Lapsus Jefri Rvisi.docx

  • Uploaded by: JefryMahendra
  • 0
  • 0
  • July 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lapsus Jefri Rvisi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,490
  • Pages: 30
LAPORAN KASUS

Laryngopharyngeal Reflux

Pembimbing : Dr. Deviana, Sp. THT - KL

Disusun Oleh : Jefri Patriawan (11-2018-054)

Kepaniteraan Klinik THT Rumah Sakit FMC Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Periode 31 Desember – 2 Februari 2019

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laryngopharyngeal reflux (LPR) adalah jejas pada laringofaring yang diakibatkan aliran balik isi lambung ke daerah laringofaring. Karakteristik gejala berupa suara serak, mendehem, sekret di belakang hidung, kesulitan dalam proses menelan, batuk setelah makan atau berbaring, tersedak, batuk kronik, dan perasaan mengganjal di tenggorok. Lebih dari 50% pasien dengan keluhan LPR tidak mengalami keluhan rasa terbakar di dada dan regurgitasi, keluhan tersebut merupakan tanda khas gejala gastroesophageal reflux disease (GERD).1-7 Beberapa literatur menyatakan bahwa GERD tidak sama dengan LPR karena kedua mekanismenya berbeda, pada GERD kejadian refluks terjadi pada malam hari, adanya nyeri pada epigastrium, periode terpapar cairan asam lambung lebih lama, serta adanya gangguan dismotilitas esophagus, juga terdapat defek terdapat di LES (lower esophageal spinchter).. Pada pasien LPR kejadian refluks terjadi siang hari, tidak terdapat nyeri epigastrium, periode terpapar cairan asam lambung lebih singkat serta tidak adanya gangguan dismotilitas esophagus, defek terdapat di LES (lower esophageal spinchter). Perbedaan ini kemungkinan karena mekanisme dan pola gejala serta manifestasi yang berbeda sehingga beberapa pasien LPR tidak mempunyai gejala GERD atau beberapa pasien mempunyai kedua gejala tersebut.1,2,8,9 Laryngopharyngeal reflux (LPR) terdapat manifestasi ekstraesofageal yang lebih sering daripada gastroesophageal reflux disease (GERD). Keadaan ini dilaporkan sebanyak 10% dari pasien yang datang ke tempat praktek ahli THT, dan lebih dari 50% pasien dengan suara serak didapatkan penyakit yang berhubungan dengan refluks. Merupakan hal yang berbahaya apabila tidak mengetahui adanya LPR, keterlambatan dalam menegakkan diagnosis LPR dapat menyebabkan biaya pengobatan yang tidak perlu, dan kesalahan diagnosis, yang pada akhirnya berakibat keterlambatan pada penyembuhan pasien. 10,11 Kesalahan dalam mendiagnosis LPR dapat memicu terjadinya keadaan overdiagnosis dikarenakan gejala-gejala LPR antara lain; batuk, suara serak, dan globus pharyngeus (sensasi

tenggorok terasa mengganjal) tidaklah spesifik dan juga dapat disebabkan karena infeksi, vocal abuse, alergi, merokok, iritasi dari polusi udara, dan alcohol abuse.10 1.2 Tujuan Tujuan dari laporan kasus ini adalah untuk menambah pengetahuan kita tentang larygopharyngeal reflux yang angka kejadiannya di klinik cukup tinggi. Sehingga kita dapat melakukan manajemen yang baik terhadap pasien yang datang dengan penyakit tersebut.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Laring Laring merupkan suatu pipa fibrokartilaginea, membentang dari trachea hingga radix linguae. Laring terletak di bagian anterior leher setinggi corpus vertebrae cervicales III-VI, menghubungkan antara bagian inferior faring dengan trachea. Laring berfungsi sebagai katup untuk melindungi jalan napas dan menjaga supaya jalan napas selalu terbuka, terutama sewaktu menelan. Laring juga berfungsi sebagai mekanisme fonasi yang dirancang untuk pembentukan suara. Laring terdiri atas beberapa cartilago yang dihubungkan oleh beberapa ligamentum, digerakan oleh otot dan dilingkupi oleh membran mucosa dari faring sampai trachea. Kerangka laring terdiri dari sembilan cartilago. Sembilan cartilago ini terdiri atas tiga tulang rawan tunggal yaitu: cartilago thyroidea, cartilago cricoidea, dan cartilago epiglottica dan tiga tulang rawan berpasangan yaitu: cartilago arytenoidea, cartilago corniculata, dan cartilago cuneiformis. Pada laring terdapat 2 buah sendi, yaitu artikulasi krikotiroid dan artikulasi krikoaritenoid. 12,13

Gambar 1. Anatomi laring12

2.1.1 Otot-otot Laring 

Otot-otot ekstrinsik Otot-otot ekstrinsik adalah otot-otot yang salah satunya perlekatannya berada pada laring sedangkan perlekatan yang lain berada pada luar laring, otot-otot ini dibagi dalam dua kelompok yaitu: terletak di atas tulang hioid (suprahioid) dan ada yang terletak dibawah tulang hioid (infrahioid). Otot ekstrinsik yang suprahioid ialah m.digastrikus, m.geniohioid, m.stilohioid dan m. milohioid. Otot yang infrahioid ialah m. sternohioid, m.omohioid, m. tirohioid. Otot–otot ekstrinsik laring yng suprahioid berfungsi menarik laring ke bawah, sedangkan yang infrahioid ialah menarik laring ke atas.



