1
BAB I LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien Nama Lengkap
: Tn. W
Jenis Kelamin
: Laki-Laki
Umur
: 41 tahun
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Swasta
Pendidikan
: SLTP
Alamat
: Gedang kulut, RT 03, RW 01, Kec. Cerme, Gresik
Tgl Periksa
: 22 Januari 2019
Jam periksa
: 06.30
B. Anamnesa Keluhan Utama
: Sesak
Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien mengatakan sesak sejak ± 1 minggu yang lalu, sesak bertambah jika beraktivitas dan berkurang saat tidur telentang. Pasien juga mengeluh batuk ± 2 minggu yang lalu, dahak (+), warna putihkekuningan, konsistensi kental, darah (-) disertai nyeri dada kanan (+) kadang-kadang saat batuk, rasa kurang enak badan (+), nafsu makan menurun (+), berat badan turun (+), berkeringat pada malam hari meskipun tanpa kegiatan (+), demam (-), keluhan penyerta berulang dan sudah lebih dari sebulan. Riwayat Penyakit Dahulu
TB paru (-)
Asma (-)
DM (-)
Riwayat Pengobatan
:
:
Pasien belum berobat
2
Riwayat sosial:
Pasien perokok (+)
Kontak TB (-)
C. Pemeriksaan Fisik GCS
: 456
Keadaan umum
: Kesan lemah
BB
: 50kg
1. Vital Sign Tekanan Darah
: 115/80 mmHg
Nadi
: 88 x/menit
Pernafasan
: 24 x/menit
Suhu
: 36,5 ˚C
2. Status Generalis a. Kepala
: Konjungtiva Anemis (-/-) Sklera Ikterus (-/-) Dispneu (+) Sianosis (-)
b. Leher
: Pembesaran KGB (-) Pembesaran tiroid (-) Retraksi alat bantu nafas (+) Trakea deviasi (-)
c. Thorax 1) Cor Inpeksi
: Ictus cordis tak terlihat
Palpasi
: Ictus cordis teraba pada ICS V midclavikula S
Perkusi
: -Batas jantung kanan atas ICS II PSL dekstra, bawah ICS IV PSL dekstra. -Batas jantung kiri atas ICS II PSL sinistra, bawah ICS V MCL sinistra.
3
Auskultasi : S1 S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
2) Pulmo Inspeksi
: Pergerakan dada simetris, retraksi (+/+)
Palpasi
: Fremitus raba + + + + + +
Perkusi
: Hiper Sonor + +
Auskultasi : Bronkial +
Redup
+ +
- -
+ +
- -
+
+ + + +
Ronkhi
+
+
+ + -
-
Wheezing - - - -
d. Abdomen Inspeksi
: Soepel
Auskultasi
: BU (+) meningkat
Palpasi
: Nyeri tekan (-), Hepar (-), Lien (-)
Perkusi
: Timpani (+)
e. Pemeriksaan Ekstremitas Superior
: Akral hangat +/+ Oedem -/-
- -
4
CRT <2detik Inferior
: Akral hangat +/+ Oedem -/CRT <2detik
3. Pemeriksaan Penunjang a. Hasil laboratorium tanggal 21 Januari 2019 HB
17,5
11.4 g% - 15.1 g%
Leukosit
15.400
4500 – 11000/mm3
Trombosit
282.000
150000 – 450000/mm3
Hematokrit
51
37-47% LFT
SGOT
29.3
0-31
SGPT
31,2
0-32 RFT
BUN
10.9
4.8-23 mg/dl
Serum
1.18
0.7-1.2 mg/dL
Creatinin Elektrolit Natrium
132
135-145mmo/L
Kalium
4,38
3,5-5,5
Cl
91.3
98-108 mmo/L
b. Hasil pemeriksaan dahak tanggal 21 Januari 2019
TCM (+)
5
c. Hasil pemeriksaan foto thoraks tanggal 21 Januari 2019
Dinding thorak o Jarak intercostal : bilateral melebar o Tulang vertebra : scoliosis o Soft tissue dinding thoraks : kesan normal
Trachea : tidak deviasi
Sinus costoprenicus : bilateral tajam
Diafragma : bilateral letak rendah (>6 costa anterior)
Cor : jantung tear drop
Corakan bronkovaskuler: bilateral meningkat (>1/3 lapangan paru)
Lesi parenkim paru
6
o Fibroinfiltrat pada segmen apikalis lobus superior dan segmen superior lobus medius, paru desktra. o Fibroinfiltrat pada segmen apikalis dan segmen posterior lobus superior dan segmen superior lobus inferior, paru sinistra.
Kesimpulan: Kesan COPD+TB paru
4. Penatalaksanaan Problem List
Initial
TPL
PPL
Assesment
Tn. W (41th), BB 50kg Anamnesa: Sesak sejak ± 1 minggu
Planning
Planing diagnosis: •Sesak sejak ± 1
COPD
-Faal paru
minggu yang lalu.
eksaserbasi akut
(spirometri)
yang lalu.
osesak
Planing terapi:
o sesak bertambah dengan
bertambah
-Combivent nebul
aktivitas dan berkurang
dengan aktivitas
3x1
saat tidur telentang.
dan berkurang
-Drip. Aminofilin
saat tidur
3 ampul/24 jam
telentang.
-Levofloxacin 1 x
kekuningan, konsistensi
Foto thorak :
500mg
kental.
•Jarak intercostal
-OBC 3x1
Batuk ± 2 minggu yang lalu. o dahak (+), warna putih-
Nyeri dada kanan (+)
: bilateral melebar
kadang-kadang saat batuk,
•Sinus
Monitoring:
rasa kurang enak badan (+),
costoprenicus :
Keluhan dan TTV
nafsu makan menurun (+),
bilateral tajam
berat badan turun (+),
•Diafragma :
berkeringat pada malam hari
bilateral letak
meskipun tanpa kegiatan (+)
rendah (>6 costa
o keluhan penyerta
anterior)
berulang dan sudah lebih
•Cor : jantung tear
dari sebulan.
drop
RPD:
•Corakan
•TB paru (-)
bronkovaskuler : bilateral
7
•DM (-)
meningkat (>1/3
•Asma (-)
lapangan paru)
Pemeriksaan fisik: •Kesan lemah •TD 115/80mmHg •Nadi 88x/menit
•Batuk ± 2
•RR 24x/menit
minggu yang lalu.
TB paru
Planing diagnosis: -Pemeriksaan
•Suhu 36,5˚C
odahak (+)
•Dispneu (+)
•Nyeri dada
MTB
•Retraksi (+)
kanan (+) kadang-
Planing terapi:
•Hipersonor (+/+)
kadang saat batuk,
-RHZE 1 x 3
•Bronkial (+/+)
rasa kurang enak
tablet (setiap hari
•Ronkhi (+/+)
badan (+), nafsu
selama 56 hari)
Hasil lab:
makan menurun
•HB 17g%
(+), berat badan
•Hematokrit 51%
turun (+),
Monitoring:
•leukosit 15.400
berkeringat pada
Keluhan dan TTV
•Natrium 132 (mnrun)
malam hari
•TCM (+)
meskipun tanpa
Pemeriksaan foto thorak:
kegiatan (+).
•Jarak intercostal : bilateral
•TCM (+)
melebar
Foto thorak: Lesi
•Sinus costoprenicus : bilateral
parenkim paru:
tajam
oFibroinfiltrat
•Diafragma : bilateral letak
pada segmen
rendah (>6 costa anterior)
apikalis lobus
•Cor : jantung tear drop
superior dan
•Corakan bronkovaskuler :
segmen superior
bilateral meningkat (>1/3
lobus medius,
lapangan paru)
paru desktra.
