Seorang Haji Pengayuh Becak Bagikan 17 Mei 2009 jam 11:32 Diunggah melalui Facebook Seluler Umumnya penghasilan sebagai penarik becak tidak banyak. Apalagi akhirakhir ini, pengguna kendaraan umum roda tiga ini, semakin lama semakin berkurang. Orang lebih suka naik angkutan kota atau taksi. Selain itu dengan semakin banyaknya sepeda motor, dan juga jasa ojek, orang lebih suka menggunakan sepeda motor. Sekalipun harus pakai helm, tetapi lebih cepat dan juga lebih leluasa. Misalnya, jika jalan naik turun pun, tidak sebagaimana becak, ojek tidak ngenal kesulitan. Selain itu daerah operasi becak semakin lama semakin dibatasi, untuk mencegah kemacetan. Keadaan seperti itu, -----sekalipun ada, menjadikan tidak banyak penarik becak yang mampu mengeluarkan biaya puluhan juta untuk membayar ongkos naik haji. Penghasilan sebagai pengemudi becak, wajar kalau tidak sampai tersisa hingga ditabung, dan kemudian digunakan untuk biaya ke tanah suci. Penghasilan sebagai pengemudi becak, jika mencukupi untuk menutup kebutuhan hidup sekeluargasehari-hari saja sudah lumayan baik. Apalagi jika becak yang digunakan untuk mencari penumpang bukan milik sendiri, melainkan nyewa dari juragan, maka penghasilan mereka akan lebih sedikit lagi. Saya pernah mendapatkan cerita dari seorang teman dekat yang bisa saya percaya kebenarannya, tentang pengayuh becah. Mendengar cerita itu, orang seperti saya yang sehari-hari bekerja sebagai guru, sangat terkesan dan bahkan juga terharu. Pengayuh becak yang umumnya dijadikan contoh dari hal yang tidak menggembirakan, pada kali itu justru sebaliknya patut dijadikan tauladan. Contoh yang kurang mengenakkan itu, misalnya jika seseorang salah menggunakan jalan di jalan raya, maka akan segera disebut seperti tukang becak saja. Kalimat itu menggambarkan bahwa penarik becak selalu diidentikan dengan orang yang kurang bisa menjaga kedisiplinan dan lain-lain. Cerita tersebut adalah sebagai berikut. Ada seorang pengayuh becak, selalu mangkal menunggu penumpang di gang sebelah masjid. Gang itu memang ramai, sehingga sehari-hari dari tempat itu ia selalu mendapatkan penumpang sehingga penghasilan yang didapat lumayan. Sejak lama, tempat mangkal itu tidak pernah ditinggalkan. Karena dari tempat itu, dia mendapatkan dua keuntungan sekaligus,yaitu selain selalu mendapatkan penumpang, pada setiap datang waktu sholat, ia bisa menunaikan tugasnya
sebagai muadzin di masjid sebelahnya itu. Pengayuh becak ini kebetulan suaranya bagus, sehingga banyak orang menyukai suara adzan yang dikumandangkan. Setiap hari, khususnya pada waktu sholat dhuhur dan asyar, pengayuh becak tersebut bertugas mengumandangkan adzan. Tugas itu ditunaikan secara disiplin dan istiqomah. Kedisiplinan pengayuh becak ini sudah diketahui oleh seluruh jama’ah masjid itu. Begitu konsistennya menjalankan tugas itu, sekalipun ada penumpang misalnya, jika sekiranya mengganggu tugasnya sebagai muadzin, ia menolak rizki itu sekalipun sesungguhnya sangat membutuhkan. Pengayuh becak ini tidak mau kehilangan kesempatan sholat berjama’ah, hanya sekedar harus memburu rizki. Jika ada penumpang, tetapi sudah masuk waktu dhuhur atau ashar, maka ia lebih memilih meninggalkan becaknya, mengambil air wudhu, kemudian adzan tepat waktunya dari pada melayani penumpang. Menurut cerita teman saya tadi, suatu ketika pengayuh becak yang merangkap sebagai muadzin tersebut, menjelang masuk waktu dhuhur mendapatkan penumpang. Ia diminta mengantarkan ke suatu tempat yang sesungguhnya tidak terlalu jauh. Ketika itu tidak ada becak lain, sehingga tidak ada pilihan kecuali meminta tolong kepada muadzin yang sekaligus sebagai pengemudi becak, untuk mengantarkannya. Mendapatkan tawaran itu, pengayuh becak menolak dengan alasan sebentar lagi masuk waktu sholat, sedangkan ia bertugas mengumandangkan adzan. Penumpang tadi sanggup membayar lebih dari biasanya, tetapi tetap saja ditolak olehnya dengan alasan, segera menunaikan adzan. Karena pengayuh becak tidak mau dibujuk, akhirnya orang tersebut mencari alternatif lain, dan akhirnya berhasil juga mendapatkan kendaraan yang biasa digunakan oleh rakyat biasa itu. Cerita sederhana tetapi menarik itu, kemudian disampaikan orang dari mulut ke mulut hingga tersebar luas, dan akhirnya nyampai pada salah seorang yang berkecukupan. Orang tersebut juga merasa terharu atas kedisiplinan dan istiqomah pengayuh becak tersebut.Didorong oleh rasa simpatiknya, orang berkecukupan tersebut mencari dan menawarinya untuk menunaikan ibadah haji atas biaya seluruhnya ditanggung olehnya. Tawaran itu dengan rasa syukur diterima, sehingga akhirnya pengayuh becak tersebut sekarang sudah pernah menunaikan ibadah haji. Terlepas apakah cerita tersebut benar atau tidak, tetapi dari kisah sederhana tersebut, sesunguhnya banyak pelajaran yang sangatberharga yang dapat dipetik. Di antaranya, bahwa ketaatan beragama, kedisiplinan dan tanggung jawab tidak selalu didominasi oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi dan berlebih secara ekonomi. Orang yang berpendidikan tinggi, kaya, lagi
terhormat, tidak selalu dapat dijamin keberagamaannya meningkat. Apalagi pendidikan umum yang hanya mengedepankan kekuatan nalarnya dan sebaliknya, kurang memperhatikan pengembangan spiritualitasnya. Selain itu, cerita tersebut juga mengingatkan bahwa, sesungguhnya derajat yang mulia di sisi Allah, bukan terletak pada jenis pekerjaan, jumlah penghasilan, dan bahkan juga latar belakang pendidikan. Kemuliaan di mata Allah adalah semata-mata karena kedekatan dan ketaqwaannya pada-Nya. Semoga pengayuh becak dalam cerita pendek tersebut, -------tidak terkecuali semua pembaca tulisanpendek ini, termasuk orang yang dimuliakan oleh Allah. Wallahu a’lam.