Otot-otot intrinsik Otot intrinsik merupakan otot-otot yang origo maupun insertionya berada dalam larynx. Otot-otot intrinsik ini merupakan derivat dari arcus pharyngeus IV dan VI. Otot-otot intinsik laring ialah m.krikoaritenod lateral, m.tiroepiglotika, m. Vokalis, m.tiroaritenoid, m.ariepiglotika dan m.krikotiroid. Otot-otot ini terletak di bagian lateral laring. Otot-otot intrinsik laring yang terletak di bagian posterior, ialah m.aritenoid transversum, m.aritenoid oblik dan m.krikoaritenoid posterior. Sebagian besar otot-otot intrinsik adalah adduktor(kontraksinya akan mendekatkan kedua pita suara ke tengah) kecuali m.krikoaritenoid posterior yang merupakan otot abduktor (kontraksinya akan menjauhkan kedua pita suara ke lateral).1,2,3

2.1.2. Ruang dalam laring (cavum laring) 

Aditus laryngis



Vestibulum laryngis



Plica vestibularis (pita suara palsu)



Rima vestibuli



Ventriculus laryngis (kantung morgagni)



Plica vocalis (pita suara sejati)



Rima glottidis



Cavitas infraglottica

2.1.2 Neurovaskular Laring 1. Inervasi laring Saraf-saraf laring berasal dari nervus vagus (nervus cranialis X) melalui ramus internus dan externus nervus laryngeus superior dan nervus laryngeus recurrens. A. Motorik: Semua otot intrinsik laring diinervasi oleh n. laryngeus recurrens kecuali m. cricothyroideus yang mendapat inervasi dari n. laryngeus externus (ramus externus n. laryngeus superior) B. Sensoris : n. laryngeus internus membawa serabut sensoris dari mukosa larynx di atas plica vocalis termasuk permukaan superior plica vocalis. n. laryngeus recurrens membawa serabut sensoris dari mukosa larynx di bawah plica vocalis 2. Pembuluh-pembuluh larynx.: A. Arteria a. a. laryngea superior cabang dari a. thyroidea superior, berjalan bersama nervus laryngeus internus menembus membrana thyrohyoidea memvascularisasi permukaan dalam larynx b. a. laryngea inferior cabang dari a. thyroidea inferior, berjalan bersama nervus laryngeus inferior memvacularisasi membran mukosa dan otot-otot di aspek inferior larynx B. Vena : Vena-vena larynx mengikuti arteri-arteri larynx, vena laryngea superior biasanya bermuara pada vena thyroidea superior, lalu bermuara ke dalam vena jugularis interna. Vena laryngea inferior bermuara pada vena thyroidea inferior. Kemudian bermuara ke vena brachiocephalica sinistra C. Limfe : Pembuluh limfe yang berasal dari larynx diatas plica vocalis ditampung oleh nodi lymphoidei cervicales posteriores profundi. Pembuluh limfe dari larynx di bawah plica vocalis ditampung oleh nodi lymphoidei cervicales profundi inferiores. 1,2,3

2.2 Laryngopharyngeal Reflux 2.2.1 Definisi Laryngopharyngeal reflux (LPR) adalah jejas pada laringofaring yang diakibatkan aliran balik isi lambung ke daerah laringofaring, dengan karakteristik gejala suara serak, mendehem, sekret di belakang hidung, kesulitan dalam proses menelan, batuk setelah makan/berbaring, tersedak, batuk kronik, dan perasaan mengganjal di tenggorok.4-7

2.2.2 Etiologi LPR secara etiologi dapat disebabkan karena faktor fisik yaitu adanya gangguan fungsional dari sphincter esophagus, hiatal hernia, abnormalitas kontraksi esophagus, lambatnya pengosongan dari lambung, sedangkan dapat juga disebabkan karena infeksi, vocal abuse, alergi, merokok, iritasi dari polusi udara, alcohol abuse dan gaya hidup, misalnya, diet makanan berlemak, kopi, coklat, NSAID, makanan pedas, merokok, minuman beralkohol.18

2.2.4 Epidemiologi Selama dekade terakhir

ada peningkatan dan kepedulian terhadapat penyakit yang

disebabkan oleh refluks asam yang terjadi secara retrograde ini. Pada penelitian yang di lakukan di amerika diperkirakan 75 juta penduduk diperkirakan menderita GERD, dimana 50% dari populasi ini menunjukan gejala LPR atau extraesophageal reflux (EER).18 Prevalensi pasien dengan keluhan LPR berkisar antara 15-20% dan lebih dari 15% pasien tersebut berobat ke dokter spesialis THT dengan manifestasi keluhan LPR. Kasus LPR 4-10% terdapat pada pasien dengan PRGE. Pria, wanita, bayi, anak-anak hingga dewasa bisa mengalami LPR. LPR pada bayi dan anak sering terlewatkan.14 Prevalensi variasi GERD dengan lokasi geografik menurut studi epidemiologi terhadpat lima belas penelitian didapatkan bahwa 8-27% pada populasi kelompok western mempunyai rasa terbakar pada ulu hati dan regurgitasi asam satu atau lebih perminggunya. Di asia sendiri di laporkan prevalensi cukup rendah yaitu 3-5 %.18 2.2.5 Patofisiologi Secara fisiologis terdapat 4 pertahanan untuk melindungi saluran aerodigestivus dari cedera refluks yaitu : 15- 17

1. Gastroesophageal Junction (GEJ) 2. Fungsi motorik esofagus dan klirens asam 3. Resistensi jaringan mukosa esofagus 4. Upper esophageal sphincter (UES)

1. Gastroesophageal Junction (GEJ) Mekanisme pertama pada pertahanan anti refluks adalah gastroesophageal junction. Pertahanan ini terdiri dari sphincter dengan elemen otot dari lower esophageal sphincter (LES) dan otot lurik dari diafragma bagian bawah, yang berkombinasi untuk menjaga tekanan GEJ, hal ini penting untuk menahan tekanan intra-abdominal, dan mencegah isi lambung melewati esofagus. Secara fisiologis LES merupakan sphicnter dengan panjang 3-4 cm dengan otot yang dapat berkontraksi di distal esofagus. Sphincter akan relaksasi setelah terjadi proses menelan makanan dan memasukkan ke dalam lambung, secara anatomi daerah ini mempunyai ketebalan 2-3 kali lebih tebal dibanding bagian dinding proksimal esofagus.