•Lesi parenkim paru
oFibroinfiltrat
o Fibroinfiltrat pada segmen
pada segmen
apikalis lobus superior dan
apikalis dan
segmen superior lobus
segmen posterior
medius, paru desktra.
lobus superior dan
o Fibroinfiltrat pada segmen
segmen superior
apikalis dan segmen
lobus inferior,
posterior lobus superior
paru sinistra.
kultur sputum
8
dan segmen superior lobus inferior, paru sinistra.
Natrium 132
Hiponatremia
Planing diagnosis: -SE ulang stl 1x24 jam Planing terapi: -Inf. NaCl 0.9% 14tpm
Monitoring: Keluhan dan TTV
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman tuberkulosis (TB) yang dikenal dengan nama M. tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Penularan terutama sekali secara aerogen. Pasien TB paru menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA postif yang saat batuk, bersin atau berbicara mengeluarkan droplet (percikan dahak) yang mengandung kuman M. tuberculosis.
2.2. Epidemiologi WHO tahun 2016, ditingkat gelobal diperkirakan 10,4 juta kasus TB baru dan 1,8 juta kematian/tahun. Hasil survei Prevalensi Ruberkulosis Nasional (SPTN) 2013-2014 menunjukkan enstimasi prevalensi TB 660/100.000. Enstimasi ini 2,4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan angka estimasi prevalensi sebelumnya. Angka ini setara dengan 1,6 juta kasus TB, sekita 1 juta kasus baru setiap tahunnya. Berdasarkan angka temuan kasus TB sebesar 327.103 pada tahun 2013, diperkirakan 670.000 kasus TB per tahun tidak terlaporkan di indonesia.
2.3. Klasifikasi Seorang Definisi kasus TB didasarkan pada hasil pemeriksaan bakteriologis TB. Kepada semua terduga TB dewasa wajib dilakukan pemeriksaan bakteriologis TB terlebih dahulu. Sesuai dengan hasil pemeriksaan bakteriologis maka definisi pasien TB terdiri dari dua, yaitu 2.3.1. Klasifikasi berdasarkan bakteriologis Pasien TB terkonfirmasi Bakteriologis Adalah pasien TB yang terbukti positif pada hasil pemeriksaan contoh uji biologinya (sputum dan jaringan) melalui pemeriksaan mikroskopis langsung, TCM TB, atau biakan. Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
10
1. Pasien TB paru BTA positif 2. Pasien TB paru hasil biakan M.tb positif 3. Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positif 4. Pasien TB Ekstra paru terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan BTA, biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena. 5. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis. Catatan: Semua pasien yang memenuhi definisi tersebut di atas harus dicatat dan dilaporkan tanpa memandang apakah pengobatan TB sudah dimulai atau belum 2.3.2. Klasifikasi berdasarkan Klinis Adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan pengobatan TB. Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah: 1. Pasien TB paru BTA negatif/ tes cepat M.tb negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks mendukung TB. 2. Pasien TB paru BTA negatif/ tes cepat M.tb negatif dengan tidak ada perbaikan klinis setelah diberikan antibiotika non OAT, dan mempunyai faktor risiko TB 3. Pasien TB Ekstra paru yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris dan histopatologis tanpa ada konfirmasi bakteriologis. 4. TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring. Catatan: Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian terkonfirmasi bakteriologis positif (baik sebelum maupun setelah memulai pengobatan) harus diklasifikasi ulang sebagai pasien TB terkonfirmasi bakteriologis. Pasien yang mendapatkan pengobatan pencegahan TB tidak termasuk definisi kasus TB sehingga tidak dilaporkan dalam laporan penemuan kasus TB
2.3.3. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi
11
a. TB Paru, mengacu pada kasus TB yang melibatkan parenkim paruparu. Seorang pasien dengan TB paru dan ekstra paru harus Sdiklasifikasikan sebagai kasus TB paru. b. TB ekstra paru, mengacu pada kasus TB yang melibatkan organ selain paru-paru, misalnya: laring, pleura, kelenjar getah bening, perut, saluran kemih, kulit, sendi, tulang, dan selaput otak. TB ekstra paru yang didiagnosis secara histopatologis melalui biopsi pada lokasi yang dianggap TB dan didiagnosis secara klinis. TB laring, meskipun kemungkinan hapusan dahak positif, dianggap sebagai kasus ekstra paru dengan tidak adanya infiltrat paru pada CXR. Tabel 2.1. Klasifikasi Penyakit TB Berdasarkan Situs Anatomi dan Status Bakteriologis Lokasi
Status
Anatomi
Bakteriologis
TB Paru
Definisi
Konfirmasi
Hapusan
Seorang
bakteriologis
positif
pasien setidaknya dengan
satu
contoh
uji
dahak secara mikroskopis lansung BTA positif, dengan
atau
tanpa kelainan radiografi konsisten dengan aktif Kultur
Seorang
TB
12
positif
pasien dengan kultur sputum MTB positif, dengan
atau
tanpa kelainan radiografi konsisten dengan
TB
aktif Tes cepat
Seorang
diagnostik
pasien
positif
dengan
atau TCM
sputum MTB positif menggunakan modalitas cepat diagnostik seperti Xpert MTB/RIF, dengan
atau
tanpa kelainan radiografi Diagnosis
Seorang pasien dengan dua
klinis
spesimen dahak BTA negatif, atau tidak dilakukan hapusan karena kondisi tertentu tetapi dengan
kelainan
radiografi
konsisten dengan TB aktif;
13
dan
belum
terhadap
ada
respons
antibiotik
empiris
dan /atau obat simptomatik; dan yang telah diputuskan (baik oleh dokter dan / atau komite
diagnosis
TB)
menderita penyakit TB yang membutuhkan program antiTB lengkap. ATAU Seorang anak (kurang dari 15 tahun) dengan dua spesimen dahak BTA negatif atau tidak dilakukan
hapusan,
yang
memenuhi
tiga
lima
kriteria
dari
penyakit
aktivitas
(misal, tanda dan gejala yang menunjukkan
TB,
kontak
dengan TB aktif, tes TB positif,
kelainan
radiografi
dada menunjukkan TB, dan didapatkan hasil laboratorium lain
yang
memberi
kesan
tuberkulosis); dan siapa yang telah diputuskan (baik oleh dokter dan / atau komite diagnosis penyakit
TB) TB
menderita yang
membutuhkan program antiTB lengkap. ATAU Seorang pasien dengan hasil
14
laboratorium atau bukti klinis yang kuat untuk HIV / AIDS dengan dua spesimen dahak BTA
negatif
dilakukan
atau
tidak
hapusan
karena
kondisi tertentu, terlepas dari hasil
radiografi,
telah
diputuskan (baik oleh dokter dan / atau komite diagnosis) menderita penyakit TB yang membutuhkan program antiTB lengkap. TB
Konfirmasi
Seorang
Ekstra
bakteriologis
pemeriksaan
Paru
pasien
dengan
contoh
uji
biologinya melalui hapusan / kultur / tes cepat diagnostik MTB positif
pada posisi
ekstra paru, misalnya: organ selain paru-paru. Diagnosis
Seorang
pasien
dengan
klinis
histologis dan / atau klinis atau radiologis terbukti konsisten TB ekstra paru aktif dan ada keputusan oleh dokter untuk pengobatan
pasien
dengan
obat anti-TB.
2.3.4. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya 1. Kasus baru, seorang pasien yang tidak pernah pengobatan TB atau yang telah menjalani pengobatan TB kurang dari satu bulan (< 28 hari).
