JOURNAL READING “Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus: What Does a Radiologist Need to Know ?”
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu Bedah Rumah Sakit Tentara TK II dr. Soedjono, Magelang
Pembimbing: Dr. Rosalia Sri Sulistijawati, M.Sc, Sp.Rad (K)
Disusun Oleh: Anisa Faqih 1710221041
KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA RUMAH SAKIT TENTARA TK II DR. SOEDJONO, MAGELANG PERIODE 21 MEI – 23 JUNI 2018
LEMBAR PENGESAHAN JOURNAL READING
“Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus: What Does a Radiologist Need to Know ?”
Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di Departemen Radiologi Rumah Sakit Tentara TK II dr. Soedjono, Magelang
Telah disetujui dan dipresentasikan Pada tanggal: 30 Mei 2018
Dokter Pembimbing
Dr. Rosalia Sri Sulistijawati, M.Sc, Sp.Rad (K)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan journal reading dengan judul “Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus: What Does a Radiologist Need to Know ?”. Journal reading ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai gambaran CT Scan pasien TB pada anak dan merupakan salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Departemen Radiologi Rumah Sakit Tentara TK II dr. Soedjono, Magelang.
Pada
kesempatan
ini
penulis
ingin
mengucapkan
terimakasih
dosen pembimbing, Dr. Rosalia Sri Sulistijawati, M.Sc, Sp.Rad (K)
kepada
yang telah
meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan pengarahan dalam penyusunan journal reading ini dari awal hingga selesai. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa journal reading ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dimasa yang akan datang. Semoga laporan kasus ini dapat berguna bagi kita semua.
Magelang, 30 Mei 2018
Penulis
Sindrom Pernapasan Timur Tengah Coronavirus: Apa yang perlu Radiologist ketahui?
Tujuan. Pencapaian dari penulisan artikel ini adalah menyediakan informasi terbaru bagi radiologist mengenai epidemiologi, patofisiologi, tampilan klinis, dan gambaran radiologi yang berkaitan dengan MERS, suatu infeksi terbaru yang mematikan. Kesimpulan. Peningkatan kewaspadaan akan MERS-CoV dan pemahaman gambaran radiologi MERS-CoV dapat meningkatkan kecepatan diagnosa dan pemantauan akan infeksi ini. Radiologist dapat menyediakan informasi berdasarkan radiolografi dada dan CT yang dapat membantu dalam menegakkan diagnosis dan penatalaksanaannya. MERS adalah penyakit baru yang disebabkan oleh koronavirus – MERS, termasuk dari familia Coronavirus. Penyakit ini pertama kali ditemukan di Arab Saudi pada September 2012 dan menyebar cepat antar negara yang menyebabkan masalah kesehatan internasional. Pada Juni 2015, MERS-CoV telah tersebar hingga ke lebih dari 20 negara1-3. Kematian
dan
kesakitan
akibat
dari
infeksi
MERS-CoV
sangat
mengkhawatirkan. Pada umumnya pasien yang terjangkit memiliki keluhan pernapasan berat sehingga membutuhkan perawatan di rumah sakit; angka kematiannya mencapai 60%4. Hingga 19 Juni 2015, dilaporkan kasus MERS sebanyak 1035 kasus di Arab Saudi, dengan kematian sebanyak 458 kasus atau 44% dari total laporan kasus5. Wabah MERS-CoV mendapat banyak perhatian dari luar Arab Saudi karena dalam 2 bulan setelah indeks kasus didiagnosis pada 20 May 2015 terdapat 27 orang meninggal6. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan kondisi darurat kepada masyarakat global dan mendesak untuk membuatan upaya pengendalian penyakit ini. Oleh karena pasien terjangkit MERS-CoV menunjukkan gejala penyakit pernapasan yang membutuhkan pemeriksaan penunjang radiografi, belum ada informasi terbaru bagi radiologist untuk mengenali penyakit ini secara radiografi. Maka dari itu, pencapaian dari artikel ini adalah untuk menyediakan informasi terbaru
bagi radiologist mengenai epidemiologi, patofisiologi, tampilan klinis, dan gambaran radiografi terkait perkembangan penyakit oleh MERS-CoV. Tulisan ini dapat meningkatkan kewaspadaan dan pemahanan mengenai penyakit baru yang mematikan ini. Pemahaman dari tulisan ini seharusnya dapat meningkatkan penilaian mengenai abnormalitas paru berdasarkan gambaran radiografi dada dan CT, serta memungkinkan klinisi memantau perkembangan penyakit ini secara akurat dan menyediakan informasi untuk menentukan prognosis pasien.
Epidemiologi Manusia pertama yang terjangkit penyakit MERS-CoV dilaporkan di Arab Saudi tahun 2012. Pada 15 Mei 2015, dilaporkan 1112 kasus berdasarkan pemeriksaan laboratorium dikonfirmasi sebagai infeksi MERS-CoV dan setidaknya terdapat 422 kematian yang dilaporkan pada WHO7. Meskipun 85% kasus infeksi MERS-CoV dilaporkan di Arab Saudi dan Timur Tengah, data hingga Juni 2015 menunjukkan bahwa MERS-CoV telah menyebar hingga ke 20 negara, termasuk Yordania, Qatar, Mesir, Emirat Arab, Kuwait, Turki, Oman, Algeria, Bangladesh, Indonesia, Austria, Inggris, Korea Selatan, China, Thailand, dan Amerika Serikat 1,4-8. Akan tetapi, awal mula penyakit ini diyakini berasal dari Arab Saudi dan Timur Tengah. Pada 12 Juni 2015, International Health Regulation Focal Point of the Republic of Korea melaporkan pada WHO 62 kasus tambahan dengan 6 kasus kematian yang dikonfirmasi penyakit oleh MERS-CoV6. Wabah yang sedang marak terjadi di Korea kala itu adalah yang terbesar di luar Arab Saudi. Bagaimanapun, meskipun wabah ini menjadi pusat perhatian, tidak ada bukti transmisi dari manusia ke manusia. Ditambah, tidak ada transmisi kedua atau transmisi terbatas yang dilaporkan di negara-negara yang terserang wabah penyakit ini6.