Gambar 2. Gastroesophageal junction dan lokasi LES15

2. Fungsi motorik esofagus dan Klirens Asam Pertahanan anti refluks kedua adalah fungsi motorik normal dari esofagus. bolus makanan dan minuman akan didorong oleh kekuatan dari gerak peristaltik dari pharyngoesophageal junction turun kebawah sampai ke gastroesophageal junction dan ke dalam lambung. Gerak peristaltik secara primer di rangsang oleh proses menelan di faring atau secara sekunder dengan stimulasi langsung pada mukosa esofagus. Gerakan peristaltik ini penting untuk membersihkan refluks ke dalam lambung. Adanya gangguan gerakan esofagus akan meningkatkan refluk dengan

melewati esofagus sampai ke laryngopharyng. Dengan pengukuran manometric, pada pasien LPR didapatkan 75% mengalami kelainan motilitas.

Gambar 3. gerakan peristaltik normal dari proksimal esofagus sampai distal esofagus, dan berakhir terjadinya relaksasi LES15

Gambar 4. e-g memperlihatkan adanya gangguan motilitas esofagus, gambar h memperlihatkan LES relaksasi inkomplit, kombinasi tsb dpt meningkatkan resiko terjadinya refluks.15

3.Upper Esophageal Sphincter Pertahanan antirefluks yang ketiga adalah Upper Esophageal sphincter (UES). Terjadinya kelemahan pada mekanisme ini yang membedakan antara GERD dan LPR. UES didefinisikan sebagai daerah yang dapat berkonstriksi secara tonik di pharyngoesofageal junction. Seperti pada LES, UES akan berelaksasi pada saat makanan atau minuman akan masuk pada proses menelan. Secara anatomi UES merupakan serabut distal dari otot cricopharyngeus dan bagian proksimal dari esofagus. Dimana otot cricopharyngeus memegang peranan penting pada tekanan di UES. Fungsi utama dari UES adalah menjaga masuknya udara masuk kedalam esofagus selama respirasi dan menjaga sekresi gaster masuk ke faring sewaktu refluks. Adanya penyimpangan pada fungsi yang kedua tersebut diyakini sebagai penyebab kerusakan primer pada LPR, yang bermanifestasi terjadinya refluks yang mencapai laryngopharyng.

Gambar 5. Laring dan letak dari Upper Esophageal Sphinter15

4. Resistensi Mukosa Faring dan Laring Pada saat refluks yang melewati UES dan mencapai daerah laryngopharyng akan menyebar di sepanjang mukosa yang berbatasan di daerah kepala leher. Pada keadaan ini hanya ada satu pertahanan untuk mencegah inflamasi dan kerusakan dari komponen korosif refluks yaitu resistensi dari mukosa faring dan laring. Dengan adanya empat penghalang fisiologis yang melindungi saluran jalan napas bagian atas dari trauma akibat refluks, yaitu: spingter esofagus bawah, pembersihan asam dengan motor esofagus, resistensi jaringan mukosa esofagus, dan spingter esofagus atas maka epitel respiratori bersilia di laring yang normalnya berfungsi untuk membersihkan mukus dari cabang trakeobronkial, akan meningkat jumlahnya bila keempat sistem penghalang ini gagal dan disfungsi dari silia ini akan menyebabkan pengumpulan mukus sehingga terjadi sensasi postnasal drip dan merangsang pengeluaran dahak. Iritasi cairan refluks secara langsung menyebabkan terjadinya batuk dan tersedak (laringospasme) akibat sensitivitas saraf sensoris laring terangsang dengan inflamasi lokal. Kombinasi faktor-faktor ini menyebabkan terjadinya edema plika vokalis, ulkus kontak, dan granuloma yang menyebabkan timbulnya gejala LPR: suara serak, globus pharyngeus, dan nyeri tenggorok. 1,3,5 Beberapa penelitian melaporkan adanya penurunan kadar bikarbonat yang memproduksi enzim carbonic anhidrase subtipe III pada epitel laryng pasien dengan LPR dibandingkan dengan kadar yang tinggi pada epitel laryng individu normal. Salah satu penelitian juga menunjukan adanya peran dari refluks bilier yang menyebabkan LPR. Pada penelitian terkini disebutkan bahwa jaringan laring yang sangat rentan terhadap refluk dilindungi oleh efek regulasi ph dari carbonic anhydrase pada mukosa laring posterior. Carbonic anhydrase mengkatalisis hidrasi dari

karbonhidrosida menjadi bikarbonate, yang akan melindungi dari refluks asam. Di esofagus terdapat produksi aktif dari bicarbonate pada ruang ekstraseluler yang berfungsi untuk menetralisir refluks asam lambung. Lapisan esofagus merupakan jaringan innate dengan resistensi terhadap refluks fisiologis. Lapisan mukus pada lumen esofagus menghambat penetrasi molekul – molekul besar seperti pepsin. “Unstirred water layer” dibawahnya kaya akan bikarbonat dan merupakan buffer lingkungan sekitar sel mukosa esofagus. Selain itu, epitel esofagus itu sendiri mampu memblok asam dan pepsin pada membran sel dan jembatan intraseluler. saat terjadi jejas pada esofagus, aliran darah lokal mengalami peningkatan untuk mempercepat pemulihan. Kontras dengan esofagus, laryng tidak terlindungi dengan baik dari jejas akibat refluksasi gaster, terutama asam dan pepsin. Saluran napas bagian atas sangat sensitif terhadap asam dan pepsin yang teraktivasi. Pepsin terbukti mengalami aktivasi pada pH diatas 4, hal ini menunjukan bahwa penurunan pH lebih mengakibatkan jejas pada larynx dibandingkan pada esofagus. Seperti disebutkan di atas, episode refluks pharynx yang hanya berlangsung sangat jarang (tiga kali dalam satu minggu) dapat merusak larynx melalui jejas pada mukosanya. Larynx tidak dilindungi oleh bikarbonat saliva, buffer endogen jaringan, atau peristaltik. Larynx juga memiliki pertahanan intrinsik jaringan yang buruk. Carbonic anhydrase isoenzyme III (CA III) merupakan enzim dengan kemampuan buffer yang akan meningkat saat esofagus berespon terhadap asam. Namun, CA III akan menurun pada jaringan laryng yang rusak akibat asam dan pepsin, hal ini akan semakin memperburuk proteksi laryng. 2.2.6 Gejala Klinis Gejala klinis dari LPR bervariasi, namun gejala yang paling sering di jumpai adalah suara serak. Selain suara serak, gejala lainnya merupakan disfonia, throat clearing, globus pharingeus, disfagia, post nasal drip, voice fatigue, batuk kronik, sensasi penuh pada tenggorokan yang tidak hilang dengan menelan.19,20 2.2.7 Diagnosis Riwayat penyakit, hal ini penting bagi klinisi untuk menilai potensi dari suara serak dan adanya laringitis non spesifik. Laringitis secara non spesifik ditandai oleh adanya inflamasi dari laring, seringkali keluhan ini ringan dan dapat sembuh secara spontan. Apabila keluhan ini menetap, laringitis harus dicari penyebabnya yang bisa disebabkan infeksi virus atau bakteri, alergi, trauma vokal, postnasal discharge atau LPR. 4,21,22