15
Terapi pencegahan dengan isoniazid atau rejimen pencegahan lainya tidak dianggap sebagai pengobatan TB sebelumnya. 2. Kasus pengobatan ulang, seorang pasien yang sebelumnya telah diobati dengan obat anti-TB untuk setidaknya satu bulan di masa lalu. Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan pengobatan TB terakhir, yaitu: a. Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau karena infeksi). b. Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir. c. Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow up): adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up. Klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat/default. d. Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui. 2.3.5. Klasifikasi berdasarkan pengujian sensitifitas obat 1. Mono resistan (TB MR): Mycobacterium tuberculosis resistansi terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja. 2. Poli resistan (TB PR): Mycobacterium tuberculosis resistansi terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampicin (R) secara bersamaan. 3. Multi drug resistan (TB MDR): Mycobacterium tuberculosis resistansi terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan, dengan atau tanpa diikuti resitensi OAT lini pertama lainnya. 4. Extensive drug resistant (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga resistansi terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu OAT lini kedua jenis suntikan (Kapreomisin, Kanamisin dan Amikasin) secara bersamaan, apabilahanya resisten
16
terhadap OAT golongan fluorokuinolon atau OAT lini kedua jenis suntikan secara tidak bersamaan dikenal sebagai kasus TB pre XDR. 5. Rifampisin resistant (TB RR): Resistansi terhadap rifampisin terdeteksi menggunakan metode fenotipik (konvensional) atau genotipik (tes cepat molekuler), dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain.
2.4. Kuman Tuberkulosis Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri batang tipis lurus berukuran sekitar 0,4 x 3 µm.7 Gambar berikut ini adalah Mycobacterium tuberculosis yang dilihat dengan pewarnaan tahan asam dan berwarna merah. Sebagian besar bakteri ini terdiri atas asam
lemak (lipid), peptidoglikan dan arabinoman. Lipid inilah yang
menyebabkan kuman mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan sehingga disebut pula sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA).9
Gambar 2.1. Mycobacterium Tuberculosis Pada Pewarnaan Tahan Asam9
Di dalam jaringan Mycobacterium tuberculosis hidup sebagai parasit intraseluler yakni dalam sitoplasma makrofag. Sifat lain bakteri ini adalah aerob, sehingga bagian apikal merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis.4
2.5. Cara Penularan Sumber penularan adalah melalui pasien tuberkulosis paru BTA (+). Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Kuman yang berada di dalam droplet dapat bertahan di
17
udara pada suhu kamar selama beberapa jam dan dapat menginfeksi individu lain bila terhirup ke dalam saluran nafas. Kuman tuberkulosis yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran pernafasan, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya.10
Gambar 2.2. Penularan Tuberkulosis
2.6. Resiko Penularan Resiko penularan tiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3 %. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1% mempunyai arti bahwa pada tiap tahunnya di antara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi. Sebagian besar orang yang terinfeksi tidak akan menderita tuberkulosis, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita tuberkulosis.10
2.6.1.
Proses penularan M. tuberculosis ditularkan melalui udara dalam bentuk aerosolisasi
±3000 droplet nukleus berukuran 5-10 µm yang dapat dikeluarkan pada saat batuk, bersin bahkan saat bercakap-cakap, terutama pada pasien dengan Tuberculosis saluran pernapasan. Droplet tersebut mengering dengan cepat, bertahan di udara selama beberapa jam dan masuk kedalam saluran nafas.
18
Selain melalui udara, penularan melalui kulit dan plasenta juga dapat terjadi walaupun sangat tidak umum. Resiko terjangkitnya M. Tuberculosis tergantung pada jumlah M. Tuberculosis yang masih bertahan hidup di udara. Penularan secara outdoor biasanya lebih rendah daripada diruangan tertutup dimana pertukaran udara diluar ruangan berlangsung baik dan ekspose trehadap sinar ultraviolet jauh lebih tinggi. Penularan juga dapat terjadi melalui alat-alat intervensi seperti bronchoscopy atau intubasi endotracheal. Selain melalui udara, penularan juga dapat terjadi melalui abses yang mengandung M. Tuberculosis. Faktor yang mempengaruhi kerentanan tertularnya Mycobacterium tuberculosis adalah lamanya kontak dengan penderita, dan derajat keparahan penyakit. Pasien dengan smear negatif cenderung lebih aman terutama pasien dengan TB ekstra paru. 1,2,4
2.6.2.
Proses infeksi Dropet nukleus cukup kecil untuk masuk kedalam saluran nafas dan
mampu bertahan dari proses filtrasi di saluran nafas atas. Sekali terhirup, droplet nukleus dapat mencapai alveoli untuk melakukan invasi dan menimbulkan infeksi. Pada sekitar 5 % pasien yang terinfeksi, M. Tuberculosis mampu berkembang biak dalam jangka waktu mingguan hingga bulanan dan dapat memberikan pembesaran limfonodus perihilar dan peritracheal serta dapat memberikan gambaran pneumonia lobaris dan merangsang terjadinya reaksi serosa serta efusi pleura. 1,2,4 M. tuberculosis kemudian ditelan oleh makrofag alveolar melalui proses
introduksi
yang
melibatkan
aktivasi
komplemen
C3b.
Liporabinomannan yang terdapat dalam dinding M. Tuberculosis mampu menghambat peningkatan ion Ca2+ yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada jalur calmodulin yang akan menimbulkan gangguan fusi phagosom dan lisosom sehingga tidak ada percampuran antara bakteri dengan lisosom yang menyebabkan bakteri dapat bertahan dan berkembang biak didalam makrofag. Selain itu faktor yang dapat mendukung pertumbuhan M. Tuberculosis didalam makrofag adalah adanya gen protektif antara lain katG yang memproduksi enzim katalase/peroksidase
19
yang dapat melindungi M.tuberkulosis dari proses oksidatif, gen rpoV yang merupakan gen “induk” dari beberapa protein penting M. Tuberculosis. Dua gen ini merupakan gen yang penting dalam proses virulensi M. Tuberculosis. Selain itu gen lain seperti erp membantu proses pembentukan protein untuk multiplikasi. 1,2,4 Makrofag yang terinfeksi mengeluarkan sitokin seperti TNF α dan IL-1 serta sitokin lainnya untuk merangsang Monosit dan Limfosit T terutama CD4+ yang akan membentuk IFN γ yang akan mengaktivasi makrofag lainnya. Proses ini dikenal sebagai Macrophage Activating response sedangkan sel CD4+ Th2 akan memproduksi IL 4, IL 5, IL 10 dan IL 13 dan merangsang sistem imun humoral. Sel Dendritik juga berperan dalam mempresentasikan antigen dan merangsang proses imun lebih jauh didalam limfonodus. Tahapan ini dikenal sebagai proses Cell Mediated Immunity. Pada tahapan ini pasien dapat menunjukkan gambaran delayedtype-hypersensitivity terhadap protein tuberkulin. Reaksi ini dapat timbul 48-96 jam setelah injeksi tuberkulin dan bertahan hingga 6 minggu namun sekitar 20 % pasien tidak bereaksi terhadap tes tuberkulin. 1,2,4 Pada jaringan, Makrofag tersebut dapat membentuk sel raksasa berinti banyak dan akan membentuk granuloma yang dikelilingi oleh limfosit dan makrofag yang teraktifasi. Pada granuloma, pertumbuhan M. Tuberculosis dapat terhambat karena lingkungan yang rendah oksigen dan derajat keasaman yang rendah. Ketika mengalami proses penyembuhan dapat terbentuk fibrosis. Proses ini dikenal sebagai Tissue Damaging Reponse. Dalam jangka waktu tahunan, granuloma dapat meluas dan membentuk kalsifikasi dan akan tampak dalam gambaran radiologi sebagai densitas radioopaque pada lapangan paru atas, apex paru (fokus Simon), atau limfonodus perihilar. Focus granuloma juga dapat ditemukan pada jaringan lainnya tergantung seberapa luas penyebaran M. Tuberculosis.1,2,4 Pada kasus tertentu, pada pusat lesi, material kaseosa mencair, dinding bronchial dan pembuluh darah menjadi rusak dan terbentuklah kavitas. Pada materi caseosa yang mencair terdapat basil M. Tuberculosis
20
dalam jumlah besar yang dapat menyebar ke jaringan paru lainnya dan dapat keluar saluran nafas melalui batuk dan berbicara. 1,2,4 Bila tidak timbul penyakit, maka telah terjadi keseimbangan antara sistem imun dan reaksi patologis dari M. Tuberculosis. Faktor yang dapat menimbulkan terjadinya aktivasi M. Tuberculosis adalah kekuatan sistem imun. Sekitar 10% pasien dengan imunokompeten biasanya akan menderita tuberculosis. 1,2,4 Pada pasien dengan infeksi laten, infeksi dapat teraktivasi dalam jangka waktu beberapa tahun, aktivasi dapat terjadi pada hampir semua jaringan karena M. Tuberculosis menyebar secara limfogen. Lokasi tertentu yang lebih sering terjadi reaktivasi adalah jaringan paru. Rekativasi muncul pada fokus granuloma terutama pada apeks paru. Fokus kaseosa yang besar dapat membentuk kavitas pada parenkim paru. 1,2,4 Semakin banyak jumlah basil M. Tuberculosis yang ditularkan maka semakin infeksius. Hal ini dapat dilihat dari jumlah M. Tuberculosis pada sediaan tahan asam. M. tuberculosis dapat dideteksi pada sputum yang mengandung sedikitnya 104 M. Tuberculosis. Pada pasien dengan TB paru berkavitas biasanya lebih infeksius.2
2.6.3.
