BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Tumor otak adalah pertumbuhan sel-sel otak yang abnormal di dalam otak. Tumor otak primer apabila pertumbuhan sel abnormal terjadi pertama kali di dalam otak bukan merupakan metasase dari tumor di organ lainnya. Tumor otak mempunyai sifat yang berlainan dibandingkan tumor di tempat lain. Walaupun secara histologis jinak, mungkin akan bersifat ganas karena letaknya berdekatan atau di sekitar struktur vital dan dalam rongga tertutup yang sukar dicapai. Tumor otak merupakan keganasan kedua setelah leukemia yang sering ditemui pada masa anak-anak sekitar 20% dari kasus keganasan. Angka kejadian tumor otak pada masing-masing populasi berbeda-beda, nampaknya angka kejadian tumor otak meningkat pada negara industri. Di Eropa 3,14 per 100.000, di Asia pada populasi orang 1,31 per 100.000 penduduk. Kurang lebih 10% tumor terjadi pada anak usia kurang dari 2 tahun, 20% pada anak usia 2-5 tahun, 25% pada anak usia 5 sampai 10 tahun dan 45% pada anak di atas 10 tahun. Di Inggris 2% adalah tumor supra tentorial. Tumor otak meliputi sekitar 85-90% dari seluruh kanker susunan saraf pusat. Di Amerika Serikat insidensi tumor otak ganas dan jinak adalah 21.42 per 100.000 penduduk per tahun (7.25 per 100.000 penduduk untuk tumor otak ganas, 14.17 per 100.000 penduduk per tahun untuk tumor otak jinak). Angka insidens untuk tumor otak ganas di seluruh dunia berdasarkan angka standar populasi dunia adalah 3.4 per 100.000 penduduk. Angka mortalitas adalah 4.25 per 100.000 penduduk per tahun. Mortalitas lebih tinggi pada pria. Dari seluruh tumor primer susunan saraf pusat, astrositoma anaplastik dan glioblastoma multiforme (GBM) meliputi sekitar 38% dari jumlah keseluruhan, dan meningioma dan tumor mesenkim lainnya 27%. Sisanya terdiri dari tumor otak primer yang bervariasi, meliputi tumor hipofisis, schwannoma, limfoma SSP,
oligodendroglioma,
ependimoma,
astrositoma
derajat
rendah,
dan
meduloblastoma.
1
1.2 Tujuan Mengetahui etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis dan penatalaksaan tumor intrakranial.
1.3 Manfaat a. Menambah wawasan mengenai penyakit bedah khususnya mengenai tumor intrakranial. b. Sebagai bahan pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti kepaniteraan klinik bagian ilmu penyakit bedah saraf.
2
BAB II LAPORAN KASUS
II.1 Identitas Penderita Nama
: Ny. I
Umur
: 68tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Alamat
: Soborejo, Tegalrejo
Tanggal masuk
: 15 Februari 2018
No. CM
: 164706
II.2 Anamnesis Autoanamnesis dan alloanamnesis A. Keluhan utama: Kejang di lengan kiri B. Riwayat penyakit sekarang: Pasien datang ke IGD RST DR. Soedjono, Magelang rujukan dari RSUD Tidar dengan keluhan kejang di lengan kiri, saat kejang pasien dalam keadaan sadar. Kejang dirasakan selama 30 menit pasien mengatakan bahwa ini merupakan kejang yang terlama. Pasien mengaku sudah mengalami kejang seperti ini sejak 6 bulan yang lalu, kejang sudah dialami sebanyak 7 kali, saat pertama kali kejang, kejang berlangsung selama 10 menit. Selain itu, pasien juga mengeluh sering lupa sejak beberapa bulan sebelumnya. Keluhan disertai nyeri perut bagian bawah, mual (+), muntah (-), sakit kepala berat (-), pusing (+), penurunan nafsu makan (+), BAB dan BAK lancar. Pasien mengaku sudah di beritakan mengenai penyakit tumornya di RSUD Tidar, pasien belum pernah menjalani kemoterapi dan radioterapi. Pasien mengatakan bahwa 15 tahun yang lalu pasien pernah terjatuh dengan benturan di kepala dan terdapat benjolan di kepala, namun pasien tidak mengobati penyakitnya ke dokter dan dibiarkan sembuh sendiri.
3
C. Riwayat penyakit dahulu: - Riwayat Asma
: Disangkal
- Riwayat Diabetes Mellitus
: Disangkal
- Riwayat Hipertensi
: Diakui
- Riwayat Alergi Obat dan Makanan
: Disangkal
- Riwayat Operasi
: Disangkal
- Riwayat Trauma serupa sebelumnya
: Disangkal
C. Riwayat penyakit keluarga: - Riwayat Asma
: Disangkal
- Riwayat Diabetes Mellitus
: Disangkal
- Riwayat Hipertensi
: Disangkal
- Riwayat Alergi Obat dan Makanan
: Disangkal
D. Riwayat sosial ekonomi: Pasien tinggal bersama keluarga intinya. Biaya pengobatan ditanggung oleh BPJS.
II.3 Pemeriksaan Fisik A. Keadaan umum
: tampak sakit sedang
B. Kesadaran
: compos mentis
C. Vital sign Tekanan darah
: 120/70 mmHg
Nadi
: 89 x/menit
Pernafasan
: 20 x/menit
Suhu
: 36,8 º C
Sa. O2
: 99%
D. Status Generalisata Kepala
: normocephal
Mata
: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat isokor, refleks cahaya (+/+)
4
Hidung
: Tidak ada pernafasan cuping hidung, mukosa tidak hiperemis, sekret tidak ada, tidak ada deviasi septum
Telinga
: Simetris, tidak ada kelainan, otore (-/-)
Mulut
: Bibir tidak sianosis, gusi tidak ada perdarahan, lidah tidak kotor, faring tidak hiperemis
Leher
: Tidak ada deviasi trakhea, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid dan getah bening, JVP tidak meningkat
Thorax Paru-paru : Inspeksi
:Bentuk dan pergerakan pernafasan kanan-kiri simetris
Palpasi
: Fremitus taktil simetris kanan-kiri
Perkusi
: Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi
: Suara nafas vesikuler pada seluruh lapangan paru, wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
Jantung : Inspeksi
: Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi
: Ictus cordis tidak teraba.
Perkusi
: Batas atas sela iga III garis mid klavikula kiri Batas kanan sela iga V garis sternal kanan Batas kiri sela iga V garis midklavikula kiri
Auskultasi
: Bunyi jantung I – II murni, murmur (-)
Abdomen : Inspeksi
: Perut cembung, supel, distensi (-)
Auskultasi
: Bising usus (+) normal
Palpasi
: Hepar dan lien tidak membesar, nyeri tekan (-)
Perkusi
: Timpani
5
Ekstremitas : Superior
: Edema -/-, sianosis -/-, akral hangat, CRT <2 detik
Inferior
: Edema -/-, sianosis -/-, akral hangat, CRT <2 detik
Pemeriksaan Status Neurologis N.I Olfaktorius
Kanan
Kiri
Subjektif
Normal
Normal
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Normal
Normal
Warna
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Fundus okuli
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Pergerakan bola mata
Normal
Normal
Kedudukan bulbus
Normal
Normal
Strabismus
Tidak ada
Tidak ada
Nistagmus
Tidak ada
Tidak ada
Exophtalmus
Tidak ada
Tidak ada
Pupil
D: 2 mm
D: 3 mm
Bulat
Bulat
Normal
Normal
Menurun
Normal
Normal
Normal
Membuka mulut
Normal
Normal
Menggigit
Normal
Normal
Pergerakan rahang
Normal
Normal
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Dengan bahan (kopi) N. II Optikus Tajam penglihatan Lapang pandang
N. III Okulomotorius
Bentuk Pembukaan kelopak mata Refleks cahaya N. IV Troklearis Dapat bergerak ke medial bawah N. V Trigeminus
Refleks kornea
6
N. VI Abdusens Pergerakan bola mata ke
Normal
Normal
Mengerutkan dahi
Normal
Normal
Menutup mata
Normal
Normal
Memperlihatkan gigi
Normal
Normal
Normal
Normal
Rinne
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Weber
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Swabach
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Arcus faring
Normal
Normal
Uvula
Normal
Normal
Menelan
Normal
Normal
Mengangkat bahu
Normal
Normal
Memalingkan kepala
Normal
Normal
Menjulurkan lidah
Normal
Normal
Tremor lidah
