Lapsus Paraparese.docx

  • Uploaded by: YuniAbtyFajarsari
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lapsus Paraparese.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,711
  • Pages: 12
BAB I PENDAHULUAN

Paraparese adalah terjadinya gangguan antara kedua anggota gerak tubuh bagian bawah . Hal ini terjadi karena adanya defek antara sendi facet superior dan inferior (pars interartikularis). paraparese adalah adanya defek pada pars interartikularis tanpa subluksasi korpus vertebrata. paraparese terjadi pada 5% dari populasi. Kebanyakan penderita tidak menunjukkan gejala atau gejalanya hanya minimal, dan sebagian besar kasus dengan tindakan konservatif memberikan hasil yang baik. paraparese dapat terjadi pada semua level vertebrata, tapi yang paling sering terjadi pada vertebrata lumbal bagian bawah(Iskandar, 2002). Paraparese, keadaan terjadi degenerasi diskus intervertebra yang kemudian mengarah terjadinya pembengkokan satu tulang vertebra dengan tulang lain yang berada di bawahnya yang di akibatkan kompresi pada tulang belakang. Dalam kasus cidera pada tulang vertebra sekitar 70% karena trauma dan kurang lebih setengahnya termasuk cedera pada vertebra , sekitar 50% dari kasus trauma dikarenakan oleh kecelakaan lalu-lintas. Kecelakaan industri sekitar 26%, kecelakaan dirumah sekitar 10%. Mayoritas dari kasus trauma ditemukan adanya fraktur atau dislokasi, kurang dari 25% hanya fraktur saja (Bromley, 1991). Paraparese merupakan hilangnya fungsi motorik kedua tungkai. Pada saat ini, istilah paraparese umumnya dipakai untuk semua keadaan kelemahan kedua tungkai, baik yang parsial maupun komplit (Satyanegara, 1998). Penyebab dari paraparese kebanyakan karena kompresi yang hebat sehingga dapat menghancurkan korpus vertebra yang menyebabkan kegagalan pada kolum vertebralis anterior dan pertengahan dalam mempertahankan posisinya. Bagian posterior korpus vertebra hancur sehingga fragmen tulang dan diskus dapat bergeser ke kanalis spinalis. Jika vertebra berkurang lebih dari 50%, gaya mekanik pada bagian depan korpus vertebra akan menyebabkan terjadinya kolaps yang akhirnya dapat mengganggu fungsi neurologik (Apley, 1995). Tumor primer medula spinalis à 10%-19% dari total tumor SSP dan insidennya meningkat seiring dengan umur. Meningioma à >> pada wanita. Ependymoma à >> laki-laki. 70% à intradural ekstramedular 30% à intradural intramedular.

1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI FISIOLOGI Paraparese inferior lesi Upper Motor Neuron (UMN) adalah kelemahan kedua anggota gerak bawah yang disebabkan oleh gangguan pada proyeksi korteks ke V neuron korteks serebri yang mengatur gerakan volunter melalui jaras piramidal dan ekstrapiramidal. Saraf – saraf spinalis dikelompokan menjadi 8 saraf servikalis (C1 – C8), 12 saraf torakalis (T1 – T12), 5 saraf lumbalis (L1 – L5), 5 saraf sakralis (S1 – S5), dan 1 saraf koksegeus (Swartz, 1995). Tiap saraf akan keluar dari lubang yang disebut foramen inter vertebralis yang terletak diantara 2 tulang vertebra, dan selanjutnya akan didistribusikan sebagai saraf segmental tubuh. Radiks semua saraf yang berjalan kaudal terhadap konus terminalis (dibawah L1) akan memebentuk seutas saraf yang disebut kauda ekuina (Satyanegara, 1998). B. PATOLOGI 1. Definisi Paraparese merupakan hilangnya fungsi motorik kedua tungkai. Pada saat ini, istilah paraparese umumnya dipakai untuk semua keadaan kelemahan kedua tungkai, baik yang parsial maupun komplit (Satyanegara, 1998). Paraparese adalah

kelemahan

sebagian

atau

seluruh

tungkai

/sebagian

atau

keseluruhan otot-otot pungung. Kelemahan pada kedua anggota gerak bawah yang disebabkan oleh gangguan proyeksi korteks ke V neuron korteks serebri yang mengatur gerakan folunter melalui jaras piramidal dan ekstrapiramidal. Aktivitas yangcberlebihan dan adanya trauma jatuh terduduk, dan terdapat kompresi menyebabkan terjadinya paraparesi inferior. 2. Etiologi Paraparese adalah suatu keadaan berupa kelemahan pada ekstremitas. Paraparesis bukan merupakan suatu penyakit yang berdiri sendiri, namun merupakan suatu gejala ,ang disebabkan adanya kelainan patologis pada medulla spinalis. 2