Infeksi Primer Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan
kuman tuberkulosis. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus dan terus berjalan sampai ke alveolus dan menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman tuberkulosis berhasil berkembang biak dengan cara membelah diri di paru yang mengakibatkan radang dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut kompleks primer. Waktu terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadi perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya respon daya tahan tubuh
21
tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman tuberkulosis. Meskipun demikian, ada beberapa kuman menetap sebagai kuman persisten atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman. Akibatnya dalam beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi pasien tuberkulosis. Masa inkubasi mulai dari seseorang terinfeksi sampai menjadi sakit, membutuhkan waktu sekitar 6 bulan.10
2.6.4. Tuberkulosis Pasca Primer (Post Primary Tuberculosis) Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.10
2.7. Diagnosa Banding Banyak diagnosa banding yang dapat dikemukakan karena tuberculosis dapat menimbulkan infeksi yang sistemik yang menyerupai penyakit lainnya . Beberapa
diagnosa
banding
Tuberculosis
Paru
yang
mungkin
dapat
dipertimbangkan antara lain Actinomycosis, Aspergillosis, Bronchiectasis, Histoplasmosis, Abses paru, Keganasan, Nocardiosis, dan pneumonia.17
2.8. Diagnosis Tuberkulosis 2.8.1. Manifestasi klinis Gejala yang muncul awalnya bersifat non spesifik, biasanya ditandai dengan demam baik subfebris hingga febris dan keringat malam, berat badan yang menurun, anoreksia, dan merasa lemas. Pada 80 % kasus ditemukan demam dan tidak adanya demam bukan berati tuberculosis dapat dihilangkan. Dalam sebagian besar kasus, batuk non produktif biasanya muncul minimal selama 2 minggu dan selanjutnya diikuti oleh batuk produktif dengan sputum yang purulen bahkan diikuti bercak darah. Hemoptisis yang masif biasanya muncul sebagai destruksi pembuluh darah
22
pada kavitas terutama pembuluh darah yang berdilatasi pada dinding kavitas (Rasmussen's aneurysm). Nyeri dada biasa juga dirasakan terutama pada pasien dengan lesi pada pleura. Lebih lanjut biasanya pasien akan sesak nafas dan diikuti dengan adult respiratory distress syndrome (ARDS).
1,2,3,4
Temuan pemeriksaan fisis cukup terbatas pada TB paru.
Terkadang abnormalitas tidak ditemukan pada pemeriksaan thorax. Bunyhi ronkhi biasa ditemukan terutama karena peningkatan produksi sputum. Bunyi wheezing juga terkadang ditemukan akibat obstruksi parsial bronkus dan bunyi amphoric klasik pada kavitas. Terkadang bunyi pernafasan terdengar redup yang berarti menunjukkan ada proses abnormalitas yang cukup parah sebagai komplikasi dari infeksi tuberculosis. Pada keadaan tertentu pasien juga dapat menunjukkan wajah yang pucat serta clubbing finger. 1,3 2.8.2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan pertama pada keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris), badan kurus atau berat badan menurun. Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Pada TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum.
23
Gambar 2.3. Letak Lobus Paru Kiri dan Kanan Pada TB paru lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bila TB mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura sehingga paru yang sakit akan terlihat tertinggal dalam
pernapasan,
perkusi
memberikan
suara
pekak,
auskultasi
memberikan suara yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali. Dalam penampilan klinis TB sering asimtomatik dan penyakit baru dicurigai dengan didapatkannya kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang positif.4 2.8.3. Pemeriksaan Radiologis Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk menemukan lesi TB. Dalam beberapa hal pemeriksaan ini lebih memberikan keuntungan, seperti pada kasus TB anak-anak dan TB milier yang pada pemeriksaan sputumnya hampir selalu negatif. Lokasi lesi TB umumnya di daerah apex paru tetapi dapat juga mengenai lobus bawah atau daerah hilus menyerupai tumor paru. Pada awal penyakit saat lesi masih menyerupai sarang-sarang pneumonia, gambaran radiologinya berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas dan disebut tuberkuloma.10 Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat dengan densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas dengan penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu bagian paru. Gambaran tuberkulosa milier terlihat berupa bercakbercak halus yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru.