Patofisiologi Patofisiologi dari MERS-CoV belum sepenuhnya dipahami. Bagaimanapun, diperkirakan MERS-CoV pada awalnya ditularkan oleh hewan dan transmisi dari manusia ke manusia terbatas (namun mungkin terjadi). Koronavirus pada manusia biasanya penyakit self-limiting dan menyebankan gejala ringan yang sama dengan ketika terserang demam. Akan tetapi, koronavirus yang ditransmisi oleh hewan, seperti MERS-CoV, bisa menyebabkan infeksi saluran pernapasan bawah berat. Hingga saat ini, belum ada laporan otopsi yang mempublikasi kasus MERS-CoV yang fatal. Bagaimana pun, berdasarkan data klinis dan bukti radiologi dari kasuskasus yang berat, mortalitas dan morbiditas dinilai dengan pneumonia yang memburuk cepat karena kerusakan alveolar difus yang sering mengarah pada sindrom distress respiratori (ARDS)11,12. Sayangnya, karena tidak adanya studi follow-up pada pasien MERS, informasi menjadi terbatas. Karena penampilan klinis MERS-CoV menyerupai dengan severe acute respiratory syndrome (SARS), patogenesisnya pun sama. Namun, studi in vitro menekankan terdapat perbedaan antara dua virus terkait perkembangan dan respon host sehingga pathogenesis yang terjadi sedikit berbeda13. Pada studi ex vivo, Hocke et al,14 menggunakan mikroskop konfokal spectral yang menunjukkan ekspresi antigen MERS-CoV tersebar luas pada sel alveolar tipe I dan tipe II, epitel bronkial bersilia, dan sel kuboid tak bersilia pada bronkiolus. Perbedaan patologis yang disebabkan MERS-CoV terjadi karena proliferasi sel epithelial, kerusakan alveolar difus, dan infiltrasi makrofag pada pulmo, dan hemofagositosis (dilengkapi dengan disregulasi sitokin)13. Periode inkubasi transmisi manusia ke manusia berkisar 2 hingga 14 hari, dengan waktu tengah onset perjalanan penyakit hingga rawat inap berkisar 4 hari15. Pada pasien sakit, waktu median mulai dari onset gejala hingga rawat inap dan onset gejala hingga perawatan di ICU hingga kematian adalah 4.0 dan 11.5 untuk masingmasing15. Waktu antara rawat inap dan kematian cukup singkat: rata-rata dari 7.0 dan 9.0 hari15. Waktu inkubasi singkat diikuti kemajuan yang cepat kea rah ARDS terjadi lebih dari 20% kasus MERS-CoV, hal ini berarti terdapat sedikit peluang untuk
diagnosis awal dan akurat dan keberhasilan pengobatan dan penanganan pada pasien berisiko tinggi. Sangat penting untuk diketahui bahwa transmisi dari manusia ke manusia dapat terjadi di layanan kesehatan dan dapat menyebabkan komorbitas yang signifikan16. Tenaga kesehatan yang kontak langsung dengan pasien yang terinfeksi berat memiliki risiko tinggi tertular MERS-CoV. Pasien dengan infeksi berat memiliki komorbiditas yang memiliki kadar virus yang tinggi. Karena MERS-CoV merupakan infeksi yang baru, banyak tenaga kesehatan tidak menyadari risiko transmisi. Mempertimbangan tingkat moratalitas yang tinggi (4.5%) pada tenaga kerja yang sehat dan muda, kebanyakan pasien tanpa komorbiditas sebaiknya mampu bertahan dari infeksi dan dapat pulih sepenuhnya11. Virus tidak mudah menular dair satu orang ke orang yang lainnya kecuali terdapat kontak erat seperti tidak tersedianya alat perlindungan diri yang tidak cukup melindungi diri dari pasien yang terinfeksi8. Tidak selalu mungkin untuk mengidentifikasi pasien dengan infeksi MERS-CoV awal karena gejala dan bentuk gejalan klinis yang tidak spesifik. Pada beberapa daerah, pencegahan infeksi dan pengukuran kontrol sangat penting untuk mencegah penyebaran virus. Pada fasilitas kesehatan, tindakan yang tepat seharusnya diambil untuk mengurangi risiko penularan virus dari pasien yang terinfeksi ke tenaga kesehatan lainnya atau pengunjung. Petugas radiologi harus diedukasi dan detraining dengan baik mengenai pencegahan infeksi dan kontrol dan sebaiknya secara teratur mengulang pelatihan tersebut secara berkala8. Petugas radiologi perlu mengikuti protocol yang mengacu pada standard pencegahan, pencegahan kontak, dan pencegahan udara. Berikut merupakan pencegahan secara berurutan: pertama, gaun; kedua, respirator; ketiga, goggle atau pelindung wajah; dan keempat, sarung tangan. Ketika pasien meninggalkan ruangan, tenaga kesehatan sebaiknya tidak masuk ke dalam ruangan tersebut hingga waktu tertentu untuk membiarkan sirkulasi udara dalma ruangan diganti dan mengurangi partikel-partikel infeksius19.