Normal
Normal
Kekuatan lidah
Normal
Normal
lateral N. VII Fasialis
N. VIII Kokhlearis Suara berbisik
N. IX Glossofaringeus Refleks muntah N. X Vagus
N. XI Accesorius
N. XII Hipoglosus
7
E. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium (10 Februari 2018) Hb
: 12,3 g/dl
Ht
: 36,3 %
Eritrosit
: 4.000.000 /l
Leukosit
: 14.600 /ul
Trombosit
: 392.000 /ul
MCV
: 91.2 fl
MCH
: 30.9 pg
MCHC
: 33.9 g/dL
RDW
: 13 %
GDS
: 142 mg/dL
(H)
Natrium
: 134 mEq/L
(L)
Kalium
: 3.69 mEq/L
Klorida
: 110 mEq/L
Ureum
: 30.3 mg/dL
Kreatinin
: 0.79 mg/dL
Asam Urat
: 8.1 mg/dL
(H)
Kolestrol
: 205 mg/dL
(H)
Trigliserida
: 92 mg/dL
HDL kolestrol
: 47 mg/dL
LDL kolestrol
: 115 mg/dL
SGOT
: 12 U/L
SGPT
: 15 U/L
(H)
(H)
Laboratorium (15 Februari 2018) Hb
: 11 g/dl
(L)
Ht
: 31 %
(L)
Eritrosit
: 3.550.000 /l
(L)
Leukosit
: 13.400 /ul
(H)
Trombosit
: 318.000 /ul
MCV
: 87.2 fl
8
MCH
: 31.2 pg
MCHC
: 35.7 g/dL
RDW
: 11.9 %
CT/BT
: 15’/4’
Laboratorium (20 Januari 2018) Hb
: 12.2 g/dl
Ht
: 34.9 %
Eritrosit
: 3.540.000 /l
Leukosit
: 13.100 /ul
Trombosit
: 426.000 /ul
MCV
: 98.7 fl
MCH
: 34.5 pg
MCHC
: 35 g/dL
RDW
: 11.5 %
Rontgen Thoraks AP
Kesan: - Pulmo tak tampak kelainan - Kardiomegali (RVH)
9
Pemeriksaan CT-Scan Tanpa Kontras
- Tampak lesi dengan densitas hipodens, ada komponen kalsifikasi dan perifokal oedema di parietal dekstra - Cortical sulci parietal dekstra menyempit - Sulci dan cisterna lebih menyempit - Sistema ventrikel lateralis dekstra terdesak - Tak tampak midline shifting - Diferensiasi white gray matter baik, tak tampak deffect - Struktur para sella tampak masih dalam batas normal - Brainstem, cerebellopontine angel dan cerebellum tak tampak kelainan - Tak tampak diskontinuitas cortex tulang kalvaria
Kesan: Massa (SOL Cerebri) dengan kalsifikasi dan perifokal oedema di parietal dekstra
10
Pemeriksaan CT-Scan Dengan Kontras
- Tampak lesi dengan densitas hipodens, ada komponen kalsifikasi dan perifokal oedema di parietal dekstra - Cortical sulci parietal dekstra menyempit - Sulci dan cisterna lebih menyempit - Sistema ventrikel lateralis dekstra terdesak - Tak tampak midline shifting - Diferensiasi white gray matter baik, tak tampak deffect - Struktur para sella tampak masih dalam batas normal - Brainstem, cerebellopontine angel dan cerebellum tak tampak kelainan - Tak tampak diskontinuitas cortex tulang kalvaria
Kesan: Massa tumor cerebri lobus parietal dekstra
11
Pemeriksaan Elektrokardiografi
II.4 Resume Pasien Ny. I usia 68 tahun dengan keluhan kejang di lengan kiri, saat kejang pasien dalam keadaan sadar. Kejang dirasakan selama 30 menit pasien mengatakan bahwa ini merupakan kejang yang terlama. Pasien mengaku sudah mengalami kejang seperti ini sejak 6 bulan yang lalu, kejang sudah dialami sebanyak 7 kali, saat pertama kali kejang, kejang berlangsung selama 10 menit. Selain itu, pasien juga mengeluh sering lupa sejak beberapa bulan sebelumnya. Keluhan disertai nyeri perut bagian bawah, mual (+), muntah (-), sakit kepala berat (-), pusing (+), penurunan nafsu makan (+), BAB dan BAK lancar. Pasien mengatakan bahwa 15 tahun yang lalu pasien pernah terjatuh dengan benturan di kepala dan terdapat benjolan di kepala.
II.5 Assesment Tumor Cerebri Lobus Parietal Dekstra
II.6 Planning Operatif - Pro Craniotomy - Konsul anestesi - Cukur gundul - Siapkan PRC, Post Op rawat ICU, Premed: Inj. Ceftriaxone 2 g
12
Farmakologi - IVFD RL 20 tpm - Injeksi phenytoin 3x1 - Injeksi dexamethasone 3x1 - Injeksi ranitidin 2x1
II.8 Prognosis Quo ad vitam
: Dubia ad malam
Quo ad functionam
: Dubia ad malam
Quo ad sanactionam
: Dubia ad malam
II.9 Laporan Operasi Diagnosis pre-operasi
: Tumor Cerebri Lobus Parietal Dekstra
Diagnosis post-operasi
: Tumor Cerebri Lobus Parietal Dekstra
Tindakan operasi
: Craniotomy
Klasifikasi
: Elektif
Laporan operasi: - Pasien terlentang dalam general anestesi - Kepala hadap kiri, asepsis dan antisepsis daerah operasi - Insisi kulit bentuk tapal kuda diatas telinga - Insisi periosteum medial insisi kulit - Dilakukan kraniotomi, diperluas ke kranial - Insisi dura bentuk amplop - Tampak tumor melekat pada dura, lunak, batas sebagian tegas, dapat diangkat nearly total - Perdarahan dirawat - Dilakukan duraplasty - Tulang dikembalikan - Jahit lapis demi lapis
13
Instruksi pasca bedah: 1. Observasi kesadaran dan tanda vital 2. Puasa hingga bising usus (+) 3. Cek Hb post-op 4. Terapi - Injeksi ceftriaxone 2x1 g - Injkesi dexamethasone 2x1 Amp - Injeksi ranitidin 2x1 Amp - Injeksi fantoin 3x1 Amp - Injeksi plasminex 3x1 Amp
14
II.10 Follow Up
16 Februari 2018
S
O
A
P - IVFD RL 20 tpm,
Kejang
Tampak sakit sedang
Tumor
dilengan
GCS : E4V5M6
cerebri
kiri, pusing
Tanda Vital :
lobus
- Inj. Fenitoin 3x1
NaCl 100 cc
(+), mual
TD : 120/70 mmHg
parietal
- Inj. Dexa 3x1
(-), muntah
N : 85 x/ menit
dekstra
- Inj. Ranitidin 2x1
(-)
RR : 18 x/ menit
S : 36,6 oC
Sat O2 : 98%
17 Februari 2018
S
O
A
P - IVFD RL 20 tpm,
Kejang
Tampak sakit sedang
Tumor
dilengan
GCS : E4V5M6
cerebri
kiri, pusing
Tanda Vital :
lobus
- Inj. Fenitoin 3x1
NaCl 100 cc
(+), mual
TD : 120/90
parietal
- Inj. Dexa 3x1
(-), muntah
N : 78 x/ menit
dekstra
- Inj. Ranitidin 2x1
(-)
RR : 20 x/ menit
S : 36 oC
Sat O2 : 98%
15
18 Februari 2018
S
O
A
P - IVFD RL 20 tpm,
Kejang
Tampak sakit sedang
Tumor
dilengan
GCS : E4V5M6
cerebri
kiri, pusing
Tanda Vital :
lobus
- Inj. Fenitoin 3x1
NaCl 100 cc
(+), mual
TD : 130/90
parietal
- Inj. Dexa 3x1
(-), muntah
N : 80 x/ menit
dekstra
- Inj. Ranitidin 2x1
(-)
RR : 20 x/ menit
S : 36.2 oC
Sat O2 : 99%
19 Februari 2018
S
O
A
Kejang
Tampak sakit sedang
Tumor
dilengan
GCS : E4V5M6
cerebri
kiri, pusing
Tanda Vital :
lobus
(+), mual
TD : 160/100
parietal
(-), muntah
N : 84 x/ menit
dekstra
(-)
RR : 20 x/ menit
S : 36 oC
Sat O2 : 99%
P - IVFD NaCl 20 tpm - Inj. Ceftriaxone 1 g - Inj. Fenitoin 3x1 - Inj. Dexa 3x1 Inj. Ranitidin 2x1
16
20 Februari 2018
S
O
A
P - IVFD NaCl 20
Kejang
Tampak sakit sedang
Tumor
dilengan
GCS : E4V5M6
cerebri
kiri, pusing
Tanda Vital :
lobus
- Inj. Fenitoin 3x1
tpm
(+), mual
TD : 160/100
parietal
- Inj. Dexa 3x1
(-), muntah
N : 84 x/ menit
dekstra
- Inj. Ranitidin 2x1
(-)
RR : 20 x/ menit
S : 36 oC
Sat O2 : 99%
21 Februari 2018
S
O
A
P
Pasien
Tampak sakit sedang
Post op
- Oksigen 2-4 lpm
mengeluh
GCS : E4V5M6
craniotomy
- IVFD Asering 20
lemas, nyeri
Tanda Vital :
H+1
tpm
luka bekas
TD : 136/68
operasi (+),
N : 75 x/ menit
pusing (+),
RR : 14 x/ menit
- Inj. Fenitoin 3x1
mual (-),
S : 36.5 oC
- Inj. Dexa 3x1
muntah (-)
Sat O2 : 99%
- Inj. Ranitidin 2x1
- Inj. Ceftriaxone 2x1 g
- Inj. Plasminex 3x1 Status neurologis: Sensoris : normal Motorik : 0/5/0/5
17
22 Februari 2018
S
O
A
P
Pasien
Tampak sakit sedang
Post op
- IVFD RL 20 tpm
mengeluh
GCS : E4V5M6
craniotomy
- Inj. Ceftriaxone
lemas, nyeri
Tanda Vital :
H+2
2x1 g
luka bekas
TD : 146/65
- Inj. Fenitoin 3x1
operasi (+),
N : 65 x/ menit
- Inj. Dexa 3x1
pusing (+),
RR : 18 x/ menit
- Inj. Ranitidin 2x1
batuk kering
S : 37 oC
- Inj. Plasminex 3x1
(+), nyeri
Sat O2 : 99%
- Inj. Ketorolac 3x1
perut saat batuk, mual
Status neurologis:
(-), muntah
Sensoris : normal
(-)
Motorik : 0/5/0/5
23 Februari 2018
S
O
A
P
Pasien
Tampak sakit sedang
Post op
- IVFD RL 20 tpm
mengeluh
GCS : E4V5M6
