah,

untuk

membuat

mengidentifikasi

model

proses

nilai-nilai

yang

penilaian ada,

atau

memisahkan/menentukan posisi nilai dengan menggunakan analisis yang bersifat formal atau kritis. Sedangkan jenis- jenis evaluasi kinerja kebijakan menurut LAN (2005:131 ) dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori besar : 1. Evaluasi proses, meliputi: a) Evaluasi implementasi, memusatkan perhatian pada (1) upaya mengidenfifikasi

kesenjangan

yang ada antara hal-hal yang

telah direncanakan dan realita, ( 2 ) upaya menjaga agar kebijakan / program dan kegiatan-kegiatan sesuai dengan rancangan dan bila diperlukan dapat dilakukan modifikasi dalam rangka penyesuaian dan penyempurnaan. b) Evaluasi kemajuan, memfokuskan pada kegiatan pemantauan indikator

-

indikator

dari

kemajuan

pencapaian

tujuan

kebijakan. 2. Evaluasi hasil, dilakukan dalam rangka menetapkan tingkat pencapaian tujuan kebijakan. Termasuk di dalamnya analisis SWOT, dan rekomendasi untuk perbaikan di masa yang akan datang. Kedua jenis evaluasi tersebut perlu dilakukan untuk memastikan pencapaian tujuan kebijakan yang telah ditetapkan S ec a r a m et od o lo g is , ( 1 98 9: 5) m em be da k a n evaluasi dalam dua jenis, yaitu evaluasi formatif dan sumatif. Evaluasi formatif

biasanya

melihat

dan

47

meneliti

pelaksanaan

suatu

program, mencari umpan balik untuk memperbaiki pelaksanaan program

tersebut.

Sementara

evaluasi

sumatif

biasanya

dilakukan pada akhir program untuk mengukur apakah tujuan program tersebut tercapai. Sedangkan Herman, Morris dan Gibbon ( 1987: 26 ) membedakan evaluasi formatif dengan evaluasi sumatif menurut fokus tindakannya sebagai berikut : ....formative evaluations, which focus on providing information to planners and implementers on how to improve dan refine a developing or ongoing program; and summative evaluations, which seeks to asses the overal quality and impact of mature program for purpose of accountability and policy making.” (..... evaluasi formatif, yang memfokuskan pada pemberian informasi kepada perencana dan pelaksana mengenai bagaimana meningkatkan dan memperbaiki suatu program yang sedang dikembangkan atau berlangsung; dan evaluasi sumatif yang berusaha menilai kualitas dan dampak keseluruhan dari program yang matang untuk tujuan pertanggung jawaban dan pembuatan kebijakan ). Perbedaan yang lebih jelas antara keduanya dapat ilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2. Perbandingan antara Evaluasi Formatif dan Evaluasi Sumatif Evaluasi Formatif

Evaluasi Sumatif

Penggunaan Utama

  

Pengembang program Manager program Pelaksana Program

  

Tekanan utama dalam pengumpulan data

  

 Peran utama pengembang dan pelaksana

Klarifikasi Tujuan Kematangan program, proses atau implementasi Klarifikasi persoalan dalam implementasi dan kemajuan terkait outcome Analisa level mikro dari implementasi dan outcome Kolaborator

 

Pengambil kebijakan Pemerhati / peminat Penyandan g dana Dokumentasi outcome Dokumentasi implementasi

Penyedia

48

program Peran utama evaluator Metodologi tipikal

data Independen

Interaktif Kualitatif dan kuantitatif, dengan penekanan pada metode kualitatif

Frekuensi pengambilan data Mekanisme utama pelaporan Frekuensi pelaporan Penekanan pelaporan

Selama proses monitoring

Diskusi atau interaksi dalam pertemuan informal Selama proses berlangsung    

Kredibilitas yang diper syaratkan

  

Hubungan antara elemen proses level mikro Hubungan konteks & proses Hubungan proses& outcome Implikasi terhadap pelaksanaan program & perubahan yang spesifik dalam operasi. Memahami program Adanya hubungan dengan pengembang atau pelaksana Advokasi atau rasa percaya

Kuantitatif, kadang diperkaya dengan kualitatif Terbatas

Laporan formal Pada akhir proses  Hubungan dalam konteks makro dari proses dan outcomes.  Implikasi terhaap kebijakan, kontrol administrasi dan manajemen.  Aturan ilmiah yang ketat  Kenetralan

Sumber : Herman, Morris & Gibbon ( 1987:26)

Weis ( 1972:2526 ) seperti yang dikatakan oleh Widodo ( 2008:124 ) menjabarkan bahwa terdapat beberapa tahap dalam evaluasi kebijakan: 1. Formulating the program goals that the evaluation will use as criteria. 2. Choosing among multiple goals. 3. Investigating unanticipated consequences. 4. Measuring outcomes. 5. Specifying what the program is 6. Measuring program inputs and intervening processes. 7. Collecting the necessary data. Dengan mengacu pada uraian sebelumnya maka menurut Widodo (2008:125) untuk melakukan evaluasi kebijakan, program dan kegiatan terdapat beberapa tahap yang harus dilakukan : a. Mengidentifikasi apa yang menjadi tujuan kebijakan, program dan

49

kegiatan. b. Penjabaran tujuan kebijakan, program dan kegiatan ke dalam kriteria atau indikator pencapaian tujuan. c.

Pengukuran indikator pencapaian tujuan kebijakan program.

d. Berdasarkan indikator pencapaian

tujuan kebijakan program tadi,

data dicari di lapangan. e. Hasil data yang diperoleh dari lapangan diolah dan dikomparasi dengan kriteria pencapaian tujuan. Sedangkan kriteria / indikator evaluasi menurut Dunn ( 2000 :61) sebagai berikut Tabel 3. Indikator Evaluasi Kebijakan menurut Dunn Tipe kriteria

Pertanyaan

1. Efektivitas

Apakah hasil yang diinginkan telah dicapai

2. Efisiensi

Seberapa banyak usaha diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan

3. Kecukupan

Seberapa jauh pencapaian hasil yang diinginkan memecahkan masalah

4. Pemerataan

Apakah biaya dan manfaat didistribusikan dengan merata kepada kelompok yang berbeda

5. Responsivitas

Apakah hasil kebijakan memuaskan kebutuhan, preferensi atau nilai kelompok tertentu

6. Ketepatan

Apakah hasil ( tujuan ) yang diinginkan benar – benar berguna atau bernilai ?

Berdasarkan tingkat keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan kebijakan, disusun rekomendasi kebijakan berkaitan dengan masa depan kebijakan

publik

yang

sedang

dievaluasi. Alternatif

rekomendasi

kebijakan tentang nasib kebijakan publik meliputi beberapa hal yaitu apakah kebijakan program tersebut : (1) perlu diteruskan, (2) perlu

50

diteruskan dengan perbaikan, (3) perlu direplikasikan di tempat lain atau memperluas berlakunya royek, (4) harus dihentikan. Setidaknya. ada delapan faktor yang diidentifikasi Anderson yang

menyebabkan

k eb i j ak an

t id ak

m er ai h

d am pa k

ya n g

di i n g in ka n ( Winarno, 2005 : 179 ), yaitu: 1. Sumber-sumber yang tidak memadai. Banyak program pembangunan di negara berkembang yang tersendat-sendat

dalam

pelak sanaannya

at au

dihent ik an

karena sum ber yang dibut uhkan unt uk menunjang program tersebut tidak mencukupi. Faktor uang menjadi salah satu yang paling

krusial

dalam

menentukan

tingkat

keberhasilan

suatu

kebijakan. 2. Cara-cara yang digunakan untuk melaksanakan kebijakan. Kebijakan landreform di Indonesia atau negara berkembang l a i n n ya merupakan manifestasi dari strategi pembangunan di bidang

pertanian,

namun

dalam

pelaksanaannya

berjalan

sangat lamban sehingga dampak yang diharapkan dari program itu sangat terbatas. 3.

Masalah

publik

sementara

seringkali

kebijakan

disebabkan

yang

ada

oleh

ditujukan

banyak

faktor,

hanya

kepada

penanggulangan dari satu atau beberapa masalah. 4. Cara orang

menanggapi atau

menyesuaikan

diri

terhadap

kebijakan publik yang justru m en i ad ak a n d am pa k k eb i j ak a n ya n g d i i ng i nk a n, m i s a l n ya : pr og r a m pe ng e nd a l ia n produksi pertanian yang didasarkan pembatasan - pembatasan luas tanah.

51

5. Tujuan kebijakan yang tidak sebanding dan bertentangan satu sama lain, misalnya: pembangunan jalan raya antar kota tidak konsisten dengan pengembangan jalan kereta api sebagai sarana transportasi yang murah dan aman. 6. Biaya yang dikeluarkan untuk menyelesaikan masalah jauh lebih besar dibandingkan dengan masalah tersebut, misalnya : upaya penanggu-langan pencemaran lingkungan yang menelan biaya milyaran dollar Amerika. 7. Banyak masalah publik yang tidak mungkin dapat diselesaikan, misalnya

banyak

anak

yang

tidak

dapat

sekolah

negeri,

sekalipun perbaikan-perbaikan dan perubahan kurikulum telah banyak dilakukan. 8. Menyangkut sifat masalah yang akan dipecahkan oleh suatu tindakan

kebijakan.

Suatu

masalah,

kemungkinkan

telah

b e r k e m b a n g d a n m e n g a l a m i p e r u b a h a n s e m e n t ar a kebijakan yang digunakan untuk memecahkan masalah tersebut sedang dikembangkan atau diterapkan Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi kebijakan adalah kegiatan menilai hasil suatu kegiatan yang sedang atau sudah dilaksanakan. Evaluasi bertujuan untuk memperbaiki ( to improve ) dan bukan membuktikan ( to prove ) dengan memberikan umpan balik. Pada penelitian ini, dilakukan evaluasi formatif untuk menilai kebijakan

kemitraan

dalam

pengusahaan

pariwisata

alam

Taman

Nasional Bali Barat dengan studi kasus PT. Shorea Barito Wisata dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

52

3. Pembangunan Berkelanjutan a. Teori Pembangunan Berkelanjutan Isu lingkungan hidup dan pembangunan menjadi agenda penting masyarakat internasional di forum regional dan multilateral sejak tahun 1972 setelah pelaksanaan konperensi internasional mengenai “Human Environment”

di

Stockholm,

Swedia.

Pengertian

pembangunan

berkelanjutan, pertama kali muncul dalam seperti yang dijelaskan dalam dokumen Our Common Future, atau Brundtland Report yang dikeluarkan oleh World Commission on Environment and Development ( WECD ) di tahun 1987, sebagai berikut : Sustainable development is development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs. ( Pembangunan akan memungkinkan generasi sekarang meningkatkan kesejahteraannya, tanpa mengurangi kemungkinan bagi generasi masa depan untuk meningkatkan kesejahteraannya ) It contains within it two key concepts: • the concept of needs, in particular the essential needs of the world's poor, to which overriding priority should be given; and o the idea of limitations imposed by the state of technology and social organization on the environment's ability to meet present and future needs." Setelah KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brazil tahun 1992 masyarakat internasional menilai bahwa perlindungan lingkungan hidup menjadi tanggung jawab bersama dan perlindungan lingkungan hidup tidak

53

terlepas dari aspek pembangunan ekonomi dan sosial. KTT Bumi 1992 telah menghasilkan Deklarasi Rio, Agenda 21, Forests Principles dan Konvensi Perubahan Iklim dan Keaneka-ragaman Hayati ( biodiversity ). Untuk pertama kalinya peranan aktor non pemerintah yang tergabung di dalam “major groups” 5 mendapat pengakuan dan sejak saat itu peranan mereka di dalam menjamin keberhasilan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan secara efektif tidak dapat diabaikan. KTT Bumi juga menghasilkan Konsep Pembangunan Berkelanjutan yang mengandung 3 pilar

utama

yang

saling

terkait

dan

saling

menunjang

yakni

pembangunan ekonomi, sosial pembangunan dan pelestarian lingkungan hidup yang juga menjadi landasan bagi penelitian ini. Ada persepsi bahwa pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang menyangkut lingkungan hidup, padahal sebenarnya istilah ”berkelanjutan´mencakup segala bidang, dan lingkungan hidup hanya salah satunya. Istilah Pembangunan berkelanjutan pertama kali muncul dalam World Conservation Strategy dari the International Union for the Conservation of Nature (1980), kemudian menjadi sangat popular melalui laporan Bruntland, Our Common Future (1987). Sedangkan menurut Sumarwoto ( 2006 ) ( Sugandhy, Hakim, 2007:21 ),

pembangunan berkelanjutan adalah :

Perubahan positif sosial ekonomi yang tidak mengabaikan sistem ekologi dan sosial di mana masyarakat bergantung kepadanya. Keberhasilan penerapannya memerlukan kebijakan, perencanaan dan proses pembelajaran sosial yang terpadu, viabilitas politiknya tergantung pada dukungan penuh masyarakat melalui pemerintahannya, kelembagaan sosialnya, dan kegiatan usahanya. Secara implisit, definisi tersebut menurut Hegley, Jr. 1992 mengandung pengertian strategi imperatif bagi pembangunan berkelanjutan sebagai

54

berikut. a. Berorientasi untuk pertumbuhan yang mendukung secara nyata tujuan ekologi, sosial, dan ekonomi. b. Memperhatikan batas-batas ekologis dalam konsumsi materi dan memperkuat pembangunan kualitatif pada tingkat masyarakat dan individu dengan distribusi yang adil. c. Perlunya campur tangan pemerintah, dukungan, dan kerja sama dunia usaha dalam upaya konservasi dan pemanfaatan yang berbasis sumber daya. d. Perlunya keterpaduan kebijakan dan koordinasi pada semua tingkat dan antara yurisdiksi politik terkait dalam pengembangan energi bagi pertumbuhan kebutuhan hidup. e. Bergantung pada pendidikan, perencanaan, dan proses politik yang terinformasikan, terbuka, dan adil dalam pengembangan teknologi dan manajemen. f.

Mengintegrasikan biaya sosial dan biaya lingkungan dari dampak pembangunan ke dalam perhitungan ekonomi. Sedangkan Daniel M (2003) ( Kartawijaya, 2008 ) menyatakan

bahwa pada pembangunan berkelanjutan yang berorientasi pada kepentingan ekonomi dan kepentingan lingkungan, terdapat 3 (tiga) pilar tujuan yaitu : (1) pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan, stabilitas dan efisiensi. (2) Pembangunan sosial yang bertujuan

pengentasan

pemberdayaan

kemiskinan,

masyarakat.

(3)

pengakuan

Pembangunan

jati

diri

lingkungan

dan yang

berorientasi pada perbaikan lingkungan lokal seperti sanitasi lingkungan,

55

industri yang lebih bersih dan rendah emisi, dan kelestarian sumberdaya alam.

Gambar 1 . Tiga Pilar Pembangunan Berkelanjutan

EKONOM

Efisiensi Stabilitas

I

Pertumbuhan

Keadilan dalam generasi

Valuasi Internalisasi

pemberdaya

LINGKUNGA

SOSIAL

N Kemiskinan Pengakuan jati diri

Keadilan generasi Partisipasi masyarakat

Antar

Pemberdayaan

Sanitasi Lingkungan Industri bersih SDA Keanekaragaman

Sumber : Askarz 2003

hayati

b. Kebijakan Terkait Pembangunan Berkelanjutan Istilah Pembangunan Berkelanjutan” secara resmi dipergunakan dalam Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN. Dalam buku Agenda 21-Indonesia (1997:iii) dijelaskan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan sudah dibahas pada Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (the United Nations Conference on Environmental Development –UNCED ) yang diselenggarakan bulan Juni 1992 di Rio de Janeiro, Brasil, atau yang dikenal dengan KTT Bumi

56

( Earth Summit ). Selama dua tahun,

lndonesia secara aktif

berpartisipasi dafarn proses persiapan konferensi tersebut (UNCED), dalam perumusan dan penyusunan dokumen Agenda 21 Global, yang berisikan program aksi menuju pembangunan berkelanjutan untuk abad ke

21.

Menindaklanjuti

Lingkungan

Hidup,

Agenda

dengan

tersebut,

bantuan

Kementerian

UNDP

pada

Negara

Maret

1997

mengeluarkan dokumen Agenda 21- lndonesia yang merupakan strategi nasional menuju pembangunan berkelanjutan di abad 21 agar kualitas

hidup munusia terus meningkat dan pembangunan tetap berlanjut, dan terdiri dari 4 program utama yaitu (1) aspek sosial ekonomi ( contoh : penanggulangan kemiskinan, kependudukan, pendidikan, kesehatan ), (2) konservasi dan pengelolaan sumber daya alam, (3) penguatan kelompok utama dalam masyarakat ( contoh: masyarakat adat, pemda, pekerja,

kalangan

industri),

(4)

pengembangan

sarana

untuk

pelaksanaan seperti pembiayaan, alih teknologi, kerjasama nasionalinternasional. Agenda 21-Indonesia Sektoral

(

yaitu

energy,

dijabarkan ke dalam Agenda 21

kehutanan,

pariwisata,

pemukiman

dan

pertambangan ) yang merupakan advisory document bagi stakeholder dalam menyusun dan melaksanakan pembangunan sektor. Sejak Agenda 21 diperkenalkan pada tahun 1997, pemerintah Indonesia

mempunyai

mensosialisasikan

tanggungan

agenda

21,

untuk

strategi

menyampaikan

rencana

nasional

dan dalam

menghadapi abad 21 melalui PROPENAS (Program Pembangunan Nasional

)

oleh

Bappenas.

PROPENAS

2001-2004

tentang

pembangunan berkelanjutan, terutama pembangunan ekonomi, dilakukan

57

berdasarkan kapasitas yang tersedia dari sumber daya alam, lingkungan dan karakter sosial. Pada masa lalu, aktifitas pembangunan aktifitas pembangunan dimana terfokus

pada pertumbuhan mengakibatkan

dampak negatif dan meyebabkan penurunan kondisi ekologi dan deplesi sumber daya alam. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya alam nasional dan lingkungan di masa mendatang harus didasarkan pada aspek penting pada produksi dan ruang aktifitas untuk konservasi dan kesehatan lingkungan. Sedangkan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,

mendeskripsikan

mengenai

pembangunan

berkelanjutan

berwawasan lingkungan hidup yaitu : Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup ialah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya, kedalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Terkait dengan pengelolaan Taman nasional yang sebagian besar lahannya berupa hutan, maka perlu dipahami pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Dalam Agenda 21- Indonesia (1997:411) dijelaskan bahwa menurut

Organisasi Perdagangan Kayu Tropis lnternasional ( ITTO ),

"Pengelolaan hutan secara berkelanjutan

adalah

proses mengelola

lahan hujan permanen untuk mencapai satu atau beberapa tujuan, yang dikaitkan dengan produksi hasil dan

jasa hutan secara terus rnenerus

dengan mengurangi dampak Iingkungan fisik dan sosial yang tidak dinginkan.” Sedangkan Lembaga Ekolabel Indonesia mendefinsikan bahwa

Pengelolaan

hutan

berkelanjutan

adalah

“berbagai

bentuk

pengelolaan hutan yang memiliki sifat ‘hasil yang lestari’ ditunjukkan oleh

58

terjaminnya keberlangsungan fungsi produksi hutan, fungsi ekologis lahan dan fungsi sosial, ekonomi, budaya hutan bagi masyarakat lokal”. Mempertimbangkan definisi-definisi tersebut, tujuan umum Agenda 21lndonesia sektor kehutanan secara ringkas adalah upaya rnengembalikan dan rnempertahankan fungsi ekonomi ekologis dan sosial-budaya hutan. Berdasarkan definisi tersebut, maka Agenda 21- Indonesia sektor kehutanan mengajukan lima bidang program yaitu (1) Mengembangkan dan Memelihara Produksi Hutan Terpadu secara Berkelanjutan (2) Meningkatkan Regenerasi, Rehabiitasi dan Perlindungan Hutan, (3) Memperkuat Peraturan dan Penegakan Hukum bagi Pengelolaan Hutan Berkelanjutan, (4) Mempertahankan dan Meningkatkan Peran serta Kesejahteraan Masyarakat Penghuni Hutan, (5)

Mernbangun dan

Mernperkuat Penelitian serta Kernampuan dalam Bidang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan. Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa pembangunan berkelanjutan mencakup semua bidang kehidupan dan memungkinkan generasi

sekarang

meningkatkan

kesejahteraannya,

tanpa

mengurangi kemungkinan bagi generasi mendatang untuk meningkatkan kesejahteraannya. Hal ini diperjelas didalam RPJMN 2004 – 2009 dengan tiga pilar pembangunan nasional, yaitu economy viable, socially acceptable instrumen

dan environmental sound yang dijabarkan dalam berbagai kebijakan.

Dalam

kaitan

dengan

penelitian

ini,

maka

pengembangan pariwisatapun harus diarahkan kepada pengembangan pariwisata berkelanjutan ( sustainable lingkungan.

59

tourism ), yang berwawasan

c. Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan dan Ekowisata E. Guyer Freuler dalam Yoeti (1996: 115) menyatakan: Pariwisata dalam artian modern adalah merupakan phenomena dari jaman sekarang yang didasarkan di atas kebutuhan akan kesehatan dan pergantian hawa, penilaian yang sada dan menumbuhkan (cinta) terhadap keindahan alam dan pada khususnya disebabkan oleh bertambahnya pergaulan berbagai bangsa dan kelas masyarakat manusia sebagai hasil daripada perkembangan perniagaan, industri, perdagangan serta penyempurnaan daripada alat-alat pengangkutan. Dari sasaran dalam RPJM 2004 – 2009 telah ditetapkan juga sasaran pembangunan kepariwisataan nasional seperti yang termuat dalam dokumen Rencana Strategis Pembangunan Kebudayaan dan Kepariwisataan Nasional 2005 – 2009 yaitu : 1) Terwujudnya pariwisata nusantara yang dapat mendorong cinta tanah air. 2) Meningkatnya pemerataan dan keseimbangan pengembangan destinasi pariwisata yang sesuai dengan potensi masing-masing daerah. 3) Meningkatnya kontribusi pariwisata dalam perekonomian nasional. 4) Meningkatnya produk pariwisata yang memiliki keunggulan kompetitif. 5) Meningkatnya pelestarian lingkungan hidup dan pemberdayaan masyarakat. The International Ecotourism Society dalam Fact Sheet: Ecotourism



Updated

(http://www.ecotourism.org)

edition,

mendefinisikan

September Pariwisata

Global 2006

Berkelanjutan

sebagai “Tourism that meets the needs of present tourist and host regions while protecting and enhancing opportunities for the future.” Damanik dan Weber ( 2006 :26 ) menjelaskan bahwa konsep pariwisata berkelanjutan dikembangkan dari ide dasar pembangunan berkelanjutan

yaitu

kelestarian

sumber

daya

alam

dan

budaya.

pembangunan sumberdaya (atraksi, aksesibilitas, amenitas) pariwisata yang bertujuan untuk memberikan keuntungan optimal bagi pemangku

60

kepentingan (stakeholders) dan nilai kepuasan optimal bagi wisatawan dalam jangka panjang. Jadi bila yang

ingin dikembangkan adalah

infrastruktur pariwisata, ia harus memberikan keuntungan jangka panjang bagi semua pelaku wisata. Di sini kualitas jasa dan layanan yang dihasilkan dalam pengembangan tersebut harus terjamin supaya wisatawan yang menggunakannya dapat memperoleh kepuasan yang optimal. Jadi pariwisata hanya dapat bertahan lama atau berkelanjutan jika ia memberikan kepuasan bagi wisatawan dalam jangka panjang dalam bentuk pengalaman yang lengkap ( total experience ). Kepuasan inilah yang merupakan komoditas dan ditukarkan dalam bentuk keuntungan bagi pemangku kepentingan. Selain itu pariwisata berkelanjutan berkembang karena pariwisata konvensional cenderung mengancam kelestarian sumberdaya pariwisata itu sendiri. Tidak sedikit resort-resort eksklusif dibangun dengan mengabaikan daya-dukung ( carrying capacity ) fisik dan sosial setempat. Jika hal itu terus berlangsung maka kelestarian ODTW ( Obyek Daerah Tujuan Wisata ) akan terancam dan pariwisata dengan sendirinya tidak akan dapat berkembang lebih lanjut. Padahal permintaan pasar juga sudah

bergeser

ke

produk

wisata

yang

mengedepankan

faktor

lingkungan dan sosial budaya sebagai daya tarik utama, sekaligus sebagai keunggulan komparatif suatu produk. Damanik dan Weber ( 2006 : 38 ) mengatakan dalam Deklarasi Quebec bahwa salah satu bentuk wisata yang mengadopsi prinsip pariwisata berkelanjutan adalah ekowisata yang prakteknya terlihat dalam bentuk kegiatan wisata yang :

61

1)

Secara aktif menyumbang kegiatan konservasi alam dan budaya.

2)

Melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan, pengembangan dan pengelolaan wisata serta memberikan sumbangan positif terhadap kesejahteraan mereka

3)

Dilakukan dalam bentuk wisata independen atau diorganisir dalam bentuk kelompok kecil ( UNEP, 2000; Heher, 2003 ). Damanik dan Weber ( 2006 : 37 ) menyatakan bahwa dari definisi ini

ekowisata dapat dilihat dari tiga perspektif, yakni: 1. ekowisata sebagai produk, dimana ekowisata merupakan semua atraksi yang berbasis pada sumberdaya alam. 2.

ekowisata sebagai pasar, merupakan perjalanan yang diarahkan pada upaya-upaya pelestarian lingkungan

3. ekowisata sebagai pendekatan pengembangan., yang merupakan metode pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya pariwisata secara ramah lingkungan. From( 2004 ), menurut Damanik dan Weber ( 2006 : 40 ) mendefinisikan ekowisata sebagai : ‘Eco-tourism is outdoor travel, in natural setting, that causes no major harm to the natural environment in which that travel takes place’. ( ekowisata adalah perjalanan luar ruang, dalam lingkungan alami, yang tidak menyebabkan kerusakan lingkungan alam dimana perjalanan itu berlangsung. Dari definisi di atas, dapat diidentifikasikan beberapa prinsip ekowisata ( TIES 2000 ) seperti disebutkan oleh Damanik dan Weber ( 2006: 39 - 40) : 1. Mengurangi dampak negatif berupa kerusakan atau pencemaran lingkungan dan budaya lokal akibat kegiatan wisata. 2. Membangun kesadaran dan penghargaan atas lingkungan dan budaya di destinasi wisata, baik pada diri wisawatan, masyarakat lokal dan pelaku wisata lainnya.