Kelainan-kelainan pada medulla spinalis tersebut diantaranya adalah Multiple Sclerosis, suatu penyakit inflamasi dan demyelinisasi yang disebabkan oleh berbagai macam hal. Diantaranya adalah kelainan genetik, infeksi dari virus dan factor lingkungan. Selain itu, paraparesis juga dapat disebabkan oleh tumor yang menekan medulla spinalis, baik primer maupun skunder. Juga dapat disebabkan oleh kelainan vasculer pada pembuluh darah medulla spinalis, yang bisa berujung pada stroke medulla spinalis. Semua keadaan tersebut dapat menyebabkan terjadinya paraparesis inferior, yang apabila tidak segera ditangani akan memperburuk keadaanpenderita. Sehingga, diagnosis dan penanganan yang tepat pada kelainankelainan diatas diharapkan dapat membantu penderita paraparese untuk mewujudkan kondisi yang optimal. Penyebab paraplegia dapat bermacam – macam, seperti trauma, kelainan bawaan, infeksi, penyakit demielinisasi, neoplasma, gangguan vaskular dan lain – lain. Corak kelumpuhan UMN biasanya disebabkan oleh lesi – lesi di dalam kanalis spinalis daerah dorsal. Transeksi akut atau mielitis akut akan menyebabkan paralisa flasid akut dan beberapa hari kemudian akan menjadi spastik. Paraplegia tipe UMN dapat pula terjadi akibat adanya lesi didalam kranium regio para sagital (Satyanegara, 1998).

3. Proses Patologi Gangguan Gerak dan Fungsi Lesi yang mendesak medula spinalis sehingga merusak daerah jaraskortikospi nalis lateral dapat menimbulkan kelumpuhan UMN pada otot – otot bagian tubuh yang terletak di bawah tingakt lesi. Lesi yang memotongmelintang (transversal) medula

spinalis

pada

tingkat

servikal,

misalnya

C5dapat

mengakibatkan kelumpuhan UMN pada otot yang berada di bawahC5, yaitu sebagian dari kedua otot – otot kedua lengan yang berasal darimiotoma C6 sampai miotoma C8, kemudian otot – otot thorax dan 4. Gambaran Klinis Adapun gambaran klinis yang terlihat yaitu sebagai berikut : a. Kelematan pada kedua tungkai dan panggul b. Peningkatan tonus otot 3

c. Hilangnya reflex sensoris d. Keterbatasan ROM e. Nyeri f. Kekakuan g. Spastik h. Penurunan kemampuan fungsional C. INTERVENSI FISIOTERAPI 1. Infra Red Infra Red merupakan alternatif terapi yang mempunyai penetrasi yang hanya berada pada tingkat superfisial jaringan saja. Diharapkan agar terjadi efek analgesik, efek anti imflamasi, efek sedatif, peningkatan suhu jaringan, efek rileksasi otot sehingga intensitas spasme menurun, dan efek vasodilatasi agar terjadi peningkatan blood flow.

2. TENS TENS merupakan suatu cara penggunaan energi listrik untuk merangsang saraf melaui permukaan kulit (Slamet Parjoto, 2006). TENS adalah suatu prosedur elektrik dengan penerapan intensitas dan frekuensi tertentu pada kulit dengan maksud untuk mendapatkan efek analgetik. TENS ditemukan sebagai suatu alat yang paling efektif untuk memodulasi nyeri.

3. Exercise Therapy Terapi latihan adalah salah satu upaya pengobatan dalam fisioterapi yang pelaksanaannya dengan menggunakan pelatihan – pelatihan gerak tubuh baik secara aktif maupun secara pasif. Secara umum tujuan terapi latihan meliputi pencegahan disfungsi dengan pengembangan, peningkatan, perbaikan atau pemeliharaan dari kekuatan dan daya tahan otot, kemampuan kardiovaskuler, mobilitas dan fleksibilitas jaringan lunak, stabilitas, rileksasi, koordinasi keseimbangan dan kemampuan fungsional (Kisner, 1996).

4

BAB III PROSES FISIOTERAPI

A. IDENTITAS UMUM PASIEN Nama TTL / Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Agama Status Perkawinan Alamat

: Tn. M : Selayar, 31-12-1936 / 83 Tahun : L : Petani : Islam : Kawin : Jl. Toddopuli 15 Baru.