Pada suara serak yang persisten atau progresif lebih dari 2-3 minggu, perlu pemeriksaan laryngopharyng untuk menyingkirkan adanya kanker dan kondisi serius lainnya. Adanya dugaan LPR ketika didapatkan kecurigaan riwayat klinis dan penemuan yang mengarah ke LPR. Sering terjadi kesalahan diagnosis antara LPR dan GERD. Koufman pertama kali yang dapat membedakan secara jelas antara LPR dan GERD, dari laporan kasus berseri sebanyak 899 pasien, yang melaporkan keluhan mendehem 87% pada pasien LPR sedangkan hanya 3% pada pasien GERD, dan keluhan dada terasa panas pada pasien LPR hanya 20% sedangkan pada GERD sebanyak 83%.

1,2,8

Survey internasional oleh American Bronchoesophagological Association

memaparkan gejala yang tersering dari LPR, yaitu mendehem(98%), batuk lama (97%), globus faringeus (95%) dan suara serak (95%). Belafsky dkk, telah mengenalkan Indeks Gejala Refluks yang dapat membantu klinisi untuk menilai derajat gejala LPR pada awal evaluasi dan setelah pengobatan.12,14 Pasien di anamnesis menggunakan skala 0-5 untuk derajat gejala-gejala dalam tabel 1. Tabel 1. Skor Indeks Gejala Refluks lebih dari 13, adalah abnormal.23

Laringoskopi, tidak ada tanda yang spesifik dari iritasi laring dan inflamasi yang dapat dilihat, tetapi beberapa penemuan dapat meningkatkan dugaan ke LPR. Meskipun tidak khas, adanya penebalan, kemerahan dan edema terutama di posterior laring (laringitis posterior) paling sering ditemukan. Adanya perlekatan granuloma yang mempunyai hubungan dengan monitoring pH, dijumpai pada kasus LPR 65%-74% pasien, seringnya terletak di tepi tengah dari pita suara dan juga terdapat edema infraglotis. 4,19 Tidak adanya tanda yang khas dari LPR, maka Belafsky dkk, mengembangkan 8 macam skala klinis yang ditemukan berdasarkan laringoskopi, dikenal dengan Skor Temuan Refluk (Reflux Finding Score). Dari 8 temuan yang berhubungan dengan LPR diukur dengan skala 0-4, temuannya antara lain : (tabel 3). Dan skornya dapat berkisar antara 0 (normal) sampai 26, dan berdasarkan analisis pasien mempunyai kemungkinan 95% apabila skornya 7 atau lebih.4,23 Tabel 2. Refluks Finding Score23

2.2.8 Diagnosis Banding 

Larinigtis akut dan laryngitis kronik yang dapat disebabkan infeksi bakteri,virus dan jamur



Alergi



Tumor dapat berupa tumor jinak yaitu laring papiloma, hemangioma, tumor ganas berupa squamous cel carcinoma, tiroid carcinoma,



Trauma dapat berupa vokal abuse, tercekik, inhalasi, intubasi, radioterapi



Immunocompromised



Granulomatous diseases



Autoimmune diseases

2.2.9 Pemeriksaan Penunjang Ada beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada setiap kasus yang dicurigai LPR, yaitu: 1. Laringoskopi Pemeriksaan dengan laringoskopi untuk LPR terbagi menjadi dua yaitu laringoskopi indirek (indirect laryngoscopy/IL) dan laringoskopi fleksibel (flexible fibreobtic laryngoscopy). Pada pemeriksaan ini biasanya akan ditemukan hipertrofi dari komissura posterior, edema dan eritema pada plica vokalis dan kerusakan pada ventrikular band. Pemeriksaan ini sangat penting untuk menilai Reflux Finding Score. Adanya edema dan eritema pada plika vokalis, walaupun bukan tanda patogmonis namun sudah dapat menguatkan adanya tanda peradangan pada laring. Temuan lain yang sering adalah granuloma, sekitar 65-75% pasien yang terkonfirmasi LPR dengan monitoring pH akan tampak granuloma pada pemeriksaan laringoskopi. Gambaran pseudoulkus juga merupakan salah satu temuan fisik lain yang sering, sekitar 90% pasien yang terkonfirmasi LPR memperlihatkan gambaran pseudoulkus.5,20,21