craniotomy
- Inj. Ceftriaxone
nyeri luka
Tanda Vital :
H+3
2x1 g
bekas
TD : 130/70
- Inj. Fenitoin 3x1
operasi (+),
N : 79 x/ menit
- Inj. Dexa 3x1
pusing (+),
RR : 20 x/ menit
- Inj. Plasminex 3x1
batuk kering
S : 36 oC
- Inj. Ketorolac 3x1
(+), nyeri
Sat O2 : 99%
- Inj. Pantoprazole
perut saat
2x1
batuk, mual
Status neurologis:
- Kodein tab 3x1
(-), muntah
Sensoris : normal
- OBH syr 3x1
(-)
Motorik : 0/5/0/5
18
24 Februari 2018
S
O
A
P
Pasien
Tampak sakit sedang
Post op
- IVFD RL 20 tpm
mengeluh
GCS : E4V5M6
craniotomy
- Inj. Ceftriaxone
nyeri luka
Tanda Vital :
H+4
2x1 g
bekas
TD : 140/80
- Inj. Fenitoin 3x1
operasi (+),
N : 88 x/ menit
- Inj. Dexa 3x1
pusing (+),
RR : 20 x/ menit
- Inj. Plasminex 3x1
batuk kering
S : 36.3 oC
- Inj. Ketorolac 3x1
(+), nyeri
Sat O2 : 99%
- Inj. Pantoprazole
perut saat
2x1
batuk, mual
Status neurologis:
- Kodein tab 3x1
(-), muntah
Sensoris : normal
- OBH syr 3x1
(-)
Motorik : 0/5/0/5
25 Februari 2018
S
O
A
P
Pasien
Tampak sakit sedang
Post op
- IVFD RL 20 tpm
mengeluh
GCS : E4V5M6
craniotomy
- Inj. Ceftriaxone
nyeri luka
Tanda Vital :
H+5
2x1 g
bekas
TD : 140/80
- Inj. Fenitoin 3x1
operasi (+),
N : 75 x/ menit
- Inj. Dexa 3x1
pusing (+),
RR : 20 x/ menit
- Inj. Plasminex 3x1
batuk kering
S : 36.6 oC
- Inj. Ketorolac 3x1
(+), nyeri
Sat O2 : 99%
- Inj. Pantoprazole
perut saat
2x1
batuk, mual
Status neurologis:
- Kodein tab 3x1
(-), muntah
Sensoris : normal
- OBH syr 3x1
(-)
Motorik : 0/5/0/5
19
BAB III TINJAUAN PUSTAKA III.1 Sistem Saraf Pusat Otak merupakan jaringan yang konsistensinya kenyal menyerupai agar dan terletak di dalam ruangan yang tertutup oleh tulang, yaitu cranium (tengkorak), yang secara absolut tidak dapat bertambah volumenya, terutama pada orang dewasa. Berat otak manusia sekitar 1400 gram dan tersusun oleh kurang lebih 100 triliun neuron atau dapat diibaratkan sejumlah bintang di langit. Masingmasing neuron mempunyai 1000 sampai 10.000 korteks sinaps dengan sel saraf lainnya, sehingga mungkin jumlah keseluruhan sinaps di dalam otak dapat mencapai 100 triliun.
Gambar III.1 Anatomi Lapisan Otak
Otak terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak yang dibentuk oleh mesensefalon, pons, dan medulla oblongata. Jaringan otak dillindungi oleh beberapa pelindung, mulai dari permukaan luar adalah kulit kepala, tulang tengkorak, meningens (selaput otak), dan likuor serebrospinal. Meningens terdiri dari tiga lapisan, yaitu: Duramater (meningens cranial terluar), arakhnoid (lapisan tengah antara duramater dan piamater), dan piamater (lapisan selaput otak yang paling dalam). Di tempat-tempat tertentu duramater membentuk sekat-
20
sekat rongga cranium dan membaginya menjadi tiga kompartemen. Tentorium merupakan sekat yang membagi rongga cranium menjadi supratentorial dan infratentorial, memisahkan bagian posterior-inferior hemisfer serebri dari serebelum. Bila kalvaria dan dura mater disingkirkan, di bawah lapisan arachnoid mater kranialis dan piamater kranialis terlihat gyrus, sulkus, dan fisura korteks serebri. Sulkus dan fisura korteks serebri membagi hemisfer serebri menjadi daerah lebih kecil yang disebut lobus.
Gambar III.2 Anatomi Otak 1. Serebrum (Otak Besar) Serebrum adalah bagian terbesar dari otak yang terdiri dari dua hemisfer. Hemisfer kanan berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah kiri dan hemisfer kiri berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah kanan. Masingmasing hemisfer terdiri dari empat lobus. Bagian lobus yang menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang menyerupai parit disebut sulkus. Keempat lobus tersebut masing-masing adalah lobus frontal, lobus parietal, lobus oksipital dan lobus temporal (CDC, 2004). a. Lobus parietal merupakan lobus yang berada di bagian tengah serebrum. Lobus parietal bagian depan dibatasi oleh sulkus sentralis dan bagian belakang oleh garis yang ditarik dari sulkus parieto-oksipital ke ujung posterior sulkus lateralis (Sylvian). Daerah ini berfungsi untuk menerima
21
impuls dari serabut saraf sensorik thalamus yang berkaitan dengan segala bentuk sensasi dan mengenali segala jenis rangsangan somatik (Ellis, 2006). b. Lobus frontal merupakan bagian lobus yang ada di bagian paling depan dari serebrum. Lobus ini mencakup semua korteks anterior sulkus sentral dari Rolando. Pada daerah ini terdapat area motorik untuk mengontrol gerakan otot-otot, gerakan bola mata; area broca sebagai pusat bicara; dan area prefrontal (area asosiasi) yang mengontrol aktivitas intelektual (Ellis, 2006). c. Lobus temporal berada di bagian bawah dan dipisahkan dari lobus oksipital oleh garis yang ditarik secara vertikal ke bawah dari ujung atas sulkus lateral. Lobus temporal berperan penting dalam kemampuan pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara (Ellis, 2006). d. Lobus oksipital berada di belakang lobus parietal dan lobus temporal. Lobus ini berhubungan dengan rangsangan visual yang memungkinkan manusia mampu melakukan interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina mata (Ellis, 2006).
2. Serebelum (Otak Kecil) Serebelum atau otak kecil adalah komponen terbesar kedua otak. Serebelum terletak di bagian bawah belakang kepala, berada di belakang batang otak dan di bawah lobus oksipital, dekat dengan ujung leher bagian atas. Serebelum adalah pusat tubuh dalam mengontrol kualitas gerakan. Serebelum juga mengontrol banyak fungsi otomatis otak, diantaranya: mengatur sikap atau posisi tubuh, mengontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan tubuh. Selain itu, serebelum berfungsi menyimpan dan melaksanakan serangkaian gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan mengendarai mobil, gerakan tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu dan sebagainya (Clark, 2005).
3. Batang Otak Batang otak berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala bagian dasar dan memanjang sampai medulla spinalis. Batang otak bertugas untuk
22
mengontrol tekanan darah, denyut jantung, pernafasan, kesadaran, serta pola makan dan tidur. Bila terdapat massa pada batang otak maka gejala yang sering timbul berupa muntah, kelemahan otat wajah baik satu maupun dua sisi, kesulitan menelan, diplopia, dan sakit kepala ketika bangun (CDC, 2004).
Batang otak terdiri dari tiga bagian, yaitu: a. Mesensefalon atau otak tengah (disebut juga mid brain) adalah bagian teratas dari batang otak yang menghubungkan serebrum dan serebelum. Saraf kranial III dan IV diasosiasikan dengan otak tengah. Otak tengah berfungsi dalam hal mengontrol respon penglihatan, gerakan mata pembesaran pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan pendengaran (Moore & Argur, 2007). b. Pons merupakan bagian dari batang otak yang berada diantara midbrain dan medulla oblongata. Pons terletak di fossa kranial posterior. Saraf Kranial (CN) V diasosiasikan dengan pons (Moore & Argur, 2007). c. Medulla oblongata adalah bagian paling bawah belakang dari batang otak yang akan berlanjut menjadi medulla spinalis. Medulla oblongata terletak juga di fossa kranial posterior. CN IX, X, dan XII disosiasikan dengan medulla, sedangkan CN VI dan VIII berada pada perhubungan dari pons dan medulla (Moore & Argur, 2007).