62

3. Menawarkan pengalaman – pengalaman positif bagi wisatawan dan masyarakat lokal melalui kontak budaya yang lebih intensif dan kerjasama dalam pemeliharaan atau konservasi ODTW. 4. Memberikan keuntungan finansial secara langsung bagi keperluan konservasi melalui kontribusi atau pengeluaran ekstra wisatawan. 5. Memberikan keuntungan finasial dan pemberdayaan bagi masyarakat lokal dengan menciptakan produk wisata yang mengedepankan nilai – nilai lokal. 6. Meningkatkan kepekaan terhadap situasi sosial, lingkungan, dan politik di daerah tujuan wisata. 7. Menghormati hak asasi manusia dan perjanjian kerja dalam arti memberi kebebasan kepada wisatawan dan masyarakat lokal untuk menikmati atraksi wisata sebgai wujud hak azasi, serta tunduk pada aturan main yang adil dan disepakati bersama dalam transaksi wisata. Departemen Kehutanan ( http://www.ekowisata.info ) mendeskripsikan ekowisata dengan Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (ODTWA), antara lain berupa keanekaragaman hayati, keunikan dan keaslian budaya tradisional, keindahan bentang alam, gejala alam, peninggalan sejarah / budaya yang secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat. Strategi pengembangan ODTWA meliputi pengembangan :

a. Aspek Perencanaan Pembangunan ODTWA yang antara lain mencakup sistem perencanaan kawasan, penataan ruang (tata ruang wilayah), standarisasi, identifikasi potensi, koordinasi lintas sektoral, pendanaan, dan sistem informasi ODTWA.

b. Aspek Kelembagaan meliputi pemanfaatan dan peningkatan kapasitas institusi, sebagai mekanisme yang dapat mengatur berbagai kepentingan, secara operasional merupakan organisasi dengan SDM dan PP

yang sesuai dan memiliki efisiensi tinggi.

c. Aspek Sarana dan Prasarana yang memiliki dua kepentingan, yaitu (1) alat memenuhi kebutuhan pariwisata alam, (2) sebagai pengendalian 63

dalam rangka memelihara keseimbangan lingkungan, pembangunan sarana dan prasarana dapat meningkatkan daya dukung sehingga upaya pemanfaatan dapat dilakukan secara optimal.

d. Aspek Pengelolaan, dengan mengembangkan profesionalisme dan pola pengelolaan ODTWA yang siap mendukung kegiatan pariwisata alam dan mampu memanfaatkan potensi ODTWA secara lestari.

e.

Aspek Pengusahaan yang memberi kesempatan dan mengatur pemanfaatan ODTWA untuk tujuan pariwisata yang bersifat komersial kepada pihak ketiga dan membuka lapangan kerja bagi masyarakat setempat.

f. Aspek Pemasaran dengan mempergunakan teknologi tinggi dan bekerja sama dengan berbagai pihak baik dalam negeri maupun luar negeri.

g. Aspek Peran Serta Masyarakat melalui kesempatan-kesempatan usaha sehingga ikut membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

h.

Aspek Penelitian dan Pengembangan yang meliputi aspek fisik lingkungan, dan sosial ekonomi dari ODTWA. Diharapkan nantinya mampu

menyediakan

informasi

bagi

pengembangan

dan

pembangunan kawasan, kebijaksanaan dan arahan pemanfaatan ODTWA.

64

Sedangkan Prinsip dan Kriteria Ekowisata menurut Garis Besar Pedoman Pengembangan Ekowisata Indonesia Direktorat Jenderal Departemen Pariwisata, Seni dan Budaya,1999 adalah sebagai berikut :

Tabel 4: Prinsip dan Kriteria Ekowisata

PRINSIP EKOWISATA 1. Memiliki kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan alam dan budaya, melaksanakan kaidah-kaidah usaha yang bertanggung jawab dan ekonomi berkelanjutan.

KRITERIA EKOWISATA •







• • •

2. Pengembangan harus mengikuti kaidah-kaidah ekologis dan atas dasar musyawarah dan pemufakatan masyarakat setempat.

Memperhatikan kualitas daya dukung lingkungan kawasan tujuan, melalui pelaksanaan sistem pemintakatan (zonasi). Mengelola jumlah pengunjung, sarana dan fasilitas sesuai dengan daya dukung lingkungan daerah tujuan. Meningkatkan kesadaran dan apresiasi para pelaku terhadap lingkungan alam dan budaya. Memanfaatkan sumber daya lokal secara lestari dalam penyelenggaraan kegiatan ekowisata. Meminimumkan dampak negatif yang ditimbulkan, dan bersifat ramah lingkungan. Mengelola usaha secara sehat. Menekan tingkat kebocoran pendapatan (leakage) serendah-rendahnya.



Meningkatkan setempat.



Melakukan penelitian dan perencanaan terpadu dalam pengembangan ekowisata. Membangun hubungan kemitraan dengan masyarakat setempat dalam proses perencanaan dan pengelolaan ekowisata. Menggugah prakarsa dan aspirasi masyarakat setempat untuk pengembangan ekowisata. Memberi kebebasan kepada masyarakat untuk bisa menerima atau menolak pengembangan ekowisata. Menginformasikan secara jelas dan benar konsep dan tujuan pengembangan kawasan









65

pendapatan

masyarakat

tersebut kepada masyarakat setempat.

3. Memberikan manfaat kepada masyarakat setempat.



Membuka kesempatan untuk melakukan dialog dengan seluruh pihak yang terlibat (multi-stakeholders) dalam proses perencanaan dan pengelolaan ekowisata.



Membuka kesempatan keapda masyarakat setempat untuk membuka usaha ekowisata dan menjadi pelaku-pelaku ekonomi kegiatan ekowisata baik secara aktif maupun pasif. Memberdayakan masyarakat dalam upaya peningkatan usaha ekowisata untuk meningkatkan kesejahtraan penduduk setempat. Meningkatkan ketrampilan masyarakat setempat dalam bidang-bidang yang berkaitan dan menunjang pengembangan ekowisata.





4. Peka dan menghormati nilainilai sosial budaya dan tradisi keagamaan masyarakat setempat.



Menekan tingkat kebocoran pendapatan (leakage) serendah-rendahnya.



Menetapkan kode etik ekowisata bagi wisatawan, pengelola dan pelaku usaha ekowisata. Melibatkan masyarakat setempat dan pihakpihak lainya (multi-stakeholders) dalam penyusunan kode etik wisatawan, pengelola dan pelaku usaha ekowisata. Melakukan pendekatan, meminta saransaran dan mencari masukan dari tokoh/pemuka masyarakat setempat pada tingkat paling awal sebelum memulai langkah-langkah dalam proses pengembangan ekowisata.





5. Memperhatikan perjanjian, peraturan, perundangundangan baik ditingkat



Melakukan penelitian dan pengenalan aspek-aspek sosial budaya masyarakat setempat sebagai bagian terpadu dalam proses perencanaan dan pengelolaan ekowisata.



Memperhatikan dan melaksanakan secara konsisten: Dokumen-dokumen Internasional yang mengikat (Agenda 21, Habitat Agenda,

66

nasional internasional.

maupun







Sustainable Tourism, Bali Declaration dsb.). GBHN Pariwisata Berkelanjutan, Undangundang dan peraturan-peraturan yang berlaku. Menyusun peraturan-peraturan baru yang diperlukan dan memperbaiki dan menyempurnakan peraturan-peraturan lainnya yang telah ada sehingga secara keseluruhan membentuk sistem per-UU-an dan sistem hukum yang konsisten. Memberlakukan peraturan yang berlaku dan memberikan sangsi atas pelanggarannya secara konsekuen sesuai dengan ketentuan yang berlaku (law enforcement). Membentuk kerja sama dengan masyarakat setempat untuk melakukan pengawasan dan pencegahan terhadap dilanggarnya peraturan yang berlaku.

c. Pengembangan ekowisata Indonesia di Taman Nasional dan Taman Wisata Alam Menurut Undang Undang no 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya disebutkan bahwa sumber daya alam hayati adalah unsur – unsur hayati di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati ( tumbuhan ) dan sumber daya alam hewani. Sedangkan konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Dalam Undang – Undang tersebut juga dijelaskan bahwa Taman Nasional adalah ”kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian,

ilmu

pengetahuan,

pendidikan,

67

menunjang

budidaya,

pariwisata, dan rekreasi” Sedangkan Taman Hutan Raya adalah ”kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan

bagi

kepentingan

penelitian,

ilmu

pengetahuan,

pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi.” Taman wisata alam adalah ”kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam.” Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan : a. perlindungan sistem penyangga kehidupan; b. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistem c. pemanfaatan secara lestari sumber daya alami hayati dan ekosistemnya. Dijabarkan lebih lanjut oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Kerusakan Keaneka-ragaman Hayati, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, 2001

( http://www. ekowisata.info/), dalam pengembangan ekowisata

perlu diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. Konservasi o Pemanfaatan keanekaragaman hayati tidak merusak sumber daya alam itu sendiri. o Relatif tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan kegiatannya bersifat ramah lingkungan. o Dapat dijadikan sumber dana yang besar untuk membiayai pembangunan konservasi. o Dapat memanfaatkan sumber daya lokal secara lestari. o Meningkatkan daya dorong yang sangat besar bagi pihak swasta untuk berperan serta dalam program konservasi. o Mendukung upaya pengawetan jenis tumbuhan langka. 2. Pendidikan Meningkatkan kesadaran masyarakat dan merubah perilaku masyarakat tentang perlunya upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. 68

3. Ekonomi o Dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi pengelola kawasan, penyelenggara ekowisata dan masyarakat setempat. o Dapat memacu pembangunan wilayah, baik di tingkat lokal, regional o Dapat menjamin kesinambungan usaha. o Dampak ekonomi secara luas juga harus dirasakan oleh kabupaten/kota, propinsi bahkan nasional. 4. Peran Aktif Masyarakat o Membangun hubungan kemitraan dengan masyarakat setempat o Pelibatan masyarakat sekitar kawasan sejak proses perencanaan hingga tahap pelaksanaan serta monitoring dan evaluasi. o Menggugah prakarsa dan aspirasi masyarakat setempat untuk pengembangan ekowisata. o Memperhatikan kearifan tradisional dan kekhasan daerah setempat agar tidak terjadi benturan kepentingan dengan kondisi sosial budaya setempat. o Menyediakan peluang usaha dan kesempatan kerja semaksimal mungkin bagi masyarakat sekitar kawasan. 5. Wisata o Menyediakan informasi yang akurat tentang potensi kawasan bagi pengunjung. o Kesempatan menikmati pengalaman wisata dalam lokasi yang mempunyai fungsi konservasi. o Memahami etika berwisata dan ikut berpartisipasi dalam pelestarian lingkungan. Sedangkan dalam rangka pengendalian kerusakan keanekaragaman hayati terdapat beberapa aspek yang harus diperhatikan, antara lain: 1. Aspek Pencegahan a. Mengurangi dampak negatif dari kegiatan ekowisata dengan cara: o Pemilihan lokasi yang tepat (menggunakan pendekatan tata ruang) o Rancangan pengembangan lokasi yang sesuai dengan daya dukung dan daya tampung. o Rancangan atraksi/kegiatan yang sesuai denan daya dukung kawasan dan kerentanan. b. Merubah sikap dan perilaku stakeholder, mulai dari pengelola kawasan, penyelenggara ekoturisme (tour operator) serta wisatawan itu sendiri. c. Memilih Segmen Pasar yang sesuai. 2. Aspek Penanggulangan

69

a.

Menyeleksi pengunjung termasuk jumlah pengunjung yang diperkenankan dan minat kegiatan yang diperkenankan (control of visitor). b. Menentukan waktu kunjungan c. Mengembangkan pengelolaan kawasan (rancangan, peruntukan, penyediaan fasilitas) melalui pengembangan sumber daya manusia, peningkatan nilai estitika serta kemudahan akses kepada fasilitas. 3. Aspek Pemulihan a. Menjamin mekanisme pengembalian keuntungan ekowisata untuk pemeliharaan fasilitas dan rehabilitasi kerusakan lingkungan. b. Peningkatan kesadaran pengunjung, pengelola dan penyedia jasa ekowisata. Berdasarkan

penunjukannya,

taman

nasional

mempunyai

keanekaragaman hayati yang lebih tinggi dari taman wisata alam karena taman nasional merupakan perwakilan dari suatu tipe ekosistem asli. Oleh karna itu, dampak kerusakan terhadap keanekaragaman hayati akibat kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di taman nasional akan mempunyai nilai lebih penting dibandingkan dengan di taman wisata alam. Peraturan Daerah Propinsi Bali no 3 tahun 1995 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah ( RTRW ) Propinsi Bali, ditetapkan bahwa kriteria penetapan kawasan taman nasional ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dengan memperhatikan usulan Gubernur, yang mencakup : a. wilayah yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologi secara alami; b. memiliki sumberdaya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun jenis satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami; c. satu atau beberapa ekosostem yang terdapat didalamnya secara materi atau fisik tidak dapat berubah oleh eksploitasi maupun pendudukan oleh manusia; d. memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai objek wisata alam;

70

Dalam penelitian ini, acuan teori yang dipakai adalah pembangunan berkelanjutan menurut Askarz dengan tiga pilarnya yang meliputi aspek ekonomi, lingkungan hidup dan aspek sosial.

B. Kerangka Berpikir Dalam kerangka berpikir ini digunakan pendekatan Tiga Pilar Pembangunan

Berkelanjutan

menurut Askarz

seperti

yang

sudah

dijelaskan di atas. Untuk memudahkan pemahaman tentang evaluasi kebijakan kemitraan terkait Keputusan Menteri Kehutanan no 184 /Kpts– II/1998 mengenai ijin pengusahaan pariwisata alam TNBB, penelitian ini dituangkan dalam suatu

keterkaitan antar aspek – aspek dalam

pembangunan berkelanjutan yang tercantum dalam kebijakan kerangka berpikir seperti tertuang di bawah ini .

71

serta

Kerangka berpikir ( Gambar 2 ) EVALUASI KEBIJAKAN KEMITRAAN DALAM PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM TAMAN NASIONAL BALI BARAT ( 2003- 2009 )

S K M E N HU T no 1 8 4 / K p ts - I I/ 1 9 9 8 tentang I j in P P A T N B B Kemitraan

Pemerintah

dan

Swasta

( KPS )

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Aspek Ekonomi

Aspek Sosial

Kendala - kendala

Saran Kebijakan

72

Aspek Lingkungan Hidup

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Supaya

penelitian yang dilakukan dapat menjawab permasalahan

penelitian yang diajukan, tentunya diperlukan penggunaan metode penelitian yang tepat sehingga penelitian dapat menggali data-data yang dibutuhkan sesuai dengan topik penelitian. Dalam

penelitian

mengenai

evaluasi

kebijakan

kemitraan

pengusahaan pariwisata alam Taman Nasional Bali Barat sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan no 184 / Kpts – II / 1998 dipergunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Merriam ( 1998 ) dalam Creswell ( 1994:145 ) menjelaskan adanya enam asumsi dalam desain penelitian kualitatif sebagai berikut : 1. Peneliti kualitatif lebih memperhatikan proses daripada outcomes. 2. Peneliti kualitatif lebih tertarik dengan arti ( meaning ), bagaimana orang mengartikan pengalamannya dalam kehidupannya. 3. Peneliti kualitatif adalah instrument primer untuk pengumpulan data dan analisa. 4. Penelitian kualitatif meliputi aktivitas lapangan ( fieldwork ). 5. Penelitian kualitatif bersifat deskriptif dan peneliti lebih tertarik dengan proses, arti, pengertian yang diperoleh dari gambar dan kata – kata. 6. Proses penelitian kualitatif adalah induktif dimana peneliti membangun abstraksi, konsep, hipotesa dan teori dari detil yang diperolehnya. Irawan (2004:60) menyatakan bahwa: "Metode deskriptif adalah penelitian yang bertujuan mendeskripsikan atau menjelaskan sesuatu hal seperti apa adanya." Sugiyono (2004:11) menyebutkan, "penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variable atau lebih (independen) tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan antara satu variable

73

dengan variable lainnya". Hadari Nawawi (1992:67) mengemukakan bahwa : “metode deskriptif adalah prosedur atau cara memecahkan masalah penelitian dengan memaparkan keadaan obyek yang diselidiki ( seseorang, lembaga, masyarakat, pabrik dll ) sebagaimana adanya, berdasarkan fakta – fakta yang aktual pada saat sekarang” Sugiyono ( 2005:1 ) menyatakan bahwa metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah ( natural setting ) dimana peneliti adalah instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi ( gabungan ), analisa data bersifat induktif, dan hasilnya lebih menekankan makna daripada generalisasi. Purwandari

(2005:36)

menyebutkan:

“penelitian

kualitatif

menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti transkip wawancara, catatan lapangan, gambar, foto, rekaman video dan lain sebagainya”. Selain itu, penelitian kualitatif mempunyai karakteristrik ( Creswell 1994:146) seperti yang dijelaskan oleh Morse (1991) : (1) konsepnya imatur karena kurangnya teori dan penelitian sebelumnya, (2) teori yang ada mungkin saja kurang akurat, atau biased, (3) ada kebutuhan untuk mengeksplorasi dan mendeskripsikan fenomena dan mengembangkan teori, (4) bentuk fenomena yang ada mungkin kurang sesuai dengan pengukuran kuantitatif. Dengan

mempertimbangkan

semua

kendala

di

atas,

maka

penelitian ini dipersempit cakupannya dengan hanya mengevaluasi kebijakan kemitraan pengusahaan pariwisata alam Taman Nasional Bali Barat, dimana akan dievaluasi kebijakan SK Menteri Kehutanan no 184 / Kpts – II / 1998 dimana evaluasi dilakukan dengan mengamati hal – hal

74

apa saja dalam pokok – pokok kebijakan seperti yang sudah diuraikan dalam bab sebelumnya, yang sudah dilaksanakan, dan temuan – temuan apa yang ditemui di lapangan baik yang menghambat maupun yang mendorong terlaksananya kebijakan kemitraan tersebut.

B. Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data 1. Instrumen Penelitian Sugiyono (2005:59) menjelaskannya bahwa terdapat dua hal utama yang mempengaruhi kualitas data hasil penelitian, yaitu, (1)kualitas instrumen penelitian, yang

terkait dengan validitas dan

reliabilitas instrumen, (2) kualitas pengumpulan data berkenaan ketepatan cara-cara yang digunakan untuk mengumpulkan data. Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen penelitian adalah peneliti itu sendiri. Oleh karena itu peneliti harus "divalidasi" seberapa jauh kesiapannya melakukan penelitian di lapangan. Hal ini meliputi validasi terhadap pemahaman metode penelitian kualitatif, penguasaan

wawasan

terhadap

bidang

yang

diteliti,

kesiapan

memasuki obyek penelitian, baik akademik maupun logistiknya. Peneliti melakukan evaluasi diri seberapa jauh pemahaman terhadap metode kualitatif, penguasaan teori dan wawasan terhadap bidang yang diteliti, serta kesiapan dan bekal memasuki lapangan. Peneliti kualitatif sebagai human instrument, berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuannya. Dalam hal ini peneliti adalah penduduk asli

75

Bali yang berasal dari Ubud, berdomisili di Bali, beragama Hindu Bali sehingga memahami dan melaksanakannya

adat istiadat berdasarkan

filosofi Tri Hita Karana dalam kehidupan sehari – hari. Peneliti memahami kebijakan publik dan melaksanakan kajian – kajian kebijakan publik dalam kapasitasnya sebagai anggota DPD-RI periode 2004 – 2009. Lebih jauh lagi, peneliti memahami dinamika dunia usaha dalam kapasitasnya sebagai pendiri Museum Rudana dan Rudana Art Gallery.

2. Teknik Pengumpulan Data Sugiyono (2005:62) menjelaskan bahwa teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama penelitian adalah mendapatkan data. Pengumpulan data dapat dilakukan dalam berbagai setting, sumber, dan cara. Dilihat dari settingnya, terdapat setting alamiah (natural setting), laboratorium dengan metode eksperimen, di rumah dengan berbagai responden, pada suatu seminar, diskusi, dan lain-lain. Dilihat dari sumber datanya, pengumpulan data dapat menggunakan sumber primer, sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data, dan sumber sekunder yang merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau dokumen. Dilihat dar i segi

car a,

teknik pengumpulan data dapat

observasi (pengamatan),

dilaksanakan dengan

wawancara, dokumentasi dan gabungan

keempatnya (triangulasi).

76

a. Teknik Observasi Marshall (1995) ( Sugiyono, 2005 :64 ) menyatakan bahwa "through observation, the researcher learn about behavior and the meaning attached to those behavior". Sedangkan menurut Permenpan no Per/15/M.Pan/7/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi menjelaskan bahwa observasi adalah “upaya memantau suatu kegiatan dengan mengikuti proses secara langsung di lapangan. Hal penting dalam observasi adalah merekam proses aktivitas, melihat dokumen pendukung, pihak pihak yang terlibat dan waktu pelaksanaan. “ Sedangkan

Sanafiah

Faisal

(1990)

mengklasifikasikan

observasi

menjadi (1) Observasi Partisipatif (participant observation), (2) Observasi terus terang atau tersamar (overt observation dan covert observation),

(3)

Observasi

tak

berstruktur

(unstructured

observation). Spradley, dalam Susan Stainback (1988) (Sugiyono 2005

:66)

membagi

Observasi

Partisipatif

menjadi

empat,

yaitu partisipasi pasif, moderat, aktif dan partisipasi lengkap Peneliti melakukan observasi pasif dimana peneliti datang di tempat kegiatan orang yang diamati, tetapi tidak ikut terlibat dalam kegiatan tersebut. Sedangkan obyek penelitian

yang diobservasi menurut

Spradley ( Sugiyono, 2005:68) terdiri dari tiga komponen yaitu (1) place ( tempat ), actor ( pelaku ) dan activities ( aktivitas ). Dalam kegiatan observasi peneliti dapat mengambil foto, gambar, film dan lain – lain. Pada penelitian ini, peneliti melakukan observasi terfokus dengan melakukan mini tour observation, karena peneliti melakukan analisa taksonomi sehingga dapat menemukan fokus ( Sugiyono, 2005:70)

77

b. Wawancara Untuk memperdalam dan mencek ulang data sekunder, maka dilakukan wawancara dengan narasumber atau key informan yaitu orang-orang yang benar-benar mengetahui tentang implementasi Keputusan Menteri Kehutanan no 184 / Kpts – II / 1998 ini. Permenpan no Per/15/M.Pan/7/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi menjelaskan bahwa “wawancara adalah upaya melacak proses dan kegiatan

reformasi

narasumber.

birokrasi

Narasumber

melalui

tersebut

wa wancara

adalah

dengan

pihak-pihak

yang

terlibat dalam proses dan utamanya yang memang kredibel untuk memberikan informasi.” Esterberg (2002) ( Sugiyono, 2005:72) mendefinisikan bahwa “wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab sehingga dapat dikosntruksikan makna dalam suatu topik tertentu.” Lincoln and Guba dalam Sanapiah Faisal ( Sugiyono, 2005:76 ), mengemukakan ada tujuh

langkah dalam penggunaan wawancara

untuk mengumpulkan dalam penelitian kualitatif, yaitu

1) menetapkan kepada siapa wawancara itu akan dilakukan 2) menyiapkan pokok-pokok masalah yang akan menjadi 3) 4) 5) 6) 7)

pembicaraan mengawali atau membuka alur wawancara melangsungkan alur wawancara mengkonfirmasikan ikhtisar hasil wawancara dan mengakbirin Menuliskan hasil wawancara ke dalam cacatan lapangan Mengidentifikasi tindak lanjut hasil wawancara yang diperoleh

78

Untuk memandu proses wawancara dengan key informan agar penelitian yang dilakukan sesuai dengan tujuan penelitian ini, maka perlu

disusun

merupakan

pedoman

wawancara.

Pedoman

wawancara

hal – hal utama dalam bentuk pertanyaan

yang

dijadikan acuan oleh peneliti untuk mengajukan pertanyaan kepada key informan. Alat wawancara yang dapat dipergunakan ( Sugiyono, 2005:81 ) adalah buku catatan, alat perekam, serta kamera. Dalam implementasi pedoman wawancara dapat dikembangkan lagi sesuai dengan situasi dan kondisi pada saat dilakukan

penelitian.

Dengan

demikian

pedoman

wawancara

sifatnya sebagai panduan dasar dalam mengajukan pertanyaan dalam rangka menggali informasi dari key informan. Key informan dalam penelitian ini adalah :

Tabel 5. Key Informan Penelitian

TOPIK NO

PERSONIL

A-01 A-0 2 A-03

PT. SBW ( Waka Shorea) Direktur Waka Shorea Resort Pemangku adat

WAWANCARA

JUMLAH 3 orang

Kemitraan dalam aspek : Ekonomi, lingkungan hidup, sosial Kearifan lokalpembangunan (berkelanjutan dalam aspek sosial )

Karyawan Pembangunan berkelanjutan aspek ekonomi

79

LOKASI Desa Sumber Klampok, Kec Garokgak, Buleleng

Balai TNBB

2 B-01

Kepala

Balai

TNBB

• • •

B-02

Peran Balai TNBB Pelaksanaan kebijakan di daerah Kemitraan dalam bidang ekonomi, lingkungan hidup , sosial.

2 orang

Kepala Balai TNBB: di Balai TNBBGilimanuk, Jembrana Polisi Hutan :di Teluk Brumbun, Buleleng

Polisi Hutan -

3 C-01

KepalaDinas

• •

Peran Polisi Hutan Pelestarian lingkungan hidup dan program kemitraan



Pelaksanaan kebijakan di daerah khususnya pariwisata

Budpar Kab Buleleng

4 D-01

5 E-01

Masyarakat di sekitar TNBB : • Kepala Desa Sumber Klampok • Masyarakat desa Sumber Klampok

Pengguna wilayah PPA TNBB Turis asing





Kemitraan dalam aspek sosial budaya( pemberdayaan masyarakat dan pelestarian lingkungan ) Pemahaman masyarakat adat terhadap fungsi social budaya dari TNBB.

Pembangunan berkelanjutan dalam aspek lingkungan hidup

Total

1 orang

Singaraja, Buleleng

4 orang

Desa Sumber Klampok, Kec.Garokgak, Buleleng

4 orang

TNBB wilayah PPA PT.SBW

14 orang

Para informan kunci ini juga mewakili para stakeholders (pemangku kepentingan ) yang terlibat dalam pelestarian Taman Nasional Bali Barat dengan PT. Shorea Barito Utama sebagai stakeholder utama dan wisatawan serta masyarakat sekitar TNBB sebagai kelompok sasaran.

c. Studi Dokumentasi dan Kepustakaan 80

Teknik

pengumpulan

data

lainnya

adalah

melalui

studi

dokumentasi dan kepustakaan. Dokumen adalah catatan peristiwa yang sudah berlalu, yang bisa berupa tulisan, gambar, atau karya monumental seseorang ( Sugiyono, 2005:82). Menurut Irawan (2004:65) "Metode kajian kepustakaan adalah penelitian yang datanya diambil terutama atau seluruhnya dari kepustakaan (buku,

dokumen,

artikel,

laporan,

koran,

dan

lain-lain

sebagainya)". Pada penelitian ini dilakukan pengumpulan data dan informasi tentang keadaan dan perkembangan kepariwisataan dan hal – hal yang terkait dengan lokus dan fokus penelitian, antara lain : 1. Kebijakan yang terkait dengan Ekowisata, kelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistem serta Taman Nasional. 2. Rencana Strategis dari berbagai instansi ( pemda Propinsi Bali, Menbudpar ) , RPJMN 2004 – 2009, dan laporan instansi terkait dengan kepariwisataan alam. 3. Perijinan dan kebijakan lain terkait pengelolaan TNBB oleh PT. Shorea Barito Wisata 4. Data mengenai Pariwisata di Propinsi Bali ( website, data BPS dll ) 5. Informasi mengenai Taman Nasional Bali Barat ( website, leaflet, buku, foto, film ). 6. Profil PT. Shorea Barito Wisata dan bisnis pengelolaan wisata yang ditanganinya ( akomodasi, sarana dan prasarana wisata alam di kawasan TNBB ). 7. Hasil kajian atau penelitian mengenai TNBB ( website, jurnal).