Gambar 6. Tampakan laringoskopi pada pasien dengan LPR21

2. Endoskopi Pemeriksaan endoskopi biasanya tidak dilakukan saat awal, namun pemeriksaan ini dapat menilai derajat beratnya dari perubahan mukosa pada esofagus. Pada LPR hanya 30% temuan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi. 3. 24-hour pH Monitoring Pemeriksaan pH 24 jam ini atau Prolonged Ambulatory pH Monitoring berfungsi untuk menilai refluks yang terjadi pada kasus GERD maupun LPR. Pemeriksaan ini biasanya dilakukan apabila pengobatan tidak memberikan respon yang baik dan gejala yang ditampilkan cukup berat. Pemeriksaan ini merupakan gold standard untuk LPR karena dapat membedakan refluks asam yang terjadi pada sfingter esofagus atas ataupun bawah. Pemeriksaan ini menggunakan dua elektroda yang dapat memantau perubahan pH, elektroda pertama di pasang 5 cm di bawah sfingter esofagus bawah dan elektroda kedua di letakkan pada laringofaring (hipofaring). Elektroda tersebut tersambung pada komputer yang akan merekam setiap perubahan dari pH, setelah pemeriksaan selama 24 jam, hasil data tersebut akan di analisa.20 4. Pemeriksaan Videostroboskopi Pemeriksaan videostroboskopi merupakan pemeriksaan dengan menggunakan endoskop sumber cahaya xenon yang di aktivasi oleh pergerakan pita suara, gambaran ini dapat dilihat dalam bentuk lambat. Pada hampir seluruh pasien yang mengeluhkan masalah pada suaranya saat diperiksa dengan pemeriksaan videotoboskopi ditemukan adanya tanda-tanda dari gejala LPR. Selain dalam kriteria diagnostik, pemeriksaan ini juga dapat memantau perkembangan penyakit LPR yang sedang dala pengobatan, fungsinya untuk menilai apakah terapi yang diberikan antireflux yang diberikan berhasil atau tidak.21,22 2.2.10 Penatalaksanaan Pada saat riwayat penyakit dan pemeriksaan klinis mengarah ke LPR, pasien diinstruksikan untuk merubah gaya hidup dan pola makanan. Terapi Proton pump inhibitor (PPI) pada awal diberikan dan pasien dinilai kembali setelah 3 bulan terapi. Apabila terapi tidak respon maka akan dilakukan pemeriksaan lain dan monitor yang berkelanjutan. Apabila terapi memperlihatkan kemajuan maka gejala akan mereda dan pengobatan PPI akan diturunkan dosisnya. 4,11,24

Gambar 6. Algoritma Penilaian dan Manajemen LPR24

a. Edukasi pasien dan perubahan kebiasaan Pasien dengan LPR diberikan edukasi dan disarankan untuk merubah kebiasaan-kebiasaan, meliputi berhenti merokok, penurunan berat badan dan menghindari alkohol. Perubahan ideal dari makanan meliputi, pembatasan coklat, makanan berlemak, buah-buahan yang asam, minuman berkarbonasi, anggur merah, kafein, dan tidak makan 2-3 jam sebelum tidur malam. Hal ini untuk menugurangi jumlah lemak yang ada dalam perut ketika berbaring. Dimana untuk mencegah aliran balik asam ke esofagus dan tenggorok akibat kelemahan sfingter.

Menaikan posisi kepala lebih tinggi dari badan dengan dengan benda keras seperti batu, kayu yang disusun. Dengan meninggikan posisi kepala membantu menurunkan terpaparnya asam pada daerah tenggorok. Untuk edukasi pasien termasuk tentang jadwal pemberian obat PPI (omeperazole, esomeprazole, rabeprazole, lansoprazole, dan pantoprazole) yang bekerja optimal bila diberikan 30-60 menit sebelum makan.4,19,24,25 b. Terapi Terapi Medikamentosa Terdapat 4 macam obat yang digunakan dalam terapi LPR yaitu PPI atau Proton-pump Inhibitor, obat-obat antagonis H2, obat-obat prokinetik dan obat-obat proteksi sel atau

cytoprotective. Pengobatan dengan PPI dipertimbangkan sebagai pengobatan utama dalam terapi medikamentosa ini. PPI yang biasanya diberikan adalah Omeprazole dengan dosis 20mg perhari (terapi rumatan). Obat lain yang dapat dipilih seperti Lanzoprazole dengan dosis 30mg per hari. Pengobatan PPI ini diberikan selama 6 bulan sebelum di follow up kembali apakah pengobatan berhasil atau tidak. 4,19, Obat lain yang sering digunakan adalah ranitidin yang merupakan golongan antagonis reseptor H2 dengan dosis 150 mg yang diberikan 2 kali sehari. Obat proteksi yang sering diberikan adalah antasid sedangkan obat prokinetik yang sering dipakai adalah metoclopramid dengan dosis 5-10 mg dan diminum 4 kali dalam sehari. Obat proteksi dapat menetralisasi refluks asam serta mengurangi kerusakan dari mukosa serta mencegah aktivitas pepsin.24,26 c. Pembedahan Apabila modifikasi gaya hidup serta terapi medikamentosa tidak bisa lagi mengobati LPR maka pilihan terakhir adalah terapi bedah. Ada beberapa operasi bedah yang dikenal seperti Nissen fundoplication (komplit) atau Toupet atau Bore (parsial). Tujuan dari operasi ini adalah untuk memperbaiki kompetensi dari sfingter esofagus bawah (SEB). Laparoscopic Nissen Fundoplication adalah terapi bedah standar yang aman dan efektif dalam pengobatan LPR.24,25 2.2.11 Komplikasi Pada anak-anak, komplikasi LPR sering mengakibatkan masalah pada saluran pernafasan seperti penyempitan di bawah pita suara atau subglotis stenosis, ulkus dan suara serak. LPR juga dapat mengakibatkan disfungsi dari tuba eustachius yang akan mengakibatkan otitis media akut dan otitis media efusi. Pada orang dewasa, LPR dapat mengakibatkan perubahan mukosa esofagus dan mengakibatkan karsinoma esofagus.26 2.2.12 Prognosis Prognosis dari laryngopharyngeal reflux dapat berdasarkan durasi dari lamanya penyakit, komplikasi yang dapat terjadi, prospek penyembuhan, lamanya penyembuhan. Faktor umur bisa dijadikan faktor prognosis yang menentukan keberhasilan refluks laringofaring. Pada usia di atas 40 tahun terjadi perubahan mukosa laring yaitu edema lapisan superfisial pada lamina propria terutama pada wanita setelah menopause. Perubahan terjadi pada kelenjar di laring menyebabkan produksi mukus berkurang, secara histologis pada usia tua sedikit ditemukan granular retikulum endoplasmik dan aparatus Golgi di mukus dan serosa laring, sehingga secara kualitas dan kuantitas sekresinya berkurang. Perubahan juga terjadi pada mukosa epitel vokal fold menjadi lebih tipis,

menyebabkan pada usia di atas 40 tahun keadaan laring menjadi rentan apabila terpapar zat asam sehingga meningkatkan angka kejadian kasus LPR. 19 2.3