23
III. 2 Neoplasma III.2.1 Definisi Neoplasma secara harfiah berarti pertumbuhan baru. Suatu neoplasma sesuai definisi Willis adalah ‘massa abnormal jaringan yang pertumbuhannya berlebihan dan tidak terkoordinasi dengan pertumbuhan jaringan yang normal serta terus demikian walaupun rangsangan yang memicu pertumbuhan tersebut telah berhenti. Hal mendasar tentang asal neoplasma adalah hilangnya responsivitas terhadap faktor pengendali pertumbuhan yang normal. Sel neoplastik disebut mengalami transformasi karena terus membelah diri, tidak peduli terhadap pengaruh regulatorik yang mengendalikan pertumbuhan sel normal. Selain itu, neoplasma berperilaku seperti parasit dan bersaing dengan sel jaringan normal untuk memenuhi kebutuhan metaboliknya.
III.2.2 Tatanama Semua tumor jinak dan ganas memiliki dua komponen dasar (1) parenkim yang telah mengalami transformasi atau neoplastik dan (2) stroma penunjang non-neoplastik yang berasal
dari pejamu dan terdiri atas jaringan ikat dan
pembuluh darah. Tumor jinak secara umum diberi nama dengan akhiran –oma ke jenis sel asal tumor tersebut. Suatu tumor jinak yang berasal dari jaringan fibrosa adalah fibroma, tumor tulang rawan yang jinak disebut kondroma. Tatanama untuk tumor epitel jinak lebih rumit. Tumor ini kadang kadang diklasifikasikan berdasarkan pola mikroskopis dan kadang kadang pola makroskopis. Kata adenoma diterapkan untuk neoplasma yang berasal dari kelnejar tetapi tidak harus memperlihatkan pola kelenjar. Papiloma adalah suatu neoplasma epitel jinak yang tumbuh disuatu permukaan dan menghasilkan tonjolan mirip jari baik secara mikroskopis maupun makroskopis. Tumor ganas pada dasarnya mengikuti tatanama tumor jinak dengan penambahan dan pengecualian tertentu. Neoplasma yang berasal dari jaringan mesenkim atau turunannya disebut sarkoma. Kanker yang berasal dari jaringan fibrosa disebut fibrosarkoma. Neoplasma ganas yang berasal dari sel epitel disebut
24
karsinoma. Karsinoma dibagi lebih lanjut yaitu karsinoma sel skuamosa mendandakan suatu kanker yang sel tumornya mirip dengan sel epitel skuamous berlapis dan adenokarsinoma yang berarti lesi yang sel epitel neoplastiknya tumbuh dalam pola kelenjar.
Tabel III.1 Tatanama Tumor
III.2.3 Epidemiologi Kanker adalah suatu gangguan pertumbuhan dan perilaku sel, kausa utamanya perlu didefinisikan pada tingkat seluler dan molekuler. Secara keseluruhan, diperkirakan bahwa sekitar 1,3 juta kasus kanker baru akan terjadi
25
pada tahun 2002 dan 555.000 orang akan meninggal akibat kanker di Amerika Serikat.
Gambar III.3 Prevalensi Neoplasma
Angka kematian berbagai bentuk neoplasma ganas telah berubah, yang terutama mencolok adalah peningkatan bermakna angka kematian kanker keseluruha diantara lelaki yang terutama disebabkan oleh kanker paru, tetapi angka ini akhirnya mulai menurun. Sebaliknya angka kematian keseluruhan diantara perempuan sedikit menurun terutama disebabkan oleh penurunan angka kematian kanker uterus, lambung dan usus besar.
III.2.4 Karsinogenesis Kerusakan genetik non-letal merupakan hal sentral dalam karsinogenesis. Kerusakan atau mutasi genetik semacam ini mungkin didapat akibat pengaruh lingkungan, seperti zat kimia, radasi atau virus atau diwarisakan dalam sel germinativum. Tiga kelas gen regulatorik normal yaitu protoonkogen yang mendorong pertumbuhan, gen penekan tumor yang menghambat pertumbuhan dan gen yang megatur kematian sel terencana adalah sasaran utama pada kerusakan genetik. Selain ketiga kelas gen diatas, kategori gen keempat yaitu gen yang mengatur
26
perbaikan DNA yang rusak berkaitan dengan karsinogenesis. Gen yang memperbaiki DNA mengatur proliferasi atau kelangsungan hidup sel. Kerusakan pada gen yang memperbaiki DNA dapat memudahkan terjadinya mutasi luas digenom dan transformasi neoplastik.
Gambar III.4 Karsinogenesis
Karsinogenesis adalah suatu proses banyak tahap baik pada tingkat fenotipe maupun genotipe. Suatu neoplasma ganas memiliki sifat fenotipe misalnya pertumbuhan berlebihan, sifat invasif lokal, dan kemampuan metastasis jauh. Sifat ini diperoleh secara bertahap, suatu fenomena yang disebut tumor
27
progression. Pada tingkat molekular, progresi ini terjadi akibat akumulasi kelainan genetik yang pada sebagian kasus dipermudah oleh adanya gangguan pada perbaikan DNA. Setiap gen kanker memiliki fungsi spesifik yang disregulasinya ikut berperan dalam awal mula perkembangan keganasan. Terdapat 6 tanda utama kanker yaitu: 1. Self Sufficiency (menghasilkan sendiri) sinyal pertumbuhan 2. Insensitivitas terhadap sinyal penghambat pertumbuhan 3. Menghindar apoptosis 4. Potensi replikasi tanpa batas 5. Angiogenesis berkelanjutan 6. Kemampuan menginvasi dan metastasis
Tabel III.2 Perbedaan Tumor Jinak dan Ganas
Gen yang meningkatkan pertumbuhan otonom pada sel kanker disebut onkogen. Gen ini berasal dari mutasi protoonkogen dan ditandai dengan kemampuan mendorong pertumbuhan sel walaupun tidak terdapat sinyal pendorong pertumbuhan. Pada keadaan fisiologis proliferasi sel dapat dengan mudah dibagi menjadi langkah berikut: 1. Terikatnya suatu faktor pertumbuhan ke reseptor spesifik membran sel
28
2. Aktivasi reseptor faktor pertumbuhan secara transien dan terbatas, yang kemudian mengaktifkan beberapa protein transduksi sinyal di lembar membran plasma 3. Transmisi sinyal ditransduksi melintasi sitosol menuju inti sel melalui perantara kedua 4. Induksi dan aktivasi regulatorik inti sel yang memicu transkripsi DNA 5. Sel masuk kedalam dan mengikuti siklus sel yang akhirnya menyebabkan sel membelah
Gambar III.5 Model Pertumbuhan Sel Mekanisme yang relatif sering digunakan oleh sel kanker untuk memperoleh otonomi pertumbuhan adalah dengan mutasi gen yang mengkode berbagai komponen di jalur penghantar sinyal. Molekul penghantar sinyal ini menghubungkan reseptor faktor pertumbuhannya ke sasarannya di inti sel. Banyak protein semacam ini berhubungan dengan lembar dalam membran plasma tempat protein ini menerima sinyal dari reseptor faktor pertumbuhan yang telah aktif dan menyalurkan sinyal tersebut ke inti sel. Dua anggota penting ini adalah RAS dan ABL. Apabila sel normal dirangsang melalui suatu reseptor faktor pertumbuhan, RAS inaktif (terikat GDP) diaktifkan menjadi bentuk yang terikat ke GTP. RAS aktif merekrut RAF-1 dan merangsang jalur MAP-kinase untuk menyalurkan
29
sinyal pendorong pertumbuhan ke nukleus. Protein RAS mutan mengalami aktivasi terus menerus karena tidak mampu menghidrolisis GTP sehingga sel terus menerus terangsang tanpa adanya pemicu eksternal. Melekatnya RAS ke membran sel oleh gugus famesil merupakan hal esensial untuk kerjanya dan obat yang merangsang farnesilasi dapat menghambat kerja RAS. Walaupun onkogen memproduksi berbagai protein yang mendorong pertumbuhan sel, terdapat produk penekan tumor yang menjadi rem bagi proliferasi sel. Walaupun telah banyak diketahui tentang sirkuit yang berperan sebagai rem bagi siklus sel, molekul yang menyalurkan sinyal antiproliferasi ke sel masih belum diketahui pasti. Gen yang paling dikenal adalah TGF-β, pada sebagian besar sel epitel, endotel dan hemopoietik normal, TGF-β adalah inhibitor kuat bagi proliferasi. Molekul ini mengendalikan proses sel melalui ikatan dengan 3 reseptor yaitu tipe I, II, dan III. Efek antiproliferasi TGF-β diperantarai teruatama oleh jalur RB. TGF-β menghentikan proliferasi sel di fase G-1 dengan merangsang produksi CDKI p15 dan dengan menghambat transkripsi CDK-2, CDK-4 serta siklin A dan E. Pada banyak bentuk kanker, efek jalur TGF-β yang mengenai reseptor TGF-β tipe II
atau molekul SMAD yang berfungsi
menyalurkan sinyal antiproliferasi dari reseptor ke inti sel.