Gambaran Klinis Berbagai gambaran klinis yang terkait dengan infeksi MERS-CoV telah dilaporkan; gambaran klinis mulai dari asimptomatis atau penyakit ringan menjadi infeksi saluran pernapasan atas akut, syok sepsis, dan kegagalan multiorgan yang mengarah ke kematian. Meskipun kebanyakan kasus MERS-CoV terjadi pada dewasa, pasien semua usia termasuk anak kecil dapat terinfeksi 11,12,21,22. Pasien yang terinfeksi secara umum memiliki gejala demam, menggigil, kekakuan, nyeri kepala, batuk tidak produktif, sesak napas, dan mialgia. Gejala terkait lainnya termasuk koriza, nyeri tenggorokan, mual, muntah, pusing, produksi sputum, diare, dan nyeri perut21. Gambaran klinis atipikal, termasuk penyakit pernapasan ringan tanpa demam dan penyakit diare yang mendahului perkembangan pneumonia terlah dilaporkan21. Namun menariknya, infeksi MERS-CoV biasanya ringan pada anak kecil dan memiliki gambaran klinis ringan11,12,21-23. Demam ringan dengan batuk merupakan gejala klinis predominan diamati pada pasien pediatrik terinfeksi MERS-CoV. Penyakit pernapasn akut dan berat dengan keluaran buruk setelah gagal multiorgan telah tercatat hanya terdapat empat kasus pediatrik11,12,21-23. Keempat kasus tersebut berkaitan dengan komorbiditas, sindrom nefrotik, sindrom Down, kraniofaringioma, dan tumor ventrikel kanan. Karena secara klinis tidak spesifik dan gejala pada pasien yang terinfeksi MERS-CoV, suspek penderita perlu diketahui memiliki riwayat tinggal bersama dengan pasien atau mereka yang baru berkunjung ke area endemic MERS-CoV dan mereka yang mengalami demam akut (≥ 380C), nyeri kepala, diare, mual, muntah, leukopenia yang tidak dapat dijelaskan (leukosit < 3.5 x 109/L), dan trombopenia (trombosit < 150 x 109/L), dengan atau tanpa gejala pernapasn23-27. Sebagai tambahan, penelusuran infeksi MERS-CoV perlu dilakukan jika seseorang menderita infeksi pernapasan atas maupun bawah selama 2 minggu setelah terkonfirmasi atau kasus memungkinkan infeksi MERS-CoV. Pasien yang memiliki kriteria untuk kemungkinan terinfeksi MERS-CoV berdasarkan gambaran klinis, hasil laboratorium, riwayat bepergian, atau paparan MERS-CoV sebelumnya harus diperiksa lebih lanjut untuk membedakan patogen
yang menyebabkan seperti influenza A dan B, pneumonia Streptococcus aureus, dan Pneumonia Legionella. Hasil positif untuk patogen respirasi lainnya tidak harus selalu demikian melarang pengujian untuk MERS-CoV karena koinfeksi dapat terjadi23-27. Di semua pasien dengan kasus terduga infeksi MERS-CoV, swab nasofaringeal perlu dilakukan; jika pasien terintubasi, sampel secret dari sekret pernapasan bawah dapat dikumpulkan untuk pemeriksaan MERS-CoV. Hasil dikatakan positif jika terdaoat hasil positif polymerase chain reaction (PCR) setidaknya dia target genom spesifik (upE dan ORF1a) atau target positif tunggal (upE) berpasangan dengan target kedua berurutan (RdRpSeq atau NSeq)28. Sayangnya, tidak terdapat penanganan spesifik atau terstandar yang tersedia untuk infeksi MERS-CoV. Penanganan pasien yang terinfeksi dengan gejala ringan berfokus pada perawatan suportif. Namun, pasien dengan gejala berat membutuhkan perawatan ICU, dimana terdapat bantuan ventilator dan penanganan ARDS yang dikarenakan infeksi MERS-CoV. Penanganan ini melibatkan pengobatan untuk mengobati infeksi paru, pengurangan inflamasi dan menghilangkan cairan dalam paru23-27. Tingkat kematian terkait infeksi MERS-CoV mencapai 60%, khususnya pada individu dengan komorbiditas yang mendasari4,146,20,21. Komorbiditas yang mendasari merupakan predictor yang penting untuk melihat mortalitas yang tinggi pada pasien MERS-CoV, tidak seperti pasien SARS. Tingkat mortalitas yang tinggi berkaitan dengan faktor risiko yang mendasari29: 54% pasien dengan dua kondisi yang mendasari dan 80% pada pasien yang memiliki tiga hinga empat kondisi yang mendasari kematian29. Studi terbaru menunjukan bahwa pasien yang meninggal karena infeksi MERS-CoV memiliki lebih banyak komorbiditas yang mendasari (rata-rata ± SD, 2.26 ± 1.4; p = 0.0001) daripada tenaga kerja berusia muda (0 ± 10; p = 0.001)11. Perbedaan komorbiditas ini mungkin menjadi alasan untuk rendahnya tingkat kematian (4,5%) pada kelompok terakhir.