24
Pada TB yang sudah lanjut, foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan sekaligus seperti infiltrat, garis-garis fibrotik, kalsifikasi, kavitas maupun atelektasis dan emfisema.4 Pada gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif yakni fibrotik, kalsifikasi, Schwarte atau penebalan pleura Sebagaimana gambar TB paru yang sudah lanjut pada foto rontgen dada di bawah ini :
Gambar 2.4. Tuberkulosis Yang Sudah Lanjut Pada Foto Rontgen Dada4
25
Gambar 2.5. Gambaran Radiologi Tuberkulosis Paru ( tampak gambaran infiltrat dan kalsifikasi pada daerah apex paru )
Gambar 2.6. Gambaran Radiologi Tuberkulosis Paru Dengan Gambaran Fibroinfiltrat di Lobus Kanan Paru
Gambar 2.7. Gambaran Radiologi Tuberkulosis Paru Aktif
26
2.8.4. Prinsip penegakan diagnosis TB 1. Prinsip penegakan diagnosis TB: a. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis, Tes Cepat Molekuler TB dan biakan. b. Pemeriksaan TCM digunakan untuk penegakan diagnosis TB, sedangkan pemantauan kemajuan pengobatan tetap dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis. c. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik pada TB paru, sehingga dapat menyebabkan terjadi overdiagnosis ataupun underdiagnosis. d. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis. 2. Alur diagnosis TB dibagi sesuai dengan fasilitas yang tersedia: a. Faskes yang mempunyai akses pemeriksaan dengan alat Tes Cepat Molekuler b. Faskes yang hanya mempunyai pemeriksaan mikroskopis dan tidak memiliki akses ke tes cepat molekuker
27 Bagan 1. Algorithme TB dan TB MDR di Indonesia Terduga TB
Pasien baru, tidak ada riwayat pengobatan TB, tidak ada riwayat kontak erat dengan pasien TB RO, pasien dengan HIV (-) atau tidak diketahui
Pasien dengan riwayat pengobatan TB, pasien dengan riwayat kontak erat dengan pasien TB RO, pasien dengan HIV (+)
Pemeriksaan Klinis dan Pemeriksaan bakteriologis dengan Mikroskop atau TCM
Tidak memiliki akses untuk TCMTB
Memiliki akses untuk TCM TB
Pemeriksaan Mikroskopis BTA (Sewaktu dan Pagi)
Tidak bisa dirujuk
Gambaran Mendukung TB
TB Terkonfirmasi Bakteriologis
TB Terkonfirmasi Bakteriologis
MTB Pos, Rif Resistance
TB RR
MTB Neg
Foto Toraks
Terapi Antibiotika Non OAT
Bukan TB
Mulai Pengobatan TB RO
Pengobatan TB Lini 1
Tidak Mendukung TB
Ada Perbaikan Klinis
TB Klinis
MTB Pos, Rif Sensitive
(+ +) (+ -)
(- -)
Foto Toraks
Pemeriksaan TCM TB
Tidak Ada Perbaikan Klinis, ada factor risiko TB, dan atas pertimbangan dokter
TB RR
TB MDR
Lanjutkan Pengobatan TB RO
Pemeriksaan Biakan dan Uji Kepekaan OAT Lini 1 dan Lini 2
Gambaran mendukung TB
TB Pre XDR
Pengobatan TB RO dengan Paduan Baru
Tidak Mendukung TB
TB XDR
TB Klinis
TB Klinis Pengobatan TB Lini 1
Pengobatan TB Lini 1
Cari kemungkinan penyebab penyakit lain
Gambar 2.8. Alur Diagnosis TB Paru
28
2.9. Pengobatan Tuberkulosis Paru 2.9.1. Prinsip Pengobatan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam pengobatan TB. Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut kuman TB. Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip: 1. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi. 2. Diberikan dalam dosis yang tepat. 3. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas Menelan Obat) sampai selesai pengobatan. 4. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup, terbagi dalam dua (2) tahap yaitu tahap awal serta tahap lanjutan, sebagai pengobatan yang adekuat untuk mencegah kekambuhan.
2.9.2. Tujuan pengobatan TB a.
Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup.
b.
Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk selanjutnya.
c.
Mencegah terjadinya kekambuhan TB.
d.
Menurunkan risiko penularan TB.
e.
Mencegah terjadinya dan penularan TB resistan obat.
2.9.3. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Obat Anti Tuberkulosis yang digunakan program pengendalian TB saat ini adalah OAT lini pertama dan OAT lini kedua disediakan di fasyankes yang telah ditunjuk guna memberikan pelayanan pengobatan bagi pasien TB resistan obat. Terlampir di bawah ini jenis OAT lini pertama dan OAT lini kedua.
29
Tabel 2.2. OAT Lini Pertama Jenis OAT
Sifat
Dosis yang direkomendasikan (mg/kg) Harian
3x seminggu
Isoniasid (H)
Rifampisin (R)
Pirazinamid (Z)
Streptomisin (S)
Bakterisid
5
10
(4-6)
(8-12)
10
10
(8-12)
(8-12)
25
35
(20-30)
(30-40)
Bakterisid
Bakterisid
Bakterisid
15 (12-18)
Etambutol (E)
Bakteriostatik
15
30
(15-20)
(20-35)
: Tabel 2.3. Jenis dan Sifat OAT Jenis OAT
Isoniazid (H)
Sifat
Keterangan
Bakterisid
Obat ini sangat efektif terhadap kuman
Terkuat
dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman
yang
sedang
Mekanisme menghambat
berkembang.
kerjanya cell-wall
adalah biosynthesis
pathway
Rifampisin (R)
Bakterisid
Rifampisin dapat membunuh kuman semi-dormant (persistent) yang tidak dapat
dibunuh
oleh
Isoniazid.
Mekanisme
kerjanya
adalah
menghambat
polimerase
DNA-
30
dependent ribonucleic acid (RNA) M. Tuberculosis
Pirazinamid
Bakterisid
Pirazinamid dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana
(Z)
asam. Obat ini hanya diberikan dalam 2 bulan pertama pengobatan.
Streptomisin
Bakterisid
Obat
ini
adalah
suatu
antibiotik
golongan aminoglikosida dan bekerja
(S)
mencegah
pertumbuhan
organisme
ekstraselular.
Etambutol (E)
Bakteriostatik
-
(Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007)
Tabel 2.4. Pengelompokan obat TB RR/MDR terbaru (WHO 2016) Levofloksasin
Lfx
Moxifloksasin
Mfx
Gatifloksasin
Gfx
Amikasin
Am
Grup B. Obat
Capreomisin
Cm
injeksi lini kedua
Kanamisin
Km
(Streptomisin)*
(S)
Grup C. Obat lini
Etionamid / protionamid
Eto / Pto
kedua utama
Sikloserin / terizidone
Cs / Trd
Grup A. Fluorokuinolon
31
lainnya
Linezolid
Lzd
Clofazimine
Cfz
Pirazinamid
Z
Etambutol
E
Isoniazid dosis tinggi
Hdt
Bedaquiline
Bdq
Grup D. Obat
Delamanid
Dlm
tambahan
Asam p-aminosalisilat
PAS
Imipenem-silastatin
Ipm
Meropenem
Mpm
Amoksisilin-klavulanat
Amx-Clv
Thioasetazone
T
D1
D2
D3
Streptomisin dapat digunakan sebagai obat injeksi pada pengobatan TB RO bila ketiga obat injeksi lini kedua tidak dapat digunakan dan bila terbukti/diperkirakan tidak terdapat resistansi Streptomisin.
2.9.4. Dosis Obat Pengobatan TB dengan paduan OAT Lini Pertama yang digunakan di Indonesia dapat diberikan dengan dosis harian maupun dosis intermiten (diberikan 3 kali perminggu) dengan mengacu pada dosis terapi yang telah direkomendasikan.