Kesimpulan Laringofaringeal refluks adalah suatu keadaan dimana kembalinya isi perut kedalam

esofagus dan masuk kedalam tenggorokan (laring dan faring). Penyebab LPR adalah adanya refluks secara retrograde dari asam lambung atau isinya (pepsin) ke supraesofagus dan menimbulkan cidera mukosa. Pasien dengan LPR bisanya mempunyai gejala yang tidak spesifik seperti kelelahan vocal, suara serak, batuk kronis, tenggorokan terasa kering, sakit tenggorokan dan disfagia. Diagnosis LPR diteggakan berdasarkan berdasarkan anamnesis, pemeriksan fisik dan penunjang. Selain itu untuk menegakan diagnosis LPR dapat digunakan reflux symptom index (RSI) dan reflux finding score (RFS). Pada pemeriksaan laring pada LPR akan ditemukan gambaran eritema, edema serta gambaran cobblestone dengan adanya pseudosulkus vokalis dengan gambaran ulkus. Penatalaksanaan LPR yaitu diet, modifikasi gaya hidup yang tepat dan pengobatan yang adekuat. Angka keberhasilan terapi cukup tinggi bahkan sampai 90%, dengan catatan terapi harus diikuti dengan modifikasi diet dan gaya hidup yang tepat.

BAB III Laporan Kasus I.

I.

IDENTITAS PASIEN Nama

: Ny. S

Usia

: 46 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Pekerjaan

: Karyawan Kantor

Alamat

: Ciluar Asri

Agama

: Islam

PEMERIKSAAN SUBJEKTIF Dilakukan autoanamnesis pada hari Kamis, 10 Januari 2019 pukul 11.00 WIB di poliklinik THT

Keluhan Utama Suara Serak Riwayat Penyakit Sekarang Os datang dengan keluhan suara serak yang dirasakan sudah sekitar 2 bulan SMRS, keluhan juga disertai dengan nyeri ulu hati yang dirasakan sudah dari 2 bulan SMRSr. Os juga merasa tidak nyaman pada tenggorok seperti ada yang mengganjal. Os juga sering bersendawa dan merasakan rasa panas yang menjalar dari ulu hati ke tenggorok dan lidahnya terasa pahit. Os juga mengeluhkan rasa kembung di perut. Tidak ada keluhan pada telinga seperti nyeri telinga, telinga keluar cairan, maupun pendengaran berkurang. Tidak ada keluhan pada hidung seperti hidung tersumbat, berair, gatal dan bersin-bersin. Tidak ada riwayat merokok dan minum alkohol. Tidak ada keluhan sesak, kehilangan berat badan dalam waktu yang singkat.

Dari pemeriksaan subjektif, didapatkan reflux symptom index 22, kesan laryngopharyngeal reflux No

Symptom

Score

1

Serak atau masalah suara

4

2

Usaha membersihkan tenggorok

3

3

Lendir di tenggorok / post nasal drip

3

4

Kesulitan menelan makanan, cairan, atau pil

1

5

Batuk setelah makan/ setelah berbaring

2

6

Kesulitan bernafas / episode tercekik

0

7

Batuk parah dan mengganggu

2

8

Sensasi sesuatu yang melekat pada tenggorok /

3

gumpalan pada tenggorok 9

Rasa panas di perut, nyeri dada, rasa sebah/

4

asam lambung naik Total

22

Kesan : Laryngopharyngeal reflux (+) Riwayat Penyakit Dahulu 

Riwayat penyakit gastritis disangkal



Riwayat menderita penyakit serupa diakui



Riwayat TB disangkal



Riwayat alergi disangkal



Riwayat asma disangkal



Riwayat DM disangkal



Riwayat hipertensi disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga 

Riwayat anggota keluarga yang menderita penyakit serupa kurang jelas



Riwayat gastritis diakui



Riwayat TB disangkal



Riwayat alergi disangkal



Riwayat asma disangkal



Riwayat DM disangkal



Riwayat hipertensi diakui

Riwayat Sosial Ekonomi

II.



Os bekerja sebagai karyawan Kantor



Biaya pengobatan ditanggung BPJS



Kesan ekonomi : cukup

PEMERIKSAAN OBJEKTIF

Status Presens Tanggal pemeriksaan

: Senin, 10 Januari 2019

Keadaan umum

: Baik

Kesadaran

: Compos Mentis

Status Gizi

: Baik

Tekanan darah

: 130/80 mmHG

Nadi

: 72 x /menit

Napas

: 22 x/menit

Suhu

: 36,8 o C

Berat Badan

: 54 kg

Tinggi badan

: 155 cm

Status Lokalis Kepala dan Leher Kepala

: Normocephal

Wajah

: Simetris

Leher anterior

: Tidak dilakukan

Leher posterior

: Tidak dilakukan

Lain – lain

: (-)

Jam : 11.00 WIB

Telinga 

Pemeriksaan rutin umum telinga

Telinga Aurikula Preaurikula Retroaurikula Mastoid CAE Membran Timpani - Perforasi - Cone of Light - Warna

Dekstra Sinistra Bentuk (N), benjolan (-), nyeri Bentuk (N), benjolan (-), nyeri tekan(-) tekan(-) Tragus pain (-), fistula (-), abses (-) Tragus pain (-), fistula (-), abses (-) nyeri tekan (-), edema(-), hiperemis (- nyeri tekan (-), edema(-), hiperemis ) (-) nyeri tekan (-), edema(-), hiperemis (- nyeri tekan (-), edema(-), hiperemis ) (-) Discharge (-), hiperemis (-), edema (-), corpus alineum (-) Intak Intak