81

Pada penelitian kualitatif kali ini, fokus penelitian sudah cukup jelas, yaitu mengevaluasi implementasi kebijakan pengusahaan TNBB,

dimana

penelitian merupakan penelitian deskriptif , dengan pengumpulan data dilakukan pada natural setting (kondisi yang alamiah). Peneliti sebagai key instrument akan terjun ke lapangan sendiri, baik pada grand tour question, tahap focused and selection, melakukan pengumpulan data, analisis dan

membuat kesimpulan. Sedangkan sumber data

berasal dari sumber data primer yaitu observasi berperan serta (participant observation) yang lebih mengarah kepada partisipasi aktif, wawancara mendalam (in depth interview), dokumentasi

serta

triangulasi khususnya triangulasi teknik, serta sumber data sekunder berupa studi dokumentasi dan kepustakaan.

C. Prosedur Pengolahan Data dan Analisis Miles dan Huberman (1994) ( Sugiyono 2005:88 ) menyatakan bahwa yang paling serius dan sulit dalam analisa data kualitatif adalah karena metode analisanya belum dirumuskan dengan baik. Selanjutnya Bogdan mengatakan bahwa ”analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dariwawancara, cattan lapangan dan bahan lain sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain.” Analisa data kualitatif bersifat induktif, yaitu suatu analisa data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan menjadi hipotesis. Selanjutnya dicarikan data lagi berulang – ulang sehingga dapat disimpulkan apakah hipotesis diterima atau ditolak.Bila berdasarkan data yang dikumpulkan

82

berulang – ulang dengan teknik triangulasi ternyata hipotesis diterima, maka hipotesis berkembang menjadi teori. Tata cara pengolahan data penelitian biasanya disebut dengan prosedur pengolahan data. Prosedur pengolahan data dalam penelitian tentang Evaluasi Implementasi Kebijakan Pengusahaan Pariwisata Alam Taman Nasional Bali Barat ini mengacu kepada buku pedoman penulisan tesis yang dikeluarkan oleh STIA LAN RI (2002:26) Prosedur pengolahan data berisi penjelasan tentang tahapan pengolahan data (dari data mentah langsung catatan sampai . data rapi

dan

siap

untuk

ditafsirkan)

berdasarkan

prosedur

atau

pentahapan yang sistematis. Tahap-tahap dari pengolahan data adalah sebagai berikut: 1. Mengklasifikasi materi data. Data yang telah diperoleh dikumpulkan berdasarkan sumber data,

kemudian dikelompok-kelompokkan

sesuai dengan masing-masing topik pertanyaan sesuai dengan aspek yang diteliti. 2. Mengklasifikasi berdasarkan satuan-satuan gejala yang telah diteliti serta mengolah data berdasarkan keterkaitan antar komponen, satuan gejala dalam konteks pertanyaan penelitian tentang masing- masing aspek yang ditinjau. 3. Langkah selanjutnya adalah mendeskripsikan hasil data penelitian tersebut kemudian menganalisisnya sehingga data yang ada mampu menjawab pertanyaan penelitian yang telah diajukan. 4. Melakukan triangulasi ( check, recheck, cross check ) untuk mengkonfirmasi kebenaran data, selanjutnya dilakukan analisis kritis terhadap hasil olahan data tersebut dengan pisau analisis teori - teori 83

kebijakan publik dan pembangunan . Dalam melakukan analisa dan pembahasan, triangulasi menjadi hal yang paling penting, dalam menguji keabsahan hasil penelitian.Sugiyono (2005:83)

menyatakan

pengumpulan

data

bahwa yang

triangulasi

merupakan

teknik

menggabungkan

berbagai

teknik

pengumpulan data dan sumber data. Bila peneliti melakukan pengumpulan data dengan triangulasi, maka sebenarnya peneliti sekaligus menguji kredibilitas data, vaitu mengecek kredibilitas data dengan berbagai teknik pengumpulan data dan berbagai sumber data. Dengan mengacu kepada Denzin ( Bungin, cetakan ke 2 2008 : 256 ) pelaksanaan

teknis

dari

langkah

pengujian

keabsahan

dalam

penelitian dapat dilakukan dengan triangulasi peneliti, sumber, metode, teori yaitu : a. Triangulasi kejujuran peneliti. Hal ini dilakukan untuk menguji kejujuran, subjektivitas, dan kemampuan merekam data oleh peneliti di lapangan, dengan cara meminta bantuan peneliti lain melakukan pengecekan langsung, wawancara ulang, serta merekam data yang sama di lapangan. Hal ini adalah sama dengan proses verifikasi terhadap hasil penelitian yang telah di lakukan oleh seorang peneliti.

b.

Triangulasi dengan sumber data Dilakukan dengan membandingkan dan mengecek baik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan cara yang berbeda dalam metode kualitatif yang dilakukan dengan

84

(Paton, 1987) yaitu membandingkan antara : (1) data hasil pengamatan dengan hasil wawancara, (2) peernyataan orang di depan umum dengan pernyataan pribadi, (3) pernyataan orangorang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu, (4) keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang lain seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada dan orang pemerintahan, (5) hasil wawancara dengan isi suatu dokomen yang berkaitan. Hasil dari perbandingan yang diharapkan adalah

berupa

kesamaan

perbedaan

(Moleong,

Triangulasi

sumber

atau

2006: data

alas

330,

juga

an-

alasan

Bardiansyah,

memberi

terjadinya

2006:

145).

kesempatan

untuk

dilakukannya hal-hal sebagai berikut: (1) penilaian hasil penelitian dilakukan oleh responder, (2) mengoreksi kekeliruan oleh sumber data, (3) menyediakan tambahan informasi secara sukarela, (4) memasukkan informan dalam kancah penelitian, menciptakan kesempatan untuk mengikhtisarkan sebagai langkah awal analisis data, (5) menilai kecukupan menyeluruh data yang dikumpulkan (Moleong, 2006: 335).

c. Triangulasi dengan metode Mengacu pendapat Patton (1987: 329) dengan menggunakan strategi; (1) pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data, (2) pengecekan beberapa sumber data dengan metode yang sama (Moleong, 2006:

331).

Triangulasi

ini 85

dilakukan

untuk

melakukan

pengecekan terhadap penggunaan metode pengumpulan data, apakah informasi yang didapat dengan metode interview sama dengan metode observasi, atau apakah hasil observasi sesuai dengan informasi yang diberikan ketika di-interview. Begitu pula teknik ini dilakukan untuk menguji sumber data, apakah sumber data

ketika

di-interview

dan

diobservasi

akan

memberikan

informasi yang sama atau berbeda. Apabila berbeda maka peneliti harus dapat menjelaskan perbedaan itu, tujuannya adalah untuk mencari kesamaan data dengan metode yang berbeda.

d. Triangulasi dengan teori Dilakukan dengan menguraikan pola hubungan dan menyertakan penje-lasan yang muncul dari analisis untuk mencari tema atau penjelasan

pembanding.

Secara

induktif

dilakukan

dengan

menyertakan usaha pencarian cara lain untuk mengorganisasikan data yang dilakukan dengan jalan memikirkan kemungkinan logik dengan melihat apakah kemungkinan-kemungkinan ini dapat ditunjang dengan data (Bardiansyah, 2006). Triangulasi dengan teori, menurut Lincoln dan Guba (1981:307 dalam Moleong, 2006: 331), berdasarkan anggapan bahwa fakta tidak dapat diperiksa derajat kepercayaannya dengan satu atau lebih teori. Di pihak lain, Patton (1987: 327, dalam Moleong, 2006: 331) berpendapat lain, yaitu bahwa hal itu dapat dilaksanakan dan hal itu dinamakannya penjelasan banding (rival explanation).

86

Dalam penelitian ini dipergunakan triangulasi dengan sumber data, metode dan teori sedangkan triangulasi dengan peneliti tidak dilakukan karena keterbatasan waktu penelitian. 5. Membuat laporan penelitian sesuai dengan hasil data penelitian

Kerangka berpikir ( Gambar 2 ) EVALUASI KEBIJAKAN KEMITRAAN DALAM PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM TAMAN NASIONAL BALI BARAT ( 2003- 2009 )

S K M E N HU T no 1 8 4 / K p ts - I I/ 1 9 9 8 tentang I j in P P A T N B B Kemitraan Pemerintah dan Swasta ( KPS )

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Aspek Ekonomi

Aspek Sosial

Aspek Lingkungan Hidup

Kendala - kendala

Saran Kebijakan

Evaluasi kebijakan kemitraan ini dianggap berhasil bila sudah sesuai dengan tujuan kebijakan, yaitu pengusahaan pariwisata alam ( PPA )

87

TNBB dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang dinyatakan dalam tiga pilar yaitu aspek ekonomi, lingkungan hidup dan sosial.

C. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian yang disampaikan pada kerangka berpikir di atas maka pertanyaan penelitian yang terkait dengan implementasi kemitraan antara pemerintah dan swasta dalam pengusahaan pariwisata alam ( PPA ) TNBB dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan sebagai berikut : 1. Bagaimana

kebijakan

pembangunan

ekonomi

kemitraan dalam

PPA

TNBB

dalam

mewujudkan

aspek

pembangunan

berkelanjutan ? 2. Bagaimana kebijakan kemitraan PPA TNBB dalam aspek lingkungan hidup dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan ? 3. Bagaimana kebijakan kemitraan PPA TNBB dalam aspek sosial dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan ? 4. Kendala – kendala apa yang dihadapi dalam kebijakan kemitraan dalam aspek sosial ekonomi, lingkungan hidup dan sosial dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan ?

88

BAB IV. HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Taman Nasional Bali Barat ( TNBB ) 1. Data Pokok Taman Nasional Bali Barat ( TNBB ) ( peta 2, foto 1 ) mempunyai luas 19.002,89 ha. terdiri dari kawasan terestrial seluas 15.587,89 ha. dan kawasan perairan seluas 3.415 ha. Potensi TNBB meliputi berbagai jenis flora dan fauna liar, yang berstatus langka, dilindungi maupun yang keberadaannya masih melimpah, habitat dan letak geomorfologinya serta keindahan alamnya. yang masih dalam keadaan utuh. Foto 1 : Penulis di Taman Nasional Balai Barat

89

Ekosistem di dalam kawasan TNBB cukup potensial dan lengkap yang meliputi perairan laut, pantai dan pesisirnya, hutan dataran rendah sampai pegunungan merupakan habitat alami bagi kehidupan liar yang menunjukkan tingginya keanekaragaman hayati antara lain terumbu karang dan biota laut lainnya, vegetasi mangrove, hutan rawa payau, savana dan hutan musim. Flora dan fauna yang cukup beragam, sampai saat ini telah diidentifikasi 176 jenis flora meliputi pohon, semak, tumbuhan memanjat, menjalar, jenis herba, anggrek, paku-pakuan dan rerumputan. Untuk jenis fauna terdiri dari 17 jenis mamalia, 160 jenis burung (aves), berbagai jenis reptil dan ikan.

Keberadaan Taman Nasional Bali Barat ini juga ditegaskan

dalam Peraturan Daerah Propinsi Bali no 3 tahun 2005 mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah ( RTRW ) Propinsi Bali pasal 20. Taman Nasional Bali Barat pertama kali dilaporkan penemuannya oleh Dr. Baron Stressmann seorang ahli burung berkebangsaan Inggeris pada tanggal 24 Maret 1911. Atas rekomendasi Stressmann, Dr. Baron Victor Von Plessenn mengadakan penelitian lanjutan (tahun 1925) dan menemukan penyebaran burung Jalak Bali mulai dari Bubunan sampai dengan Gilimanuk dengan perkiraan luas penyebaran 320 km2. Pada tahun 1928 sejumlah 5 ekor Jalak Bali di bawa ke Inggris dan berhasil dibiakkan pada tahun 1931. Kebun Binatang San Diego di Amerika Serikat mengembangbiakkan Jalak Bali dalam tahun 1962 (Rindjin, 1989) Penataan kawasan pengelolaan TNBB sesuai fungsi peruntukannya telah ditetapkan berdasarkan SK Dirjen Perlindungan dan Konservasi Alam

90

No.186/Kpts/Dj-V/1999 tanggal 13 Desember 1999 tentang Pembagian Zonasi TNBB sebagai berikut : ♣ Zona

Inti

;

merupakan

zona

yang

mutlak

dilindungi,

tidak

diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia kecuali yang berhubungan dengan kepentingan penelitian dan ilmu pengetahuan ; meliputi daratan seluas 7.567,85 hektar dan perairan laut seluas 455.37 hektar ♣ Zona Rimba; merupakan zona penyangga dari zona inti, dapat dilakukan kegiatan seperti pada zona inti dan kegiatan wisata alam terbatas ; meliputi daratan seluas 6.009,46 hektar dan perairan laut seluas 243.96 hektar ♣ Zona Pemanfaatan Intensif ; dapat dilakukan kegiatan seperti pada kedua zona di atas, pembangunan sarana dan prasarana pariwisata alam dan rekreasi atau penggunaan lain yang menunjang fungsi konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya ; meliputi daratan seluas 1.645,33 hektar dan perairan laut seluas 2.745.66 hektar ♣ Zona Pemanfaatan Budaya ; Zona ini dapat dikembangkan dan dimanfaatkan terbatas untuk kepentingan budaya atau religi ; seluas 245,26 hektar yang digunakan untuk kepentingan pembangunan sarana ibadat umat Hindu dan nilai sakral yang dianutnya. Tujuan kegiatan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem di TNBB adalah : 1. Perlindungan populasi jalak Bali ( curik ) ( foto 2 ) beserta ekosistem lainnya seperti ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove, hutan

91

pantai dan ekosistem hutan daratan rendah sampai pegunungan sebagai sistem penyangga kehidupan terutama ditujukan untuk menjaga keaslian, keutuhan dan keragaman suksesi alam dalam unitunit ekosistem yang mampu mendukung kehidupan secara optimal.

Foto 2 : Curik Bali ( burung jalak putih )

2. Pengawetan keragaman jenis flora dan fauna serta ekosistemnya ditujukan untuk melindungi, memulihkan keaslian, mengembangkan populasi dan keragaman genetik dalam kawasan TNBB dari gangguan manusia. 3. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam dan ekosistemnya ditujukan

untuk

berbagai

pemanfaatan

seperti:

(a)

sebagai

laboratorium lapangan bagi peneliti untuk pengembangan ilmu dan teknologi.

(b)

sebagai

tempat

pendidikan

untuk

kepentingan

meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan bagi masyarakat.

92

4. Obyek wisata berada pada zona khusus pemanfaatan yang dapat dibangun fasilitas pariwisata. 5. Menunjang budidaya penangkaran jenis flora dan fauna dalam rangka memenuhi kebutuhan protein dan tumbuhan obat-obatan.

2. Visi, Misi dan Prinsip Pengelolaan TNBB

Visi TNBB adalah terwujudnya kawasan hutan yang aman dan mantap secara

legal

formal,

didukung

kelembagaan

yang

kuat

dalam

pengelolaannya, serta mampu memberikan manfaat optimal bagi masyarakat. Sedangkan misinya adalah : (1) memantapkan dan melindungi keberadaan kawasan, (2) memantapkan pengelolaan TNBB, (3) mengembangkan upaya pengawetan TSL, (3)

memantapkan

perlindungan

kawasan konservasi, potensi umber daya alam, hutan dan ekosistem dan penegakan hokum, (4) mengembangkan secara optimal pemanfaatan ODTWA ( Obyek Daerah Tujuan Wisata Alam ) dan Jasa Lingkungan berdasarkan prinsip kelestarian serta mengembangkan Bina Cinta Alam, (5) mengembangkan kemitraan dengan melibatkan para pihak (kolaborasi) dalam pengelolaan kelestarian sumber daya alam, hutan dan ekosistem. Sedangkan prinsip pengelolaan TNBB adalah : (1) perlindungan sistem penyangga

kehidupan,

(2)

pengawetan

keanekaragaman

hayati,

pem anf aat an sum ber da ya dan ek os is t em n ya s ec ar a l es t ar i.

93

(3)

3. Penataan Organisasi Taman Nasional Bali Barat

Dari segi penataan organisasi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 096/Kpts-II/1984 tanggal 12 Mei 1984 tentang Organisasi dan Tata Kerja Taman Nasional Bali Barat, Suaka Alam Bali Barat dikelola sebagai UPT Taman Nasional Bali Barat yang dikepalai oleh seorang Kepala setara Eselon IV, dibantu oleh Kepala Sub Bagian Tata Usaha, Kepala Seksi Pemanfaatan, Kepala Seksi Penyusunan Program. Sedangkan pelaksana teknis di lapangan adalah Kelompok Perlindungan, Pengawetan, dan Pelestarian. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 185/Kpts-II/1997 tanggal 31 Maret 1997 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional dan Unit Taman Nasional, meningkatkan pengelolaan Taman Nasional sebagai Balai yang dipimpin oleh seorang Kepala Balai setara Eselon III, yang dalam pengelolaannya dibantu oleh Kepala Sub Bagian Tata Usaha, Kepala Seksi Konservasi yang membawahi tiga sub seksi wilayah konservasi (Jembrana, Buleleng dan Labuan Lalang). Untuk pelaksana teknis di lapangan dibantu kelompok jabatan fungsional yang terdiri dari Fungsional Jagawana, Fungsional Teknisi Kehutanan Bidang Konservasi Jenis Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Fungsional Teknisi Kehutanan Bidang Konservasi Kawasan dan Lingkungan dan Fungsional Teknisi Kehutanan Bidang Bina Wisata Alam. Nuansa otonomi daerah memerlukan desentralisasi koordinasi birokrasi sehingga pengelolaan Taman Nasional Bali Barat sesuai dengan SK Menteri Kehutanan No. 6186/Kpts-II/2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai

94

Taman Nasional dibagi menjadi 3 wilayah pengelolaan yaitu Seksi Konservasi Wilayah I di Jembrana, Seksi Konservasi Wilayah II di Buleleng dan Seksi Konservasi Wilayah III di Labuhan Lalang dengan Kepala Seksi sebagai pejabat pemangku wilayah yang setara Eselon IV.

4. Pengembangan Pariwisata Alam a. Pengusahaan Pariwisata Alam Berdasarkan Buku Informasi Taman Nasional Bali Barat (Balai TNBB, 2007)

sesuai PP no 18 tahun 1994 tentang pengusahaan pariwisata alam

di zona pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam, maka di TNBB terdapat tiga pengusahaan pariwisata alam yang telah memiliki ijin prinsip dan ijin operasional dari Menteri Kehutanan untuk Pengusahaan Pariwisata Alam di zona Pemanfaatan TNBB yaitu:

1.

PT. Trimbawan Swastama Sejati Dengan Menjangan Resort yang terletak di Tanjung Gelap dan Pahlengkong, Desa Pejarakan dengan luas 284 Ha, mengembangkan usaha bahari ( diving, snorkeling, kanoing ), bird watching, jungle tracking ( jalan kaki, berkuda, bersepeda ).

2. PT. Shorea Barito Wisata Dengan Waka Shorea Resort dengan areal usaha di Labuan Lalang, Tanjung Kotal dan Gilimanuk seluas 251,5 Ha, mengembangkan usaha wisata bahari, ( diving, snorkeling, kanoing ), bird watching, jungle tracking ( jalan kaki, berkuda, bersepeda ). 3. PT. Disthi Kumala Bahari

95

Pengusahaan pariwisata alam yang menawarkan wisata bahari dengan minat khusus ( budidaya mutiara ), diving, snorkeling. Area Pemanfaatan di Cekik dan Teluk Terima seluas 40,05 Ha.

b.

Sarana Penunjang Kegiatan Wisata Alam Untuk mendukung kegiatan wisata alam dan pengelolaan TNBB, sarana dan prasarana yang tersedia antara lain : 1. Pusat lnformasi Tempat untuk memperoleh informasi tentang Taman Nasional Bali Barat, Pusat Informasi terletak Kantor Balai di Cekik, dan di Labuan Lalang ( foto 3 ). Foto 3. Kantor Balai TNBB di desa Cekik, Gilimanuk, kabupaten Jembrana

2. Jalan dan Jalur Trekking TNBB dilalui oleh Jalan Lintas Propinsi, menuju Denpasar dan menuju Singaraja. Untuk kawasan wisata alam telah tersedia jalan aspal,

96

jalan dengan pengerasan, dan jalur trekking. Jalur Trekking terdapat antara lain: Jalur Teluk Terima, Jalur Cekik, Jalur Prapat Agung dan Jalur Gunung Klatakan. 3. Shelter, yang

merupakan tempat istirahat sementara, shelter yang

tersebar di kawasan TNBB. diantaranya di Cekik, P. Menjangan, Tanjung Pasir, dan Tegal Bunder. 4. Dermaga Kawasan TNBB mencakup kawasan perairan, tersedia juga dermaga, seperti : Dermaga Labuan Lalang, P. Menjangan, Teluk Kotal, dan Teluk Kelor. 5.

Menara pengintai yang berfungsi untuk pengintaian kawasan TNBB dari kegiatan ilegal, kebakaran hutan, dan atraksi satwa di alam. Diantaranya di Teluk Berumbun, Prapat Agung, Tanjung Pasir.

6. Wisma Tamu dan Wisma Cinta Alam Wisma Tamu Taman Nasional Bali Barat terdapat di lingkungan Kantor Balai di Cekik, tersedia type standard dan VIP. Untuk Wisma Cinta Alam (WCA) terletak di bumi perkemahan Cekik 7. MCK dan Kamar Bilas Untuk MCK dan kamar bilas telah tersedia di beberapa tempat wisata alam seperti : di Cekik, Teluk Gilimanuk, Labuan Lalang, dan Banyuwedang. 8. Area parkir yang menunjang wisata alam telah tersedia di bumi perkemahan, kantor Balai di Cekik, Teluk Gilimanuk, ,penangkaran curik Bali di Tegal Bunder, Labuan Lalang dan Banyuwedang. 9. Sarana Peribadatan

97

Untuk sarana peribadatan terdapat pura dan mushola di Kantor Balai TNBB. Untuk gereja Katolik di Palasari, gereja Protestan di Blimbingsari dan Gilimanuk. 10. Pemandu Wisata Alam Untuk melakukan aktivitas wisata alam di TNBB, harus didampingi oleh pemandu dari Balai TNBB. Untuk Pemandu wisata alam telah ditetapkan berdasarkan SK Kepala Balai TNBB. Pemandu wisata alam tersebar di Cekik, Labuan Lalang dan Banyuwedang.

c.

Lokasi Wisata di Kawasan TNBB Terdapat banyak lokasi wisata di kawasan TNBB yaitu di (1)Teluk Gilimanuk, yang merupakan pintu masuk ke P.Bali, Cekik dan sekitarnya dimana terdapat pusat informasi dan Balai TNBB, wisma tamu, bumi perkemahan, Monumen Lintas Laut, Teluk Terima yang merupakan zona pemanfaatan untuk kegiatan menelusuri hutan, serta Teluk Brumbun dan Semenanjung Prapat Agung yang merupakan habitat alam curik Bali, dimana terdapat kubah / sangkar burung besar yang merupakan tempat pra liar curik Bali yang akan dilepaskan. Di Prapat Agung juga terdapat peninggalan sejarah lintas budaya Jawa Bali dengan nilai – nilai sakralnya yang membangun ruh pulau Bali di masa kini.

Banyuwedang yang di

desa Pejarakan dengan sumber air panas, serta adanya fasiltas hotel dan resort, Blimbingsari yang merupakan Model Desa Konservasi TNBB serta yang paling terkenal adalah Pulau Menjangan (foto 4 ). Pulau Menjangan pulau yang terbesar di antara pulau - pulau yang terdapat di kawasan TNBB. Luas 175 Ha dan tidak berpenghuni, menyajikan beragam pesona

98

alam terutama yang paling dikenal wisatawan yaitu keindahan panorama bawah laut dengan terumbu karang yang khas dan beragam jenis biota laut yang menjadi daya tarik tersendiri untuk melakukan atraksi snorkling dan diving. Selain itu, juga terdapat obyek wisata religius di Pulau Menjangan, salah satunya merupakan pura tertua di Bali yaitu Pura Gili Kencana. Terdapat pura lain seperti pura Klenting Sari dan pura Segara Giri Kencana. Untuk menuju Pulau Menjangan dapat melalui dermaga Labuan Lalang dengan menempuh perjalanan sekitar 45 menit dengan transportasi laut berupa perahu/ boat. Juga dengan dermaga lain di Bayuwedang.

Foto 4. Dolphin watching di Pulau Menjangan

B. Pengusahaan Pariwisata Alam ( PPA ) oleh PT.Shorea Barito Wisata Pada Sebagian Zona Pemanfaatan Taman Nasional Bali Barat.

1. Data Pokok

99

PT. SBW memperoleh izin Pengusahaan Pariwisata Alam (PPA) pada sebagian zona pemanfaatan TNBB seluas + 251,5 hektar terletak di Kabupaten

Jembrana

dan

Buleleng

Propinsi

Bali

(berdasarkan

Keputusan Menteri Kehutanan No. 184/Kpts-II/1998 tanggal 27 Pebruari 1998 tentang Ijin PPA dan Keputusan Menteri Kehutanan No. 566/KptsII/1999 tanggal 21 Juli 1999 tentang Penetapan Batas Areal Kerja ( terlampir, peta 4 ). Kepmenhut tersebut juga menyatakan bahwa PT. SBW

mendapatkan

hak

konsesi

PPA selama

30

tahun

sejak

ditetapkannya keputusan ini tahun 1998 dan dapat

diperpanjang

berdasarkan

pelaksanaan

penilaian

Departemen

Kehutanan

atas

pengusahaan yang telah dilakukannya. Optimasi fungsi kawasan pelestarian alam pada sebagian zona pemanfaatan TNBB sebagai obyek wisata alam ini meningkatkan

upaya

konservasi

sumber

daya

diharapkan dapat alam

hayati

dan

ekosistemnya, penciptaan lapangan kerja dan versifikasi kesempatan berusaha, peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar, pelestarian dan atau

pengembangan

budaya

dan

kesenian

daerah

serta

pemicu

pengembangan wilayah dan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

a. Letak, Luas dan Batas Areal Pengusahaan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No : 184/Kpts-II/1998 tanggal 27 Pebruari 1998 tentang pemberian Ijin PPA dan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No : 566/Kpts-II tanggal 21 Juli 1999 tentang Penetapan Batas Areal Kerja Pengusahaan Pariwisata Alam

(PPA)

PT.