Penemuan Imaging Evaluasi Radiografik Dada Penemuan
radiografis
terkait
MERS-CoV—meskipun
tidak
temuan
abnormalitas yang dapat dideteksi pada radiografis dada pada 17% pasien yang terinfeksi, 83% pasien menunjukkan abnormalitas pada parenkim pulmo. Penemuan utama pada radiografis terkait MERS-CoV adalah ground-glass opasitas (66%) diikuti konsolodasi (18%)11. Baik ground-glass opasitas dan konsolidasi terlihat pada 16% kasus. Konsolidasi dapat bertumpuk (18%), dapat pula tidak bertumpuk (29%), atau dapat muncul seperti area opasitas nodular yang membulat (9%) dan kavitas multisentris (2% dari kasus)11. Radiografis dada pada pasien dengan infeksi MERSCoV menunjukkan abnormalitasi parenkim pulmo di perifer pertengahan zona pulmo. Keterlibatan unifokal (69%) lebih sering daripada keterlibatan multifocal (30%)11. Seiring progresi penyakit berkembang, abnormalitas parenkim pulmo pada akhirnya menyebar ke area sentral dan lobus atas bilateral. Evaluasi kuantitatif infeksi MERS-CoV berdasarkan penemuan radiografis dada—studi terbaru menemukan bahwa urutan evaluasi kuantitatif sistematis pada radiografis dada pada pasien terinfeksi berat yang dirawat di ICU dapat digunakan untuk memprediksi prognosis yang buruk dan angka kematian yang tinggi pada pasien MERS-CoV. Evaluasi kuantitatif infeksi MERS-CoV dapat didapatkan dengan pertama membagi masing-masing pulmo menjadi tiga zona dan mengevaluasi masing-masing zona yang terlibat30. Perkembangan lesi MERS-CoV antara masingmasing zona kemudian diskor sebagai berikut: 0, normal; 4, satu zona yang terlibat penuh; atau 24, semua enam zona yang terlibat penuh30. Skor untuk semua keenam zona dari masing-masing radigrafik dada dijumlahkan kumulatif hingga terhitung jumlah skor dari 0 sampai 24, bergantung dari keterlibatan parenkim pulmo. Selain itu, radiografis pulmo serial selama masa pengobatan dapat digunakan untuk melihat progresi penyakit. Progesi penyakit dapat diklasifikasi menjadi empat tipe31. Tipe 1 perkembangan penyakit menunjukkan deteorasi radiografik. Tipe 2 perkembangan penyakit didefinisikan sebagai perubahan radiografik statis tanpa puncak radiografik yang dapat dilihat atau perubahan secara keseluruhan rata-rata
keterlibatan pulmo kurang dari 25%. Tipe 3 perkembangan penyakit ditunjukkan dengan perubahan radiografi yang fluktuatif dengan setidaknya dua puncak radiografi dipisahkan oleh sebuah periode remisi ringan; remisi didefinisikan sebagai level ratarata keterlibatan parenkim pulmo yang berbeda dengan level puncak lebih dari 25%. Tipe
4
perkembangan
didefinisikan
sebagai
perkembangan
deteriorasi
radiografi11,12,31. Studi yang dilakukan pada pasien dewasa dengan infeksi MERS-CoV menunjukkan bahwa skor radiografi dada adalah predictor mortalitas independen (odd ratio, 1.38; 95% CI, 1.07-1.77; p = 0.01) berdasarkan analisis univariat dan regresi logistik11. Selain itu, radiografi dada rata-rata skor secara signifikan lebih tinggi pada pasien yang meninggal daripada mereka yang sembuh (13.0 ± 2.6 vs 5.8 ± 5.6, masing-masing; p = 0.001). tingkat tertinggi yang terlihat pada pasien yang meninggal daripada yang sembuh: pneumotoraks (47% vs 0%, masing-masing; p = 0.001), efusi pleural (63% vs 14%; p = 0.001), dan perkembangan radiografi tipe 4 (63% vs 6%; p = 0.001)11. Perhatian yang cermat harus diberikan untuk mengevaluasi kejadian efusi pleura dan pneumotoraks pada radiografi dada pada pasien yang terinfeksi MERSCoV. Upaya untuk mendeteksi temuan ini pada pasien terinfeksi MERS-CoV diperlukan karena efusi pleura (63%; p = 0.001) dan pneumotoraks (47%; p = 0.001) terjadi pada tingkat yang lebih tinggi pada pasien yang meninggal daripada pasien yang sembuh11. Faktanya, efusi pleura (p = 0.001), pneumotoraks (p = 0.001), dan perkembangan radiografi tipe 4 (p = 0.001) dicatat secara signifikan jumlah pasien yang meninggal lebih tinggi11. Efusi pleuradihubungkan dengan faktor risiko lain dipertimbangkan sebagai predictor signifikan (p = 0.001 dalam kohort11) pada pasien dengan MERS-CoV yang dirawat di ICU11,12. Table 1. Selain itu, efusi pleura dicatat pada pasien yang bertahan (14%); kelompok yang hidup ini memiliki sedikit komorbiditas dan kebanyakan adalah tenaga kesehatan. Oleh karena itu, efusi pleura memainkan peran yang penting pada hasil akhir infeksi MERS-CoV dan sebaiknya dipertimbangkan dalam penanganan pasien dengan infeksi paru akut dan ARDS di ICU32.
