Melihat Prospek Ilmu Pertanian

  • Uploaded by: Prof. DR. H. Imam Suprayogo
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Melihat Prospek Ilmu Pertanian as PDF for free.

More details

  • Words: 728
  • Pages: 3
Melihat Prospek Ilmu Pertanian Bagikan 04 November 2009 jam 6:02 Setiap mengkuti pertemuan para pimpinan perguruan tinggi khususnya dalam membicarakan tentang penerimaan mahasiswa baru, saya selalu mendapatkan informasi bahwa rumpun ilmu peranian selalu kekurangan peminat. Gejala penurunan itu semakin tahun, semakin tingi. Bahkan ada beberapa perguruan tinggi yang hanya diminati oleh beberapa orang, sehingga seluruh pendaftar diterima. Memperhatikan fenomena itu rasanya memang ada sesuatu yang ganjil. Negara agraris yang memiliki tanah sedemikian luas dan subur, ternyata ilmu pertanian tidak berkembang. Padahal setiap hari semua orang selalu membutuhkan hasil pertanian. Orang Indonesia tidak akan bisa berhenti dari mengkonsumsi hasil pertanian, seperti beras, jagung, kedelai, buah-buahan dan lain-lain. Lalu, kenapa ilmu pertanian tidak berkembang. Apa mungkin usaha pertanian selama ini, dikelola tanpa menggunakan ahli ilmu pertaniaan. Hal yang menyedihkan, seringkali mendengar berita bahwa banyak hasil pertanian yang merupakan kebutuhan penduduk negeri ini harus import dari luar negeri. Kita sedih mendengar misalnya, beras pada suatu ketika harus import, demikian pula kedelai, jagung, dan bahkan sayur mayur dan buahbuahan harus import dari luar negeri. Berita itu bukan mengada-ada, sebab ternyata banyak buah-buahan import yang dijual di toko buah di berbagai kota. Keanehan lainnya lagi, tidak sedikit lahan pertanian yang menganggur. Tanah pertanian itu sudah lama tidak digunakan untuk bertani. Bahkan tanah-tanah itu tidak lagi dimiliki oleh petani setempat, melainkan sudah menjadi milik orang-orang kaya yang bertempat tinggal di kota. Memang semula tanah itu milik petani, tetapi dengan barbagai cara sudah beralih status kepemilikannya, menjadi milik orang lain yang bukan berprofesi sebagai petani. Sementara orang mengatakan, bahwa tanah-tanah itu sudah menjadi investasi orang kota. Fenomena lainnya, semakin banyak anak-anak lulusan pertanian yang menganggur. Aneh sekali, ada sarjana pertanian menganggur di tengahtengah lahan pertanian yang tidak diolah. Lebih dari itu, ketika itu pula terdapat banyak hasil pertanian yang harus import dari luar negeri. Sehingga sempurnalah kelucuan bangsa ini, yakni sebagai negara agraris, tetapi

sarjana pertanian banyak menganggur di tengah-tengah lahan yang banyak tidak diolah, sementara fenomena lainnya kebutuhan hidup dari hasil pertanian banyak yang import. Semestinya secara Logis, sebagai bangsa agraris, negeri ini sangat membutuhkan sarjana pertanian, tidak pernah ada lahan yang menganggur, dan bahkan juga seharusnya hasil-hasil pertanian banyak dieksport ke luar negeri. Jika selama ini terjadi sebaliknya, maka sesungguhnya ada sesuatu yang tidak beres. Negeri yang luas dan subur, tetapi pertanian tidak maju dan bahkan bidang ilmu pertanian tidak diminati banyak orang maka berarti ada sesuatu yang keliru yang harus dicari pemecahannya. Kekeliruan itu bisa jadi disebabkan oleh factor pemerintah atau oleh pengembangan ilmu pertanian itu sendiri. Kesalahan yang bersumber dari pemerintah misalnya, pemerinntah tidak memberi perhatian yang cukup sehingga iklim pertanian tumbuh. Pemerintah kurang memberikan perlindungan dan juga insentif terhadap para pekerja sebagai petani. Orangorang yang bekerja sebagai petani tidak mendapatkan keuntungan yang memadai dibanding dengan usaha di bidang lainnya. Pemerintah tidak mampu melindungi hasil pertanian di dalam negeri, malah justru memberi ijin masuk hasil pertanian dari luar negeri yang harga dan kualitasnya bisa bersaing. Kita lihat misalnya, apel dari Malang yang dulu menjadi kebanggaan, sekarang ini semakin redup dan digantikan oleh apel import. Kesalahan itu juga bisa disempurnakan justru oleh kampus sendiri. Kampuskampus yang memiliki kopentensi mengembangkan ilmu pertanian tidak mampu lagi melahirkan tenaga ahli dan juga hasil penelitian yang dibutuhkan di lapangan. Para sarjana pertanian yang dihasilkan oleh perguruan tinggi masih dianggap belum mampu menunjukkan keahliannya di tengah masyarakat. Mereka belum berhasil menjadi pendekar di bidang ilmu pertanian. Bahkan dalam beberapa kasus, sarjana pertanian tatkala mereka terjun ke gelanggang pertanian masih dianggap kalah dibanding dengan para petani berpengalaman, tekun, dan ulet di pedesaan. Jika demikian halnya memang layaklah bidang ilmu pertanian semakin lama semakin tidak menarik minat banyak orang. Akan tetapi sebaliknya, seumpama para sarjana yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan tinggi ilmu pertanian dipandang benar-benar mampu menjadi pendekar, atau sekurangkurangnya dianggap layak sebagai calon pendekar pertanian, maka bidang ini masih akan diminati banyak orang. Tetapi sebaliknya, jika semakin bertambah waktu seseorang belajar di fakultas pertanian semakin tidak percaya diri dan bahkan semakin tidak menyukai dunia pertanian, maka bisa jadi cara belajar, kurikulum atau iklim

pendidikan di perguruan tinggi itu yang seharusnya diubah. Mestinya, yang terjadi adalah sebaliknya. Seseorang tatkala semakin mendalami dunia ilmu itu, maka semakin percaya diri dan semakin mencintai bidang ilmu itu. Bukan justru sebaliknya, semakin tidak bersemangat apalagi lalu beralih ke bidang lainnya. Jika demikian, maka perlu ada reformulasi secara total pendidikan pertanian itu sehingga ilmu pertanian ke depan memiliki prospek yang semakin cerah. Wallahu a’lam.

Related Documents


More Documents from "Shafiq Mohd Nor"