Shorea

Barito

100

Wisata

pada

sebagian

zona

pemanfaatan intensif daratan Balai Taman Nasional Bali Barat seluas + 251,5 hektar, terbagi menjadi 3 (tiga) Blok ( tabel 6 ).

Tabel 6. Batas Areal Kerja Pengusahaan Pariwisata Alam (PPA) PT. Shorea Barito Wisata NO.

DESKRIPSI

KETERANGAN

A. BLOK I (GILIMANUK) 1 Luas + 10,5 Ha 2 Batas Astronomi 3 Batas wilayah administrasi Kelurahan Gilimanuk Kecamatan Melaya pemerintahan Kabupaten Jembrana Propinsi Bali 4 Batas wilayah pemangkuan Seksi Pengelolaan Taman Nasional hutan Wilayah I Balai Taman Nasional Bali Barat 5 Batas – batas areal : Sebelah Utara - Zona pemanfaatan perairan TNBB Teluk Gilimanuk. Sebelah Timur - Zona pemanfaatan perairan TNBB Teluk Gilimanuk. Sebelah Selatan Zona pemanfaatan kawasan hutan savana Sebelah Barat Pemukiman penduduk Kelurahan Gilimanuk B. BLOK II (TANJUNG KOTAL) 1 Luas + 185,8 Ha 2 Batas Astronomi 3 Batas wilayah administrasi Desa Sumber Klampok Kecamatan pemerintahan Gerokgak Kabupaten Buleleng Propinsi Bali 4 Batas wilayah pemangkuan Seksi Pengelolaan Taman Nasional hutan Wilayah III Balai Taman Nasional Bali Barat 5 Batas – batas areal : - Sebelah Utara Zona Rimba kawasan hutan musim - Sebelah Timur TNBB. - Sebelah Selatan - Zona pemanfaatan & Rimba perairan - Sebelah Barat Teluk Terima - Enclave desa Sumber Klampok (APL) Zona Rimba kawasan hutan musim TNBB C. BLOK III (LABUAN LALANG) 1 Luas + 55,2 Ha 2 Batas Astronomi 3 Batas wilayah administrasi Desa Sumber Klampok Kecamatan pemerintahan Gerokgak Kabupaten Buleleng Propinsi Bali 4 Batas wilayah pemangkuan Seksi Pengelolaan Taman Nasional

101

hutan 5

Batas – batas areal : - Sebelah Utara - Sebelah Timur - Sebelah Selatan - Sebelah Barat

Wilayah III Balai Taman Nasional Bali Barat - Zona pemanfaatan perairan TNBB Teluk Terima. - Sungai Krapyak dan Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) - Jalur SUTT 150 KV Lampu Merah Gilimanuk – Pameron dan Jalan Propinsi Cekik - Singaraja - Zona pemanfaatan kawasan hutan musim TNBB & enclave Desa Sumber Klampok (APL)

Sumber : Peta RBI Lembar Possumur, Ketapang, P. Menjangan dan Goris Skala 1:25.000 (Bakosurtanal, 1996 ) Peta zonasi TNBB (Lampiran Keputusan Dirjen PHPA No. 38/Kpts/DJVI/1996) Peta Areal kerja PPA PT. Shorea Barito Wisata (Lampiran Keputusan Menteri Kehutanan No. 184/Kpts-II/1998 dan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No : 566/Kpts-II tanggal 21 Juli 1999 tentang Penetapan Batas Areal Kerja Peta Tata Batas sebagian Kelompok Hutan Bali Barat (RTK. 19) yang pinjam pakai untuk pembangunan Tower SUTT 150 KV Lampu Merah – Gilimanuk – Pemeron skala 1:50.000 (BIPHUT Wilayah III, Juli 1995) b. Iklim Klasifikasi iklim wilayah ( Schmidt dan Ferguson, 1951 ) ketiga blok areal kerja PPA termasuk iklim type E ( Q = 150% ). Rata – rata bulan basah 4 bulan dan bulan kering 6 bulan, dengan curah hujan rata – rata 938 mm/ tahun. Curah hujan tertinggi jatuh pada bulan Desember - Maret bersamaan dengan bertiupnya angin barat berkecepatan antara 9,2 18,5 km/jam. Sedangkan musim kemarau terjadi antara bulan Juni Oktober, yaitu bersamaan dengan periode angin musim tenggara. Temperatur rata – rata

27° - 32° C, dan kelembaban udara berkisar

antara 55-85%.

102

c. Potensi Biologi. 1) Flora Tipe ekosistem di areal

kerja Pengusahaan Pariwisata Alam (PPA)

pada sebagian zona pemanfaatan intensif Balai TNBB terdiri atas :  Ekosistem hutan savana di Blok I (Gilimanuk), yang di dalamnya terdapat

lontar

(Borasus

flaberifer)

yang

tumbuh

secara

mengelompok terpisah – pisah.  Ekosistem hutan musim di Blok I (Gilimanuk) dan Blok III (Labuan Lalang) yang akan menggugurkan daunnya pada musim kemarau sehingga rawan terhadap kebakaran hutan.  Ekosistem hutan mangrove di Blok I (Gilimanuk), II (Tanjung Kotal) dan III (Labuan Lalang) dengan komposisi jenisnya sedikit dan tumbuh pada relung ekologi yang sempit yaitu membentuk zonasi pada pantai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. ( foto 4)  Ekosistem hutan pantai di Blok III (Labuan Lalang). Foto 5. Hutan mangrove di TNBB

Tabel 7.

Struktur tegakan, Komposisi jenis, dominasi atau Indek

Nilai Penting (INP), keanekaragaman jenis (H’) dan jenis dilindungi 103

Deskripsi Semai A. Blok I (Gilimanuk) Hutan Mangrove : Jumlah jenis 7 Jenis Jumlah dominan Bakau(R. Apiculata) Keanekaragaman jenis Jenis dilindungi

Keanekaragaman jenis

6 Jenis

5 Jenis Bakau(R. Apiculata)

43 %

55%

65 %

1,05

1,62

6 Jenis Bakau(R.Apicu ata) 57 % 1,73

6 Jenis Tembelekan (Lantana camara)

6 Jenis Bakau ( R. Apiculata)

106 %

57 %

-

1,55

-

1,42 1,73

6 Jenis Bakau(R. Apiculata) 108 % 1,66

6 Jenis 8 Jenis Asosiasi Tembelekan Talok(lantana Tembelekan- camara) Walikukun, 39% 103% 1,77

Jenis dilindungi

Pohon

Api-api (A.marina)

B. Blok II (Tanjung Kotal) Hutan Mangrove : Jumlah jenis 5 Jenis Jumlah dominan Api-api(Avicenia marina) Keanekaragaman 71 % jenis 1,47 Jenis dilindungi Hutan Musim : Jumlah jenis Jumlah dominan

Strata Pertumbuhan Pancang Tiang

Sawo kecik (manilkara kauki)

1,85 Sawo kecik (manilkara kauki)

Hutan Pantai : Jumlah jenis Jumlah dominan Keanekaragaman jenis Jenis dilindungi

4 Jenis Poh hutan (Buchanania arborescens) 83 % 1,24

C. Blok III (Labuan Lalang) Hutan Mangrove : Jumlah jenis 5 Jenis Jumlah dominan Buta-buta (Exoecaria agallaocha),8 5%

3 Jenis Pedang– pedangan, 83 %

3 Jenis Dungun (Heritea littoralis), 83%

5 Jenis Dungun (Heritea littoralis) ,98%

1,06

6 Jenis Buta-buta (Exoe-caria agallaocha) , 102 %

104

1,07

1,47

-

5 Jenis Buta-buta (Exoecaria agallaoc

Keanekaragaman jenis Jenis dilindungi Hutan Musim : Jumlah jenis Jumlah dominan

Keanekaragaman jenis Jenis dilindungi Hutan Pantai : Jumlah jenis Jumlah dominan

Keanekaragaman jenis Jenis dilindungi

1,49

ha), 131 % 1,40

1,46

4 Jenis Tembelekan (Lantana camara), 80 % 1,33

6 Jenis Kalak, 63%

5 Jenis Talok (Grewia koordersia), 85%

1,66 1,50 Asam (Tamaridus)

4 Jenis Krinyuh (Eupatorium inulofolium), 80 % 1,33

3 Jenis Dungun (Heritea littoralis), 83%

3 Jenis Dungun (Heritea littoralis), 136%

5 Jenis Dungun (Heritea littoralis) ,98%

1,06

1,47

1,07

2) Fauna Jenis fauna endemik / dilindungi di kawasan TNBB yang sangat jarang dan

mendekati

kepunahan

yaitu

burung

Jalak

Bali

(Leucopsar

rothschildi). Menurut hasil sensus UPT Taman Nasional Bali Barat (1995), dihutan alam

populasinya hanya sekitar 27 ekor yang

penyebarannya berada di utara Blok II (Tanjung Kotal ).Sedangkan yang berada di penangkaran Tegal Bunder sampai dengan Agustus 1997 berjumlah 40 ekor (UPT. TNBB, 1997). Jenis fauna lainnya yaitu burung air seperti layang – layang asia (Hirundo ristica ) dan bondol jawa (Lonchura leucogastroides) serta mamalia seperti monyet (Macaca fascicularis),

rusa timur (Cervus timorensis) dan kijang (Muntiacus

muntjak).

105

Tabel 8.

Kondisi habitat, kelimpahan dan keanekaragaman jenis

dan tropik satwa liar. No. Deskripsi Keterangan A. Blok I (Gilimanuk) 1 Kualitas . Habitat Tergolong hutan sekunder, karena adanya aktivitas a Hutan pengambilan kayu untuk kayu bakar dan daun pidada . Mangrove (Sonneratia alba) untuk pakan ternak. Hamparan mangrove (R. Apiculata, R. Mucronata, R. Stylosa, S. Alba, A. Marina, C. Decandra, dan C. Tagal) disepanjang pantai merupakan habitat bagi jenis – jenis burung air seperti (blekok, kuntul dan bangau tong-tong). b Hutan Terdapat vegetasi lontar (B. Flaberifer) yang tumbuh . savana secara mengelompok secara terpisah. Kondisi tumbuhan bawah cukup terbuka, bahkan pada musim kemarau mengering. Komposisi jenis satwa yang dijumpai yaitu burung pemakan serangga dan pemakan madu. 2 Kelimpahan 18 burung (9 jenis termasuk dilindungi. Jenis burung . Individu dan dominan yaitu kepinir rumah (Apus afinis) dan layang – Keaneragam layang (Hirundo rustica) dengan kerapatan relatif (KR) an Jenis 12,7%. Keanekaragaman jenis burung (H’) 1,22 Burung 3 . 4 .

Mamalia dan Reptilia Tingkat Tropik

2 jenis mamalia yaitu babi hutan (Sus scrofa) dan tikus rumah (rattus rattus). Reptilia 2 jenis yaitu biawak (Varanus salvator) dan kadal (Moubuya sp). Dari 22 jenis fauna (18 jenis burung, 2 jenis mamalia dan 2 jenis reptilia) terdiri atas 6 fishcivor, 3 carnivora, 5 gramnivora, 5 insecetivora, 2 nectivora dan 1 omnivora.

B. Blok II (Tanjung Kotal) 1 Kualitas Kondisinya cukup baik dan dapat mendukung kehidupan Habitat burung air (seperti blekok dan raja udang) akan pakan, Hutan tempat berlindung dan berkembang biak. Mangrove Hutan Musim Jenis tegakan yang dijumpai diantaranya talok, walikukun, kesambi dan pilang. Kondisi habitat pada musim kemarau sangat rawan bagi kehidupan satwa liar. Pohon pilang merupakan jenis pohon yang menjadi tempat bersarang burung Jalak Putih Bali. 2 Kelimpahan Pada hutan mangrove sekitar Teluk Terima terdapat 25 . Individu dan jenis burung (6 jenis diantaranya termasuk dilindungi). Keanekaraga Jenis dominan burung layang – layang asia dan bondol man Jenis jawa (KR 9,52%). H’ 1,34 Pada hutan mangrove sekitar Tanjung Kotal terdapat 27 jenis burung (7 diantaranya termasuk dilindungi). Jenis dominan burung bondol jawa (KR 10,31%). H’ 1,31 Pada hutan musim terdapat 30 jenis burung (7 jenis diantaranya termasuk dilindungi). Jenis dominan burung jog-jog (KR 8,70%). H’ 1,41

106

3 .

Mamalia dan Reptilia

Pada hutan mangrove sekitar Teluk Terima dijumpai 2 jenis mamalia (monyet ekor panjang dan babi hutan) dan 2 jenis reptilia (biawak dan kadal). Pada hutan mangrove sekitar Tanjung Kotal dijumpai 5 jenis mamalia (rusa timor, kijang, monyet ekor panjang, babi hutan dan tikus rumah) dan 1 jenis reptilia (kadal). Pada hutan musim dijumpai 11 jenis reptilia (ular sanca, kadal dan ular tanah). Monyet ekor panjang dijumpai dalam bentuk kelompok dengan jumlah sekitar 12-30 ekor / kelompok.

4 .

Tingkat Tropik

b .

Hutan Pantai

Komunitasnya merupakan lapisan tipis (50-150 m) dibelakang hutan mangrove, ditumbuhi waru laut dan ketapang. Karena tidak menggugurkan daunnya pada musim kemarau, menjadikannya sebagai habitat alternatif beberapa mamalia.

c .

Hutan Musim

Kondisinya merangas pada musim kemarau, sehingga selain menjadi pembatas dalam mendukung kehidupan satwa juga sangat rawan kebakaran hutan. Jenis yang masih berdaun pada musim kemarau yaitu kesambi.

Pada hutan mangrove terdiri atas 5 fishcivora, 6 gramnivora, 13 insectivora, 1 carnivora, 2 nectivora dan 2 omnivora. Pada hutan musim 9 carnivora, 13 gramnivora, 15 insectivora, 2 nectivora, 2 omnivora dan 3 herbivora. C. Blok III (Labuan Lalang) 1 Kualitas . Habitat Merupakan lapisan tipis (5-100 m) dari Teluk Terima a Hutan sampai dermaga Labuan Lalang . Dibeberapa lokasi . Mangrove telah mengalami peralihan menjadi hutan pantai karena pengaruh sedimentasi . Selain sebagai habitat beberapa burung air, juga merupakan habitat alternatif monyet ekor panjang , rusa dan kijang pada musim kemarau.

2 .

Kelimpahan Pada hutan mangrove terdapat 19 jenis burung (7 jenis Individu dan diantaranya termasuk dilindungi). Jenis dominan burung Keanekaraga layang – layang asia (KR 12,82%). H’ 1,23 man Jenis Pada hutan pantai terdapat 15 jenis burung (4 Burung diantaranya termasuk dilindungi). Jenis dominan burung bondol jawa (KR 10,87%). H’ 1,12 Pada hutan musim terdapat 28 jenis burung (8 jenis diantaranya termasuk dilindungi). Jenis dominan adalag burung layang – layang asia (KR 9,41). H’ 1,36

3 .

Mamalia dan Reptilia

Pada hutan mangrove terdapat 5 jenis mamalia (2 jenis diantaranya yaitu rusa timor dan kijang termasuk dilindungi). Jenis monyet ekor panjang mudah dijumpai antara 20 – 35 ekor / kelompok. Reptilia dijumpai biawak dan kadal. Pada hutan pantai terdapat 9 jenis mamalia (4 jenis diantaranya termasuk dilindungi) dan 1 jenis reptilia (kadal). Monyet ekor [panjang sangat mudah dijumpai

107

40-60 ekor / kelompok di pinggir jalan propinsi. Pada hutan musim terdapat 12 jenis Mamalia (7 jenis diantaranya termasuk dilindungi) dan 4 jenis reptilia. Monyet ekor panjang merupakan jenis yang mudah dijumpai, sedangkan untuk banteng relatif sudah sulit dijumpai. 4 .

Tingkat Tropik

Dari 26 jenis satwa liar pada hutan mangrove terdiri atas 3 fishcivora, 7 gramnivora, 9 insectivora, 2 carnivora, 2 nectivora, 2 herbivora dan 2 omnivora. Dari 25 jenis satwa liar pada hutan pantai terdiri atas 3 carnivora, 6 gramnivora, 7 insectivora, 2 nectivora, 2 omnivora, 2 fishcivora, dan 3 herbivora. Dari 44 jenis satwa liar pada hutan musim terdiri atas 10 carnivora, 11 gramnivora, 15 insectivora, 2 nectivora, 2 omnivora dan 4 herbivora.

3) Biota Perairan. Terumbu karang diperairan Teluk Terima sekitar areal kerja Pengusahaan Pariwisata Alam (PPA) Blok II (Tanjung Kotal) dan III (Labuan Lalang) tergolong dataran (reef flat), dan selanjutnya mendekati ke arah

Pulau Menjangan tergolong karang tepi / reef

edge ( WWF dan UNDP/FAO, 1980 ).Di perairan Teluk Terima dan sekitar Pulau Menjangan teridentifikasi sekitar 45 jenis terumbu karang, 32 jenis ikan karang dan 9

jenis moluska laut (Proyek

Pengembangan TNBB tahun 1996/1997). ( foto 6 ).

Foto 6. Terumbu karang di pulau Menjangan

108

. Menurut laporan Balai Taman Nasional Bali Barat, WWF Bali dan survey yang dilakukan PT. SBW (1998), hampir semua

kawasan

perairan terkena hama mahkota berduri (Acanthester planci) dan kondisi terumbu karang buruk, kecuali pada kawasan Tukad Saru yaitu di bagian dalam dari Teluk Terima dan sekitar Tanjung Kotal. Kawasan Tukad Saru mempunyai juvenille (permudaan ) yang jauh lebih tinggi dari pada kawasan lain, terutama Pulau Menjangan. Berkaitan dengan rehabilitasi perairan TNBB, terutama Pulau Menjangan sebagai tujuan wisata bahari utama, maka kawasan Tukad Saru menjadi penting mengingat kemungkinannya atas oleh kemiripan ekosistemnya, juga oleh

banyaknya

jenis ikan yang

ditemukan di Pulau Menjangan, juga ditemukan di Tukad Saru. Banyaknya macam Juvenille (permudaan) yang terdapat di Tukad Saru mempunyai jenis yang sama dengan ikan dewasa di Pulau Menjangan. Areal kerja Pengusahaan Pariwisata Alam (PPA) (Gilimanuk)

termasuk

ke

dalam

daerah

Aliran

Sungai

Blok I (DAS)

Penginuman Cekik, Blok II (Tanjung Kotal) termasuk DAS Prapat 109

Agung dan Blok III (Labuan Lalang) termasuk DAS Teluk Terima dan Krapyak / Labuan Lalang ( lihat peta 5 dan 6 ). Pola aliran sungai tergolong dendritik dan bersifat intermiten. Sungai yang relatif cukup besar hanya terdapat di Blok III (Labuan Lalang) yaitu Sungai Krapyak/Labuan Lalang; yang juga sebagai batas alam dibagian sebelah timur dari Blok III (Labuan Lalang ).

Debit

sungai Krapyak bagian Hulu 0,54 M3/ detik dan di bagian Hilir 0,79 M3/detik. Untuk Blok I (Gilimanuk) dan II (Tanjung Kotal) relatif hanya terdapat drainase alami dan jauh dari sungai. Sumber air bersih untuk Blok I dipasok dari PDAM Gilimanuk sedangkan untuk Blok II (Tanjung Kotal) dan Blok III (Labuan Lalang) diperoleh dari sumur bor Balai TNBB di Teluk Terima dengan debit sekitar

2,5

liter/detik.Selain

itu

dapat

memanfaatkan

sumur

peninggalan zaman Belanda di kampung Sumber Batok, yang pada musim kemarau tidak pernah kering (diameter sumur 1,5 M dengan tinggi permukaan air dan kedalamannya sekitar 3 M).

d. Aksesibilitas Aksesibilitas untuk menuju areal Pengusahaan Pariwisata Alam (PPA) mudah, mengingat lokasinya tidak jauh dari jalan negara dan propinsi maupun pelabuhan laut dan udara, kecuali untuk menuju Blok II (Tanjung Kotal) dimana Waka Shorea Resort and Spa berada harus melalui Blok III (Labuan Lalang) terlebih dahulu yaitu menggunakan angkutan kapal motor atau speed boat melayari perairan Teluk Terima. Pelabuhan laut terdekat yaitu pelabuhan penyeberangan ferry ASDP Gilimanuk (+ 700 m disebelah barat dari Blok I), yang 110

menghubungkan

Pulau

Bali

(Gilimanuk)

dengan

Pulau

Jawa

(Ketapang Banyuwangi) sebanyak 16 trip / hari dan waktu tempuh + 1 jam. Pelabuhan udara terdekat yaitu Bandara Ngurah Rai di Denpasar yang merupakan bandara international (kelas 1) dan sebagai pintu gerbang pariwisata ke Bali dan kepulauan Nusa Tenggara; dapat didarati pesawat berbadan lebar (Boeing 747 dan Air Bus A300) dari maskapai penerbangan domestik dan internasional. Selanjutnya dari Denpasar perjalanan ke lokasi menggunakan metode angkutan darat regular Denpasar – Gilimanuk atau kendaraan charter melalui rute jalur utara dari Denpasar – Singaraja Blok III (Labuan Lalang) berjarak + 160 km dengan waktu tempuh sekitar 4 jam. Jalur selatan dari Denpasar – Negara – Gilimanuk – Blok I (Gilimanuk) berjarak + 143 km dengan waktu tempuh sekitar 3,5 jam, sedangkan untuk ke Blok III (Labuan Lalang) dari Denpasar – Negara – Cekik – Blok III (Labuan Lalang) + 150 km. Sarana dan prasarana pendukung kegiatan pariwisata telah cukup tersedia di Gilimanuk, meliputi 2 bank, 5 hotel / losmen, 6 unit homestay, 6 buah rumah makan, 6 unit art shop, pasar dan kelompok pertokoan, 1 unit kantor pos, dan 2 unit wartel.

e. Demografi Masyarakat Sekitar TNBB 1). Kependudukan

111

Wilayah Kecamatan Melaya terdiri atas 10 Kelurahan / Desa, dimana areal kerja Pengusahaan Pariwisata Alam (PPA) Blok I termasuk wilayah Kelurahan Gilimanuk dengan KK), kepadatan penduduk

6.258 jiwa (1.409

112 jiwa/km2. Sedangkan wilayah

Kecamatan Gerokgak terdiri atas 14 Desa, dimana areal kerja PPA Blok II (Tanjung Kotal) dan Blok III (Labuan Lalang) termasuk ke dalam wilayah Desa Sumber Klampok yang berpenduduk 2.143 jiwa (567 KK), kepadatan penduduk 37 jiwa / KM2. (Tabel 9)

Tabel 9. Penduduk disekitar areal Pengusahaan Pariwisata Alam (PPA) Kelompok Umur

0 – 4 Tahun (Jiwa) 5 – 14 Tahun (Jiwa) 15 – 59 Tahun (Jiwa) Diatas 59 Tahun (Jiwa) Jumlah Total (Jiwa) Laki – laki Perempuan Kepadatan (Jiwa / KM) Sumber : Monografi Desa

Wilayah Kelurahan / Desa Gilimanuk Sumber (56,01 KM2) Klampok (39,8 KM2)

Pejarakan (39,6 KM2)

557 1592 3831 278 6.258 2.785

193 552 1301 97 2.143 1.098

933 2.057 4.185 374 7.549 3.709

3.476

1.045

3.840

112

54

190

2). Pola Penggunaan lahan. Penduduk di sekitar areal pengusahaan pariwisata alam mengolah tanah secara tradisional dengan cara mencangkul dan tanah garapan sistem tumpang sari yang diizinkan pada kawasan

112

hutan produksi terbatas dan hutan tanaman dengan sistem kontrak kepada penduduk disekitar kawasan hutan pada Dinas Kehutanan Propinsi Bali.

3). Kondisi Perekonomian. Penduduk di sekitar areal kerja Pengusahaan Pariwisata Alam (PPA) mayoritas bermata pencaharian di sektor pertanian (termasuk nelayan dan peternakan), yaitu di desa Sumber Klampok 59,96 % dan Desa Pejarakan 60,23 % , kecuali untuk di Kelurahan Gilimanuk mayoritas di sektor niaga / perdagangan (69,09 %). Khusus untuk penduduk Desa Sumber Klampok yang bermata pencaharian sebagai petani, merupakan petani penggarap eks areal perkebunan kelapa dan kapuk yang telah habis masa HGU-nya sejak tahun 1993.

Di bawah tegakan kelapa juga ada yang ditanami mangga

oleh penduduk setempat. Sedangkan di kampung Pahlengkong dan Goris (desa Pejarakan) yang merupakan petani eks margesaren ada pertanaman anggur. Aktivitas perekonomian non formal yang terkait dengan kegiatan pariwisata yang berkembang di Gilimanuk dan Pejarakan yaitu industri kecil / rumah tangga yang bergerak dibidang makanan – minuman olahan dan kerajinan (logam dan Kayu). Pusat pertumbuhan perekonomian terdekat yaitu pelabuhan Gilimanuk serta Negara (ibukota Jembrana ) dan Singaraja (ibukota Buleleng ).

4). Pendidikan, Kesehatan dan Fasilitas Umum. Penduduk di sekitar wilayah Pengusahaan Pariwisata Alam 113

Blok II dan III (Desa Sumber Klampok dan Pejarakan) tingkat pendidikan relatif lebih daripada di sekitar Blok I (Kelurahan Gilimanuk), meskipun fasilitas pendidikan dan aksesibilitas cukup memadai. Sekolah yang tersedia di desa ini hanya sampai SMP, sedangkan untuk SMK Kelautan ada di Desa Sumber Kelian 25 km dari Desa Sumber Klampok, sedangkan SMK Kehutanan belum ada. Oleh sebab itu karena wilayah desa ini berada di kawasan TNBB, Kepala Desa mengharapkan dibangunnya SMK Kehutanan di desa mereka. Status gizi dan kecukupan pangan untuk penduduk disekitar areal kerja Pengusahaan Pariwisata Alam (PPA) Blok I (Gilimanuk) relatif lebih baik dari pada yang disekitar Blok II (Tanjung Kotal) dan III (Labuan Lalang). Hal tersebut tercermin dari hasil Susenas di wilayah Kabupaten Buleleng terdapat rumah tangga yang tidak mengandung iodium 47,96% dan kurang iodium (<30 ppm) sebesar 34,92%. Rumah sakit terdekat di kabupaten Buleleng yaitu di Singaraja (RSUD Singaraja, RS TNI AD, RSU Kartha Husada dan RSU Karya Dharma Husada ), sedangkan untuk wilayah Kabupaten Jembrana terdapat RSUD Negara di Negara Jembrana.