Tabel 1. Hubungan antara Efusi Pleura dengan variabel lain pada 55 pasien dengan Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS-CoV). Variabel
Efusi Pleura (n= 17)
Tidak Efusi Pleura (n= 38)
p
Usia (y), rata-rata ± SD
52.6 ± 17.8
44.2 ± 15.0
0.08
Laki-laki, jumlah pasien (%)
5 (29.4)
11 (28.9)
0.97
Tenaga Kesehatan, jumlah pasien (%)
2 (11.8)
20 (52.6)
0.004
Jumlah Kormobiditas, rata-rata ± SD
2.0 ± 1.2
1.6 ± 1.0
0.06
Persentase keterlibatan paru pada puncak infeksi 11.5 ± 3.0 MERS-CoV, rata-rata ± SD
6.8 ± 6.0
0.001
Jumlah pasien meninggal (%)
7 (18.4)
0.001
12 (70.6)
Catatan---Sumber data berasal dari 11,12.
Meskipun perekrutan manuver di ICU menghasilkan peningkatan oksigen pada pasien dengan ARDS, perbaikan ini terhalang oleh adanya efusi pleura32. Permasalahan yang sama terjadi pada kelompok penelitian11,12. Untuk mendukung penemuan kami, Hasley dkk. Melaporkan bahwa adanya efusi pleura bilateral menjadi prediktor bebas dari kematian jangka pendek pasien dengan pneumonia yang didapat masyarakat; akan tetapi berbeda dengan pengalaman yang biasa dihadapi, keterkaitan hal di atas tidak ditemukan pada pasien SARS31,33. Penemuan radiografi ini menjadi pertanda buruk atas hasil fatal, terutama jika ada keterlibatan faktor lain seperti usia lanjut dan kormoditas yang telah ada sebelumnya11.
Evaluasi CT Temuan CT mengenai MERS-CoV yang lebih sensitif dan spesifik dibandingkan radiografi dada, perlu dipertimbangkan untuk dikonfirmasi ulang, karakteristik dan pemeriksaan akan adanya perkembangan penyakit pada pasien yang diduga terinfeksi MERS-CoV dan tidak menunjukkan kelainan pada gambaran radiografi dada. Sama seperti hasil temuan dengan radiografi, pasien terinfeksi MERS-CoV pada CT ditemukan gambaran opaksitas glass-ground (53%) (gambar 5), konsolidasi
(20%) (gambar 2), atau kombinasi keduanya (33%) (gambar 6); temuan-temuan ini biasanya terlihat pada minggu pertama infeksi MERS-CoV. Ditambah, efusi pleura ditemukan pada 33% kasus dan penebalan interlobular (gambar 7) pada 26% kasus pada minggu pertama. Selama dua hingga tiga minggu selanjutnya, abnormalitas paru “crazy paving”, kavitas (Gambar 4), bentuk tunas pohon, nodul sentrinobular (gambar 3), bronkiolitis obliteratif konstriksi (Gambar 8), bronkiolitis obliteran (Gambar 9), terjebaknya udara peribronkiolar (Gambar 9), penebalan perifer bronkiole (Gambar 3), dan pneumonia terorganisasi (Gambar 10) bisa diamati pada CT. Lokasi dan distribusi keabnormalitasan tersebut hampir sama dengan hasil radiografi dada. Selama fase pertama dari penyakit ini, keabnormalitasan parenkimal paru terlokalisir di periferal lobus bawah lalu menyebar ke seluruh paru paru secara bilateral pada tahap lanjut. Satu temuan yang menarik pada pasien terinfeksi MERS-CoV adalah efusi pleural. Efusi pleural jarang ditemukan pada kasus infeksi virus di paru, namun hal ini dilaporkan juga pada kasus infeksi virus measles dan flu burung (H5N1)34. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pasien terinfeksi MERS-CoV yang disertai efusi pleural memiliki indikasi prognosis yang buruk12; dalam penelitian tersebut, sebanyak 9 pasien yang meninggal akibat infeksi MERS-CoV memiliki tanda klinis efusi pleural pada minggu pertama sejak terinfeksi penyakit ini12. Ditambah, terdapat multipel kavitas yang terlihat jelas; kavitas juga merupakan kasus yang jarang pada pneumonia akibat virus. Evaluasi kuantitas MERS-CoV dengan hasil CT—skor CT paru diperoleh dengan cara yang sama dengan skor radiografi dada, dapat digunakan untuk evaluasi kuantitatif dari infeksi MERS-CoV. Pertama, masing-masing paru dibagi menjadi 3 zona, zona atas (di atas carina), zona tengah (bawah carina hingga inferior vena pulmonari), dan zona bawah (inferior vena pulmonary)30. Masing-masing zona (total terdapat 6) kemudian dilakukan perhitungan dengan ketentuan sebagai berikut: skor 0 bila keterlibatannya 0%, skor 1 bila terdapat keterlibatan <25%, skor 2 bila keterlibatan 25% - <50%, skor 3 bila keterlibatan 50%- <75%, dan skor 4 bila keterlibatan > 75%. Skor dijumlah untuk mendapatkan estimasi keterlibatan total
paru dengan total skor maksimal adalah 24 [30]. Penelitian terbaru menunjukan skor CT dada dapat memberikan perkiraan luas keterlibatan pada paru dengan skor ratarata 15.78 ± 7.9 untuk nilai kematian pada pasien dewasa (p = 0.003) [12]. Rata-rata skor CT paru pada pasien yang meninggal (15.78 ± 7.9) meningkat secara signifikan dibandingkan pasien yang sembuh total (7.3 ± 5.7) (p = 0.003)12. Meskipun penggunaan CT lebih sensitif dan spesifik untuk mendiagnosis MERS-CoV daripada radigrafi dada, tingginya angka kormobiditas pada pasien yang terinfeksi MERS-CoV dapat menciptakan kesulitan besar saat mendeteksi perkembangan penyakit oleh karena faktor membingungkan sebab gambaran yang tumpang tindih, seperti fibrosis paru atau emfisema. Ditambah, superimpose antara infeksi atau proses inflamasi pada CT paru memberikan tantangan tersendiri dalam mendeteksi dan menilai progres infeksi MERS-CoV. Pada situasi tersebut, PET/CT yang merupakan modalitas relatif baru, dapat memecahkan beberapa dilema diagnostik bila dilakukan dengan teknik radiografi konvensional. Penelitian terbaru menggunakan PET/CT untuk menggambarkan paru paru secara kuantitatif, inflamasi akibat infeksi, dan respon terhadap terapi antiinflamasi35. Peningkatan penyerapan 18
F-FDG juga dapat diamati pada pasien terinfeksi MERS-CoV yang memiliki
progres menuju pneumonia (Gambar 11).
