Pendidikan Dan Kebutuhan Lapangan Kerja

  • Uploaded by: Prof. DR. H. Imam Suprayogo
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pendidikan Dan Kebutuhan Lapangan Kerja as PDF for free.

More details

  • Words: 1,140
  • Pages: 4
Pendidikan dan Kebutuhan Lapangan Kerja Bagikan 27 April 2009 jam 12:35 Berkali-kali saya mendengarkan pandangan dalam berbagai ceramah atau diskusi, bahwa tidak semestinya bangsa Indonesia ini banyak orang miskin dan apalagi tidak memiliki lapangan pekerjaan. Alasannya, negeri ini sangat subur dan kaya sumber daya alam. Selain itu, Indonesia juga sangat kaya sumber daya manusia. Jumlah penduduk yang sedemikian besar, adalah merupakan potensi dan sekaligus pasar yang luar biasa. Terkait dengan kesuburan tanah negeri ini, tidak ada di manapun bandingannya. Sementara orang bilang bahwa tongkat saja dilempar ke sembarang tempat bisa tumbuh, dan suatu saat bisa berbuah. Ungkapan itu memang rasanya tidak berlebihan. Ketika saya masih kecil hidup di desa, banyak tanaman yang tumbuh secara alami, artinya banyak tumbuhan yang tidak ditanam, tapi tumbuh. Dari mana benih itu datangnya,tidak ada yang tahu. Tumbuhan itu lama kelamaan menjadi besar dan berbuah. Karena suburnya, betapa mudahnya bertani di negeri ini. Kemudahan itu terasa sekali jika membandingkannya dengan negeri lain. Saya pernah ke Yordan. Kebetulan diajak oleh tuan rumah melihat pemandangan Laut Mati. Tanah di sekitar jalan dari kota menuju tempat itu sangat tandus, berbatu dan berpasir. Tetapi dengan rekayasa sedemikian rupa, tanah itu ternyata bisa menghasilkan pisang yang luar biasa banyaknya. Di Indonesia, sekedar menanam pisang, tidak sebagaimana di sekitar Laut Mati itu, harus memasang pipa-pipa untuk mengalirkan air, agar tanaman tersebut tumbuh dan berbuah. Tanah di Indonesia, hampir di semua tempat bisa ditanami pisang, tanpa rekayasa yang rumit. Hanya anehnya, kita tidak tergerak menanamnya dan cukup mengimport dari negeri lain. Saya juga pernah datang ke suatu tempat bernama Ashoffi di Riyad, Saudi Arabia. Daerah padang pasir, dari kota kira-kira dapat ditempuh selama 3 jam itu dikenal sebagai wilayah peternakan sapi. Di tempat itu, puluhan ribu ternak sapi dipelihara. Peternakan itu dikelola secara modern, hampir semua dikendalikan dengan mesin dan komputer.

Bersebelahan dengan lokasi peternakan, sekalipun semula berupa padang pasir, direkayasa hingga bisa ditanami rumput. Berpuluh-puluh hektar padang pasir itu disulap menjadi tanaman rumput untuk memenuhi kebutuhan ternak sapi pada setiap harinya. Di Indonesia sekedar menanam rumput, tidak harus memeras otak, tetapi sekalipun mudah dilakukan, tidak beternak dan juga tidak menanam rumput. Tentang jumlah sumber daya manusia potensial, tidak perlu digambarkan. Semua orang mengetahui, di negeri ini betapa banyaknya. Tenaga kerja itu karena tidak tertampung di negeri sendiri, mereka setiap hari bisa kita saksikan keluar dan masuk, ----pulang dan pergi ke luar negeri di terminal Bandara Udara. Awal bulan Pebruari 2009 yang lalu, saya mendapat undangan dalam sebuah seminar di Kourtum, Sudan. Selama ini orang mengenal taraf ekonomi Negara Sudan, tidak lebih dari Indonesia, masih tergolong negara berkembang. Akan tetapi ternyata, dalam masa dua atau tiga tahun terakhir ini saja tidak kurang dari 800 orang TKI bekerja di Kota yang kaya debu itu. Dengan keberhasilannya mengeksploitasi sumber minyak, ekonomi negeri ini mengalami kenaikan yang sangat tajam. Akibatnya, menarik minat pekerja asing, termasuk dari Indonesia, sekalipun hanya bisa memilih jenis pekerjaan rendahan, sebagai pembantu rumah tangga. Mencermati keadaan seperi itu, pertanyaan yang seharusnya dijawab adalah apa sesungguhnya yang salah dari negeri ini, hingga menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya saja sangat kedodoran. Apa yang menjadi sebab kelemahan itu yang sebenarnya. Apakah sistem politik, pendidikan, ekonomi, social budaya, atau semua itu yang lemah dan masih harus diperbaiki. Jika semuanya menuntut perbaikan, maka pertanyaannya adalah perbaikan itu seharusnya dimulai dari mana. Pertanyaan ini kiranya perlu dijawab secara cepat dan tepat. Rasanya aneh, sebagai bangsa yang hidup di negeri yang tanahnya sedemikian subur dan luas, kaya sumber daya alam, lautan yang tidak terkira luasnya, manusia yang juga tidak kalah cerdas dan ketrampilannya, tetapi kenyataannya masa kaya problem mendasar seperti itu. Mereka sebatas mencari kerja saja harus datang ke negeri orang yang jauh, apalagi jenis pekerjaan yang dimaksud hanya sebagai buruh dan bahkan hanya sebagai pembantu rumah tangga. Gambaran ini sangat eronis sekali.