5). Budaya Masyarakat Penduduk di sekitar areal kerja PPA dapat dikatakan heterogen

jika

ditinjau

dari

etnis,

agama,

dan

budayanya.

Berdasarkan etnis dalam jumlah besar terdiri atas etnis Bali, Jawa,

114

Madura, dan. Lombok yang telah hidup berdampingan dalam. suasana harmonis. Penduduk pendatang di desa Sumber Klampok dan Pejarakan yang telah mencapai

hampir

selama

tiga

generasi, awalnya merupakan tenaga kerja yang didatangkan pada jaman Belanda untuk dipekerjakan di perkebunan (kelapa dan kapuk), dan sebagai petani pengontrak (magersaren). Pola pemukiman antara penduduk etnis Bali dan penduduk pendatang adalah mengelompok secara terpisah. Di desa Sumber Klampok penduduk etnis Bali dari Karang Asem bermukim di Kampung Sumber Batok, dan pendatang dari Madura dan Banyuwangi bermukim di Kampung Sumber Klampok dan Tegal Bunder. Penduduk pendatang dari Karang Asem dan Lombok bermukim di Kampung Goris dan Pahlengkong.

Tetapi

untuk

Kelurahan

Gilimanuk,

pola

pemukimannya telah membaur. Adat istiadat yang berlaku sangat erat kaitannya dengan norma agamna Hindu yang dianut mayoritas penduduk. Masyarakat Bali sangat percaya kepada karma-phala, artinya kalau kita dapat membuat orang lain ikut menikmati hidup ini maka hidup kitapun akan lebih bermakna. Selain itu juga dikenal konsep Tri Hita Karana yaitu tiga penyebab kesejahteraan yaitu hubungan yang selaras, serasi, dan seimbang dengan Tuhan / Sang Hyang Wiidhi Wasa ( Parahyangan ), dengan sesama manusia (Pawongan) dan dengan lingkungan hidup (Palemahan). Heterogenitas etnis dan adanya perbedaan norma dan kebiasaan yang berlaku tersebut tidak menutup terjadinya kontak sosial dengan masing – masing tetap

115

menghormati, misal pada saat berlangsungnya Nyepi Tahun Baru Saka. Konflik SARA tidak pernah terjadi.

2. Dasar–Dasar Kebijakan untuk Evaluasi Kebijakan Kemitraan PPA TNBB Dasar evaluasi kebijakan kemitraan mengacu kepada data sekunder, yaitu dokumen berikut ini:  Keputusan Menteri Kehutanan no 184 / Kpts – II / 1998 tentang Pemberian Izin Pengusahaan Pariwisata Alam kepada PT.Shorea Barito Wisata Pada Sebagian Zona Pemanfaatan Taman Nasional Bali Barat.  Rencana Karya Lima Tahun Pengusahaan Pariwisata Alam ( RKL-PPA ) Tahap kedua, periode 1 April 2003 – 31 Maret 2008, dimana rencana ini dijabarkan ke dalam Rencana Karya Tahunan.  Rencana Karya Tahunan Pengusahaan Pariwisata Alam ( RKT-PPA ) Tahap : VI (1 Januari – 31 Desember 2003 ), VII ( 2004 ) VIII ( 2005 ), IX ( 2006 ), X ( 2007), dan XI ( 2008 ).  Laporan Hasil Monitoring dan Evaluasi Pengusahaan Pariwisata Alam tahun 2003 – 2008.  Ringkasan

Eksekutif Analisa

Dampak

Lingkungan

( ANDAL )

Pengusahaan Pariwisata Alam PT. Shorea Barito Wisata pada Zona Pemanfaatan Taman Nasional Bali Barat di Kabupaten Dati II Jembrana dan Buleleng Propinsi Bali ( Maret 1998 ).  Kebijakan umum dan kebijakan operasional perusahaan. Kebijakan Umum Perusahaan

116

Dalam pelaksanaan kegiatan pengusahaan pariwisata alam, PT. Shorea Barito Wisata menetapkan kebijaksan umum perusahaan sebagai berikut (1) Mendukung pembangunan bidang ekonomi sektor kehutanan melalui pengembangan dan pengusahaan pariwisata alam pada obyek wisata alam dalam menjadikan pariwisata sebagai sektor andalan dalam arti luas yang mampu menjadi salah satu penghasil devisa, mendorong pertumbuhan

ekonomi,

meningkatkan

pendapatan

daerah,

memberdayakan perekonomian masyarakat, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha, serta meningkatkan pengenalan dan pemasaran produk nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tetap memelihara kepribadian bangsa, nilai-nilai agama, serta kelestarian fungsi dan kualitas lingkungan hidup. (2) Investasi pengusahaan pariwisata alam yang akan dilakukan memiliki tiga kepentingan yang akan dipadukan, yaitu antara (a) kepentingan konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya, (b) pendidikan lingkungan, dan (c) upaya -peningkatan manfaat ekonomi sumber daya hutan bagi kepentingan dunia usaha. Kepentingan konservasi sumber daya alam dan ekosistem merupakan faktor dominan yang menjadi perhatian dalam pendayagunaan potensi alam yang lestari dan berkelanjutan, sebagai daya tarik wisatawan untuk berkunjung. (3) Pembangunan dan pengembangan obyek wisata alam melalui upaya pemanfaatan tidak lepas kaitannya dengan pengembangan obyekobyek wisata di sekitamya sebagai satu kesatuan subsistem yang terpadu.

117

(4) Sistem pengusahaan ditekankan pada upaya penentuan jasa layanan wisata alam dan lingkungan hidup, kelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistem, serta pengembangan sosial ekonomi dan budaya setempat. (5) Pembangunan fasilitas pelayanan jasa pariwisata alam didasarkan atas pertimbangan berbagai aspek dan kepentingan, yaitu meliputi rencana tata letak (site plan), desain dan konstruksi bangunan ditekankan dengan keserasian lingkungan, corak dan bentuk bangunan bercirikan arsitektur daerah setempat, serta bentuk bangunannya dengan system semi permanent (6) Setiap tahun dilakukan evaluasi terhadap seluruh aspek kegiatan wisata alam, baik dari segi kelestarian sumber daya alam dan ekosistem maupun jenis kegiatan dan produk usaha wisata alam berdasarkan data hasil pemantauan yang dilakukan secara berkala. Hasil evaluasi akan digunakan untuk menetapkan strategi dan perencanaan pengusahaan pada tahun- tahun berikutnya. Kebijaksanaan Operasional

(1) Menjalankan usaha sesuai dengan norma-norma dan tata cara pengusahaan pariwisata alam yang teiah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Kegiatan pengembangan dan pengelolaan potensi obyek wisata alam akan diserasikan dengan situasi dan. kondisi alam setempat dan tetap berpedoman pada

asas perlindungan, pelestarian dan

pemanfaatan sehingga upaya pelestarian usaha dapat terjamin.

118

pelestarian fungsi kawasan dan

(3) Pengembangan dan pengelolaan potensi obyek wisata alam didasarkan kepada p e r e n c a n a a n t e r p a d u d e n g a n R K T- T N B B , d a n p o l a pembangunan

regional/wilayah sehingga membawa konsekuensi

keterpaduan usaha secara aktif terhadap gerak pembangunan daerah di Propinsi Bali pada umumnya serta Kabupaten Buleleng

dan

Jembrana pada khususnya.

(4) Pengembangan dan pengelolaan obyek wisata alam akan dilakukan secara khusus dan professional untuk mencegah penurunan kualitas kawasan obyek wisata alam sebagai bagian dari kawasan pelestarian alam.

(5) Kegiatan wisata yang merupakan pengelolaan aktivitas pengunjung dalam kaitannya dengan kegiatan pembangunan konservasi sumber daya alam hayati

3. Struktur Organisasi PT. Shorea Barito Wisata Struktur organisasi PT. Shorea Barito Wisata dalam PPA pada zona pemanfaatanTNBB adalah seperti pada gambar 3.

Gambar 3. Struktur Organisasi PT. Shorea Barito Wisata

119

sebagian

Dewan Komisaris

Dinas

Direktur

/Instansi

Utama

Direktur Operasional

Direktur

Direktur

Manager Perwakilan Bali

Supervisor

Manager

Administrasi

Operasi Wakil Manager Operasi

Administrasi

Kegiatan / Paket

Reservasi

Tata Graha

Tata Boga

Keteknisan / Perawatan

Pengamanan/ Perlindungan

Pengendalian Lingkungan

C. Analisa Dan Pembahasan 120

Keuangan

Pada observasi lapangan dilakukan tinjauan langsung ke dua dari tiga wilayah PPA PT. Shorea Barito Wisata ( PT. SBW ) yaitu Blok II ( Tanjung Kotal ) dimana terdapat Waka Shorea Resort and Spa ( peta 3, foto 7,8 ) dan Blok III ( Labuan Lalang ) dimana terdapat area dermaga / jetty. Blok II dan III berada di kabupaten Buleleng sedangkan Blok I ( Gilimanuk ) tidak dikunjungi karena belum dikembangkan dan hanya berupa lahan kosong. Pembahasan masalah akan difokuskan kepada pelaksanaan kebijakan kemitraan PPA TNBB di kabupaten Buleleng terkait pembangunan ekonomi, aspek sosial termasuk pemberdayaan masyarakat

dan

pelestarian

lingkungan

pembangunan berkelanjutan. Foto 7. Waka Shorea Resort and Spa

121

hidup

dalam

mewujudkan

Foto 8. Pantai di Waka Shorea Resort and Spa

Dengan mengacu kepada prinsip kemitraan menurut good governance versi Bappenas, maka akan dievaluasi juga apakah kedua pihak yang bermitra, yaitu Departemen Kehutanan dan PT. SBW sudah memiliki perilaku kunci selalu organisasi, seperti yang dinyatakan dalam kemitraan versi Bappenas, ( Bappenas 2007 : 106 ) yaitu : 1. Mengidentifikasi kebutuhan bekerja sama, dengan cara menganalisa organisasi dan unit kerja untuk mengidentifikasi hubungan kunci / penting yang perlu diciptakan atau diperbaiki untuk mencapai sasaran unit kerja 2. Mengembangkan peluang bekerja sama, dengan saling bertukar informasi dengan unit kerja yang berpotensi untuk Baling bekerja sama guns mengklarifikasi manfaat kerja sama dan permasalahan yang mungkin timbul saat bekerja sama; bersama-sama menentukan ruang lingkup dan harapan dari kerja sama yang akan dijalin sehingga kebutuhan masing-masing pihak dapat terpenuhi 3. Merumuskan rencana kegiatan untuk mewujudkan sasaran bersama; membuat kesepakatan tentang tanggung jawab dan dukungan yang diperlukan masing-masing pihak 4. Menomorduakan sasaran unit kerja dengan memberikan prioritas yang lebih tinggi pada sasaran organisasi dibandingkan dengan sasaran unit kerja; mengantisipasi pengaruh kegiatan dan 122

keputusan unit kerja terhadap pihak lain (partner); mempengaruhi pihak lain untuk memberi dukungan terhadap kerja sama 5. Memonitor kerja sama, dengan mengimplementasi cara - cara yang efektif untuk memonitor dan mengevaluasi proses kerja sama dan pencapaian sasaran bersama 1. Peran Balai TNBB Dalam Pengusahaan Pariwisata Alam TNBB. Pelaksanaan kebijakan kemitraan dari Departemen Kehutanan ini di daerah dilaksanakan oleh Balai TNBB, yang dikepalai oleh drs. Bambang Darmadja. ( foto 9 ). Foto 9. Kepala Balai TNBB drs. Bambang Dharmadja ( kiri)

Dalam hal ini Balai TNBB melakukan kemitraan dengan PT. SBW dalam berbagai bidang sebagai berikut : •

Balai TNBB setiap tahun melakukan monitoring dan evaluasi tertulis mengenai implementasi Pengusahaan Pariwisata Alam ( PPA) setiap bulan

Nopember

yang

kemudian

dilaporkan

ke

Departemen

Kehutanan. Untuk itu team Balai TNBB turun ke lokasi tempat PPA

123

untuk melakukan monitoring dan evaluasi dari Rencana Karya Tahunan ( RKT ) yang sudah dibuat oleh pengelola PPA termasuk PT. SBW dan dikirimkan kepada Departemen Kehutanan. •

Dalam pelestarian lingkungan hidup, Balai TNBB bermitra dengan PT. SBW dalam program pembersihan pantai dimana lokasi pantai berganti – ganti di sekitar obyek wisata termasuk di P. Menjangan. Hal ini juga dikonfirmasi oleh Kepala Balai TNBB bahwa Clean Up pantai dilakukan bersama dengan para stakeholder termasuk PT. SBW dan LSM seperti misalnya WWF, terutama di lokasi diving di Pulau Menjangan yang menjadi area pengawasan Balai TNBB. Jadi pihak perusahaan serta WWF bertindak sebagai penyandang dana. Selain itu dalam upaya konservasi, Balai TNBB juga memberikan pembinaan kepada generasi muda, bekerjasama dengan LSM PILANG melalui pendidikan konservasi kepada anak tingkat sekolah dasar, jambore konservasi, serta pelatihan kader konservasi. Selain itu Balai TNBB tergabung dalam Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Pesisir (FKMPP ) dimana seluruh stakeholder TNBB termasuk

PT. SBW. Untuk itu dilakukan patroli laut bersama yang

dimaksudkan untuk menangkap para nelayan yang menangkap ikan dengan menggunakan bom ikan, yang berdampak rusaknya koral dan taman laut di perairan TNBB. Hal tersebut dikonfirmasikan pula oleh Kepala Balai TNBB yang menyatakan bahwa dalam satu kali patroli laut menggunakan kapal cepat Balai TNBB, dana yang dihabiskan Rp. 750.000, dengan jumlah personil 6 orang. Oleh sebab itu patroli dilakukan bilamana ada dukungan dana dari pihak swasta / LSM.

124

Selain dengan PT. SBW, dalam upaya pelestarian lingkungan hidup khususnya pelestarian curik Bali, maka Balai TNBB juga melakukan kemitraan dengan Asosiasi Pelestari Curik Bali (APCB) Balai TNBB melakukan kemitraan dalam pelestarian curik Bali dimana pihak APCB menyediakan curik Bali yang hendak ditangkar, dan Balai TNBB menyediakan sarana berupa sangkar, pakan dan tenaga SDM untuk memelihara dan menangkar burung tersebut untuk kemudian dilepas liarkan kembali ke alam bebas ( foto 10 ).

Foto 10 . Kandang pelepasliaran curik Bali di Teluk Brumbun, Buleleng.

Kepala Balai TNBB menginformasikan bahwa upaya penangkaran dimaksudkan untuk menurunkan harga curik Bali di pasaran gelap yang sekarang mencapai Rp. 30 juta per pasang menjadi Rp. 5 juta per pasang. Untuk itu di Balai TNBB sendiri dilakukan upaya pelestarian Curik ( jalak ) Bali baik insitu, di dalam kawasan TNBB di mana burung ini

125

tidak boleh diperjualbelikan, maupun eksitu ( di luar kawasan ), dimana masyarakat

yang

berminat

untuk

menangkar

curik

Bali

dapat

mengajukan ijin kepada Departemen Kehutanan yang nantinya melalui Balai TNBB akan memberikan bibit curik Bali ( F1) untuk ditangkarkan, dan haislnya ( F2, F3 dan seterusnya ) dapat dijual. Dengan demikian pencurian curik Bali akan berkurang. Curik Bali atau Jalak Bali dikenal sebagai maskot

Pulau Bali, namun keberadaannya kini cukup

memprihatinkan, karena populasinya yang kian hari kian menurun. Hal itu disebabkan oleh rusaknya habitat Curik Bali dan kelangkaan air tawar akibat sering terjadinya perambahan kawasan hutan, pencurian kayu, serta gangguan masyarakat yang berada di sekitar TN Bali Barat. •

Untuk menjaga keamanan hutan, dibentuk satuan pengamanan terpadu antara tenaga keamanan dan pegawai bidang konservasi dari Waka Shorea dengan Polhut Balai TNBB ( foto 11 ) yang melakukan patroli bersama di wilayah yang rawan terhadap gangguan keamanan. Tenaga keamanan dari

PT SBW ( Waka Shorea Resort and Spa )

dilatih oleh Balai TNBB serta kepolisian dan mendapat pengetahuan baik mengenai cara pengamanan kawasan TNBB

di hutan, di laut

maupun juga pencegahan dan penanggulangan kebakaran. •

Balai TNBB juga mendidik para karyawan Waka Shorea Resort and Spa sebagai pemandu wisata alam TNBB dan disertifikasi. Selain itu Balai TNBB juga mempunyai pemandu wisata alam sendiri, yang direkrut dari masyarakat sekitar TNBB. Selain pemandu di hutan TNBB, masyarakat juga dididik menjadi pemandu diving, mengingat Pulau

126

Menjangan yang menjadi wilayah Balai TNBB terkenal sebagai lokasi diving. Foto 11. Polisi hutan Balai TNBB di Resort Teluk Brumbun, kabupaten Buleleng.

Lebih lanjut, Kepala Balai TNBB menjelaskan bahwa : Sejak tahun 2008, dilakukan sertifikasi untuk pendidikan pemandu wisata TNBB. Sampai sekarang ( Juli 2009 ) sudah 30 orang yang disertifikasi dan setiap tahun dilakukan diklat, pelatihan – pelatihan dan updating pengetahuan tentang kebijakan baru, teknologi dan perkembangan terbaru. Mereka diberi seragam biru, dan mampu berbahasa Inggris dengan belajar secara autodidak serta diberikan pelatihan bahasa Inggris juga dengan kerjasama dengan Dinas Pariwisata. Khusus untuk kegiatan pemanduan, bilamana ada kunjungan dari luar yang membawa pemandu sendiri, maka tetap harus menyewa pemandu wisata alam dari Balai TNBB, dengan demikian kita dapat memproteksi periuk nasi para pemandu ini. Dan dari hasil memandu, mereka bisa menyekolahkan anaknya dan menghidupi keluarganya. •

untuk menanggulangan kebakaran hutan, tenaga keamanan Waka Shorea Resort and Spa dilatih oleh polisi hutan Balai TNBB sebagai

127

tenaga SATGASDAMKAR (Satuan Tugas Pemadam Kebakaran ) , dengan pembekalan teori maupun praktek. Tiap tahun dilakukan diklat, penyegaran termasuk praktek di lapangan. •

Menerima dan memandu para tamu Waka Shorea Resort and Spa yang berkunjung ke wilayah Balai TNBB.



Dalam upaya penegakan hukum, Balai TNBB bekerja sama dengan semua stakeholder dan kepolisian setempat dimana pelanggar hukum yang ditangkap baik oleh polisi hutan sendiri, masyarakat maupun mitra swastanya termasuk PT. SBW ( Waka Shorea Resort and Spa ) akan diproses dan diserahkan kepada pihak kepolisian setempat. Dikatakan oleh Kepala Balai TNBB bahwa Tingkat kepatuhan masyarakat lokal di sekitar TNBB mengenai upaya pelestarian alam di atas 70%, dan hal tersebut karena adanya pendidikan dan pembinaan dari pihak Balai TNBB juga, selain dari filosofi Hindu Trihita Karana yang salah satunya mengandung arti keharmonisan antara manusia dengan alam sekitarnya. Justru ketidakpatuhan seperti pencurian kayu, pengeboman ikan, datangnya dari masyarakat luar Bali, mengingat lokasi TNBB di Gilimanuk yang dekat dengan Banyuwangi. Hal ini dikonfirmasi oleh Klian Desa Pakraman

(kepala desa adat )

Sumber Klampok ( foto 12) yang menyatakan bahwa : Pelanggaran tidak banyak dilakukan oleh masyarakat desa setempat, justru masyarakat dari luar desa ( karena sudah dekat dengan Banyuwangi ) yang sering tertangkap basah melakukan pelanggaran pada saat dilakukan patroli ( darat dan laut ), seperti pencurian kayu api untuk kayu bakar karena gas elpiji sekarang mahal dan langka, penangkapan ikan dengan bom ikan, perburuan hewan liar seperti curik Bali, ayam hutan, rusa, dan lain – lain. Sedangkan dari segi hukum adat, dalam awig – awig adat, dicantumkan juga pasal terkait dengan pelestarian lingkungan, dimana penduduk desa harus ikut memelihara kelestarian TNBB, sebagai pelaksanaan dari filosofi Hindu Tri Hita Karana, yaitu adanya keharmonisan antara manusia dan alam sekitarnya. Selain itu TNBB merupakan hal yang harus diwariskan kepada generasi mendatang. Awig – awig lingkungan ini sangat ditaati

128

oleh warga Hindu, sedangkan masyarakat non Hindu juga menghormati awig – awig ini.

Foto 12. Kepala Desa Sumber Klampok (no 2 dari kiri ), Klian Desa Pakraman ( no 3 dari kiri ) dan stafnya di Kantor Kepala Desa.

Selanjutnya agar masyarakat tidak merambah hutan untuk mencari pakan ternak pada musim kemarau, Kepala Desa Sumber Klampok menginformasikan bahwa

Departemen Pertanian dan Peternakan

membantu dengan program Program Hijauan Makanan Ternak ( HMT ) yaitu penanaman rumput sebagai pakan ternak di lahan tidur. Ini merupakan realisasi usulan Kepala Desa pada saat musrenbang yang lalu. Polisi hutan yang ditemui di Teluk Brumbun, Buleleng, yang merupakan wilayah Balai TNBB mengatakan ada hal yang sering mengecewakan dalam eksekusi hukuman bagi para pelanggar hukum,

129

dimana seringkali tidak sesuai dengan makna konservasi dan upaya yang sudah dilakukan. Sebagai contoh pernah terjadi pencurian kayu untuk dibuat bonsai, sampai di meja hijau, hakim hanya menilai berdasarkan nilai kayu yang dicuri, tanpa mempertimbangkan nilai konservasinya. Dan pelanggar hanya dikenakan hukuman 2 bulan 8 hari. Padahal untuk menangkapnya diperlukan upaya pengintaian sampai 3 bulan. Pencurian burung jauh berkurang karena adanya isu flu

burung.

Lebih

jauh

Klian

adat

Desa

Pakraman

tersebut

menambahkan bahwa : Dari segi adat, ada denda Rp. 100.000 bagi pelanggar, dan diarak keliling desa diiringi pukulan gong. Dari segi hukum, pelanggar disuruh membuat surat pernyataan dan menandatanganinya. Apabila kedapatan berbuat lagi, maka akan diserahkan kepada Balai TNBB untuk diproses lebih lanjut. Namun bila yang menangkap adalah pihak Balai TNBB, maka akan diproses lebih lanjut dan masyarakat desa menyerahkan sepenuhnya kepada kebijakan Balai TNBB terhadap si pelanggar.

2. Peran PT. SBW dalam Kemitraan Pengusahaan Pariwisata Alam TNBB dalam Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan

a. Peran PT. SBW dalam Pembangunan Ekonomi (1). Pelaksanaan Pembangunan Sarana dan Prasarana di TNBB Sesuai dengan ijin PPA yang diberikan kepada PT. Shorea Barito Wisata ( Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 184/Kpts-11/1998 tanggal 27 Februari 1998), kegiatan wisata alam dilaksanakan di darat dan perairan laut sekitarnya yang

termasuk

zona

130

pemanfaatan

TNBB,

serta

penyediaan fasilitas dan jasa yang berhubungan dengan kegiatan wisata alam sesuai dengan daya dukung alam. Areal kerja PPA terdiri atas 3 (tiga) blok dengan luas total + 292 Ha, ( peta 4 ) dan aktivitas wisata, bahari di perairan Teluk Gilimanuk, Teluk Trima dan sekitar Pulau Menjangan yang termasuk zona pemanfaatan TNBB. Berdasarkan potensi dan jenis kegiatan yang akan diusahakan, kawasan tersebut akan dibagi menjadi beberapa sub blok wilayah pengembangan sebagai berikut : Sub blok penyangga / perlindungan. Wilayah ini diperuntukkan sebagai kawasan penyangga guna mengatur hidrologis ( sempadan sungai, sempadan pantai dan areal berlereng), dan pelestarian flora dan fauna, termasuk sempadan batas areal kerja PPA dengan zona inti dan zona rimba TNBB. Di dalam kawasan ini hanya dapat dilakukan aktivitas terbatas untuk kepentingan penelitian ilmiah dan teknologi, pendidikan konservasi , dan Photo hunting yang dalam

pelaksanaannya

didampingi

oleh

pemandu

atau

petugas yang ditunjuk. Luas sub blok penyangga di Blok I /Gilimanuk yaitu 98.379 m2, blok II Tanjung Kotal 1.845.323 m2, dan blok III / Labuhan Lalang 961.882 m2.

Sub Blok Pengembangan Sarana dan Prasarana: Wilayah ini diperuntukkan sebagai lokasi tapak sarana dan prasarana obyek wisata alam, serta penyelenggaraan kegiatan wisata alam lainnya dengan luas masing – masing blok yaitu

131

621 m 2 (0.62% ) di Blok I Gilimanuk, 4.677 m

2

(0.25%) di Blok II

Tanjung Kotal dan 8.118 m2 (0,84 %) di Blok III Labuhan Lalang atau secara keseluruhan sebesar 0,46 % dari total areal kerja PPA.. Sesuai dengan penjelasan PP 18 tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam, maka pembangunan saran prasarana di TNBB hanya maksimal 10% dari luas kawasan PPA, untuk mencegah kerusakan dan mempertahankan kesan alami kawasan TNBB. Sub Blok Wisata Bahari Wilayah

zona

pemanfaatan

perairan

TNBB

di

Teluk

Gilimanuk, Teluk Trima dan sekitar Pulau Menjangan berada di luar areal kerja PPA, tetapi termasuk kawasan untuk menyelenggarakan kegiatan wisata alam di laut. Kegiatan wisata alam yang akan dilaksanakan yaitu berperahu , memancing, scuba diving dan snorkling. Potensi wisata alam yang ada di wilayah PPA TNBB dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 10. Potensi Wisata Alam di wilayah PPA TNBB No

Obyek Wisata

Wilayah PPA I

Di Dalam wilayah PPA 1 Formasi hutan Hutan Mangrove Hutan Savana .

2 .

3 .

II dan

Panorama Alam

Nilai estetika areal yang menghadap ke perairan Teluk Gili-manuk dan peman-dangan Pulau Kalong, Pulau Burung dan Pulau Gadung. Keanekaragaman Kelimpahan dan keanekaSatwa Liar ragaman burung air

132

Hutan Mangrove dan Hutan Musim

III Hutan Mangrove, Hutan Pantai dan Hutan Musim

Nilai estetika areal yang menghadap ke perairan Teluk Terima dan pemandangan Pulau Menjangan dari kejauhan.