- Bentuk

(-) (+) arah jam 5 Putih abu-abu mengkilap seperti mutiara Normal

(-) (+) arah jam 7 Putih abu-abu mengkilap seperti mutiara Normal

Hidung 

Pemeriksaan rutin umum hidung

Telinga Bentuk Sekret Cavum Nasi Mukosa Cavum Nasi Konka Media Konka Inferior Meatus Media Meatus Inferior Septum Massa

Dekstra Normal Mukoseous Merah muda Merah muda, pembesaran (-) Merah muda, pembesaran (-) Merah muda, sekret (-) Merah muda, sekret (-) Deviasi (-) (-)

Sinistra Normal Mukoserous Merah muda Merah muda, pembesaran (-) Merah muda, pembesaran (-) Merah muda, sekret (-) Merah muda, sekret (-) Deviasi (-) (-)

Tenggorok Pemeriksaan rutin umum tenggorok     

Mukosa buccal Gingiva Gigi geligi Palatum durum dan palatum mole Lidah 2/3 anterior

= warna merah muda = warna merah muda = karies (-), gangren (-) = warna merah muda = warna merah muda

Tonsil

Dextra

Sinistra

Ukuran

T1

T1

Permukaan

Rata

Rata

Kripta

Tidak melebar

Tidak melebar

Detritus

-

-

Warna

Merah muda

Merah muda

Fixative

+

+

Peritonsil

Abses (-)

Abses (-)

Orofaring    

Arkus faring Palatum Mukosa Dinding posterior orofaring

: Simetris : Warna merah muda : Warna merah muda : Sedikit hiperemis

Pemeriksaan rutin khusus tenggorok Laringoskopi indirek Laringofaring Mukosa

: sedikit hiperemis

Massa

: tidak ada

Laring Epiglotis

: warna merah muda sedikit oedem

Aritenoid

: sedikit hiperemis dan oedem

Plika vokalis

: sedikit oedem

Komisura posterior

: sedikit hiperemis, sedikit oedem

Gerakan

: aproksimasi normal, proksimasi menutup rapat

Skoring reflux finding score reflux finding score

Score

1

Oedem subglotik (pseudosulkus)

2

2

Obliterasi ventricular

4

3

Hiperemis / eritem

2

4

Oedem plika vokalis

3

5

Oedem laring difus

2

6

Hipertrofi komisura posterior

2

7

Granulasi

0

8

Mucus tebal endolaring

0

Total

15

Klinis laryngopharyngeal reflux (+)

III.

PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Radiologi 2. Endoskopi 3. Manometri 4. Monitoring PH esofagus 24 jam

IV.

RESUME Seorang perempuan datang dengan keluhan suara serak sejak 2 bulan SMRS, disertai nyeri pada ulu hati, rasa tidak nyaman pada tenggorokan, dan serig merasa panas yang

menjalar dari ulu hati menuju lidah terasa pahit. TD 130/80 mmHG, nadi 72x/menit, napas 22x/menit, suhu 36,8 o C dari pemeriksaan di dapatkan : 

Total skor pada reflux symptom index: 22



Pemeriksaan objektif o Tenggorok Pemeriksaan rutin umum tenggorok -

Dinding posterior orofaring didapatkan sedikit hiperemis

Pemeriksaan rutin khusus tenggorok -

Epiglotis

: warna merah muda sedikit udem

-

Aritenoid

: sedikit hiperemis dan udem

-

Plika vokalis

: sedikit udem

-

Komisura posterior

: sedikit hiperemis, sedikit udem

-

Gerakan

: aproksimasi normal, proksimasi menutup

rapat V.

DIAGNOSIS BANDING 1. Laryngopharyngeal reflux 2. Laringofaringitis kronis eksaserbasi akut non-spesifik (ISPA) 3. GERD

VI.

DIAGNOSIS SEMENTARA Laryngopharyngeal reflux

VII.

DIAGNOSIS PASTI Belum ada

VIII. PROGNOSA Dubia ad bonam

IX.

PENATALAKSANAAN

I)

Medikamentosa Lanzoprazol 2x30mg

II)

Nonmedikamentosa 1. Edukasi -

Hindari makanan dan minuman yang merangsang seperti makanan dan minuman yang mengandung kafein, lemak, pedas dan asam

-

Pola makan rutin 3 kali sehari

-

Hindari makan 3 jam sebelum tidur

-

Tidur dengan bantal tinggi

2. Operatif Nissen Fundaplication Lower Esophangeal Sphincter oleh dokter bedah digestive bila diperlukan X.

KOMPLIKASI 1. Penyempitan pita suara 2. Disfungsi dari tuba eustachius yang akan mengakibatkan otitis media akut dan otitis media efusi

BAB IV PEMBAHASAN

Os datang dengan keluhan suara serak yang dirasakan sudah sekitar 2 bulan SMRS, keluhan juga disertai dengan nyeri ulu hati yang dirasakan sudah dari 2 bulan SMRS. Os juga merasa tidak nyaman pada tenggorok seperti ada yang mengganjal. Os juga sering bersendawa dan merasakan rasa panas yang menjalar dari ulu hati ke tenggorok dan lidahnya terasa pahit. Os juga mengeluhkan rasa kembung di perut. Tidak ada keluhan pada telinga seperti nyeri telinga, telinga keluar cairan, maupun pendengaran berkurang. Tidak ada keluhan pada hidung seperti hidung tersumbat, berair, gatal dan bersin-bersin. Tidak ada riwayat merokok dan minum alkohol. Tidak ada keluhan sesak, kehilangan berat badan dalam waktu yang singkat. Di keluarga os tidak jelas apakah ada yang mengalami hal serupa. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan Total skor pada reflux symptom index 22. Pemeriksaan rutinumum tenggorok, dinding posterior orofaring didapatkan sedikit hiperemis. Pemeriksaan rutin khusus tenggorok, epiglotis warna merah muda sedikit udem, aritenoid sedikit hiperemis dan udem, plika vokalis sedikit udem, komisura posterior sedikit hiperemis, sedikit udem, gerakan aproksimasi normal, proksimasi dapat menutup rapat. Laryngopharyngeal reflux (LPR) adalah jejas pada laringofaring yang diakibatkan aliran balik isi lambung ke daerah laringofaring, dengan karakteristik gejala suara serak, mendehem, sekret di belakang hidung, kesulitan dalam proses menelan, batuk setelah makan/berbaring, tersedak, batuk kronik, dan perasaan mengganjal di tenggorok.4,5,6,7 Pada pasien ini, Laringoparingeal Reflux di dukung dengan keluhan suara serak, dan nyeri ulu hati yang di rasakan sejak 2 bulan terahir, dan di dukung oleh hasil skoring reflux finding score 15, dan reflux symptom indeks 22 yang melebihi nilai ambang batas. Penanganan yang tepat pada pasien dapat mencegah terjadinya komplikasi, pada pasien dengan laryngopharyngeal reflux dapat di belikan terapi PPI seperti Lanzoprazol, Omeprazol, dan merubah gaya hidup yang disertai dengan pengobatan teratur.