Gambar III.6 Siklus Sel
Selain
TGF-β,
gen
yang
berperan
penting dalam
menghambat
pertumbuhan sel yaitu gen TP-53. Secara singkat TP-53 mendeteksi kerusakan
30
DNA melalui mekanisme yang tidak diketahui dan membantu perbaikan DNA dengan menyebabkan penghentian G-1 dan memicu gen yang memperbaiki DNA. Sel yang mengalami kerusakan DNA dan tidak dapat diperbaiki diarahkan oleh TP-53 untuk mengalami apoptosis. Apabila terjadi kehilangan TP-53 secara homozigot, kerusakan DNA tidak dapat diperbaiki dan mutasi akan terfiksasi di sel ayng membelah sehingga sel akan masuk jalan satu arah menuju keganasan.
Gambar III.7 Aktivitas gen TP-53 Untuk
memenuhi
kebutuhannya,
sel
tumor
membutuhkan
neovaskularisasi. Neovaskularisasi memiliki efek ganda pada pertumbuhan tumor. Perfusi menyalurkan nutrien dan oksigen dan sel endotel yang baru terbentuk merangsang pertumbuhan sel tumor disekitarnya denga mengeluarkan berbagai faktor
pertumbuhan seperti IGF, PDGF, GM-CSF dan VEGF yang dapat
mengakibatkan pertumbuhan tumor semakin tidak terkendali. 31
Penyebaran sel tumor adalah suatu proses rumit yang melibatkan serangkaian tahapan, diantaranya yaitu: 1. Terlepasnya sel tumor satu sama lain 2. Melekatnya sel tumor ke komponen matriks 3. Penguraian matriks ekstraseluler 4. Migrasi tumor
Gambar III.8 Proses Metastasis Tumor
32
III.2.5 Diagnosis Kanker secara Laboratories III.2.5.1 Metode Morfologik a.
Frozen plasma Diagnosis frozen plasma memungkinkan kita menentukan apakah lesi ganas dan mungkin memerlukan eksisi luas atau pengambilan sampel kelenjar getah bening ketiak untuk mengetahui penyebaran.
b. Aspirasi jarum halus Asprasi jarum halus terhadap tumor adalah pendekatan yang populer. Tindakan ini berupa aspirasi dari suatu massa diikuti pemeriksaan apusan sitologi. Prosedur ini paling sering diterapkan pada lesi yang teraba di payudara, KGB, kelenjar liur dan struktur yang lebih dalam seperti hati, pankreas dan KGB panggul c. Apusan sitologi (Papanicalaou) Merupakan metode deteksi kanker, pemeriksaan ini digunakan secara luas untuk menemukan karsinoma serviks, sering pada stadium in situ, serta banyak pada keganasan lain seperti karsinoma bronkogenik, tumor kandung kemih dan prostat, karsinoma lambung. d. Imunohistokimia Merupakan pemeriksaan melaului deteksi sitokeratin oleh antibodi monoklonal spesifik yang dilabel oleh peroksidase e. Flow Cytometri Metode ini menggunakan antibodi fluoresen terhadap molekul permukaan sel dan antigen diferensiasi untuk memperoleh fenotipe sel ganas.
III.2.5.2 Pemeriksaan Biokimiawi Pemeriksaan Radioimmunoassay untuk hormon dalam darah mungkin dapat menunjukan adanya tumor pada sistem endokrin. Selain itu, telah ditemukan sejumlah penanda tumor dalam darah diantaranya yaitu CEA dan α-Fetoprotein. CEA dialporkan positif pada 60-90% karsinoma kolorektal, 50-80% karsinoma pankreas, 25-50% tumor lambung. Sedangkan peningkatan kadar α-Fetoprotein dalam darah ditemukan terutama pada kanker yang terutama berasal dari hati dan sisa yolk sac di gonad.
33
III. 3 Tumor Cerebri III.3.1 Definisi Tumor otak merupakan suatu lesi ekspansif yang bersifat jinak (benigna) ataupun ganas (maligna), membentuk massa dalam ruang tengkorak kepala (intra cranial). Neoplasma SSP primer sedikit berbeda dengan neoplasma yang timbul di tempat lain, dalam artian bahwa bahkan lesi yang secara hitologis jinak, dapat menyebabkan kematian karena penekanan terhadap struktur vital. Selain itu, berbeda dengan neoplasma yang timbul di luar SSP, bahkan tumor otak primer yang secara histologis ganas jarang menyebar kebagian tubuh lain (Kumar et al., 2007). Tumor otak intrakranial dapat diklasifikasikan menjadi tumor otak benigna dan maligna. Tumor otak benigna umumnya ekstra-aksial, yaitu tumbuh dari meningen, saraf kranialis, atau struktur lain dan menyebabkan kompresi ekstrinsik pada substansi otak. Meskipun dinyatakan benigna secara histologis, tumor ini dapat mengancam nyawa karena efek yang ditimbulkan. Tumor maligna sendiri umumnya terjadi intra-aksial yaitu berasal dari parenkim otak. Tumor maligna dibagi menjadi tumor maligna primer yang umumnya berasal dari sel glia dan tumor otak maligna sekunder yang merupakan metastasis dari tumor maligna di bagian tubuh lain. Pada pasien tumor otak yang berusia tua dengan atrofi otak, kejadian edema otak jarang menimbulkan peningkatan tekanan intra kranial, mungkin dikarenakan ruang intrakranial yang berlebihan. Hal ini dapat menjelaskan tidak adanya papiledema pada pasien berusia tua. Muntah lebih sering terjadi pada anak-anak dibandingkan dengan dewasa dan biasanya berhubungan dengan lesi di daerah infratentorial.
III.3.2 Etiologi Penyebab tumor hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti, walaupun telah banyak penyelidikan yang dilakukan. Adapun faktor-faktor yang perlu ditinjau, yaitu:
34
1. Herediter Riwayat tumor otak dalam satu anggota keluarga jarang ditemukan kecuali pada meningioma, astrositoma dan neurofibroma dapat dijumpai pada anggotaanggota sekeluarga. Sklerosis tuberose atau penyakit Sturge-Weber yang dapat dianggap sebagai manifestasi pertumbuhan baru, memperlihatkan faktor familial yang jelas. Selain jenis-jenis neoplasma tersebut tidak ada bukti-bukti yang kuat untuk memikirkan adanya faktor-faktor hereditas yang kuat pada neoplasma. 2. Sisa-sisa Sel Embrional (Embryonic Cell Rest) Bangunan-bangunan embrional berkembang menjadi bangunan-bangunan yang mempunyai morfologi dan fungsi yang terintegrasi dalam tubuh. Tetapi ada kalanya sebagian dari bangunan embrional tertinggal dalam tubuh, menjadi ganas dan merusak bangunan di sekitarnya. Perkembangan abnormal itu dapat terjadi pada kraniofaringioma, teratoma intrakranial dan kordoma. 3. Radiasi Jaringan dalam sistem saraf pusat peka terhadap radiasi dan dapat mengalami perubahan degenerasi, namun belum ada bukti radiasi dapat memicu terjadinya suatu glioma. Pernah dilaporkan bahwa meningioma terjadi setelah timbulnya suatu radiasi. 4. Virus Banyak penelitian tentang inokulasi virus pada binatang kecil dan besar yang dilakukan dengan maksud untuk mengetahui peran infeksi virus dalam proses terjadinya neoplasma, tetapi hingga saat ini belum ditemukan hubungan antara infeksi virus dengan perkembangan tumor pada sistem saraf pusat. Penyelidikan tentang substansi karsinogen sudah lama dan luas dilakukan. Kini telah
diakui
bahwa
ada
substansi
yang
karsinogenik
seperti
methylcholanthrone, nitroso-ethyl-urea. Ini berdasarkan percobaan yang dilakukan pada hewan.