Selain burung air, rusa timor, kijang dan monyet ekor panjang, juga

Kelimpahan dan keanekaragaman burung air, rusa timor, kijang dan

sebagai wilayah teritori Jalak Putih Bali.

monyet panjang.

ekor

Disekitar wilayah PPA (zona pemanfaatan TNBB) yang menjadi areal kegiatan A Wisata Bahari 1 .

Rekreasi/ Wisata Pendidikan

Perairan Teluk Gili-manuk yang tenang dan dangkal untuk bersampan /berperahu

Perairan Teluk terima dan disekitar Pulau Menjangan dengan keragaman ikan dan terumbu karang,untuk berperahu,memancing scuba diving, snorkling.

Sumber : RKPA PT. Shorea Barito Wisata jangka waktu 1998 s/d 2027 (PT. SBW, 2007) Untuk mengoptimalkan potensi ekowisata tersebut maka dilakukan pembangunan sarana prasarana, dimana PT. SBW melakukan investasi

sendiri,

tidak

Kehutanan dalam hal ini.

ada

kemitraan

dengan

Departemen

Pembangunan difokuskan di Blok II

( Tanjung Kotal ) dan Blok III ( Labuan Lalang ) mengingat bahwa kedua blok tersebut merupakan lokasi wisata yang paling potensial, dimana lokasi Waka Shorea Resort and Spa berada di Labuan Lalang. Sedangkan di Blok I Gilimanuk, belum ada pembangunan seperti yang direncanakan, karena keterbatasan dana. Jenis kegiatan dan produk usaha yang akan dan sudah dikembangkan adalah seperti tampak pada tabel di bawah ini.

Tabel 11.Jenis kegiatan dan produk usaha yang akan dan sudah dikembangkan. Lokasi

Jenis Kegiatan

Produk Usaha

Akan dikembangkan : Wisata alam bahari dan wisata alam pendidikan / ilmiah di dukung wisata paket budaya sebagai paket wisata di luar kawasan TNBB, dengan bentuk kegiatannya : Rekreasi di alam terbuka / tracking / berkemah / lintas alam. Rekreasi bahari bersampan dan berperahu. Jasa

Jasa sewa sarana rekreasi/wisata bahari. Jasa sarana wisata ilmiah/pendidik an Jasa sarana wisata budaya penjualan

wilayah PPA Blok I (Gilimanuk)

133

makanan/minuman dan Pengamatan flora-fauna beserta souvenir. lingkungannya, dan pendidikan konservasi. Blok II (Tanjung Kotal)

 Jasa sewa Wisata alam bahari dan wisata sarana rekreasi pendidikan/ilmiah yang didukung wisata / wisata bahari paket budaya sebagai paket wisata diluar sarana kawasan TNBB, dengan bentuk  Jasa wisata ilmiah / kegiatannya : pendidikan  Rekreasi di alam terbuka / berkemah / lintas alam / tracking. sarana  Rekreasi bahari bersampan /  Jasa wisata budaya berperahu, memancing, scuba diving dan snorkling.  Pengamatan flora-fauna beserta  Jasa penjualan makanan/minu lingkungannya dan pendidikan m konservasi. an dan souvenir.

Blok III

Wisata alam/bahari dan wisata pendidikan /ilmiah yang didukung wisata paket • Jasa sewa (Labuan Lalang) budaya sebagai paket wisata diluar sarana rekreasi kawasan TNBB, dengan kegiatannya : / wisata bahari • Rekreasi di alam terbuka/ berkemah/ • Jasa sarana lintas alam / tracking wisata ilmiah / pendidikan • Penyelenggaraan konvensi /lokakarya sarana /rapat dinas sambil berekreasi untuk • Jasa menghilangkan kejenuhan / keletihan. wisata budaya • Rekreasi bahari bersampan/ • Jasa penjualan makanan / berperahu, memancing scuba diving minuman dan dan snorkling. souvenir. • Pengamatan flora-fauna, lingkungan dan pendidikan konservasi. Sumber : RKPA PT. Shorea Barito Wisata jangka waktu 1998 s/d 2027 (PT. SBW, 2007)

Sampai tahun 2009, fasilitas yang ada di Waka Shorea Resort and Spa adalah 14 vila dan dua lanai, satu meeting room kecil, satu spa, satu restoran dan satu pusat aktivitas. Harga dengan harga kamar cukup mahal untuk ukuran turis domestik yaitu USD 180, oleh sebab itu pengunjung resort 95% adalah orang asing khususnya orang Eropah, yang mengenal Waka Shorea Resort and Spa dari rekomendasi biro perjalanan mereka, dengan rata – rata masa

134

tinggal 2 hari. Lokasi dan konsep Waka Shorea cocok untuk kegiatan menyepi, karena tidak ada fasilitas telpon, wifi hanya ada di restoran, dan tidak ada TV. Pantainya tenang dan tidak terpolusi, tanpa ada pedagang asongan. Jetski tidak ada karena akan menimbulkan noise bagi pengunjung lain.

Sedangkan di Blok I

Gilimanuk dan Blok III Labuan Lalang belum dibangun akomodasi sekalipun ada rencana pembangunan camping ground di Blok I karena dari studi kelayakan dinilai belum memadai secara bisnis. Apalagi dengan kondisi krisis global seperti ini, maka perencanaan yang memakan investasi besar terpaksa ditunda. Dari direktur PT. SBW ( foto 13 ) diperoleh informasi bahwa untuk mengantisipasi potensi diver yang sekarang lebih banyak menginap di pantai Lovina, maka PT. SBW berniat mencari mitra untuk membangun sekitar 20 diving lodge di Blok II Labuhan Lalang di area penerimaan ( jetty ) yang akan dipasarkan dengan harga lebih terjangkau, antara USD 60-80. Foto 13. Direktur PT. Shorea Barito Wisata Ir. Iwan J. Prawira ( kanan )

135

Dengan demikian kawasan laut di sekitar TNBB dapat pula dipromosikan di luar negeri sebagai kawasan diving yang tentunya akan membuat nilai tambah bagi PT.SBW pada khususnya dan TNBB pada umumnya. Belum pulihnya efek bom Bali serta terkendala akibat krisis global yang melanda dunia dewasa ini, serta isu flu burung dan flu babi

menyebabkan

tertundanya

renovasi

bangunan

dan

pengembangan resort ini. Industri pariwisata merupakan industri yang rawan isu, baik dari segi keamanan maupun kesehatan, oleh sebab itu peran pemerintah dalam hal ini Depbudpar dan Depkes besar dalam menangani hal – hal semacam ini.

(2) Pengembangan Kepariwisataan Untuk memperkenalkan TNBB kepada masyarakat nusantara serta masyarakat dunia, serta meningkatkan tingkat hunian di Waka Shorea

136

Resort and Spa, maka PT. SBW melakukan kegiatan

promosi dan

pemasaran melalui brosur, slide video / film, dan billboard, promosi media elektronik / cetak mengikuti event seminar, lokakarya / pameran dan expo kepariwisataan yang dilaksanakan oleh Dinas Pariwisata dan BPPI ( Badan Promosi Pariwisata Indonesia ). Kerjasama usaha dilaksanakan dengan whole saler travel serta agen perjalanan yang tergabung dalam ASITA (Association of The Indonesia Tours and Travel Agencies) untuk memasukkan paket ekowisata TNBB dalam paket wisata Bali ( contoh paket wisata bahari ke perairan Teluk Trima – P Menjangan dan kawasan TNBB lain ), paket wisata ke kabupaten Buleleng dan Jembrana ( tabel 13 ) dan paket wisata terusan ke luar Bali seperti Yogyakarta / Borobudur, Bromo, Lombok, Pulau Komodo tour.

Tabel 13. Obyek Wisata Alam di Luar Kawasan TNBB Kabupaten Buleleng

Sudah Berkembang (Di Desa Banyu Poh, Kecamatan Gerokgak, 128 KM dari Denpasar ; daya tarik wisata alam/budaya berupa Pura, Pantai dan Kera. Air sanih (di Desa Bukti, Kecamatan Kubu Tambahan, 98 KM dari Denpasar); daya tarik wisata alam berupa pantai dan kolam renang. Air Panas Banjar (di Desa Banjar Kecamatan Banjar, 98 KM dari Denpasar); daya tarik wisata alam berupa sumber air panas dan kolam renang. Pantai lovina (disepanjang pantai Desa Pemaron – Temukus, 80 KM dari Denpasar); daya tarik wisata alam berupa air terjun dan

137

Potensial Dikembangkan Wisata Alam : Pantai happy, Pantai Tanjung Alam, Celukan Bawang, Ponjok Batu, Air Panas Pemuteran, Wenara Buka, Pantai Kubu Gembong, Pelabuhan Buleleng, Air Terjun Sing-Sing, Desa Panji, Danau Buyan, Danau Tamblingan, dan Desa Asah Goblek. Wisata Budaya :

lingkungan alamnya.

Jembrana ♣

Lingkungan Pura Beji, Gedung KertaDalem Jagaraga, Pura Madue karang, Tugu Buwana Kerta, Monumen Pangkung Bangka dan Desa Sembiran.

Perancak (di Desa Perancak Kecamatan Negara, 8,5 KM dari Denpasar); daya tarik wisata alam/budaya berupa Pura, Pantai dan Taman Budaya. ♣ Pantai Medewi (di desa Medewi Kecamatan Pekutatan, 72 K dari Denpasar); daya tarik wisata alam berupa panorama laut, wisata bahari, dan selancar. ♣ Rambut Siwi (di Desa Yeh Hembang Kecamatan Mendoyo 82 KM dari Denpasar); daya tarik wisata budaya Pura dan Peninggalan Sejarah. ♣ Museum Gilimanuk (di Kelurahan Gilimanuk Kecamatan Melaya 143 Km dari Denpasar); daya tarik wisata budaya / pendidikan berupa Situs Purbakala.

Taman Wisata Perancak Bendungan Palasari Candikusuma Bunut Bolong Dlod Brawah

Sumber :  RIP kepariwisataan Buleleng dalam Buleleng Dalam Angka 1996(Kantor Statistik Kabupaten Buleleng, 1997)  RKD TNBB periode tahun 1997-2017 (UPT TNBB, 1997)

Sasaran pasar utama adalah wisatawan manca negara dan nusantara ( tabel 13) , dengan sasaran pendukung wisatawan lokal ( Bali). Selain itu, PT. SBW juga berpartisipasi dalam event – event lingkungan hidup seperti halnya pada saat dilangsungkannya konferensi UNCCC ( United Nations Convention on Climate Change ) di Nusa Dua Bali tangal 4 – 13 Desember 2007 dimana Waka Shorea Resort and Spa aktif dipromosikan. Waka Shorea Resort and Spa juga mempunyai website yang cukup informatif di http://www. wakashorearesort. com/ .

138

Tabel 13. Proyeksi dan pencapaian jumlah pengunjung baik di areal kerja PPA maupun di kawasan TNBB secara umum KA WASAN TN BB TAH U N

TAR GET

WISN U REA LI SASI

%

TAR GE T

WISM AN REA LI SASI

%

TARGE T

JU MLAH REAL I SAS I

2001

2,101

20,895

22,996

2002

16,633 56,408

21,008 5,148

37,641

38,651

11,278

2005

75,079

35,374

3,660

2006

89,951

14,364

2007

107,768

4,360

2008

129,116

2003 2004

47.12 15.97 4.05 -

38,132

70,000

2010

150,000

80,025

2011

200,025

10,004

2012

250,000

125,050

2009

49,929

1,217

54,735 65,577

135,000

61,556

1,222

45,685

%

9.60

113,211

39,034

34.48

2.67

135,636

15,586

11.49

2.22

162,503

5,577

3.43

194,693

-

AREAL KER JA PP A TAHU N

WISN U REAL IS AS TARGE T I

%

WISM AN TAR GE T REA LI SA SI

%

TARGE T

JU MLAH REA LI SA S I

2001

??

2002

??

2003

?? 75

2004 2005 2006

%

56,309 67,463

2007

80,826

2008

243

2009

315

103 131 187

882 0.18 0.19

789

28,599

916

34,264

1,204

2.76

84,908

892

1.05

2.67

101,727

1,047

1.03

2.93

121,877

1,391

1.14

0.23

41,051

181

74.48

1,565

1,569

100.25

1,808

1,750

96.79

126

40.00

2,034

543

26.70

2,349

669

28.48

(ytd Juni )

(ytd Juni )

(ytd Juni )

2010

409

2,644

3,053

2011

531

3,437

3,968

2012

690

4,468

5,158

Sebagai bagian dari group Waka, maka Waka Shorea Resort and Spa 139

juga bekerjasama dengan sesama hotel butik group Waka ( misalnya Waka Namya dan Waka di Ume di Ubud, Waka Maya di Sanur ) untuk saling memberi informasi dan mereferensi tamu. Dilihat dari tabel nampak bahwa jumlah pengunjung ke TNBB khususnya ke wilayah PPA PT. SBW khususnya di tahun 2004 – 2008 sangat sedikit dan jauh di bawah target. Hal ini dapat disebabkan oleh : (a )Terlalu besarnya target yang ditetapkan baik oleh Balai TNBB dan PT. SBW. (b) Dampak dari Bomb Bali I dan bomb Bali II yang menyebabkan terpuruknya pariwisata di Bali, terlebih di area yang jauh dari pusat pariwisata Bali seperti TNBB. (c) Kurangnya minat wisatawan nusantara terhadap pariwisata alam. (d) Masih belum efektifnya promosi dari Balai TNBB maupun PT. SBW akibat keterbatasan dana. Dari data kunjungan wisatawan ke TNBB selama 2 tahun terakhir, khususnya yang berkunjung ke wilayah PPA TNBB yang dikelola oleh PT.SBW, dapat dilihat bahwa pada tahun 2007 total wisatawan mencapai 1.391 orang sedangkan pada tahun 2008 mencapai 1.750 orang, jadi ada peningkatan kunjungan wisatawan yang menginap di Waka Shorea Resort and Spa sebesar 25.81%. Sedangkan dari Januari – Juni 2009, kunjungan wisman mencapai 543 orang sedangkan wisnu mencapai 126 orang. Dari hasil observasi dilapangan, tidak ada wisatawan domestik berkunjung ke Waka Shorea Resort and Spa. 100% tamu adalah wisatawan asing, yang didominasi oleh wisatawan Eropah Barat. Dari

140

Direktur PT. SBW diperoleh informasi bahwa 95% pengunjung Waka Shorea adalah wisatawan asing, 85% di antaranya adalah wisatawan Eropah, Australia, Amerika, sisanya Asia (Jepang ). Wisatawan Indonesia mempunyai point of interest yang berbeda, kurang menyukai ekowisata disamping harga kamar yang relatif mahal. Mereka umumnya mengetahui Waka Shorea Resort and Spa dan TNBB dari biro perjalanan mereka, dan mereka mencari tempat yang sepi yang alami dan jauh dari hiruk pikuk kota besar. Wisatawan Austria ( foto 14 ) , yang baru pertama kali berkunjung ke Indonesia menyatakan bahwa ’’It is remote and secluded, away from the huzzle and buzzle of Kuta or other resort areas. Also, limited numbers of bungalows and villas make the guests enhance the privacy setting here.” Sedangkan dari sisi hospitality, mereka mengatakan baik, namun ada hal – hal yang perlu diperbaiki menyangkut kebersihan dan juga dari observasi di lapangan nampak bahwa beberapa area terutama di sekitar lokasi akomodasi ( vila dan lanai ) agak gersang sehingga pemandangannya kurang menarik. Foto 14 : Penulis bersama wisatawan Austria di Waka Shorea Resort and Spa

141

b. Peran PT. SBW dalam Pelestarian Lingkungan Hidup Dalam kaitan dengan pelestarian lingkungan hidup sejalan dengan pembangunan berkelanjutan, PT. SBW melakukan hal – hal yang menyangkut pengelolaan sumber daya alam,

pengelolaan limbah dan

kebersihan, upaya perlindungan & keamanan hutan di TNBB serta upaya menjamin keamanan & ketertiban pengunjung 1).

Pengelolaan Sumber Daya Alam Dalam pembinaan sumber daya alam sejak tahun 2000 sudah

dilakukan kegiatan penanaman 10.000 pohon habitat asli TNBB sebagai upaya rehabilitasi areal tidak berhutan atau yang mengalami gangguan oleh aktivitas pengunjung. Tanaman yang dipergunakan sebagai upaya aforestasi

(usaha reboisasi pada lahan yang dahulunya tidak ada

hutan ) dan deforestasi (pencegahan perusakan pada hutan yang masih ada) 142

adalah antara lain tanaman pilang (A. leucophloea ), kemloko ( P. emblica ), ketapang ( T. catappa ), bakau (C. tagal, R apiculata dan E. agellocha ) dan apiapi ( A. marina ) serta cendana. Bibit tanam tersebut diperoleh dari anakan pohon yang terdapat di kawasan hutan TNBB atau melalui pembibitan tersendiri.

Lokasi

kegiatan

penanaman

disesuaikan

dengan

hasil

kegiatan inventarisasi. Sebagai contoh di Blok I Gilimanuk sudah dilakukan rehabilitasi dengan penanaman sawo kecik, Intaran, mangrove reboisasi 300 bibit tanan asam, intaran dan penanaman pohon sawo kecik di Blok II Tanjung Kotal tahun 2007.

Kegiatan ini sejalan dengan pengendalian

dampak perubahan iklim yang gencar dilakukan. Kegiatan lain yang dilakukan adalah (1) inventarisasi flora-fauna, (2) menghindari kegiatan dan konsentrasi pengunjung pada daerah yang diprakirakan menjadi habitat Jalak Putih Bali ( L. rothschildi ) dengan mengatur arus kunjungan grup pengunjung pada bulan – bulan yang padat , dan (3) pengendalian populasi mahkota berduri ( A. planci ). ( 4) pembersihan pantai serta sampah pada terumbu karang di Tanjung Kotal tahun 2007. (5) pemeliharaan jalur trek aktivitas ( jungle trekking, birdwatching, biking, (6) menyediakan tempat minum / bak penampungan air bagi satwa, sehingga satwa liar seperti rusa bisa minum di tempat itu, seperti dikonfirmasi oleh Direktur PT. SBW. Dalam kegiatan observasi lapangan di kawasan Waka Shorea, pada malam hari, di dekat area restoran di tepi pantai, nampak adanya rusa serta babi hutan melintas, dan menurut karyawan restoran, babi hutan tersebut cukup jinak dan tidak mengganggu tamu.

143

Selain itu di Waka Shorea terdapat penangkaran curik Bali, dimana burung tersebut dimasukkan ke dalam sangkar besar dengan pohon – pohonan di dalamnya sehingga mereka bisa terbang seperti di habitat aslinya di hutan TNBB. Penangkaran curik Bali ( Leucopsar rotschildi ) dilakukan atas kerjasama dengan Asosiasi Pelestari Curik Bali ( APCB ) dimana

PT.

Shorea

Barito

Wisata

menyediakan

lahan

untuk

penangkaran serta menyediakan pakan burung, sedangkan APCB menyediakan 20 ekor curik Bali untuk dikembangbiakkan. Tanggal 5 Mei 2009 yang lalu, Menteri Kehutanan H. M.S. Kaban bersama

Gubernur Bali melepasliarkan 34 ekor burung curik Bali

(Leucopsar rotschildi) di Lokasi Waka Shorea Resort and Spa. Curik ini merupakan hasil penangkaran di Taman Safari Indonesia, Bogor, Jawa Barat, dan juga di Yokohama Research Center Jepang, serta penangkaran di TNBB sendiri.

2). Pengelolaan Kebersihan Lingkungan dan Pengendalian Kelestarian Perairan di Sekitar Wilayah PPA TNBB Sekalipun wilayah PPA dari PT. SBW hanya daratan, namun wilayah tersebut berbatasan dengan pantai dan laut, yang menjadi salah satu daya tarik wisatanya, sehingga mau tidak mau, pihak PT. SBW berkepentingan untuk ikut menjaga kelestariannya, dengan tetap berpegang pada filosofi Hindu Bali yaitu Tri Hita Karana, yang mengandung arti keharmonisan hubungan antara manusia dengan penciptanya, manusia dengan sesama dan manusia dengan alam

144

sekitarnya. Direktur PT. SBW menginfor-masikan beberapa program pengelolaan kebersihan lingkungan yang dilakukan adalah: (a) Untuk menjaga kebersihan lingkungan dari sampah yang dibawa pengunjung maupun guguran daun dilakukan usaha kebersihan rutin serta menyediakan banyak tempat sampah di sekitar area kunjungan, yang secara berkala diangkut keluar dari kawasan TNB ke tempat pembuangan akhir. Selain itu penempatan papan informasi terkait kebersihan lingkungan diletakkan di lokasi yang strategis atau pada tempat ketinggian tertentu yang mudah terlihat pengunjung. (b) Areal pantai di wilayah PPA TNBB dibersihkan terutama Blok II ( Labuhan Lalang ) dan III ( Tanjung Kotal ), sedangkan Blok I ( Gilimanuk ) masih berupa lahan kosong. (c)

Setahun minimal 3 kali bekerjasama dengan LSM Project Bali Clean Up, bekerjasama dengan anak sekolah, dan desa adat menyisir pantai dan membersihkan sampah terutama sampah plastik. Program ini juga bagus untuk memberikan kesadaran lingkungan sejak dini bagi anak sekolah.

(d) Program Jumat Bersih, membersihkan wilayah PPA TNBB dan kawasan Waka Shorea Resort and Spa oleh para karyawannya pada setiap hari Jumat. 3). Upaya Pencegahan Dampak Perubahan Iklim. Isu perubahan iklim akibat pemanasan global merupakan hot issue terutama sejak diselenggarakannya kongres UNCCC (United Nations Convention on Climate Change ) 3 – 14 Desember 2007, dimana PT. SBW juga ikut berperan serta dalam pameran yang diselenggarakan di sana. Dalam kaitan hal ini, selain dengan upaya 145

reforestasi dan pencegahan kerusakan ekosistem perairan seperti yang sudah dijelaskan diatas, manajemen Waka Shorea Resort and Spa juga melakukan aktivitas hemat energi. Terlebih mengingat maintenance di Waka Shorea Resort and Spa termasuk high cost, dimana pasokan listrik berasal dari genset mengingat di kawasan hutan TNBB listrik PLN hanya ada di dermaga. Juga sejalan dengan ciri khas Waka Group ( hotel butik ) yaitu ecofriendly maka digunakan lampu hemat energi, dimana pengunjung dihimbau untuk mematikan lampu, AC, TV pada saat keluar ruangan, serta menghemat pemakaian air.

4). Upaya Perlindungan dan Keamanan Hutan di Wilayah PPA TNBB Perlindungan dan keamanan hutan wilayah PPA TNBB wajib dilakukan untuk menjaga kelestarian fungsi TNBB dari kegiatan pengunjung atau masyarakat sekitar kawasan yang bersifat merusak alam. Jenis gangguan yang potensial di hutan TNBB adalah kebakaran hutan, pencurian kayu dan perburuan hewan liar seperti curik Bali, rusa, babi hutan. Juga timbunan limbah pengunjung, dan pemanfaatan rumput untuk pakan ternak. Beberapa kegiatan yang sudah dilakukan oleh PT. SBW adalah : 1. Membentuk satuan pengamanan terpadu bersama dengan Balai TNBB terdiri dari tenaga keamanan dan karyawan bidang konservasi dari Waka Shorea Resort and Spa. 2. Pemandu wisata alam di Waka Shorea Resort and Spa memberikan

informasi

dan

146

penjelasan

kepada

pengunjung

memasuki kawasan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan serta sangsi sesuai ketentuan yang berlaku seperti misalnya membawa tanaman, memberi makan hewan dan lain sebagainya. 3. Dibentuk Satgasdamkar, ( Satuan Tugas Pemadam Kebakaran ) yang berasal dari para tenaga keamanan PT. SBW. 4. Penyediaan alat pemadam kebakaran : hydran, tabung gas pemadam kebakaran, generator penyemprot air, perlengkapan perorangan ( flipper garuk, kampak, sekop, pompa punggung ) 5. Penyediaan alat komunikasi ( HT, SSB ) dan teropong bagi para tenaga keamanan. 5). Upaya Menjamin Keamanan & Ketertiban Pengunjung Pengaturan pengunjung dimaksudkan untuk mempermudah dan memperlancar pelaksanaan kegiatan wisata alam di areal usaha sehingga di satu pihak dapat menjamin keselamatan, kenyamanan dan kepuasan pengunjung, serta menjaga keberlangsungan fungsi kawasan pelestarian alam. Untuk itu, konsep limit acceptable change . merupakan prinsip dasar dalam pengelolaan pengunjung dan aktivitas sarana pendukung seperti kapal / perahu. Pengaturan pengunjung dilaksanakan melalui tiga tahapan, yaitu : Tahap Sebelum/Saat Memasuki Kawasan Pengunjung

yang

baru

datang

dipersilahkan

menuju

pusat

informasi yang terdiri atas 3 ruang yaitu : Ruang ke-1 ( pelayanan pasif ) : pengunjung disajikan informasi dalam bentuk display gambar seperti peta lokasi obyek wisata dan potensi obyek wisata ( flora, fauna dan terumbu karang ). Ruang ke 2 ( pelayanan aktif ) :

147

pengunjung perorangan diberikan brosur/leaflet yang berisikan infonnasi obyek/atraksi wisata ( alternatif kegiatan, cara pencapaian, sarana dan prasarana yang tersedia serta. biaya ), dan ketentuan atau etika lingkungan wisata alam yang harus diindahkan selama berada di dalam kawasan, sedangkan kepada pengunjung rombongan penjelasaan menggunakan slide / film. Ruang ke-3 merupakan layanan reservasi fasilitas / atraksi wisata alam yang dipilih oleh pengunjung. Tahap Selama di dalam Kawasan Seluruh kegiatan wisata alam dikelola secara professional dalam

upaya

memberikan kepuasan dan keslamatan kepada

pengunjung serta terkendalinya. aktivitas pengunjung. Untuk tujuan tersebut, akan disediakan (1) prasarana, (2) pemandu wisata, (3) petugas pengamanan, (4) tanda-tanda penunjuk arah atau ramburambu peringatan ( larangan ) pada tempat-tempat yang rawan untuk dikunjungi. Juga akan diperhatikan jumlah dan atau sirkulasi pengunjung atraksi wisata pada lokasi tertentu sesuai daya dukung lingkungan. Apabila dari pemantauan petugas dari menara pengawas atau yang ditempatkan di lokasi terdapat kegiatan yang

merusak atau

mengganggu kelestarian kawasan ( penebangan pohon, berburu satwa, membuang puntung rokok atau menyalakan perapian di luar tempat yang disediakan, serta vandalisme ), petugas akan datang dan memperingatkan. Pada batas – batas tertentu akan dilakukan penindakan secara hukum terhadap tersangka tindak

pengrusakan

yaitu

Kehutanan Balai TNBB

diserahkan

kepada

yang melakukan petugas

Polisi

untuk diproses lebih lanjut sesuai dengan

148

ketentuan yang berlaku.Sedangkan untuk menjamin keselamatan pengunjung yang mengalami kecelakaan, juga disediakan tenaga yang terlatih untuk melaksanakan penyelamatan (SAR) dan P3K. Di dalam kamar pengunjung juga diberi peringatan / warning sign yang digantung di depan pintu kamar mandi ( foto 15 ). Foto 15. Warning sign untuk pengunjung.