32
Tabel 2.5. Dosis rekomendasi OAT Lini pertama untuk dewasa Obat
Dosis rekomendasi Harian
3 kali per minggu
Dosis
Maksimum
Dosis
Maksimum
(mg/kgBB)
(mg)
(mg/kgBB)
(mg)
Isoniazid (H)
5 (4-6)
300
10 (8-12)
900
Rifampisin
10 (8-12)
600
10 (8-12)
600
(R) Pirazinamid
25 (20-30)
35 (30-40)
15 (15-20)
30 (25-35)
15 (12-18)
15 (12-18)
(Z) Etambutol (E) Streptomisin (S)*
2.9.5. Kombinasi Obat Paduan OAT yang digunakan untuk pasien TB sensitif adalah OAT Lini 1. OAT Lini 1 dibedakan menjadi kategori 1 dan kategori 2 : 1. Kategori 1 Paduan OAT Kategori 1 yang digunakan di Indonesia adalah 2(HRZE)/4(HR)3 atau 2(HRZE)/4(HR). Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: a. Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis b. Pasien TB paru terkonfirmasi klinis c. Pasien TB ekstra paru Paduan OAT kategori 1 diberikan selama 6 bulan, dibagi menjadi 2 tahapan yaitu 2 bulan tahap awal dan 4 bulan tahap lanjutan. Paduan OAT Kategori 1 yang disediakan oleh program adalah dalam bentuk kombinasi dosis tetap (KDT) dan obat lepas (kombipak). Untuk saat ini paduan yang disediakan adalah paduan dengan dosis intermiten. Sedangkan untuk dosis harian yaitu 2(HRZE)/4(HR) sedang dalam
33
proses pengadaan program TB Nasional. Pemberian OAT dosis harian, dosis obat mengacu kepada Tabel 2.6. Dosis rekomendasi OAT Lini pertama untuk dewasa. Tabel 2.6. Dosis paduan OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE) /4(HR)3 Tahap Awal
Tahap Lanjutan
tiap hari selama 56 hari
3 kali seminggu selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275)
RH (150/150)
Berat Badan 30 – 37 kg
2 tablet 4KDT
2 tablet 2KDT
38 – 54 kg
3 tablet 4KDT
3 tablet 2KDT
55 – 70 kg
4 tablet 4KDT
4 tablet 2KDT
≥ 71 kg
5 tablet 4KDT
5 tablet 2KDT
Tabel 2.7. Dosis paduan OAT Kombipak Kategori 1: 2 HRZE /4H3R3 Dosis per hari / kali Tahap
Lama
Pengobatan Pengobatan
Jumlah
Tablet
Kaplet
Tablet
Tablet
hari/kali
Isoniasid
Rifampisin
Pirazinamid
Etambutol
menelan
@ 300 mgr
@ 450 mgr
@ 500 mgr
@ 250
obat
mgr Awal
2 Bulan
1
1
3
3
56
Lanjutan
4 Bulan
2
1
-
-
48
2. Kategori 2 Paduan OAT Kategori 2 yang digunakan di Indonesia adalah 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 atau 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)E. Paduan OAT ini diberikan untuk pasien dengan riwayat pengobatan TB sebelumnya (pasien pengobatan ulang) yaitu : a. Pasien kambuh. b. Pasien gagal pada pengobatan Kategori I. c. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (loss to follow-up). Paduan OAT kategori 2 diberikan selama 8 bulan, dibagi menjadi 2 tahapan yaitu 3 bulan tahap awal dan 5 bulan tahap lanjutan.
34
Paduan OAT Kategori 2 yang disediakan oleh program adalah dalam bentuk kombinasi dosis tetap (KDT) dan obat lepas (kombipak). Untuk saat ini paduan yang disediakan adalah paduan dengan dosis intermiten. Sedangkan untuk dosis harian yaitu 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)E sedang dalam proses pengadaan program TB Nasional. Pemberian OAT dosis harian, dosis obat mengacu kepada Tabel 2.7. Dosis rekomendasi OAT Lini pertama untuk dewasa.
Tabel 2.8. Dosis paduan OAT KDT Kategori 2 : 2(HRZE)S / (HRZE) /5(HR)3E3 Tahap Awal Berat Badan
Tahap Lanjutan
tiap hari
3 kali seminggu
RHZE (150/75/400/275) + S
RH (150/150) + E(400)
Selama
Selama 56 hari 30-37 kg
38-54 kg
55-70 kg ≥71 kg
28
selama 20 minggu
hari
2 tab 4KDT + 500 mg 2 tab 4KDT
2 tab 2KDT + 2 tab
Streptomisin inj.
Etambutol
3 tab 4KDT + 750 mg 3 tab 4KDT
3 tab 2KDT + 3 tab
Streptomisin inj.
Etambutol
4 tab 4KDT + 1000 mg 4 tab 4KDT
4 tab 2KDT + 4 tab
Streptomisin inj.
Etambutol
5 tab 4KDT + 1000mg 5 tab 4KDT
5 tab 2KDT + 5 tab
Streptomisin inj.
Etambutol
Tabel 2.9. Dosis paduan OAT Kombipak Kat 2: 2HRZES / HRZE / 5H3R3E3
Tahap Pengobatan
Tahap Awal
Lama Pengob atan
2 bulan
Tablet Isoniasid @ 300 mgr 1
Kaplet
Tablet
Rifamp
Pirazin
isin @
amid
450
@ 500
mgr
mgr
1
3
Etambutol Tablet
Tablet
@ 250 @ 400 mgr
mgr
3
-
Streptom isin injeksi
0,75 gr
Jumlah hari/kali menela n obat 56
35
(dosis harian)
1 bulan
1
1
3
3
-
-
28
Lanjutan (dosis 5 bulan
2
1
-
1
2
-
60
Tahap
3x semggu)
2.9.6. Hasil pengobatan pasien TB Hasil
Definisi
pengobatan Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis Sembuh
positif pada awal pengobatan yang hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir pengobatan menjadi negatif dan pada salah satu pemeriksaan sebelumnya. Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara
Pengobatan
lengkap dimana pada salah satu pemeriksaan sebelum
lengkap
akhir pengobatan hasilnya negatif namun tanpa ada bukti hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir pengobatan. Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
Gagal
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama masa
pengobatan;
atau
kapan
saja
dalam
masa
pengobatan diperoleh hasil laboratorium yang menunjukkan adanya resistensi OAT. Pasien TB yang meninggal oleh sebab apapun sebelum Meninggal
memulai atau sedang dalam pengobatan. Pasien TB yang tidak memulai pengobatannya atau yang
Putus berobat (loss to
pengobatannya terputus terus menerus selama 2 bulan atau lebih.
follow-up) Pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir pengobatannya. Tidak dievaluasi
Termasuk dalam kriteria ini adalah ”pasien pindah (transfer out)”
ke
kabupaten/kota
lain
dimana
akhir
pengobatannya tidak diketahui oleh kabupaten/kota yang ditinggalkan.