35
III.3.3 Klasifikasi Klasifikasi tumor otak menurut lokasi, yaitu : 1. Supratentorial, yaitu Tumor yang terletak di atas tentorium serebelli 2. Infratentorial atau subtentorial, yaitu : Tumor yang terletak di bawah tentorium serebelli dalam fossa Kranni Posterior
Klasifikasi tumor otak seluler berdasarkan histologi, yaitu : 1. Tumor Glia Astrosit tumor Non-infiltrat (Juvenile Pilositik, Subependimal) Infiltratif (Well differentiated midly and moderately anaplastic astrositoma, glioblastoma, multiforme) Ependymal tumor Myxopapillary and well differentiated ependimoma Anaplastik ependimoma Ependimoblastoma Oligodendroglial tumor Well differentiated oligodendroglioma Anaplastik oligodendroglioma Mixed tumor Mixed astrositoma-ependimoma Mixed astrositoma-oligodendroglioma Mixed astrositoma-ependimoma-oligodendriglioma Meduloblastoma
2. Tumor Non-glia Pineal parenkim tumor Pineostioma Pineoblastoma Astrositoma Germ tumor Germinoma
36
Embrional karsinoma Teratoma Craniopharingioma Meningioma Meningioma Maligna meningioma Choroid plexus tumor Choroid plexus papiloma Anaplastik choroids plexus papilloma
Pembagian tumor menurut asal sel, yaitu : 1. Tumor otak primer Tumor yang berasal dari jaringan otak, diklasifikasikan berdasarkan tipe jaringan asal, yaitu : 1) Glioma a. Astrositoma, yaitu : Tumor otak yang berasal dari astrosit, yaitu sel kecil seperti bintang, pada orang dewasa terdapat pada serebrum dan pada anak-anak dapat terjadi di batang otak, serebrum dan serebellum. Merupakan 25% dari seluruh tumor otak. b. Pilositik
astrositoma,
yaitu
non-infiltrating
astrositoma,
berdiferensiasi, baik, jarang berubah, mampu diangkat semua dengan operasi. Pada anak banyak pada cerebellum dan pada orang dewasa banyak terdapat pada korteks serebri. c. Glioblastoma Multiforme, yaitu tumor otak yang tumbuh cepat, berasal dari astrosit, astroblas, spongioblas. Banyak pada usia 45 – 55 tahun. d. Ependimoma, berasal dari sel ependim yang ada di dinding ventrikel, dapat juga terjadi di medulla spinalis. Bisa terdapat pada semua umur, terutama pada anak-anak dan dewasa.
37
Gambaran Penumpukan zat Kontras pada Tumor di Ventrikel Lateral – Ependimoma
e. Oligodendroglioma, berasal dari sel yang menghasilkan myelin untuk melindungi saraf, yang bermula dari serebrum. Tumbuh lambat dan tidak menyebar ke jaringan otak disekeliling. Sering terjadi pada usia pertengahan pada dewasa tetapi bisa terdapat pada semua umur.
2) Medulloblastoma, sebelumnya diduga berasal dari sel glia, tetapi pada penelitian disimpulkan bahwa tumor ini berasal dari sel saraf yang primitif yang secara normal tidak ada pada tubuh setelah lahir, kadang disebut Primitif Neuro Ektoderma Tumor (PNET). Sering terdapat di Serebellum. Sering terjadi pada anak-anak terutama anak laki-laki dan puncak berada pada 3 – 5 tahun. Cenderung metastasis relatif tinggi
Gambaran MRI Meduloblastoma di Cerebellum
3) Meningioma, berasal dari Meningen, bersifat jinak karena tumbuhnya sangat lambat dan otak mampu untuk menerima adanya meningioma, sering tumbuh sampai cukup besar baru memberikan gejala. Banyak terdapat pada wanita antara 30 – 50 tahun
38
Gambaran CT-Scan venogram – potongan koronal Meningioma di Sinus Sagitalis Superior
4) Schwannoma, tumor jinak berasal dari sel Schwan, yang menghasilkan myelin yang melindungi saraf akustikus untuk pendengaran. Banyak pada orang dewasa, dan ternyata 2 kali lipat lebih banyak pada wanita daripada laki-laki
5) Craniopharingioma, tumor berasal dari kelenjar pituitary dekat hipotalamus, karena dapat menekan atau merusak hipotalamus dan dapat menyebabkan gangguan fungsi vital dan banyak terdapat pada anak-anak dan dewasa.
Gambaran MRI T1 – Postkontras Potongan Koronal (A) dan Sagital (B) Tumor Kistik Selar dan Supraselar Kraniofaringioma 6) Germ Cell Tumor, berasal dari sel primitif sel kelamin atau dari germ sel, sering disebut Germinoma 7) Tumor Pineal, terjadi disekitar kelenjar pineal, yaitu suatu organ yang kecil di dekat pusat otak. Tumbuh lambat (Pineositoma), dapat tumbuh
39
cepat (Pineoblastoma). Daerah pineal sulit dicapai dan sering tidak dapat diangkat.
2. Tumor otak sekunder Tumor yang tumbuh ketika kanker menyebar dari tempat lain ke otak dan menyebabkan tumor otak. Tumor sekunder tidak sama dengan tumor otak primer, karena sel yang terdapat pada tumor otak sekunder mirip dengan sel asal tumor metastasis tersebut yang abnormal. Terapi tergantung pada asal tumor dan perluasan penyebaran tumor, umur, keadaan umum pasien, respon terhadap pengobatan sebelumnya.
Pembagian stadium tumor menurut diferensiasi tumor yang tampak secara mikroskopis : Derajat I
: Sifat kurang agresif, tumbuh lambat, gambar sel hampir normal, bila dilakukan operasi maka merupakan terapi yang efektif (diferensiasi 75-100%)
Derajat II
: Relatif tumbuh lambat, ada sel yang abnormal di bawah mikroskop, menginvasi jaringan normal, dapat timbul kembali bila diangkat (diferensiasi 50-75%)
Derajat III
: Cenderung tumbuh lebih cepat, menginfiltrasi dan dapat timbul kembali bila diangkat (diferensiasi 25-50%)
Derajat IV
: Tumbuh sangat cepat, bersifat agresif, gambaran bizarre pada mikroskop (diferensiasi 0-25%)
III.3.4 Manifestasi Klinis Gejala yang timbul pada pasien dengan kanker otak tergantung dari lokasi dan tingkat pertumbuhan tumor. Kombinasi gejala yang sering ditemukan adalah peningkatan tekanan intrakranial (sakit kepala hebat disertai muntah proyektil), defisit neurologis yang progresif, kejang, penurunan fungsi kognitif. Pada glioma derajat rendah gejala yang biasa ditemui adalah kejang, sementara glioma derajat tinggi lebih sering menimbulkan gejala defisit neurologis progresif dan tekanan intrakranial meningkat.
40
Tekanan Tinggi Intrakranial Trias gejala klasik dari sindroma tekanan tinggi intrakranial adalah: nyeri kepala, muntah proyektil, dan papiledema. Keluhan nyeri kepala disini cenderung bersifat intermittent, tumpul, berdenyut dan tidak begitu hebat terutama di pagi hari karena selama tidur malam PCO2 serebral meningkat sehingga mengakibatkan peningkatan CBF (Cerebral Blood Flow) dan dengan demikian mempertinggi tekanan intrakranial. Juga lonjakan sejenak seperti karena batuk, mengejan atau berbangkis memperberat nyeri kepala. Nyeri dirasa berlokasi di sekitar daerah frontal atau oksipital. Penderita sering kali disertai muntah yang “menyemprot” (proyektil) dan tidak didahului oleh mual. Hal ini terjadi oleh karena tekanan intrakranial yang menjadi lebih tinggi selama tidur malam, akibat PCO2 serebral meningkat. Tumor otak pada bayi yang menyumbat aliran likuor serebrospinal sering kali ditampilkan dengan pembesaran lingkar kepala yang progresif dan ubun-ubun besar yang menonjol; sedangkan pada anak-anak yang lebih besar di mana suturanya relative sudah merapat, biasanya gejala papiledema terjadi lebih menonjol. Papiledema dapat timbul pada tekanan intrakranial yang meninggi atau akibat penekanan pada nervus optikus oleh tumor secara langsung. Papiledema memperlihatkan kongesti venosa yang jelas, dengan papil yang berwarna merah tua dan perdarahan-perdarahan di sekitarnya.
Teori mekanisme peninggian tekanan intrakranial, pada tumor otak: 1. Karena adanya obstruksi pada system ventrikel sehingga menghalangi liquor cerebrospinalis, 2. Adanya massa tumor yang membesar, padahal kapasitas tengkorak terbatas untuk otak dan liquor saja, 3. Tenaga penyerapan terhadap liquor cerebrospinal terganggu, 4. Karena adanya obstruksi pada system vena, sehingga aliran darah yang kembali ke vena terhalang, 5. Karena
tumor
sendiri
merupakan
stimulasi
produksi
liquor
cerebrospinalis, sehingga terjadi produksi yang berlebihan, seperti pada “papiloma plexus”.
41
Kejang Gejala kejang pada tumor otak khususnya di daerah supratentorial dapat berupa kejang umum, psikomotor ataupun kejang fokal. Kejang dapat merupakan gejala awal yang tunggal dari neoplasma hemisfer otak dan menetap untuk beberapa lama sampai gejala lainnya timbul. Perlu dicurigai penyebab bangkitan kejang adalah tumor otak bila:
Bangkitan kejang pertama kali pada usia lebih dari 25 tahun
Mengalami post iktal paralisis
Mengalami status epilepsi
Resisten terhadap obat-obat epilepsi
Bangkitan disertai dengan gejala TIK lain
Bangkitan kejang ditemui pada 70% tumor otak di korteks, 50% pasien dengan astrositoma, 40% pada pasen meningioma, dan 25% pada glioblastoma.
Perdarahan Intrakranial Bukanlah suatu hal yang jarang bahwa tumor otak diawali dengan perdarahan intrakranial-subarakhnoid, intraventrikuler atau intraserebral.