DAFTAR PUSTAKA 1. Sidhu H, Shaker R, Hogan JW. Gastroesophageal reflux laryngitis. Dalam: Castel OD, Richer JE, penyunting. The esophagus. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2010. h. 518-28. 2. Postma GN, McGuirt Jr WF, Clyne SB. Role of reflux. Dalam: Ossoff RH, Shapshay SM, Woodson GE, Netterville JL, penyunting. The larynx. Edisi ke-1. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2009. h. 499-511. 3.Tauber S, Gross M, Wolfgang J. Association of laryngopharyngeal symptoms with gastroesophageal reflux disease. Laryngoscope. 2006;112:879–86. 4.Ford CN. Evaluation and management of laryngopharyngeal reflux. JAMA. 2005;294:1534-40. 5. Tutuian R, Castell DO. Diagnosis of laryngopharyngeal reflux. Curr Opin Otolaryngol Head Neck Surg. 2008;12:174–9. 6. Koufman JA, Belafsky P, Postma GN. Laryngopharyngeal reflux symptoms improve before changes in physical findings. Laryngoscope. 2007;111:979–81. 7. Park W, Hicks DM, Khandwala F, Richter JE, Abelson TI, Milstein C, dkk. Laryngopharyngeal reflux: prospective cohort study evaluating optimal dose of protonpump inhibitor therapy and pretherapy predictors of response. Laryngoscope. 2005;115:1230–8. 8. Poelmans J, Tack J. Extraesophageal manifestations of gastroesophageal reflux. Gut. 2009 54:1492–9. 9. Qadeer M, Swoger J, Milstein C, Hicks DM, Ponsky J, Richter JE, dkk. Correlation between symptoms and laryngeal signs in laryngopharyngeal reflux. Laryngoscope. 2010;115:1947–52.

10. Ford CN, MD. Evaluation dan Management of Laryngopharyngeal Reflux. JAMA, September 2005 Vol 294;1534-154011. Koufman, James A. Laryngopharyngeal reflux 2008: a new paradigm of airway disease.Ear Nose and Throat Journal.September 2009 12. Snell, Richard S . Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi ke-6 /Richard S. Snell ; alih bahasa, Liliana Sugiharto ; editor edisi bahasa Indonesia, Huriawati Hartanto, dr …(et al.) . Jakarta : EGC , 2006 13. Snell, Richard S . Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi ke-5 /Richard S. Snell ; alih bahasa, Liliana Sugiharto ; editor edisi bahasa Indonesia, Alifa Dimanti, dr …(et al.) . Jakarta : EGC , 2006 14. Lee, DR. Laryngopharyngeal Reflux (LPR) and Vocal Difficulty. Loyola Medicine. 2006 15. Lipan MJ, et al. Anatomy of Reflux: A Growing Health Problem Affecting Structures of the Head and Neck. The Anatomical Record (part B: New Anat, 2006 vol 289B:261270 16. Ahuja V, MD, et al. Head and Neck Manifestations of Gastroesophageal Reflux disease. American Family Physician. 2005 vol 64. 17. Clouse RE, Diamant NE. Eshopageal Motor and Sensory Function and Motor Disorders of the Esophagus, In:Feldman:Sleisenger & Fordtran’s Gastrointestinal and Liver Disease, 7th ed. Elsevier.2002 18. Zulka E. Laryngopharyngeal Reflux. Simposium & Demo Sulit Telan (Dysphagia). Semarang. 2008. 19. Koffman, et al. Controversies in Laryngology, in: Bailey Byron J. Head & Neck Surgery Otolaryngology 5th edition. Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins. 2009: 642-647 20. Leonard R, Kendall K, Laryngopharyngeal reflux, in Dysphagia Assessment and Treatment Planning, United Kingdom, plural publishing, 2008: 71-84

21. Tauber S, Gross M, Issing WJ. Association of Laryngopharyngeal symptoms with gastroesophageal reflux disease. Laryngoscope. 2011;112:879-886 22.Carrau RL MD, et al. Validation of a Quality of Life Instrument for Laryngopharyngeal Reflux. Arch Otolaryngol Head Neck Surg, April 2008 Vol 131:315-320 23.Belafsky PC, Postma GN, Koufman JA. The validity and reliability if the Reflux Finding Score (RFS). Laryngoscope. 2008;111:1313-1317 24.Postma GN, et al. Treatment of Laryngopharyngeal reflux. Ear, Nose & Throat Journal, September 2011. 25.Lenderking WR, Phd, et al. The Clinical Characteristics and Impact of Laryngopharyngeal reflux Disease on Health-Related Quality on Life. Value in Health, 2010 Vol 6 no 5:560-565 26.Richter JE, Gastroesophageal Reflux Disease, in : Yamada’s Textbook of Gastroenterology 6th Ed. Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins. 2009.

Related Documents

Lapsus Depresi.docx
December 2019 38
Lapsus Snhl.docx
November 2019 33
Lapsus Paraparese.docx
November 2019 41
Lapsus Tulunagung.doc
December 2019 42

More Documents from "Yulia Manawean"