2.9.7. Modifikasi Perawatan untuk Situasi Khusus24 1) Kehamilan
hasil
36
Pastikan apakah seorang wanita hamil atau tidak sebelum memulai pengobatan TB. Sebagian besar OAT aman untuk wanita hamil, kecuali Streptomycin, yang merupakan ototoxic pada janin. Anjurkan wanita hamil agar pengobatanya berhasil. TB dengan rejimen pengobatan standar yang direkomendasikan (yaitu, 2HRZE / 4HR) adalah penting untuk hasil kehamilan yang sukses. Wanita hamil yang menggunakan Isoniazid harus diberikan Pyridoxine (Vitamin B6 25 mg / hari). 2) Menyusui Seorang wanita menyusui yang menderita TB harus menerima kursus penuh pengobatan TB. Pengobatan yang tepat waktu dan diterapkan dengan benar adalah cara terbaik untuk mencegah penularan basil tuberkel pada bayi. Pada ibu menyusui yang sedang menjalani pengobatan, sebagian besar OAT akan ditemukan dalam ASI. Dianjurkan agar ibu menyusui bayinya sebelum minum OAT. Suplemen Pyridoxine (Vitamin B6) harus diberikan 5-10 mg / hari untuk bayi yang mendapat INH atau ibu yang menyusui mendapat INH. 3) Kontrasepsi Oral Rifampisin berinteraksi dengan obat kontrasepsi oral dengan risiko menurun khasiat perlindungan terhadap kehamilan. Sarankan seorang wanita yang menerima kontrasepsi oral saat menjalani pengobatan Rifampicin ia memiliki pilihan berikut: 1) minum oral pil kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis tinggi (50U), setelah konsultasi dengan seorang dokter; atau 2) menggunakan bentuk kontrasepsi lain. 4) Penyakit Hati atau Riwayat Penyakit Hati Isoniazid, Rifampicin, dan Pyrazinamide semuanya terkait dengan hepatitis. Dari tiga obat, Rifampicin paling tidak mungkin menyebabkan kerusakan hepatoseluler, meskipun dikaitkan dengan ikterus kolestatik. Dari ketiga agen, Pyrazinamide adalah paling hepatotoksik. Pengobatan harus dihentikan dan, umumnya, rejimen yang dimodifikasi atau alternatif digunakan untuk mereka dengan ketinggian ALT lebih dari tiga kali batas
37
atas normal. Jika ALT meningkat lima kali batas atas normal, pengobatan juga harus dihentikan meskipun tidak ada gejala. Rujuk ke spesialis yang sesuai jika perlu. Penting untuk menunggu tes fungsi hati dan klinis gejala (mual, sakit
perut)
kembali
normal
untuk
menyelesaikan
sebelum
memperkenalkan kembali OAT. Jika tidak mungkin untuk melakukan tes fungsi hati, disarankan untuk menunggu tambahan dua minggu setelah resolusi penyakit kuning dan nyeri perut bagian atas sebelum memulai kembali pengobatan TB. Setelah hepatitis yang diinduksi obat telah terselesaikan, obat diperkenalkan kembali satu per satu, dimulai dengan Rifampicin. Setelah tiga sampai tujuh (3-7) hari, Isoniazid dapat diperkenalkan kembali. Pada pasien yang sudah berpengalaman penyakit kuning tetapi mentolerir reintroduksi Rifampicin dan Isoniazid, disarankan untuk menghindari Pyrazinamide. Jika gejala berulang atau tes fungsi hati menjadi tidak normal karena obat diintroduksikan kembali, obat terakhir yang ditambahkan harus dihentikan. Pasien dengan kondisi berikut dapat menerima kursus singkat seperti biasa rejimen pengobatan asalkan tidak ada bukti klinis penyakit hati kronis; riwayat hepatitis akut yang lalu; dan berlebihan konsumsi alkohol. Namun, reaksi hepatotoksik terhadap OAT mungkin lebih umum di antara pasien ini dan harus diantisipasi. 5) Penyakit Hati Kronis Pasien dengan penyakit hati kronis sebaiknya tidak menerima Pyrazinamide. Alternatif rejimen adalah 2SHRE / 6HR, 9RHE, atau 2SHE / 10HE. 6) Hepatitis Akut Tidak umum bagi pasien menderita TB bersamaan dengan hepatitis akut yang tidak terkait untuk pengobatan. Diperlukan penilaian klinis. Dalam beberapa kasus, itu mungkin untuk menunda pengobatan TB sampai hepatitis akut telah diselesaikan. Kapan diperlukan untuk mengobati TB selama hepatitis akut, pilihan teraman adalah kombinasi
38
SE selama tiga bulan dan, setelah hepatitis telah sembuh, fase lanjutan enam bulan Isoniazid dan Rifampicin (mis., 3SE / 6HR). Jika hepatitis belum diselesaikan, SE harus dilanjutkan selama total dua belas bulan (12SE). 7) Gagal Ginjal Isoniazid dan Rifampicin dieliminasi dengan ekskresi empedu. Obat-obatan ini, oleh karena itu, dapat diberikan dalam dosis normal untuk pasien dengan gagal ginjal. Pasien dengan gagal ginjal yang parah harus menerima Isoniazid dengan Pyridoxine untuk mencegah gangguan syaraf perifer. 8) Koinfeksi TB / HIV Pada pasien dengan TB terkait HIV, prioritasnya adalah untuk mengobati TB, terutama secara bakteriologis. TB paru dikonfirmasi untuk menghentikan transmisi. Namun, pasien dengan TB terkait HIV dapat memiliki Terapi Anti-Retroviral (ART) dan pengobatan anti-TB secara bersamaan, jika dikelola dengan hati-hati. Evaluasi yang cermat diperlukan dalam menilai kapan mulai ART. Misalnya, pada pasien dengan risiko kematian yang tinggi selama masa pengobatan TB (TB yang disebarluaskan dan / atau jumlah CD4 <200 / mm3), mungkin perlu memulai ART secara bersamaan dengan pengobatan TB. Di sisi lain, untuk pasien dengan TB paru yang dikonfirmasi secara bakteriologis sebagai manifestasi pertama infeksi HIV dan tampaknya tidak berisiko kematian, mungkin lebih aman untuk menunda ART sampai awal fase pengobatan TB telah selesai. Ini mengurangi risiko kekebalan tubuh dan menghindari risiko interaksi obat antara Rifampicin dan Protease Inhibitor (PI). Opsi yang mungkin termasuk yang berikut: a. Tunda ART sampai selesai pengobatan TB. b. Tunda ART sampai selesainya fase pengobatan TB intensif dan kemudian gunakan Ethambutol dan Isoniazid pada fase lanjutan. c. Obati TB dengan rejimen yang mengandung Rifampicin dan gunakan efavirenz + dua Nukleosida Inhibitor Transkriptase Terbalik (NsRTI)
39
2.9.8. Efek Samping Pengobatan Dalam pemakaian OAT sering ditemukan efek samping yang mempersulit sasaran pengobatan. Bila efek samping ini ditemukan, mungkin OAT masih dapat diberikan dalam dosis terapeutik yang kecil, tapi bila efek samping ini sangat mengganggu OAT yang bersangkutan harus dihentikan dan pengobatan dapat diteruskan dengan OAT yang lain.5 Efek samping yang dapat ditimbulkan OAT berbeda-beda pada tiap pasien, lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 2.7. Efek Samping Pengobatan Dengan OAT Jenis Obat Rifampisin (R)
Ringan Gatal-gatal
Berat
kemerahan
Hepatitis,
sindrom
kulit, sindrom flu, sindrom
respirasi
yang
ditandai
perut
dengan
sesak
nafas,
kadang
disertai
dengan
kolaps
atau
renjatan
(syok), purpura, anemia hemolitik yang akut, gagal ginjal Isoniazid (H)
Tanda-tanda pada
keracunan
syaraf
Hepatitis, ikhterus
tepi,
kesemutan, nyeri otot dan gangguan Kelainan
kesadaran. yang
menyerupai
lain
defisiensi
piridoksin (pellagra) dan kelainan
kulit
yang
bervariasi antara lain gatalgatal Pirazinamid (Z)
Reaksi hipersensitifitas :
Hepatitis,
demam,
serangan arthritis gout
mual
dan
nyeri
sendi,
40
kemerahan
Gangguan
Etambutol
berupa
(E)
penglihatan berkurangnya
Buta warna untuk warna merah dan hijau
ketajaman penglihatan Streptomisin (S)
Reaksi hipersensitifitas :
Kerusakan saraf
demam,
yang
sakit
kepala,
berkaitan
muntah dan eritema pada
keseimbangan
kulit
pendengaran
VIII dengan dan
(Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007)
Untuk mencegah terjadinya efek samping OAT perlu dilakukan pemeriksaan kontrol, seperti :5 a.
Tes warna untuk mata, bagi pasien yang memakai Etambutol
b.
Tes audiometri bagi pasien yang memakai Streptomisin
c.