Gejala Disfungsi Umum Abnormalitas umum dari fungsi serebrum bervariasi mulai dari gangguan fungsi intelektual yang tak begitu hebat sampai dengan koma. Penyebab umum dari disfungsi serebral ini adalah tekanan intrakranial yang meninggi dan pergeseran otak akibat gumpalan tumor dan edema perifokal di sekitarnya atau hidrosefalus sekunder yang terjadi.
Gejala Neurologis Fokal Perubahan personalitas atau gangguan mental biasanya menyertai tumortumor yang terletak di daerah frontal, temporal, dan hipotalamus, sehingga sering kali penderiita-penderita tersebut diduga sebagai penyakit non-organik atau fungsionil. Gejala afasia agak jarang dijumpai, terutama pada tumor yang berada
42
di hemisfer kiri (dominan). Tumor-tumor daerah supraselar, nervus optikus dan hipotalamus dapat mengganggu akuitas visus. Kelumpuhan saraf okulomotorius merupakan tampilan khas dari tumor-tumor paraselar, dan dengan adanya tekanan intracranial yang meninggi kerap disertai dengan kelumpuhan saraf abdusens. Nistagmus biasanya timbul pada tumor-tumor fosa posterior; sedangkan tumortumor supraselar atau paraselar kadang (jarang sekali) menyebabkan gejala patognomonik berupa nistagmus ‘gergaji’ (seesaw nystagmus); gerakan mata diskonjugat, ventrikal dan rotasional di mana masing-masing mata geraknya saling berlawanan. Kelemahan wajah dan hemiparesis yang berkaitan dengan gangguan sensorik serta kadang ada efek visual merupakan refleksi kerusakan yang melibatkan kapsula interna atau korteks yang terkait. Ataksia trukal adalah pertanda suatu tumor fosa posterior yang terletak di garis tengah. Gangguan endokrin menunjukkan adanya kelainan pada hipotalamus-hipofise. Secara umum pasien tumor otak bisa memiliki gejala seperti perubahan perilaku contohnya, pasien mungkin mudah lelah atau kurang konsentrasi. Selain itu, gejala hipertensi intrakranial seperti sakit kepala, mual, vertigo. Serangan epilepsi juga sering dijumpai pada pasien tumor otak. (Rohkamm, 2004) 1. Lobus frontal - Menimbulkan gejala perubahan kepribadian seperti depresi. - Menimbulkan masalah psychiatric. - Bila jaras motorik ditekan oleh tumor hemiparese kontra lateral, kejang fokal dapat timbul. Gejala kejang biasanya ditemukan pada stadium lanjut - Bila menekan permukaan media dapat menyebabkan inkontinentia. - Pada lobus dominan menimbulkan gejala afasia.
2.
Lobus temporal - Dapat menimbulkan gejala hemianopsia. - Gejala neuropsychiatric seperti amnesia, hypergraphia dan Déjà vu juga dapat timbul. - Lesi pada lobus yang dominan bisa menyebabkan aphasia.
43
3.
Lobus parietalis - Akan menimbulkan gangguan sensori dan motor yang kontralateral. - Gejala homonymous hemianopsia juga bisa timbul. - Bila ada lesi pada lobus yang dominant gejala disfasia. • - Lesi yang tidak dominan bisa menimbulkan geographic agnosia dan dressing apraxia.
4.
Lobus oksipital - Menimbulkan homonymous hemianopia yang kontralateral - Gangguan penglihatan yang berkembang menjadi object agnosia.
5.
Tumor di cerebello pontin angle - Tersering berasal dari N VIII yaitu acustic neurinoma. - Dapat dibedakan
karena gejala awalnya berupa gangguan fungsi
pendengaran.
6.
Glioma batang otak -
Biasanya menimbulkan neuropati cranial dengan gejala-gejala seperti diplopia, facial weakness dan dysarthria.
7. Tumor di cerebelum -
Didapati gangguan berjalan dan gejala tekanan intrakranial yang tinggi seperti mual, muntah dan nyeri kepala. Hal ini juga disebabkan oleh oedem yang terbentuk.
-
Nyeri kepala khas didaerah oksipital yang menjalar ke leher dan spasme dari otot-otot servikal.
III.3.5 Diagnosis III.3.5.1 Anamnesis & Pemeriksaan Fisik Keluhan yang timbul dapat berupa sakit kepala, mual, penurunan nafsu makan, muntah proyektil, kejang, defisit neurologik (penglihatan ganda, strabismus, gangguan keseimbangan, kelumpuhan ekstremitas gerak, dsb), perubahan kepribadian, mood, mental, atau penurunan fungsi kognitif.
44
Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan mencakup pemeriksaan status generalis dan lokalis, serta pemeriksaan neurooftalmologi. Kanker otak melibatkan struktur yang dapat mendestruksi jaras penglihatan dan gerakan bola mata, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga beberapa kanker otak dapat memiliki manifestasi neurooftalmologi yang khas seperti tumor regio sella, tumor regio pineal, tumor fossa posterior, dan tumor basis kranii. Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan neurooftalmologi terutama untuk menjelaskan kesesuaian gangguan klinis dengan fungsional kanker otak. Pemeriksaan ini juga berguna untuk mengevaluasi pre- dan post tindakan (operasi, radioterapi dan kemoterapi) pada tumor-tumor tersebut.
III.3.5.2 Pemeriksaan Fungsi Luhur Gangguan kognitif dapat merupakan soft sign, gejala awal pada kanker otak, khususnya pada tumor glioma derajat rendah, limfoma, atau metastasis. Fungsi kognitif juga dapat mengalami gangguan baik melalui mekanisme langsung akibat destruksi jaras kognitif oleh kanker otak, maupun mekanisme tidak langsung akibat terapi, seperti operasi, kemoterapi, atau radioterapi. Oleh karena itu, pemeriksaan fungsi luhur berguna untuk menjelaskan kesesuaian gangguan klinis dengan fungsional kanker otak, serta mengevaluasi pre- dan post tindakan (operasi, radioterapi dan kemoterapi). Bagi keluarga, penilaian fungsi luhur akan sangat membantu dalam merawat pasien dan melakukan pendekatan berdasarkan hendaya yang ada.
III.3.5.3 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium terutama dilakukan untuk melihat keadaan umum pasien dan kesiapannya untuk terapi yang akan dijalani (bedah, radiasi, ataupun kemoterapi). Pemeriksaan yang perlu dilakukan, yaitu: darah lengkap, hemostasis, LDH, fungsi hati dan ginjal, gula darah, serologi hepatitis B dan C, dan elektrolit lengkap. Pemeriksaan radiologis yang perlu dilakukan antara lain CT-scan dengan kontras; MRI dengan kontras, MRS, dan DWI; serta PET CT (atas indikasi). Pemeriksaan radiologi standar adalah CT scan dan MRI dengan kontras. CT-scan
45
berguna untuk melihat adanya tumor pada langkah awal penegakkan diagnosis dan sangat baik untuk melihat kalsifikasi, lesi erosi/destruksi pada tulang tengkorak. MRI dapat melihat gambaran jaringan lunak dengan lebih jelas dan sangat baik untuk tumor infratentorial, namun mempunyai keterbatasan dalam hal menilai kalsifikasi. Pemeriksaan fungsional MRI seperti MRS sangat baik untuk menentukan daerah nekrosis dengan tumor yang masih viabel sehingga baik
digunakan
sebagai penuntun biopsi serta untuk menyingkirkan diagnosis banding, demikian juga pemeriksaan DWI. Pemeriksaan positron emission tomography (PET) dapat berguna pascaterapi untuk membedakan antara tumor yang rekuren dan jaringan nekrosis akibat radiasi. Pemeriksaan sitologi dan flowcytometry serebrospinal dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis
cairan
limfoma pada
susunan saraf pusat, kecurigaan metastasis leptomeningeal, atau penyebaran kraniospinal seperti ependimoma.
III.3.6 Penatalaksanaan III.3.6.1 Tatalaksana Penurunan Tekanan Intrakranial Pasien dengan kanker otak sering datang dalam keadaan neuroemergency akibat peningkatan tekanan intrakranial. Hal ini terutama diakibatkan oleh efek desak ruang dari edema peritumoral atau edema difus, selain oleh ukuran massa yang besar atau ventrikulomegali karena obstruksi oleh massa tersebut. Edema serebri dapat disebabkan oleh efek tumor maupun terkait terapi, seperti pasca operasi atau radioterapi. Gejala yang muncul dapat berupa nyeri kepala, mual dan muntah, perburukan gejala neurologis, dan penurunan kesadaran. Pemberian kortikosteroid sangat efektif untuk mengurangi edema serebri dan memperbaiki gejala yang disebabkan oleh edema serebri, yang efeknya sudah dapat terlihat dalam 24-36 jam. Agen yang direkomendasikan adalah deksametason dengan dosis bolus intravena 10 mg dilanjutkan dosis rumatan 16-20 mg/hari intravena lalu tappering off 2-16 mg
(dalam
dosis
terbagi) bergantung pada klinis. Mannitol tidak dianjurkan diberikan karena dapat memperburuk edema, kecuali bersamaan dengan deksamethason pada situasi yang berat, seperti pascaoperasi.