Pengunjung diperingatkan untuk antara lain : (1) tidak memberi makan hewan liar, (2) apabila melihat babi hutan atau ular, diam saja, jangan lari, nanti binatang itu pergi sendiri, (3) selalu mengenakan alas kaki saat di pantai, (4) dilarang mengambil koral / kerang pada saat diving atau snorkeling, (5) dilarang membawa tanaman atau hewan pada saat keluar dari TNBB, (6) menutup pintu dan menyimpan makanan di tempat tertutup saat akan keluar kamar, karena pintu yang terbuka mengundang kera untuk masuk, (7) memasukkan ujung bawah kelambu ke dalam lipatan kasur pada malam hariuntuk mencegah hewan – hewan kecil merayap masuk. Tahap saat akan meninggalkan kawasan. 149

Tahap ini meliputi penyelesaian administrasi pemanfaatan sarana dan prasarana obyek wisata alam dan pengawasan pengunjung yang akan meninggalkan kawasan.Jangan sampai membawa tanaman, satwa liar atau biota perairan dari awasan TNBB kecuali ikan yang boleh dipancing. Pengawasan dilakukan dengan cara – cara yang sopan agar kenyaman dan kepuasan pengunjung tetap terjamin Hal lain yang penting adalah pemenuhan kebutuhan air bersih, dimana untuk air minum digunakan air kemasan yang dibeli dari luar kawasan, dan untuk air mandi, cuci, memasak, digunakan air bersih yang dibeli dari luar kawasan menggunakan truk.

c. Peran PT. SBW dalam Aspek Sosial 1). Pemberdayaan Masyarakat Dalam upaya pemberdayaan masyarakat, yang merupakan salah satu unsur terpenting dalam penyelenggaraan ekowisata, PT. SBW melakukan berbagai upaya antara lain dengan melibatkan masyarakat desa enclave ( yang berada di kawasan TNBB ) yaitu desa Sumber Klampok yang rata – rata berpendidikan SMA sebagai karyawan di Waka Shorea Resort and Spa, baik sebagai tenaga keamanan, staf di hotel, tukang perahu, terapis (massage) , staf di restoran, dan lain – lain. 85% karyawan Waka Shorea berasal dari penduduk desa Sumber Klampok. Seperti dikatakan oleh direktur PT.SBW bahwa beberapa karyawan keluar dari perusahaan dan bekerja di luar negeri sebagai karyawan kapal pesiar. Juga ada yang menjadi manager operasional. Rata – rata lulusan SMA, sehingga harus dilakukan pelatihan terlebih dahulu di

150

group Waka. Selain itu penduduk dilibatkan sebagai pengelola perahu motor melalui paguyuban / koperasi (foto 16 ). Hal ini juga merupakan tuntutan masyarakat pada saat PT. SBW mulai beroperasi karena sebelum PT SBW beroperasi, mereka sudah menyewakan perahu bagi wisatawan yang akan mengunjungi P Menjangan untuk diving. Foto 16. Perahu motor milik koperasi nelayan Desa Sumber Klampok.

Sedangkan pihak Waka Shorea Resort and Spa sendiri memiliki satu perahu yang hanya difungsikan untuk antar jemput tamu dari lokasi jetty (dermaga ) di Blok III Labuhan Lalang ke lokasi Waka Shorea Resort and Spa di Blok II Tanjung Kotal, dimana tukang perahunya merupakan karyawan Waka Shorea Resort and Spa. Apabila tingkat hunian mencapai minimal 10 kamar, maka akan diadakan pentas seni dengan tari- tarian Bali yang penarinya merupakan masyarakat Desa Sumber Klampok, dan dilakukan pada malam hari pada saat makan malam, di udara terbuka di tepi pantai. 151

Masyarakat desa Sumber Klampok umumnya bertani cabe, jagung dan kacang – kacangan dan lokasi desa jauh dari pusat keramaian pariwisata. Dengan adanya Waka Shorea Resort and Spa, maka terjadi perubahan ekonomi yang cukup baik, yang dikonfirmasi oleh Kepala Desa Sumber Klampok bahwa keberadaan Waka Shorea Resort and Spa ada perubahan ekonomi. Pengelolaan parkir dan wisata bahari untuk diving diserahkan kepada desa adat melalui paguyuban.

Setiap

tahun

manajemen

perusahaan

memberikan

bantuan bibit tanaman tahunan, seperti mangga, nangka, jeruk, dan terakhir bambu. Pada tahun 2000 – 2005 pernah ada bantuan bea siswa untuk siswa SD. Salah seorang karyawan yang sempat ditemui yaitu Ni Luh juga menyampaikan bahwa ia bersyukur dengan adanya PT. SBW masyarakat bisa mendapatkan pekerjaan lebih layak. Dulu ia hanya bertani sekarang bisa menjadi karyawan hotel dan ditraining sesuai bakat dan keahlian. Pada awalnya, memang terjadi konflik antara masyarakat desa Sumber

Klampok

dengan

manajemen

PT.

SBW.

Pada

awal

pembangunannya di tahun 2000 ada konflik antara masyarakat Desa Sumber Klampok dengan PT. SBW seperti yang dijelaskan oleh Direktur PT. SBW.

Untuk itu dibuka forum dialog, dimana pengelolaan kapal

motor tetap diserahkan kepada masyarakat desa Sumber Klampok, juga sebagian area di Labuhan Lalang di tempat jetty ( dermaga ) dikelola oleh masyarakat, yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berjualan, namun akibatnya lokasi menjadi agak kumuh. Untuk itu masyarakat

152

harus terus menerus diberi penyadaran akan kebersihan lingkungan. Sedangkan untuk pembangunan akomodasi dan sarana lain seperti dermaga, menara pengawas dan lain - lain, masyarakat juga dilibatkan sebagai tukang bangunan, yang dilakukan oleh kontraktor di luar PT. SBW. Hal ini dikonfirmasi oleh Kepala Desa Sumber Klampok bahwa ...walau awalnya sempat ada friksi, namun akhirnya masyarakat menerima dengan baik, terlebih karena banyak penduduk desa Sumber Klampok dipekerjakan sebagai karyawan di Waka Shorea baik sebagai karyawan di dalam hotel, tenaga keamanan, tukang perahu dan lain – lain. Pada jaman krisis sekarang ini kehadiran investor sangat diperlukan. 2). Mempertahankan Kearifan Lokal Masyarakat Bali tidak dapat dilepaskan dari tradisi dan keeratannya dengan agama Hindu Bali yang sarat dengan ritual dan upacara keagamaan. Oleh sebab itu di Waka Shorea, pelaksanaan ritual agama Hindu juga tetap dijalankan. Hal tersebut nampak dengan adanya sanggah ( tempat sesajen ) di tempat – tempat tertentu di sekitar lokasi bangunan akomodasi. Terdapat 30 pura di sekitar Waka Shorea ( foto 17 ) termasuk Pura Gilimenjangan dan Pura Sumber Klampok. Pihak Balai TNBB juga ikut serta bekerjasama dalam kegiatan ngayah ( gotong royong membersihkan pura ) di pura – pura ini. Menyimak keterangan dari pemangku ( pelaksana upacara adat ) di Waka Shorea Resort and Spa bahwa makna menghaturkan sesajen tersebut adalah dimaksudkan sebagai rasa bakti kehadapan Tuhan sebagai penguasa alam dalam hal ini laut dan hutan dimana sesajen itu secara tidak langsung juga dinikmati oleh hewan atau binatang yang ada di sekitar Waka Shorea Resort and Spa seperti sesajen yang terletak di bawah dinikmati oleh babi hutan, semut,

153

cacing, sedangkan sesajen yang letaknya di atas dinikmati oleh burung, dan kera.

Foto 17. Salah satu pura di kawasan TNBB.

Jika dicermati lebih mendalam TNBB tetap lestari karena adanya kearifan lokal yang secara tidak langsung ikut menjaga kelestarian hutan dan ini dilakukan juga oleh Waka Shorea Resort and Spa yang ikut menjaga kesakralan dari area hutan dengan memberikan penghormatan berupa sesajen kepada makhluk yang tidak kasat mata( foto 18 ). Tentunya ini menjadi sebuah model bentuk pelestarian hutan yang dapat dijadikan contoh tentunya dengan mengedepankan kearifan lokal daerah bersangkutan.

154

Foto 18. Menghaturkan sesajen sebagai salah bentuk kearifan lokal

3. Kendala – Kendala yang Dihadapi

a. Terkait Kebijakan Kemitraan dalam Aspek Pembangunan Ekonomi •

Terkait kebijakan infrastruktur Kawasan TNBB merupakan kawasan hutan, dimana tidak ada pasokan listrik PLN. Oleh sebab itu Waka Shorea Resort and Spa menggunakan genset sebagai sumber daya listrik utamanya yang tentunya kurang ekonomis dan dibandingkan dengan penggunaan listrik PLN. Dari pengamatan nampak bahwa jumlah pemakaian listrik dibatasi, sehingga pada malam hari kawasan resort tersebut gelap dan penerangan lampu kurang memadai. Namun demikian ada upaya

155

positif dari pihak Waka Shorea Resort and Spa dengan penggunaan lampu hemat energi. •

Ekonomi biaya tinggi dengan pengenaan pajak berganda serta belum adanya dukungan pemda setempat dalam bentuk perda – perda yang mendorong daya saing daerah, sehingga menyebabkan mitra swasta seperti PT. SBW cukup kesulitan untuk mendapatkan investor.



Dalam pengembangan kepariwisataan, menurut keterangan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab.Buleleng, mengingat bahwa landasan yuridis / Kebijakan ( UU, peraturan ) dalam kaitan dengan pengembangan kawasan ekowisata khususnya Taman Nasional ada di tingkat pusat (Departemen Kehutanan ), maka tugas Disbudpar Kabupaten

Buleleng

hanya

ikut

mengawasi

dan

memantau

implementasi kebijakan, sehingga kurang efektif. Jadi bisa dikatakan bahwa masih kurang koordinasi di antara instansi vertikal, sehingga pengembangan pariwisata berkelanjutan tidak berjalan searah. •

Tantangan berupa faktor eksternal seperti krisis global, penyakit seperti flu burung, flu babi, ancaman keamanan seperti bom dan terorisme, merupakan faktor – faktor yang mempengaruhi kunjungan wisata ke Bali baik wisatawan manca negara maupun domestik.

b. Terkait dengan Kebijakan Kemitraan dalam Aspek Lingkungan Hidup. Sekalipun sudah dilakukan kerjasama yang baik dengan Balai TNBB sebagai mitra pemerintah, dalam upaya pelestarian lingkungan, masih dirasakan belum optimalnya dukungan pemda Buleleng, baik

156

dalam hal kontribusi pendanaan maupun pembuatan kebijakan khususnya dalam hal yang penegakan hukum. Sejauh ini, upaya penegakan hukum belum optimal, karena hukuman yang dikenakan bagi pencuri kayu hanya ringan, karena para penegak hukum ( kepolisian, kejaksaan, pengadilan ) belum memahami makna konservasi dan hanya menghitung nilai uang dari kayu / flora fauna yang dicuri saja, tanpa menghitung nilai konservasinya. Selain itu, pihak

Departemen

Kehutanan

perlu

lebih

memperhatikan

kesejahteraan polisi hutan yang menjadi ujung tombak upaya pelestarian lingkungan, mengingat dari observasi dan wawancara di lapangan, keadan sarana prasarana mereka termasuk sepatu, rumah dinas mereka cukup memprihatinkan.

c.

Terkait

dengan

Kebijakan

Kemitraan

dalam

Aspek

Sosial

(Pemberdayaan Masyarakat ). Diperlukan kebijakan pemda yang mengarah kepada pemberdayaan masyarakat, sehingga masyarakat dapat membantu upaya pelestarian lingkungan karena mendapatkan manfaat dari upaya pelestarian tersebut. Bagaimanapun juga, perangkat aturan adat berupa awig – awig dalam pelestarian lingkungan sudah ada, selain juga filosofi Tri Hita Karana dan karma pala, yang semuanya merupakan dasar dari tingkat kepatuhan masyarakat, sehingga yang diperlukan hanyalah upaya untuk mempertahankannya. Sejauh ini PT. SBW melakukan reforestasi dengan upaya dan biaya sendiri di wilayah PPA yang menjadi tanggung jawabnya.

157

d. Inkonsistensi Kebijakan antara Pusat dan Daerah Pelaksanaan kebijakan kemitraan dalam pembangunan berkelanjutan dalam aspek pembangunan ekonomi, lingkungan hidup dan aspek sosial ini sudah baik namun masih terkendala dalam hal inkonsistensi kebijakan. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah antara lain ditentukan bahwa kewenangan di bidang konservasi masih menjadi kewenangan pemerintah pusat. Sedangkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dapat disimpulkan bahwa kewenangan di bidang kehutanan menjadi kewenangan pemerintah pusat. Ini menyebabkan pihak dinas terkait di daerah merasa bahwa kewenangan implementasi dan evaluasi kebijakan bukan di pundak mereja karena merupakan wewenang pemerintah pusat dalam hal ini Departemen Kehutanan. Sedangkan dari pihak pemda sendiri, dalam hal ini pemda kabupaten Buleleng, berkepentingan dalam meningkatkan PAD ( Pendapatan Asli Daerah ), yang dalam prakteknya menyebabkan ekonomi biaya tinggi bagi pihak pengelola Pengusahaan Pariwisata Alam ( PPA ) seperti halnya PT. SBW. Seperti dikatakan oleh direkturnya, bahwa

terjadi

tumpang tindih kebijakan yaitu mengenai pengenaan pajak hotel dan pajak

restaurant

di

kawasan

TNBB.

Jadi

sebenarnya

Menteri

Kehutanan sudah memberikan surat edaran kepada gubernur, bupati / walikota di seluruh Indonesia, terkait perijinan dan pungutan pajak /

158

retribusi, dalam pengusahaan pariwisata alam di kawasan konservasi ( SE 2/Menhut-IV/2007 tanggal 6 Juli 2007 ). Dinyatakan secara jelas dalam surat tersebut bahwa Hasil kajian terhadap berbagai peraturan daerah yang mengatur perizinan serta pengenaan pajak dan rertribusi oleh daerah yang juga diterapkan di dalam kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru, terdapat : a. Perizinan berupa Izin Peruntukan Penggunaan Lahan ( IPPL ), Izin Lokasi, Izin Mendirikan Bangunan ( IMB ), Izin Usaha Pariwisata ( SIPA dan SIUP /SIUK ). b. Pajak dan retribusi berupa Pajak Bumi dan Bangunan ( PBB ), Pajak Penggunaan Lahan untuk Sarana Wisata yang dikenakan per hektar per tahun, Pajak Tontonan / Hiburan, Pajak Pembangunan 1 / Pajak Hotel dan restoran, Pajak air, dan Retribusi Karcis Masuk. Pada butir 3 a dan b, telah terjadi tumpang tindih perizinan dan pengenaan pungutan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Selain itu dalam Surat Edaran tersebut, Menteri Kehutanan antara lain

meminta kepada para kepala daerah untuk tidak mengenakan

duplikasi pajak dan pungutan atas kegiatan pariwisata alam di kawasan konservasi, yang dapat mengakibatkan hilangnya daya saing serta tidak berkembangnya pengusahaan pariwisata alam, karena untuk setiap Izin Pengusahaan Pariwisata Alam yang diterbitkan oleh Departemen Kehutanan telah dikenakan PNBP berupa Pungutan Usaha Pariwisata Alam ( PUPA ), Izin Usaha Pariwisata Alam dan Karcis Masuk Kawasan. Namun pada kenyataannya surat tersebut dibantah oleh pemda kabupaten Buleleng, dengan surat dari Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Buleleng no 970/919 /Dispenda, 17 September 2007,

159

terkait pengenaan pajak hotel dan pajak restaurant di kawasan TNBB, yang ditujukan kepada pihak Waka Shorea, menyatakan bahwa a) Sampai saat ini Pemerintah Kabupaten Buleleng tidak memungut retribusi tempat rekreasi di TNBB karena hal itu kewenangan Menteri Kehutanan. b) Pemerintah Kabupaten Buleleng hanya memungut Pajak Hotel dan Pajak Restaurant, yang sudah diatur dalam UU No. 34 Tahun 2000 tentang Perubahan UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan lebih lanjut diatur dengan PPRI No 65 Tahun 2001 tentang Pajak. Di Kabupalen Buleleng pungutan Pajak Hotel dan Pajak Restaurant ditetapkan dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pajak Hotel dan Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pajak Restaurant. c). Surat Edaran Menhut Nomor : SE 2 / Menhut –N/ 2007 tidak mempunyai kekuatan hukum untuk membatalkan pungutan Pajak Hotel / Restaurant, karena pelaksanaan UU, PP dan Perda mempunyai kekuatan hukum yang lebih tinggi dan bersifat rnengikat dan dalam UU, PP don Perda tersebut di atas tidak ada pengecualian terhadap usaha Hotel dan usaha Restaurant yang ada di kawasan konservasi dikecualikan dari pungutan Pajak dan Restaurant. Pajak Hotel dan Pajak Restaurant subyeknya bukan pengusaha / pengelola kawasan konservasi, tetapi subyek Pajaknya adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran atas pelayanan Hotel / Restaurant. Untuk itu pihak Waka Shorea telah mengirimkan surat kepada Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam, Dirjen PHKA, Dephut, no surat 001/Dirut/SBW/I/2008 tanggal 10 Januari 2008 yang isinya meminta petunjuk mengenai kewajibannya sebagai PT. SBW terhadap pungutan dari pemda Buleleng di atas. Namun tidak mendapatkan jawaban dari instansi terkait tersebut. Bahkan karena PT SBW tidak memenuhi kewajibannya membayar PHR ( Pajak Hotel dan Restaurant ), maka yang bersangkutan mendapatkan teguran mengenai tunggakan PHR dari Dispenda Kabupaten Buleleng yaitu sesuai surat no 973/02/PJk Daerah/ Dispenda 08 tanggal 8 Januari 2008 dan no 973 / 433 / Dispenda / 2008 tanggal 17 Nopember 2008. Demikianlah masalah ini sampai sekarang belum selesai dan hal ini menandakan inkonsistensi kebijakan antara pusat dengan instansi di

160

daerah, dan kurangnya dialog di antara kedua instansi, yang mana akhirnya merugikan pihak pengusaha dan mengakibatkan ekonomi biaya tinggi.

161

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Kebijakan kemitraan pengusahaan pariwisata alam TNBB antara Departemen Kehutanan dan PT SBW dapat dikatakan berhasil karena sudah melaksanakan hal – hal sesuai dengan tujuan kebijakan, yaitu pembangunan berkelanjutan, yang dilihat dari aspek ekonomi, lingkungan hidup dan sosial. Namun keberhasilan tersebut tidak lepas dari peran Departemen

Kehutanan

sebagai

mitra

kerjanya,

yang

dalam

pelaksanaannya di lapangan dilakukan oleh Balai TNBB. Sehubungan dengan itu, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Terkait kebijakan kemitraan dalam pembangunan ekonomi. •

Dalam kebijakan infrastruktur, khususnya pasokan listrik, kurang ada koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, dimana wilayah TNBB dikembangkan sebagai kawasan ekowisata, namun tidak didukung oleh aliran listrik yang memadai.



Pembangunan sarana prasarana di Waka Shorea Resort and Spa sudah dilakukan oleh PT. SBW sesuai daya dukung lingkungan yaitu maksimal 10% dari luas lahan. Pembangunan difokuskan di Blok II ( Tanjung Kotal ) dengan pembangunan Waka Shorea Resort and Spa dan Blok III ( Labuan Lalang ) dengan pembangunan dermaga / jetty dan area resepsionis, mengingat bahwa kedua blok merupakan lokasi wisata

paling potensial. Sedangkan di Blok I

Gilimanuk, belum ada pembangunan karena keterbatasan dana. Selain itu ada rencana pembangunan diving lodge di Blok III

162

Labuan Lalang dimana saat ini PT. SBW sedang mencari mitra investor untuk pembangunannya. •

Untuk pengembangan pariwisata, selain kelestarian lingkungan hidup patut dicermati kendala - kendala eksternal seperti krisis global, penyakit flu babi, flu burung, serta ancaman bom dan terorisme, yang berpengaruh terhadap image Indonesia khususnya Bali sebagai destinasi wisata dunia.

2. Terkait kebijakan kemitraan dalam aspek lingkungan hidup •

Dalam upaya pengelolaan sumber daya alam, PT. SBW melakukan (1 ) penanaman 10.000 pohon habitat asli TNBB (2) inventarisasi flora-fauna, (3) menghindari kegiatan dan konsentrasi pengunjung pada daerah yang diprakirakan menjadi habitat curik Bali dengan mengatur arus kunjungan grup pengunjung pada bulan – bulan yang padat , (4) pengendalian populasi mahkota berduri, ( 5) pembersihan pantai serta sampah pada terumbu karang (6) pemeliharaan jalur trek aktivitas ( jungle trekking, birdwatching, biking, (7) menyediakan tempat minum / bak penampungan air bagi satwa, (8) bekerjasama dengan asosiasi Pelestari Curik Bali ( ACPB ) dalam penangkaran curik Bali.



Dalam pengelolaan kebersihan lingkungan dan pengendalian kelestarian perairan sekitar wilayah PPA TNBB, PT. SBW melakukan upaya (1) usaha kebersihan setiap hari di kawasan Waka Shorea Resort and Spa dengan membersihkan sampah dan guguran daun, dan menyediakan tempat sampah di sekitar kawasan resort, (2)

163

pembersihan pantai baik dilakukan sendiri maupun bekerjasama dengan LSM Project Bali Clean Up, (3) Program Jumat Bersih. •

Untuk pencegahan

dampak perubahan iklim, sudah ada upaya

dari pihak Waka Shorea Resort and Spa

dengan penggunaan

lampu hemat energi, juga menghimbau tamu agar menggunakan listrik dengan hemat. Perusahaan juga berpartisipasi dalam pameran lingkungan hidup baik nasional maupun internasional, di dalam maupun di luar negeri, seperti kongres UNCCC (United Nations Convention on Climate Change) 3 – 14 Desember 2007 di Nusa Dua, Bali. •

Dalam upaya perlindungan dan keamanan hutan di wilayah PPA TNBB yang terkait dengan upaya penegakan hukum, sudah ada kerjasama yang baik antara manajemen perusahaan dengan Balai TNBB melalui pembentukan satuan keamanan gabungan dengan polhut Balai TNBB, membentuk SATGASDAMKAR ( Satuan Tugas Pemadam Kebakaran ) serta patroli laut bersama, yang dilakukan melalui FKMPP ( Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Pesisir ) yang beranggotakan semua stakeholder TNBB termasuk Balai TNBB, PT. SBW serta masyarakat desa antara lain desa Sumber Klampok. Namun upaya penegakan hukum belum optimal, dimana perangkat hukum ( kepolisian, kejaksanaan, pengadilan ) kurang memahami makna upaya konservasi alam, sehingga hukuman yang dikenakan kepada pelanggar hukum ( misal pencurian kayu ) sangat ringan.

164



Kepatuhan masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan dengan berpedoman kepada filosofi Tri Hita Karana yang dituangkan ke

dalam

awig



awig

adat

merupakan

hal

yang

harus

dipertahankan.

3. Terkait kebijakan kemitraan dalam aspek sosial •

Dalam upaya pemberdayaan masyarakat, PT. SBW melakukan banyak hal untuk meingkatkan taraf hidup masyarakat Desa Sumber Klampok, dengan (1) merekrut penduduk desa Sumber Klampok sebagai karyawan di Waka Shorea. (2) melibatkan masyarakat melalui koperasi nelayan sebagai mitra dalam wisata bahari dimana mereka bisa menyewakan perahu motornya kepada para tamu Waka Shorea Resort and Spa , (3) memberi kesempatan penduduk mementaskan tarian Bali di wilayah Waka Shorea (4) pengelolaan lahan parkir bekerja sama dengan desa adat, (5) memberi bantuan bantuan bibit tanaman tahunan, seperti mangga, nangka, jeruk, dan bambu, serta (6) memberi bantuan bea siswa kepada siswa SD pada tahun 2000 lalu. Pada saat pembangunan Waka Shorea Resort and Spa awal tahun 2000, penduduk melalui kontraktor luar juga dilibatkan sebagai pekerja.



Sudah ada upaya dari Balai TNBB dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui bantuan bibit tanaman, serta ternak sapi, juga melalui pemberian kesempatan kerja kepada masyarakat sebagai pemandu wisata alam TNBB misalnya, namun masih diperlukan kebijakan dari pemda setempat untuk membantu

165

mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik, yang dapat diintegrasikan dengan

kegiatan Waka Shorea Resort

and Spa.

4. Terkait inkonsistensi kebijakan antara pusat dan daerah. Masih terjadi inkonsistensi kebijakan antara kebijakan dari pusat dalam hal ini Departemen Kehutanan dan pihak pemda kabupaten Buleleng khususnya Dispenda, terkait pajak hotel dan restoran, sesuai Surat dari Sekda Buleleng no 970 / 919 / Dispenda tentang Pengenaan Pajak Hotel dan Pajak Restaurant di Kawasan TNBB tanggal 17 September 2007 yang menyebabkan pungutan pajak berganda.

B. Saran Dengan mempertimbangkan berbagai masukan yang diperoleh pada saat wawancara serta berdasarkan hail observasi lapangan, maka saran saran kebijakan yang bisa diberikan adalah sebagai berikut : 1. Terkait kebijakan kemitraan dalam aspek ekonomi •

Untuk menunjang keberhasilan TNBB sebagai daerah wisata, perlu dukungan pemda Buleleng dalam pengadaan pasokan listrik yang memadai terutama di wilayah yang menjadi wilayah kemitraan dengan swasta, termasuk di Waka Shorea Resort and Spa, yang mana resort ini ditujukan terutama untuk wisatawan asing kelas menengah

166

atas ( mengingat harga kamar yang cukup mahal ) yang tentunya menginginkan pelayanan prima. •

Pemda Buleleng harus mampu meningkatkan daya saing daerah dengan memberikan stimulus insentif bagi para calon investor dan kemudahan

dalam

pemberian

investasi,

dengan

tetap

memperhatikan rambu – rambu pelestarian lingkungan, sehingga para pengusaha seperti PT. SBW dapat lebih mudah mencari mitra investor sesuai rencananya ntuk membangun diving lodge yang lebih terjangkau di kawasan jetty di Blok III Labuan Lalang untuk menjaring wisatawan yang sekarang menginap di Lovina, serta membangun lokasi lain yang dianggap feasible dengan harga lebih terjangkau untuk meningkatkan masa tinggal wisatawan. •

Dilakukan

promosi

bersama

antara

Dinas

Kebudayaan

dan

Pariwisata kabupaten Buleleng dan PT. SBW baik dalam event – event kepariwisataan dunia maupun event lingkungan hidup untuk lebih memperkenalkan TNBB ke dunia internasional.