Pemeriksaan darah terhadap enzim hepar, bilirubin, ureum/kreatinin, darah perifer dan asam urat (untuk pasien yang menggunakan Pirazinamid)
2.9.9. Pengobatan Supportif / Simptomatis 1.
Pasien Rawat Jalan Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dilakukan pengobatan rawat jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau supportif/simptomatis untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan. Terdapat banyak bukti bahwa perjalanan klinis dan hasil akhir penyakit infeksi termasuk TB sangat dipengaruhi kondisi kurangnya gizi. Makanan sebaiknya bersifat tinggi kalori dan protein. Secara umum protein hewani lebih superior dibanding dalam merumat
41
imunitas. Selain itu bahan mikro nutrien seperti Zink, vitamin-vitamin D, A, C, dan zat besi diperlukan untuk mempertahankan imunitas tubuh terutama imunitas seluler yang berperan penting dalam melawan TB. Peningkatan pemakaian energi dan penguraian jaringan yang berkaitan dengan infeksi dapat meningkatkan kebutuhan mikronutrien seperti vitamin A, E, B6, C, D, dan folat. Beberapa rekomendasi pemberian nutrisi untuk penderita TB adalah : a. Pemberian makanan dalam jumlah porsi kecil diberikan 6x per hari lebih diindikasikan menggantikan porsi biasa 3x per hari. b. Bahan-bahan makanan rumah tangga, seperti gula, minyak nabati, mentega, kacang, telur dan bubuk susu kering non lemak dapat dipakai untuk pembuatan bubur, sup, kuah daging, atau minuman berbahan susu untuk menambah kandungan kalori dan protein tanpa menambah besar ukuran makanan. c. Minimal 500-750 mg per hari susu atau yoghurt yang dikonsumsi untuk mencukupi asupan vitamin D dan kalsium secara adekuat. d. Minimal 5-6 porsi buah dan sayuran dikonsumsi setiap hari. e. Sumber terbaik vitamin B6 adalah jamur, terigu, liver sereal, polong, kentang, pisang dan tepung haver f. Alkohol harus dihindarkan karena hanya mengandung kalori tinggi dan memperberat fungsi hepar. g. Menjaga asupan cairan yang adekuat (minum minimal 6-8 gelas per hari) h. Prinsipnya pada pasien TB tidak ada pantangan i. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas atau demam j. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas dan keluhan lain
2.9.10. Terapi Pembedahan Indikasi operasi pada penderita TB adalah : 1.
Indikasi mutlak
42
a.
Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
b.
Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara konservatif
2.
Indikasi relatif a.
Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
b.
Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
c.
Sisa kaviitas yang menetap
2.9.11. Penatalaksanaan Lain 1.
Bronkoskopi
2.
Punksi pleura
3.
Pemasangan Water Sealed Drainage (WSD)
2.9.12. Prognosis Secara umum angka kesembuhan dapat mencapai 96-99% dengan pengobatan yang baik. Namun angka rekurensi tuberculosis dapat mencapai 0-14% yang biasanya muncul 1 tahun setelah pengobatan TB selesai terutama di negara dengan insidensi TB yang rendah. Reinfeksi lebih sering terjadi pada pasien di negara dengan insidensi yang tinggi. Prognosis biasanya
baik
tergantung
pada
selesainya
pengobatan.
Prognosis
dipengaruhi oleh penyebaran infeksi apakah telah menyebar ekstra paru, immunokompeten. Usia tua serta riwayat pengobatan sebelumnya. Indeks massa tubuh yang melambangkan status gizi juga menjadi faktor yang mempengaruhi prognosis.
43
BAB III KESIMPULAN
1) Tuberkulosis adalah penyakit infeksi bakteri kronis yang menular, sebagian besar menyerang paru tetapi juga dapat menyerang organ tubuh lainnya. 2) Tuberkulosis
paru
disebabkan
oleh
infeksi
bakteri
Mycobacterium
tuberculosis. 3) Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA (+) saat batuk/bersin, bakteri menyebar ke udara dalam bentuk droplet. 4) Patogenesis TB paru adalah saat droplet terhirup melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus dan terus berjalan sampai ke alveolus dan menetap di sana. Kelanjutan dari proses ini bergantung dari daya tahan tubuh masingmasing individu. 5) Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. 6) Gejala klinis utama TB paru adalah batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih. Gejala tambahan yang mungkin menyertai adalah batuk darah, sesak nafas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan dan demam/meriang lebih dari sebulan. 7) Komplikasi TB paru antara lain dapat timbul pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, usus Poncet’s arthropathy. Sedangkan komplikasi lanjut dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas, kerusakan parenkim paru, kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, dan sindrom gagal napas (sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB) 8) Tipe pasien TB paru berdasarkan riwayat pengobatan dibagi menjadi: kasus baru, relaps, drop out, gagal, pindahan, kasus kronis dan tuberkulosis resistensi ganda. 9) Pengobatan TB paru menurut strategi DOTS diberikan selama 6-8 bulan dengan menggunakan paduan beberapa obat atau diberikan dalam bentuk kombinasi dengan jumlah yang tepat dan teratur, supaya semua kuman dapat dibunuh. Obat-obat yang dipergunakan sebagai obat anti tuberkulosis (OAT)
44
yaitu : Isoniazid (INH), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Streptomisin (S) dan Etambutol (E) 10) Hasil pengobatan TB paru dbedakan menjadi: sembuh, pengobatan lengkap, gagal, putus berobat, dan meninggal. 11) Evaluasi pengobatan dapat mengguanakn metode klinis, bakteriologis, dan radiologis.
45
DAFTAR PUSTAKA
1. Fauci, Anthony S. Kasper, Dennis L. Longo, Dan L. Braunwald, Hauser, Eugene Stephen L. Jameson, J. Larry. Loscalzo, Joseph. 2008. Chapter 158 Tuberculosis in: Harrison principle of internal medicine 17th edition. USA: Mc Graw Hill. 2. Iseman, Michael D. Chapter 345 Tuberculosis in: Goldman, Lee. Ausiello, Dennis. 2008. Cecil medicine 23rd edition. Philadelphia:
Elsevier
Saunders. 3. Baliga, Ragavendra. Hough, Rachel. Haq, Iftikhar. 2007. Crash course internal medicine. United Kingdom: Elsevier Mosby. 4. Fitzpatrick, Lisa K. Braden, Christopher. Chapter 294 Tuberculosis in: Humes, David. Dupont, Herbert L. 2000. Kelley textbook of medicine USA: Lippincott Williams & Wilkins. 5. World Health Organization. 2015. World Global Tuberculosis Control 2015. Geneva World Health Organization. 6. World Health Organization. Multi drug and extensively drug 2015 global report on surveillance and response. Geneva: World Health Organization 2013 7. Rao, C. Kosen, S. Bisara, D. Usman, Y. Adair, T. Djaja, S. Suhardi, S. Soemantri, S. Lopez, AD. 2011. Tuberculosis mortality differentials in Indonesia during 2007-2008: evidence for health policy and monitoring. Int J Tuberc Lung Dis. 8. Waite, Stephen. Jeudy, Jean. White, Charles S. 2008. Chapter 12. Acute lung infections in normal and immunocompromised hosts in : Mirvis, Stuart E. Shanmuganathan, Kathirkamanathan. Emergency chest imaging. Canada: Elsevier. 9. Ganguly KC, Hiron MM, Mridha ZU, Biswas M, Hassan MK, Saha SC, Rahman
MM.
2008.
Comparison
of
sputum
induction
with
bronchoalveolar lavage in the diagnosis of smear negative pulmonary tuberculosis. Mymensingh Med J. 10. mtuberculosis in sputum samples by cepheid. 2011
46
11. World Health Organization. 2015. Treatment of tuberculois, guidelines. Geneva: World Health Organization. 12. Havlir, Diane V. Kendall, Michelle A. Ive, Prudence. Kumwenda, Johnstone. Swindells, Susan. Qasba, Sarojini S. Luetkemeyer, Anne F. Hogg, Evelyn et al. 2011. Timing of antiretroviral therapy. N Engl J Med. 13. Abdool Karim, Salim S. Naidoo, Kogieleum. Grobler, Anneke. Padayatchi, Nesri. Baxter, Cheryl. Gray, Andrew L. 2011. Integration of antiretroviral therapy with tuberculosis treatment. N Engl J Med.