46
Efek samping pemberian steroid yakni gangguan toleransi glukosa, stressulcer, miopati, perubahan mood, peningkatan nafsu makan, Cushingoid dan sebagainya. Sebagian besar dari efek samping
tersebut
bersifat
reversibel
apabila steroid dihentikan. Selain efek samping, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian steroid yakni interaksi obat. Kadar antikonvulsan serum dapat dipengaruhi oleh deksametason seperti fenitoin dan karbamazepin, sehingga membutuhkan monitoring. Pemberian deksametason dapat diturunkan secara bertahap, sebesar 2550% dari dosis awal tiap 3-5 hari, tergantung dari klinis pasien. Pada pasien kanker
otak
metastasis
yang sedang
menjalani
radioterapi,
pemberian
deksametason bisa diperpanjang hingga 7 hari.
III.3.6.2 Pembedahan Operasi pada kanker otak dapat bertujuan untuk menegakkan diagnosis yang tepat, menurunkan tekanan intrakranial, mengurangi kecacatan, dan meningkatkan efektifitas terapi lain. Reseksi tumor pada umumnya direkomendasikan untuk hampir seluruh jenis kanker otak yang operabel. Kanker otak yang terletak jauh di dalam dapat diterapi dengan tindakan bedah kecuali apabila tindakan bedah tidak memungkinkan (keadaan umum buruk, toleransi operasi rendah). Teknik operasi meliputi membuka sebagian tulang tengkorak dan selaput otak pada lokasi tumor. Tumor diangkat sebanyak mungkin kemudian sampel jaringan dikirim ke ahli patologi anatomi untuk diperiksa jenis tumor. Biopsi stereotaktik dapat dikerjakan pada lesi yang letak dalam. Pada operasi biopsi stereotaktik dilakukan penentuan lokasi target dengan komputer dan secara tiga dimensi (3D scanning). Pasien akan dipasang frame stereotaktik di kepala kemudian dilakukan CT-scan. Hasil CT-scan diolah dengan software planning untuk ditentukan koordinat target. Berdasarkan data ini, pada saat operasi akan dibuat sayatan kecil pada kulit kepala dan dibuat satu lubang (burrhole) pada tulang tengkorak. Kemudian jarum biopsi akan dimasukkan ke arah tumor sesuai koordinat. Sampel jaringan kemudian dikirim ke ahli patologi anatomi.
47
Pada glioma derajat tinggi maka operasi dilanjutkan dengan radioterapi dan kemoterapi. Pilihan teknik anestesi untuk operasi intrakranial adalah anestesi umum untuk sebagian besar kasus, atau sedasi dalam dikombinasikan dengan blok kulit kepala untuk kraniotomi awake (sesuai indikasi).
III.3.6.3 Radioterapi Radioterapi memiliki banyak peranan pada berbagai jenis kanker otak. Radioterapi diberikan pada pasien dengan keadaan inoperabel, sebagai adjuvan pasca operasi, atau pada kasus rekuren yang sebelumnya telah dilakukan tindakan operasi. Pada dasarnya teknik radioterapi yang dipakai adalah 3D conformal radiotherapy, namun teknik lain dapat juga digunakan untuk pasien tertentu seperti stereotactic radiosurgery/radiotherapy, dan IMRT.
III.3.6.4 Kemoterapi Kemoterapi pada kasus kanker otak saat ini sudah banyak digunakan karena diketahui dapat memperpanjang angka kesintasan dari pasien terutama pada kasus astrositoma derajat ganas. Glioblastoma merupakan tipe yang bersifat kemoresisten, namun 2 tahun terakhir ini sedang berkembang penelitian mengenai kegunaan temozolomid dan nimotuzumab pada glioblastoma. Sebelum menggunakan agen-agen diatas, harus dilakukan pemeriksaan EGFR (epidermal growth factor receptor) dan MGMT (methyl guanine methyl transferase). Kemoterapi bertujuan untuk menghambat pertumbuhan tumor dan meningkatkan kualitas hidup (quality of life) pasien semaksimal mungkin. Kemoterapi biasa digunakan sebagai kombinasi dengan operasi dan/atau radioterapi.
III.3.6.5 Tatalaksana Nyeri Pada kanker otak, nyeri yang muncul biasanya adalah nyeri kepala. Berdasarkan patofisiologinya, tatalaksana nyeri ini berbeda dengan nyeri kanker pada umumnya. Nyeri kepala akibat kanker otak bisa disebabkan akibat traksi langsung tumor terhadap reseptor nyeri di sekitarnya. Gejala klinis nyeri biasanya bersifat lokal atau radikular ke sekitarnya, yang disebut nyeri neuropatik. Pada
48
kasus ini pilihan obat nyeri adalah analgesik yang tidak menimbulkan efek sedasi atau muntah karena dapat mirip dengan gejala kanker otak pada umumnya. Oleh karena itu dapat diberikan parasetamol dengan dosis 20mg/berat badan per kali dengan dosis maksimal 4000 mg/hari, baik secara oral maupun intravena sesuai dengan beratnya nyeri. Jika komponen nyeri neuropatik yang lebih dominan, maka golongan
antikonvulsan
menjadi
pilihan
utama,
seperti
gabapentin 100-1200 mg/hari, maksimal 3600 mg/hari. Nyeri kepala tersering adalah akibat peningkatan tekanan intrakranial, yang jika bersifat akut terutama akibat edema peritumoral. Oleh karena itu tatalaksana utama bukanlah obat golongan analgesik, namun golongan glukokortikoid seperti deksamethason atau metilprednisolon intravena atau oral sesuai dengan derajat nyerinya.
III.3.6.6 Tatalaksana Kejang Epilepsi merupakan kelainan yang sering ditemukan pada pasien kanker otak. Tiga puluh persen pasien akan mengalami kejang sebagai manifestasi awal. Bentuk bangkitan yang paling sering pada pasien ini adalah bangkitan fokal dengan atau tanpa perubahan menjadi umum sekunder. Oleh karena tingginya tingkat rekurensi, maka seluruh pasien kanker otak yang mengalami kejang harus diberikan antikonvulsan. Pemilihan antikonvulsan ditentukan berdasarkan pertimbangan dari profil efek samping, interaksi obat dan biaya.Obat antikonvulsan yang sering diberikan seperti fenitoin dan karbamazepin kurang dianjurkan karena dapat berinteraksi dengan obat-obatan, seperti deksamethason dan kemoterapi. Alternatif lain mencakup levetiracetam, sodium valproat, lamotrigin, klobazam, topiramat, atau okskarbazepin. Levetiracetam lebih dianjurkan (Level A) dan memiliki profil efek samping yang lebih baik dengan dosis antara 20-40 mg/kgBB, serta dapat digunakan pasca operasi kraniotomi.
III.3.6.7 Psikiatri Pasien dengan kanker otak dapat mengalami gangguan psikiatri hingga 78%, baik bersifat organik akibat tumornya atau fungsional yang berupa gangguan penyesuaian, depresi, dan ansietas. Hal ini dapat menghambat proses tatalaksana
49
terhadap pasien. Oleh karena itu, diperlukan pendampingan mulai dari menyampaikan informasi tentang diagnosis dan keadaan pasien (breaking the bad news) melalui pertemuan keluarga (family meeting) dan pada tahap-tahap pengobatan selanjutnya. Pasien juga dapat diberikan psikoterapi suportif dan relaksasi yang akan membantu pasien dan keluarga, terutama pada perawatan paliatif.
III.3.7 Prognosis Prognosis tergantung jenis tumor spesifik. Berdasarkan data di Negaranegara maju, dengan diagnosis dini dan juga penanganan yang tepat melalui pembedahan dilanjutkan dengan radioterapi, angka ketahanan hidup 5 tahun (5 years survival) berkisar 50-60% dan angka ketahanan hidup 10 tahaun (10 years survival) berkisar 30-40%.
50
DAFTAR PUSTAKA Black PB. Brain tumor, review article. The NEJM. 1991 (324):1471-2 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Panduan Penatalaksanaan Tumor Otak. Komite Penaanggulangan Kanker Nasional. 2017 Kumar V, Cotran RS & Robbin SL. (2007). Robbins Bassic Pathology 7 th Ed. Jakarta: EGC Mardjono, Mahar. Proses neoplasmatik di susunan saraf. Dalam: neurologi klinis dasar. Jakarta: PT. Dian Rakyat; 2008. hal. 390 – 402. MacDonal, Tobey. Pediatric Medulloblastoma (serial online) 2012 March 1st (diakses 25 Februari 2018). Diunduh dari: URL : http://emedicine.medscape.com/article/987886-overview. Moore KL. (2002). Essential Clinical Anatomy. Jakarta: Hipokrates Snell, Richard S. Neuroanatomi klinik. Jakarta: EGC; 2007. Stephen,Huff. Brain neoplasms.Access on www.emedicine.com. (diakses 20 Februari 2018) Tumor Otak dalam Buku Ajar Neurologi Klinis edisi I. Yogyakarta; Gajah Mada University Press; 1999. hal: 201 – 7.
51