Pertanyaan besar itu, tentu bisa dijawab dari berbagai aspek. Dalam kesempatan ini, saya akan mengajak bersama-sama melihat dari aspek kualitas pendidikan. Akhir-akhir ini, pemerintah sudah berusaha meningkatkan aspek itu. Akhir-akhir ini sudah menaikkan anggaran pendidikan hingga mencapai 20 % dari APBN. Sudah barang tentu anggaran sebesar itu jika berhasil dikelola secara tepat, sudah tergolong besar dan cukup. Namun sebaliknya, jika tidak dikelola secara baik, gambaran besarnya biaya pendidikan itu hanya akan menambah frustasi, sebagai akibat dana itu dibelanjakan pada hal-hal yang tidak tepat, apalagi dikorupsi. Memperhatikan kebijakan pendidikan selama ini, tampak bahwa pelaksanaannya baru mengedepankan aspek yang bersifat formalitas belaka. Pengambil keputusan di bidang pendidikan, masih sangat percaya akan peraihan angka-angka statistic, dan sebaliknya kurang memperhatikan isi pendidikan yang sebenarnya. Mungkin maksud kebijakan itu dianggap benar, karena hanya mau melihat aspek manajerialnya saja. Misalnya, bahwa pendidikan harus dikontrol dari pemerintah pusat, untuk mengetahui sampai sejauh mana kualitas hasil pendidikan yang diraih oleh seluruh siswa pada jenjang tertentu di negeri ini. Maka, diselenggarakanlah Ujian Nasional (UN) terhadap beberapa mata pelajaran. Padahal aspek lain yang lebih relevan dengan tuntutan kehidupan anak masa depan justru menjadi terabaikan. Ujian Negara itu, salah satunya adalah untuk mengetahui tingkat keberhasilan pembelajaran siswa diukur dari standar nasional. Akan tetapi dalam prakteknya, ternyata ujian itu dimaknai secara lebih sederhana dari maksud itu. UN dimaknai oleh berbagai pihak dengan kepentingannya masing-masing. Misalnya oleh kepala daerah dijadikan sebagai symbol prestise. Demikian pula oleh dinas pendidikan, kepala sekolah, orang tua dan juga para siswa yang bersangkutan. Bersumber dari pemaknaan yang sesungguhnya berada di luar kontek diselenggarakannya ujian itu, maka kemudian muncullah penyimpangan-penyimpangan ujian, yang kadang berdampak sangat jauh dari nilai-nilai hakiki pendidikan. Sebagai akibatnya, pendidikan kemudian hanya dipenuhi dari sisi formalitasnya, sehingga menjadi bersifat semu, manipulatif dan bahkan, -----disengaja atau tidak, melahirkan nilai-nilai yang sangat jauh dari apa yang seharusnya dikembangkan melalui pendidikan, misalnya kepalsuan, curang,

kebohongan dan seterusnya. Melalui beberapa mata pelajaran yang dipandang sebagai inti dan penting, seperti mata pelajaran matematika, IPA, IPS, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia diujikan kepada seluruh siswa. Tentang apa relevansinya sejumlah mata pelajaran tersebut dengan kehidupan para siswa ke depan, seringkali juga tidak dilakukan kajian secara mendalam. Misalnya, jika para siswa lulusan SMU diharapkan mampu mengembangkan pertanian, peternakan, kelautan, kehutanan dan seterusnya, maka benarkah seharusnya seluruh siswa diarahkan untuk menguasai bidang-bidang tertentu itu melalui Ujian Negara. Tidak aneh jika kemudian hanya sebatas untuk lulus mata pelajaran tersebut, maka umur para siswa ------yang sesungguhnya tidak terlalu perlu, akan dihabiskan untuk membaca dan menghafalkan buku teks yang terkait dengan mata ujian itu. Padahal, setelah mereka lulus, jenis mata pelajaran itu belum tentu ada relevansinya dengan persoalan nyata yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, pendidikan yang diikuti dengan waktu yang lama, biaya yang mahal, tetapi tidak memiliki relevansinya bagi pembekalan kehidupan para siswa di masa depan. Akibatnya, setelah lulus mereka itu akan kembali ke wilayah dasar yakni hanya mampu bekerja sebagai tenaga kasar, yakni sebagai buruh dan bahkan sebatas sebagai pembantu rumah tangga. Mudah-mudahan, pandangan seperti ini segera mendapatkan perhatian, dan ada langkah-langkah perbaikan ke depan, sehingga pendidikan di negeri ini berhasil menjawab persoalan bangsa, sekaligus juga penyediaan tenaga kerja yang tepat. Wallahu a’lam.

Related Documents


More Documents from "astikha"