Kesimpulan Kasus MERS-CoV pertama kali dilaporkan di Arab Saudi pada tahun 2012, MERS-CoV menyebar hingga ke 20 negara. Mewabahnya MERS-CoV di Korea Selatan yang menyebabkan tingginya angka morbiditas dan mortalitas, radiologist harus meningkatkan kewaspadaannya dan meningkatkan pemahaman mengenai gambaran radiografi akan penyakit ini11,12. Informasi yang disediakan pada penelitian baru-baru ini mampu menjadikan radiologist menjadi peran penting dalam memantau infeksi MERS-CoV. Infeksi MERS-CoV harus dicurigai pada pasien dengan faktor risiko infeksi MERS-CoV, temuan klinis yang mencurigakan, hasil pemeriksaan laboratorium yang mencurigakan, dan gambaran opaksitas ground-glass pada perifer lobus bawah. Pemeriksaan kuantitatif abnormalitas paru dengan radiografi dada dan
CT skor harus memungkinkan dokter dengan akurat memantau progresif penyakit dan menyediakan lebih informasi mengenai prognosis pasien.
Ucapan Terima Kasih Kami mengucapkan terima kasih pada Rajvir Sing (Cardiology Research Centre, C.C.S. Department, Heart Hospital, HMC, Doha, Qatar) dalam bantuannya dengan analisis statistik.
Referensi 1
2
3
4
5
6
7
8
9
World Health Organization website. WHO statement on the ninth meeting of the IHR Emergency Committee regarding MERS-CoV. www.who.int/mediacentre/news/statements/2015/ihr-ec-mers/en/. Published June 17, 2015. Accessed December 1, 2015 Zaki AM, van Boheemen S, Bestebroer TM, Osterhaus AD, Fouchier RA. Isolation of a novel coronavirus from a man with pneumonia in Saudi Arabia. N Engl J Med 2012; 367:1814–1820 [Erratum in N Engl J Med 2013; 369:394] Hijawi B, Abdallat M, Sayaydeh A, et al. Novel coronavirus infections in Jordan, April 2012: epidemiological findings from a retrospective investigation. East Mediterr Health J 2013; 19(suppl 1):S12–S18 World Health Organization website. Global alert and response (GAR): coronavirus infections. www.who.int/csr/disease/coronavirus_infections/en/. Accessed December 1, 2015 Ministry of Health, Kingdom of Saudi Arabia website. Saudi Ministry of Health: novel coronavirus—media statements. www.moh.gov.sa/en/CCC/pressreleases/pages/default.aspx. Accessed June 19, 2015 World Health Organization website. Middle East respiratory syndrome coronavirus (MERS-CoV): Republic of Korea—disease outbreak news. www.who.int/csr/don/12-june-2015-mers-korea/en/. Published June 12, 2015. Accessed December 1, 2015 Ben Embarek PK, Van Kerkhove MD. Middle East respiratory syndrome coronavirus (MERS-CoV): current situation 3 years after the virus was first identified. Wkly Epidemiol Rec 2015; 90:245–250 World Health Organization website. Middle East respiratory syndrome coronavirus (MERS-CoV): fact sheet no. 401. www.who.int/mediacentre/factsheets/mers-cov/en/. Published June 2015. Accessed December 1, 2015 Müller MA, Meyer B, Corman VM, et al. Presence of Middle East respiratory syndrome corona-virus antibodies in Saudi Arabia: a nationwide, cross-sectional serological study. Lancet Infect Dis 2015; 15:559–564
10 Van den Brand JM, Smits SL, Haagmans BL. Pathogenesis of Middle East respiratory syndrome coronavirus. J Pathol 2015; 235:175–184 11 Das KM, Lee EY, Al Jawder SE, et al. Acute Middle East respiratory syndrome coronavirus: temporal lung changes observed on the chest radiographs of 55 patients. AJR 2015; 205:(web)W267–W274 12 Das KM, Lee EY, Enani MA, et al. CT correlation with outcomes in 15 patients with acute Middle East respiratory syndrome coronavirus. AJR 2015; 204:736– 742 13 Nicholls JM, Poon LL, Lee KC, et al. Lung pathology of fatal severe acute respiratory syndrome. Lancet 2003; 361:1773–1778 14 Hocke AC, Becher A, Knepper J, et al. Emerging human Middle East respiratory syndrome corona-virus causes widespread infection and alveolar damage in human lungs. Am J Respir Crit Care Med 2013; 188:882–886 15 Assiri A, McGeer A, Perl TM, et al.; KSA MERS-CoV Investigation Team. Hospital outbreak of Middle East respiratory syndrome coronavirus. N Engl J Med 2013; 369:407–416 16 Assiri A, Al-Tawfiq JA, Al-Rabeeah AA, et al. Epidemiological, demographic, and clinical characteristics of 47 cases of Middle East respiratory syndrome coronavirus disease from Saudi Arabia: a descriptive study. Lancet Infect Dis 2013; 13:752–761 