2. Terkait kebijakan kemitraan dalam aspek lingkungan hidup Departemen Kehutanan perlu mengeluarkan kebijakan yang dapat mendorong pelestarian curik Bali sebagai maskot pulau Bali serta pelestarian lingkungan yang lebih baik di TNBB. Pemda Buleleng diharapkan menindaklanjutinya dengan mengeluarkan perda yang mendorong partisipasi masyarakat dalam pelestarian lingkungan. Misalnya

167



Program

Tree Adoption, atau program adopsi pohon yang

diusahakan bibitnya oleh masyarakat setempat. Waka Shorea Resort and Spa akan meminta wisatawan untuk menanam pohon asli TNBB di kawasan Waka Shorea Resort and Spa yang mana program ini sudah dimasukkan ke dalam package deal yang dibayar oleh wisatawan bersama harga kamar. •

Program Starling adoption yaitu mengadopsi curik Bali, baik untuk ditangkarkan maupun untuk dilepasliarkan, dengan membayar sejumlah dana. Burung yang hendak ditangkarkan dapat diperoleh dari APCB ( Asosiasi Pelestari Curik Bali ). Dengan demikian, wisatawan / masyarakat juga dapat ikut melestarikan keberadaan curik Bali. Dengan demikian, upaya pencegahan kerusakan lingkungan dapat

dipikul bersama dan tidak menjadi beban dari PT. SBW semata – mata. Hal ini pada akhirnya juga mengurangi ekonomi biaya tinggi sehingga pelayanan kepada wisatawan dapat ditingkatkan.

3. Terkait kebijakan kemitraan dalam aspek sosial Filosofi Trihita Karana yang terwujud dalam awig awig yang menunjang ketaatan masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan harus direspon terutama oleh PT.SBW dan pihak Balai TNBB dengan upaya – upaya yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Karena bila kebutuhan perut tidak dapat tertangani dengan baik, maka pada` suatu titik, masyarakat setempat akan merambah hutan juga, misalnya untuk mencari kayu bakar, menangkap rusa maupun merusak perairan

168

sekitar TNBB dengan pencurian koral dan menangkap ikan dengan bom ikan. Nilai – nilai sakral di wilayah TNBB terutama di sekitar kawasan Waka Shorea Resort and Spa perlu dipahami sebagai modal budaya yang penting untuk dilestarikan, seperti di kawasan Prapat Agung yang kaya dengan sejarah lintas budaya Jawa Bali.

4. Untuk mengatasi inkonsistensi kebijakan maka yang berperan utama adalah pihak Departemen Kehutanan, untuk berkomunikasi dengan pihak pemda Buleleng, sehingga bisa terjadi sinkronisasi kebijakan antara pusat dan daerah. Perlu dibuat perda yang tidak bertentangan dengan kebijakan di atasnya, seperti yang diontohkan oleh Kepala Balai TNBB dengan perda retribusi di Taman Nasional Way Kambas, Lampung.

5. Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan penelitian terkait dengan evaluasi respon pengguna independen. Juga dapat diteliti pengaruh wilayah PPA TNBB yang relatif kecil terhadap implikasi pembangunan berkelanjutan di wilayah TNBB secara menyeluruh dan pariwisata Bali dalam skala yang lebih luas.

169

KEPUSTAKAAN A. Buku Bungin, Burhan, Prof. Dr.H.M. S. Sos, Msi. Penelitian Kualitatif – Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lain, 2007. Jakarta, Kencana Prenada Media Group. Creswell, John W.( 1994 ) . Research Design – Qualitatitive and Quantitative Approaches, California – USA, Sage Publication, Inc. Damanik, Janianton dan Weber, Helmut F,

2006. Perencanaan

Ekowisata, Dari Teori ke Aplikasi. Yogyakarta, Pusat Studi Pariwisata ( Puspar ) UGM dan Penerbit Andi Yogyakarta. Dunn .W, (2003), Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta, Gajah Mada Universitas Press. Dye, Thomas R ( 1998 ), Understanding Public Policy, New Jersey, USA, Prentice Hall Irawan, Prasetya (2007). Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk ilmu – ilmu Sosial, Jakarta, Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Kariem, Anwar

Sanusi,

Drs,

MPA (2003).

Manajemen

Kemitraan

Pemerintah dan Swasta. Jakarta, STIA Press. Kementerian Negara Lingkungan Hidup ( 1997 ). Agenda 21 Indonesia – Strategi Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan. Lembaga Administrasi Negara RI, ( 2005 ). SANKRI, Buku III – Landasan dan pedoman Pokok Penyelenggaraan dan Pengembangan Sistem Administrasi Negara, Jakarta, LAN. Lembaga Administrasi Negara RI,( 2007). Penerapan Good Governance di Indonesia, Jakarta, LAN. Moleong, J Lexy, Prof.Dr.MA, 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif – Edisi Revisi. Bandung, PT. Remaja Rosdakarya. Mustopadidjaya,

(2005),

Manajemen Proses Kebijakan Publik, Jakarta,

Lembaga Administrasi Negara - Duta Pertiwi Foundation, Jakarta. Said Zainal Abidin , (2002), Kebijakan Publik, Jakarta, Yayasan Pancur Siwah. 170

Saleh, Harry Heriawan, (2008). Kemitraan Sektor Publik dan Swasta. Jakarta, Pustaka Sinar Harapan. Salim, Emil, ( 1991 ). Pembangunan Berwawasan Lingkungan. Jakarta, LP3ES. Sekretariat Tim Pengembangan Kebijakan Nasional Tata Kepemerintahan yang Baik- Bappenas, (2007), Modul Penerapan Prinsip – Prinsip Tata Pemerintahan yang Baik, Bappenas, Jakarta. Sugandhy, Aca, Dr. Ir.Msc; Kebijakan

Hakim, Rustam, MT (2007). Prinsip Dasar

Pembangunan

Berkelanjutan

Berwawasan

Lingkungan. Jakarta, Bumi Aksara. Subarsono, AG.Drs, Msi, MA.( cetakan kedua 2006 ). Analisis Kebijakan Publik ( Konsep, Teori dan Apikasi ),

Yogyakarta, Pustaka

Pelajar. Sugiyono, Prof. Dr (2005). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung, Alfabeta. Tjokroamidjojo, Bintoro ( cetakan ke 8 1985 ). Pengantar Administrasi Pembangunan. Jakarta, LP3ES. Widodo, Joko, Dr.M.S. ( cetakan kedua, 2008 ). Analisis Kebijakan Publik ( Konsep, dan Aplikasi Proses Kebijakan Publik). Malang, Bayumedia Publishing. Winarno, Budi . ( 2007 ). Kebijakan Publik Teori dan Proses, Edisi Revisi. Yogyakarta, Media Pressindo. Yoeti, Oka, A ( 2002 ). Perencanaan Strategis pemasaran Daerah Tujuan Wisata. Jakarta, PT. Pradnya Paramita. B. Peraturan Perundang – Undangan dan Kebijakan Lain Undang - Undang no 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan. Undang Undang no 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Undang – Undang no 25 tahun 1994 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Undang –Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,

171

Undang – Undang no 25 tahun 2004 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000 - 2004 Tap MPR No. IV /MPR/1999 tentang GBHN. Peraturan Presiden no 18 /1994 ttg Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Taman Nas, Taman Hutan Raya,Taman Wisata Alam Peraturan Presiden no 7 tahun 2005 tentang RPJMN 2004 – 2009 Keputusan Menteri Kehutanan no 184 / Kpts – II / 1998 tentang Pemberian Izin Pengusahaan Pariwisata Alam kepada PT.Shorea Barito

Wisata

Pada

Sebagian

Zona

Pemanfaatan

Taman

Nasional Bali Barat. Keputusan Menteri Kehutanan No. 566/Kpts-II/1999 tanggal 21 Juli 1999 tentang Penetapan Batas Areal Kerja PT.Shorea Barito Wisata. Permenpan no Per/15/M.Pan/7/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi SK. Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Dephut 17/Kpts/DJV/1998 20 Pebruari 1998 tentang Pengesahan Rencana Karya Pengusahaan Pariwisata Alam di zona pemanfaatan intensif Balai Taman Nasional Bali Barat, Kab Jembrana dan Buleleng Propinsi Bali. SK Dirjen Perlindungan dan Konservasi Alam No.186/Kpts/Dj-V/1999 tanggal 13 Desember 1999 tentang Pembagian Zonasi Taman nasional Bali Barat. SK Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No S 25/IV/ WAP JL / 2004 9

Januari 2004 tentang Rencana Karya Lima Tahun

172

Pengusahaan Pariwisata Alam Tahap II ( RKL-PPA ) Periode 1 April 2003– 31 Maret 2008 )

C. Makalah, Laporan dan Tesis Mustopadidjaja, AR, Prof. Dr. ( 2008 ), Kebijakan Publik – Teori dan Aplikasi. ( Bahan kuliah MPD 2008 ). D. Laporan Rencana Strategis Departemen Kebudayaan dan Pariwisata 2004 - 2009 Rencana Strategis ( Renstra ) Pemerintah Propinsi Bali 2003 – 2008. Rencana Karya Lima Tahun ( RKL ) Pengusahaan Pariwisata Alam ( PPA ) Tahap Kedua ( 1 April 2003 – 31 Maret 2008 ) PT. Shorea Barito Wisata pada Sebagian zona pemanfaatan Balai Taman Nasional Bali Barat ( TNBB ) Rencana Karya Tahunan ( RKT ) Pengusahaan Pariwisata Alam ( PPA ) di Zona Pemanfaatan Taman Nasional Bali Barat ( TNBB ) Tahap XI 2008 RKT- PPA di Zona Pemanfaatan TNBB Tahap X Tahun 2007 RKT- PPA di Zona Pemanfaatan TNBB Tahap IX Tahun 2006 RKT- PPA di Zona Pemanfaatan TNBB Tahap VIII Tahun 2005 RKT- PPA di Zona Pemanfaatan TNBB Tahap VIITahun 2004 Laporan Pelaksanaan Pembinaan Pengusahaan Pariwisata Alam ( PPA ) PT. Shorea Barito Wisata 2008 Laporan Pelaksanaan Pembinaan PPA PT. Shorea Barito Wisata 2007 Laporan Pelaksanaan Pembinaan PPA PT. Shorea Barito Wisata 2006 Laporan Pelaksanaan Pembinaan PPA PT. Shorea Barito Wisata 2005 173

Laporan Pelaksanaan Pembinaan PPA PT. Shorea Barito Wisata 2004 Laporan Hasil Monitoring dan Evaluasi PPA PT. Shorea Barito Wisata di Zona Pemanfaatan Intensif Taman Nasional Bali Barat 2003. E. Website Ekowisata Indonesia ( http://www.ekowisata.info ) landiyanto, Agustino, Erlangga, Wardaya, Wirya, Airlangga University, 2005, Framework of Regional Development in Agenda 21: Sustainability and environmental vision

(

http://mpra.ub.uni-

muenchen.de/2381/ ) Taman Nasional Bali Barat ( http://www.tnbalibarat.com) Kartawijaya,Tb.Mh Idris,2008, Pembangunan Berkelanjutan,( http:// tbidris.wordpress.com/2008/03/31/pembangunan-berkelanjutan/ ) The International Ecotourism Society - Fact Sheet: Global Ecotourism— Updated edition, September 2006 (http://www.ecotourism.org) Taman Nasional ( http:// www.unep-wcmc.org/sites/wh/index.html ) Waka Shorea Resort and Spa ( http://www. wakashorearesort. com/ ). WECD (World Commission on Environment and Development ), 1987. Report

of

the

Development:

World Our

Commission

Common

documents.net/wced-ocf.htm )

174

on

Future.

(

Environment

and

http://www.

un-

PEDOMAN OBSERVASI EVALUASI KEBIJAKAN KEMITRAAN PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM TAMAN NASIONAL BALI BARAT DALAM MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN 1. Hal – hal yang diobservasi pada penelitian ini adalah mengacu kepada hal – hal yang ada di wilayah PPA TNBB, sebagai berikut : a. Pelaksanaan kebijakan di lapangan. b. Sarana akomodasi ( Waka Shorea ) c. Sarana wisata di darat ( trekking, camping dll ) maupun bahari ( snorkeling, boating ). d. Sarana transportasi dan akses menuju ke kawasan pariwisata alam wilayah PPA TNBB. e. Program pelestarian lingkungan yang ada. f.

Penangkaran curik Bali

g. Bentuk – bentuk kerjasama yang dilakukan antara pihak PT. Shorea Barito Wisata dengan masyarakat sekitar wilayah PPA TNBB,LSM, Balai TNBB. h. Respon, tanggapan, keluhan masyarakat terhadap kehadiran PT. Shorea Barito Wisata sebagai salah satu pengelola wilayah PPA TNBB. i.

Wilayah TNBB yang menjadi tanggung jawab Balai TNBB

2. Peralatan observasi yang dipergunakan adalah : pedoman observasi, pedoman wawancara, alat perekam, kamera digital.

175

3. Team penelitian adalah peneliti sendiri, satu orang asisten untuk membantu mencatat hasil wawancara, satu orang asisten sebagai fotografer. 4. Target waktu : 15 Mei –15 Juli 2009

Peta 1. 50 Taman Nasional di Indonesia

Taman Nasional di Pulau Sumatera 1. Gunung Leuser

**)

4. Bukit Tigapuluh 5. Bukit Duabelas 6. Berbak

***)

7. Sembilang 8. Bukit Barisan

Taman Nasional di Bali dan Nusa Tenggara

*)

**)

2. Siberut *) 3. Kerinci Seblat

Taman Nasional di Pulau Jawa 1. Ujung Kulon

**)

2. Kepulauan Seribu 3. Gunung Halimun 4. Gunung Gede Pangrango

*)

5. Karimunjawa 6. Bromo Tengger Semeru 7. Meru Betiri 8. Baluran

176

1. Bali Barat 2. Gunung Rinjani 3. Komodo *) **) 4. Manupeu Tanah Daru 5. Laiwangi Wanggameti 6. Kelimutu

Selatan **) 9. Way Kambas 10. Batang Gadis 11. Tesso Nilo

9. Alas Purwo 10. Gunung Merapi 11. Gunung Merbabu 12. Gunung Ciremai

Keterangan: Taman Nasional di Pulau Kalimantan 1. Gunung Palung 2. Danau Sentarum ***)

3. Betung Kerihun 4. Bukit Baka-Bukit Raya 5. Tanjung Puting*) 6. Kutai 7. Kayan Mentarang 8. Sebangau *) **) ***)

Taman Taman Nasional di Pulau Sulawesi 1. Bunaken 2. Bogani Nani Wartabone 3. Lore Lindu

*)

Nasional di Maluku dan Papua 1. Manusela 2. Aketajawe Lolobata 3. Teluk Cendrawasih

4. Taka Bonerate

4. Lorentz

5. Rawa Aopa Watumohai 6. Wakatobi

5. Wasur

7. Kepulauan Togean 8. Bantimurung -

Bulusaraung Cagar Biosfer World Heritage Sites Ramsar Sites

Peta 2. Taman Nasional Bali Barat

177

**)

Peta 3 . Lokasi Waka Shorea Resort and Spa

178

179

PROGRAM MAGISTER ILMU ADMINISTRASI S E K O LA H T I N G G I I L M U A D M I N I S T R A S I LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA Jalan Administrasi II Pejompongan, Jakarta Pusat 10260-Telp. (021) 5326396 Fax. (021) 53674562

NYOMAN

RUDANA

Anggota DPD –RI ( Senator ) Propinsi Bali 2004 - 2009

Website / Email / Hp : Website : www.senatorrudana.yahoo.com www.adonisrama.wordpress.com www.museumrudana.com

Email : [email protected] [email protected]

Alamat Rumah : Cok Rai Pudak 44, Peliatan, Ubud, Bali 80571 Ph : 0361-975779 Park Royal Apartment Tower 1 suite 1011 Jl Gatot Subroto, Jakarta 12071 Ph : 021 – 5717311

Alamat Kantor : Dewan Perwakilan Daerah ( DPD ) Building, lantai 3, Ruang 302 ( Propinsi Bali ). Kompleks Gedung DPR – MPR, Jend Gatot Subroto 6, Jakarta 12071 Ph : 021- 57897242, Fax : 021 – 57897244 www.dpd.go.id

Pekerjaan Saat ini : Oktober 2004 – September 2009 

Anggota DPD – RI mewakili Propinsi Bali, bertugas di : Panitia Ad Hoc / PAH IV. membidangi RAPBN, Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, memberikan pertimbangan hasil pemeriksaan keuangan daerah dan pemilihan anggota BPK serta pajak.  Badan Kehormatan DPD - RI .  Panitia Kerjasama Antar Lembaga Perwakilan / PKALP DPD-RI.  Kelompok DPD –RI di MPR –RI. 



Anggota MPR – R I 2005 – Sekarang : Komisaris GRP ( Group Rudana & Putra ) Holding Company

Seminars / Workshops

Selama Menjadi Anggota

DPD : 28– 31 Juli 2009 Menghadiri ANU ( Australian National University ) Conference on Varieties of Unicameralism di Legislative Assembly for the Australian Capital Territory (ACT ). Bertemu Ausaid, ANU, dan pertemuan di CDI.

11– 15 Januari 2009 Menghadiri The 17 th Annual Meeting of the Asia Pasific Parliamentary Forum, Vientiane, Lao PDR.

27 – 30 Nopember 2008

ASIAN PARLIAMENTARY ASSEMBLY 2008 dengan DPR RI sebagai tuan rumah.

26 – 27 Juli 2008

Menghadiri the 8th Workshop of Parliamentary Scholars and Parliamentarians di Wroxton College, Wroxton, Oxfordshire UK, dilanjutkan dengan mengunjungi The House of Lords di London, UK.

26 – 27 Mei 2008 Menghadiri The Indonesia Regional Investment Forum ( IRIF ) di Ritz Carlton- Pasific Place , Jakarta .

20 – 24 Januari 2008

Menghadiri The 16th APPF ( Asia Pasific Parliamentary Forum ) di Auckland, New Zealand.

14 – 18 Desember 2007 Menghadiri International E- Parliament Hearing di Hotel Alila Ubud, Bali.

3 – 14 Desember 2007

Menghadiri Konferensi Perubahan Iklim PBB / United Nations Convention on Climate Change ( UNCCC ) di Nusa Dua Bali

1 Juni 2007

Seminar dan Konsultasi Publik Perjuangan Bali Menuju Otonomi Khusus Dalam Bingkai NKRI di Museum Indonesia TMII

29 April – 4 Mei 2007

Anggota delegasi Parlemen Indonesia dalam menghadiri The 116 th Assembly of IPU ( Inter Parliamentary Union ) Congress, di Bali International Convention Center ( BICC ) - Nusa Dua, Bali. Menulis dua makalah yang disebarkan di arena IPU :  From Bali to The World : Tri Hita Karana Concept as the Fundamental Principle for Developing World Peace.  Global Warming : Tri Hita Karana as The Principle of Taking Smaller Steps Towards One Main Goal : Save The Planet Earth.

14 – 15 Februari 2007

Salah satu nara sumber dalam Workshop Pengembangan Sistem Integritas Publik dalam Tata Kelola Pemerintahan Daerah yang Baik, bekerjasama dengan Griffith University of Queensland, Brisbane, Australia, di Hotel Sanur Plaza, Bali.

2 – 3 Nopember 2006

Menghadiri Indonesia Regional Investment Forum ( IRIF ), yang diselenggarakan oleh DPD RI sebagai tuan rumah, di Hotel Shangrila , Jakarta.

September 2006 Mengunjungi Parlemen di Negara Bagian Queensland, Australia di Brisbane, mengadakan meeting mengenai sistem IT yang terintegrasi di kalangan institusi pemerintah terkait dalam rangka menuju pemerintahan yang bersih ( good governance ).

21 – 28 Mei 2005 Mengunjungi ibu kota Australia, Canberra, bertemu dengan Menlu Australia Mr. Alexander Downer, dan anggota Parlemen Commonwealth dimana dirumuskan sejumlah saran antara lain perlunya pembentukan kelompok parlemen antara DPD RI dengan Senat Australia untuk meningkatkan kerjasama antar Negara Bagian di Australia dengan propinsi di Indonesia.

2005

Workshop Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, diselenggarakan oleh Depdagri, di Hotel Borobudur, Jakarta.

2005 Workshop mengenai penguatan fungsi DPD dalam menuju Sistem Parlemen Bikameral untuk mempercepat demokrasi, disponsori oleh Bank Dunia, di Lippo Karawaci, Tangerang.

Pengalaman Kerja: 2000 Menciptakan Ksatria Seni Award, penghargaan seni yang diberikan setiap empat tahun sekali kepada individu maupun organiasi yang mendedikasikan hidupnya untuk memajukan seni di tanah air.

1995 Mendirikan Yayasan Seni Rudana, mensponsori anak – anak serta pemuda di Bali dalam menempuh pendidikan di bidang seni, tari menari serta musik

1991

Mendirikan Padma Indah Cottage di Ubud ( berubah menjadi Wakanamya Resort and Spa di tahun 2003). Website : www.wakanamya.com

22 Desember 1990

Peletakan batu pertama didirikannya Museum Rudana di Kawasan Seni Rudana Ubud, satu kompleks dengan Rudana Fine Art Gallery. Diresmikan oleh Presiden Soeharto tanggal 26 Desember 1995. Museum Rudana merupakan museum yang menampilkan karya seni terutama karya lukis masterpiece dari para seniman terkemuka Bali teristimewa, Indonesia serta luar negeri. Website : www.museumrudana.com.

1980

Mendirikan Yayasan Pendidikan Udaya Ukir, di Ubud Bali, berfokus pada pendidikan dasar.

1978

Mendirikan Rudana Fine www.museumrudana.com.

Art

Gallery

di

Ubud,

Bali.

Website

:

1974 – 1975 Karyawan Bali Hyatt, Sanur 1974

Mendirikan The Rudana Painter Community di Sanur, Bali, untuk membina dan mengembangkan kreatifitas seni lukis di daerah Sanur, serta membantu para seniman lokal dalam memasarkan hasil karyanya.

1970 - 1973 Pemandu wisata di Bali.

Pengalaman menjadi Dosen Tamu : 19 Agustus 2007

2005

Sekolah Tinggi Manajemen ( STM ) IMNI Jakarta Seminar Bisnis mahasiswa pascasarjana dengan topik : Art Gallery dalam Perspektif Kewirausahaan. ISI (Institut Seni Indonesia ) Denpasar Topik : Hubungan Timbal Balik antara Seni dan Manajemen Bisnis.

2003 dan 2004

Udayana University, Magister Management ( MM ) Program. Topik : Hubungan Timbali Balik antara Seni Budaya dan Industri pariwisata.

Pendidikan Formal : 2008 - 2009 2000 - 2004 1969 - 1970 1965 - 1968 1962 - 1965 1956 - 1962

Program pasca sarjana Manajemen Pembangunan Daerah, STIA LAN Jakarta Fakultas Ekonomi STIE Adhi Nyaga, Jakarta PGSLP Negeri, Madiun, Jawa Timur SLUA Saraswati Denpasar, Bali SMP Negeri, Ubud, Gianyar-Bali SD Negeri, Mawang, Ubud, Bali

Pendidikan Non Formal : 2003 - 2004 2003 - 2004 1972 1971

Kelas vokal dan dansa - Bali Kursus kepribadian John Robert Powers - Bali Kursus bahasa Itali - Bali Kursus bahasa Inggris - Bali

Penghargaan : 2000 Penghargaan L’albero dell’umanita ( Pohon Perdamaian ) dari pemerintah Italia, sebagai apresiasi terhadap upaya dalam menyampaikan misi perdamaian dunia melalui seni. Diberikan beberapa bulan setelah Museum Rudana menyelenggarakan pameran lukisan di Roma pada tahun 2000.

14 Desember 1994 Penghargaan Upakarti, diserahkan oleh Presiden Soeharto, sebagai penghargaan dalam bidang Pembinaan dan Pengembangan Industri Kecil dan Kerajinan dalam rangka Pengembangan Industri Nasional.

1985

Lempad Prize Award, diberikan oleh Sanggar Dewata Indonesia, sebagai penghargaan terhadap komitmen dan upaya dalam mempromosikan seni budaya Indonesia.

Pameran Lukisan di Manca Negara : 2000 1998

Febuari 1997

Pameran lukisan di Roma, diselenggarakan oleh Museum Rudana. Pameran lukisan The Seven Figurative Artists pada acara Annual Qurain Festival di Kuwait City, Kuwait, diselenggarakan Museum Rudana.

Pameran lukisan di Kuwait National Council for Culture, Arts and Letters di Kuwait City, Kuwait, diselenggarakan oleh Museum Rudana.

1991

Pameran lukisan di enam Negara Bagian di Amerika Serikat, diselenggarakan oleh Rudana Fine Art Gallery, bekerjasama dengan KIAS.

Agustus – Oktober 1981 Pameran lukisan di Jerman Barat ( Dusseldorf, Sigbourg, Berlin Barat) dan Italia (Roma, Milano, Bergamo), diselenggarakan oleh Rudana Fine Art Gallery

Organisasi : •

2002 – 2006



2000 Pendiri HIMUSBA ( Himpunan Museum Bali ). 2002 – 2005 Treasurer HIMUSBA 2005 – sekarang Anggota Dewan Penasehat HIMUSBA

• •

2001 2002 2000 – 2003

Pendiri dan Chartered President Rotary Club of Bali - Ubud Past President Rotary Club of Bali – Ubud. Stakeholder dari Bali Tourism Board ( BTB )



1997 – 2003

Ketua Persatuan Tourist Attractions “PUTRI” Bali



1983 – 1987

Ketua PERCASI ( Persatuan Catur Seluruh Indonesia )



1980 – 1985

Ketua Bali Art Shops Association (BAA)



1966 – 1971

Ketua Karang Taruna di desa Gelogor, Lod Tunduh, Ubud

Ketua PABBSI ( Persatuan Angkat Besi Seluruh Indonesia ) cabang Bali.

Data Pribadi : Tempat / Tanggal Lahir

Gianyar, 17 September 1948

Status

Menikah

Agama

Hindu Bali

Istri

Ni Wayan Olasthini

Anak

4 orang, 2 pria, 2 wanita

Related Documents


More Documents from "Nyoman Rudana"