17 Rha B, Rudd J, Feikin D, et al.; Centers for Disease Control and Prevention. Update on the epidemiology of Middle East respiratory syndrome coronavirus (MERS-CoV) infection, and guidance for the public, clinicians, and public health authorities: January 2015. MMWR Morb Mortal Wkly Rep 2015; 64:61–62 18 Zumla A, Hui DS, Perlman S, et al. Middle East respiratory syndrome. Lancet 2015; 386:995–1007 19 Centers for Disease Control and Prevention web-site. Interim infection prevention and control recommendations for hospitalized patients with Middle East respiratory syndrome coronavirus (MERSCoV). www.cdc.gov/coronavirus/mers/infection-prevention-control.html. Published June 2015. Accessed December 1, 2015 20 Memish ZA, Al-Tawfiq JA, Assiri A, et al. Middle East respiratory syndrome coronavirus disease in children. Pediatr Infect Dis J 2014; 33:904–906 21 Centers for Disease Control and Prevention website. Middle East respiratory syndrome (MERS): MERS clinical features. www.cdc.gov/coronavirus/mers/clinical-features.html. Published February 4, 2015. Accessed December 1, 2015 22 Thabet F, Chehab M, Bafaqih H, Al Mohaimeed S. Middle East respiratory syndrome coronavirus in children. Saudi Med J 2015; 36:484–486 23 Arabi YM, Arifi AA, Balkhy HH, et al. Clinical course and outcomes of critically ill patients with Middle East respiratory syndrome coronavirus infection. Ann Intern Med 2014; 160:389–397 24 WHO MERS-CoV Research Group. State of knowledge and data gaps of Middle East respiratory syndrome coronavirus (MERS-CoV) in humans. PLoS Curr 2013; 12:5, pii
25 [No authors listed]. Fact sheet on Middle East respiratory syndrome coronavirus (June 2015). Wkly Epidemiol Rec 2015; 90:305–308 26 World Health Organization website. Coronavirus infections. www.who.int/topics/coronavirus_infections/en/. Accessed December 1, 2015 27 World Health Organization website. Revised interim case definition for reporting to WHO: Middle East respiratory syndrome coronavirus (MERS-CoV)—interim case definition as of 3 July 2013.www.who.int/csr/disease/coronavirus_infections/case_definition_03_07_20 14/en/. Accessed December 1, 2015 28 World Health Organization website. Laboratory testing for Middle East respiratory syndrome coronavirus: interim recommendations (revised). www.who.int/csr/disease/coronavirus_infections/MERS_Lab_recos_1 6_Sept_2013.pdf. Published September 2013. Accessed December 1, 2015 29 Al-Tawfiq JA, Hinedi K, Ghandour J, et al. Middle East respiratory syndrome coronavirus: a case-control study of hospitalized patients. Clin Infect Dis 2014; 59:160–165 30 Ooi GC, Khong PL, Müller NL, et al. Severe acute respiratory syndrome: temporal lung changes at thin-section CT in 30 patients. Radiology 2004; 230:836–844 31 Wong KT, Antonio GE, Hui DS, et al. Severe acute respiratory syndrome: radiographic appearances and pattern of progression in 138 patients. Radiology 2003; 228:401–406 32 Lan CC, Hsu HH, Wu CP, Lee SC, Peng CK, Chang H. Influences of pleural effusion on respiratory mechanics, gas exchange, hemodynamics, and recruitment effects in acute respiratory distress syndrome. J Surg Res 2014; 186:346–353 33 Hasley PB, Albaum MN, Li YH, et al. Do pulmonary radiographic findings at presentation predict mortality in patients with community-acquired pneumonia? Arch Intern Med 1996; 156:2206–2212 34 Franquet T. Imaging of pulmonary viral pneumonia. Radiology 2011; 260:18–39 35 Petruzzi N, Shanthly N, Thakur M. Recent trends in soft tissue infection imaging. Semin Nucl Med 2009; 39:115–123
Gambar 1—Serial Radiografi pada pasien 65 tahun dengan MERS-CoV. Radiografi menunjukkan sindrom distress pernapasan akut (ARDS) dengan pola deteriorasi radiografi tipe 4. A. Radiografi dada frontal didapatkan gambaran (hari pertama) ground-glass opacity fokal perifer unilateral pada zona kiri atas. B. Follow-up radiografi dada frontal pada hari keenam menunjukkan perkembangan penyakit dengan opasitas udara di kedua paru-paru dengan perkembangan ARDS. C. Radiografi dada hari kesembilan menunjukkan deteriorasi dengan pneumotoraks sisi kanan. D. Radiografi dada hari kesebelas menunjukkan drainase tabung dada di sisi kanan dengan opasitas udara bilateral. Pasien meninggal pada hari yang sama.
Gambar 2—Gambaran dada pada pria 54 tahun dengan MERS-CoV. A. Radiografi dada frontal hari ketiga menunjukkan konsolidasi udara perifer lobus bawah dengan efusi pleura. B. CT-Scan aksial pada hari yang sama dengan gambar A yang menunjukkan konsolidasi udara simetris bilateral dengan efusi pleura.
Gambar 3—Gambaran dada pada pria 24 tahun yang merupakan tenaga kerja dengan infeksi MERS-CoV (pola deteriorasi radiografi tipe 1). A. Radiografi dada frontal pada hari pertama yang menunjukkan opasitas nodular sentrilobular multiple bilapteral dan opasitas perifer linear karena penebalan dinding bronkial. B. CT-Scan aksial pada pulmo hari ketiga yang menunjukkan nodular pola treein-bud dengan penebalan dinding bronkial dan efusi pleura bilateral. C. Radiografi dada frontal pada hari keempat yang menunjukkan opasitas ground-glass perifer bilateral dan aksentuasi penebalan dinding bronkial. Pasien kemudian mengalami ARDS dan dirawat di ICU. Pasien akhirnya pulih sepenuhnya.
Gambar 4—Pria 44 tahun dengan penyakit ginjal stadium akhir yang menderita MERS-CoV yang memiliki pola deteriorasi radiografi tipe 4. A. Radiografi frontal pada hari pertama menunjukkan gambaran udara multifocal bilateral dengan distribusi predominan perihiler dan kavitas (panah). B. CT-Scan aksial pada hari keduabelas yang menunjukkan nodular udara multiple dengan kavitas pada paru kanan. Paru kiri menunjukkan konsolidasi udara fokal multiple dan nodular sentrilobular.
Gambar 4—Pria 44 tahun dengan penyakit ginjal stadium akhir yang menderita MERS-CoV dengan pola deteriorasi radiografi tipe 4.
C. Radiografi frontal pada hari kesembilanbelas yang menunjukkan gambaran udara multifocal bilateral dengan distribusi predominan perihilar dan kavitas multiple (panah). Pasien meninggal pada hari 19.
Gambar 5—Perempuan usia 57 tahun pada MERS-CoV yang menderita distress pernapasan berat dan demam. CT-Scan koronal pada perawatan hari kedua yang menunjukkan opasitas ground-glass bilateral.
Gambar 6—Perempuan usia 20 tahun dengan MERS-CoV yang menunjukkan demam, batuk, dan kesulitan bernapas berat. CT-Scan aksial pada perawatan hari ketiga yang menunjukkan opasitas ground-glass peripheral dengan konsolidasi dan penebalan dinding interlobular. Massa irregular atrial kanan (panah) terkait comorbiditas. Pasien meninggal di ICU setelah mengalami ARDS.
Gambar 7—Perempuan 65 tahun dengan penyakit ginjal stage akhir dan MERSCoV dengan kesulitan bernapas dan demam. CT-Scan pada hari kesepuluh menunjukkan nodular ground-glass multiple dengan penebalan septum interlobular. Efusi pleura kiri berukuran sedang. Pasien akhirnya meninggal karena ARDS di ICU.
Gambar 8—Pria 24 tahun dengan MERS-CoV dengan kesulitan bernapas dan demam. CT-Scan pada hari ketiga menunjukkan bronkiolitis obliteratif konstriksi sekunder menjadi infeksi virus saluran pernapasan bawah berat. Terdapat area suram sisi kanan unilateral berbatas tegas yang meningkat dan penurunan atenuasi pulmo. Area hipoatenuasi yang terdiri dari pembuluh darah paru yang sedikit dan kecil (panah),dimana memperlihatkan distribusi aliran darah pulmo yang normal pada area berventilasi. Paru kanan menunjukkan efusi pleura sedang dengan konsolidasi udara. Pasien ini merupakan tenaga kesehatan dan sepenuhnya sembuh meskipun mengalami efusi pleura.
Gambar 9— Pria 65 tahun dengan MERS-CoV yang mengalami kesulitan bernapas dan demam. CT-Scan pada hari pertama perawatan dengan pola opasitas crazypaving di lobus atas kiri. Udara yang terperangkap di peribronkiolar dicatat di superior segmen lobus bawah kanan (panah) dengan bukti bronkiolitis obliterans (panah).
Gambar 10— Pria 65 tahun dengan infeksi MERS-CoV yang mengalami kesulitan bernapas dan demam (pasien yang sama dengan gambar 9). CT-Scan koronal pada hari pertama perawatan menunjukkan pneumonia dengan tanda “atoll” (juga dikenal sebagai tanda “terbali-halo”) di paru kanan.
Gambar 11— Pria 44 tahun dengan penyakit ginjal stadium akhir dengan pola deteriorasi radiografi tipe 4 (pasien yang sama dengan gambar 4). FDG PET/ CTScan aksial yang menunjukkan area multiple FDG-avid sesuai dengan nodul dan kavitas.