B. DATA-DATA MEDIS PASIEN No. RM Ruangan Tanggal Masuk RS

: 875538 : Kamar 3 (II) Bed 1 : Jum’at, 01 Maret 2019

C. ANAMNESIS KHUSUS Keluhan Utama

: Kelemahan pada kedua tungkai dan tidak bisa merasakan BAB dan BAK Lokasi Keluhan : 2 Extremitas Inferior Lama Keluhan : 1 pekan RPP : Batuk berdahak lender putih kental, sakit gigi, sesak, pola napas tidak efektif, kurangnya kalium pada tungkai menyebabkan pasien tidak mampu menggerakkan kedua tungkai dan kesulitan untuk memiringkan badan saat baring. Setelah dirawat di RS selama 1 pekan menyebabkan kemampuan motorik inferior semakin menurun karena kurang bergerak. Pasien juga tidak bisa merasakan BAB dan BAK sehingga sangat bergantungan terhadap orang lain. Riwayat Penyakit Dahulu: Penyakit jantung, sakit gigi sudah 9 tahun, Hipertensi, pernah muntah darah segar. D. INSPEKSI / OBSERVASI Statis

: Keadaan umum pasien baik tapi nampak lemah, tidak terlihat adanya deformitas pada tungkai akan tetapi terlihat agak atropi. Dinamis : Pasien sulit menggerakkan kedua tungkai serta sulit memiringkan badan, kesulitan transfer dan ambulasi secara mandiri. 5

E. PEMERIKSAAN FUNGSI DASAR Tes Gerak Aktif Nama Gerakan

Aktif

Pasif

TIMT

Fleksi Hip

Nyeri, ROM terbatas

ROM terbatas, Hard endfeel

Tahanan Minimum

Ekstensi Hip

Nyeri, ROM terbatas

ROM terbatas, Hard endfeel

Tahanan Minimum

Abduksi Hip

Nyeri, ROM terbatas

ROM terbatas, Hard endfeel

Tahanan Minimum

Adduksi Hip

Nyeri, ROM terbatas

ROM terbatas, Hard endfeel

Tahanan Minimum

Endorotasi Hip

Nyeri, ROM terbatas

ROM terbatas, Hard endfeel

Tahanan Minimum

Fleksi Knee

Nyeri, ROM terbatas

ROM terbatas, Soft endfeel

Tahanan Minimum

Extensi Knee

Nyeri, ROM terbatas

ROM terbatas, Hard endfeel

Tahanan Minimum

Fleksi Ankle

Nyeri, ROM terbatas

ROM terbatas, Hard endfeel

Tahanan Minimum

Extensi Ankle

Nyeri, ROM terbatas

ROM terbatas, Hard endfeel

Tahanan Minimum

Fleksi Jari-jari

Nyeri, ROM terbatas

ROM terbatas, Hard endfeel

Tahanan Minimum

Extensi Jari-jari

Nyeri, ROM terbatas

ROM terbatas, Hard endfeel

Tahanan Minimum

F. PEMERIKSAAN SPESIFIK DAN PENGUKURAN FISIOTERAPI 1. Tes Neurologis (Sensasi)  Tes Tajam Tumpul : Respon sensori kurang Dengan menggunakan alat seperti jarum pentul untuk instrument Tajam, sedangkan kepala jarum pentul sebagai instrument Tajam. Teknik : Pasien dalam keadaan menutup mata aatau menoleh kearah lain, kemudian menyebutkan jenis sesuai yang dirasakan seperti tajam atau tumpul yang diberikan beberapa kali oleh terapis kearah dermatom kedua tungkai secara bergantian.  Tes Panas Dingin : Respon sensoris kurang Dengan menggunakan 2 tabung yang masing-masing berisi air hangat dan dingin sebagai instrument. Teknik : Pasien dalam keadaan menutup mata atau menoleh kearah lain, kemudian menyebutkan sensasi apa yang dirasakan apakah hangat atau dingin. Ini dilakukan beberapa kali oleh terapis pada daerah dermatom kedua tungkai secara bergantian.  Tes Kasar Halus : Respon sensoris kurang Dengan menggunakan kapas sebagai instrument halus, sedangkan kuas sebagai indtrumen kasar. Teknik : Pasien dalam keadaan menutup mata atau menoleh kearah lain, kemudian menyebutkan sensasi apa yang dirasakan apakah kasar atau halus. Ini dilakukan beberapa kali oleh terapis pada daerah dermatom kedua tungkai secara bergantian. 6

2. Tes Tonus Otot Hasil :1 Numerical Score

Qualitative Score Tidak ada peningkatan tonus otot

0

Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai dengan terasanya tahanan minimal pada akhir ROM pada waktu sendi digerakkan fleksi atau ekstensi Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai dengan adanya pemberhentian gerakan dan diikuti dengan adanya tahanan minimal sepanjang sisa ROM, tetapi secara umum sendi tetap mudah digerakkan Peningkatan tonus otot lebih nyata sepanjang sebagian besar ROM, tapi sendi masih mudah digerakkan

1

2

3

3. Tes MMT Hasil

4

Peningkatan tonus otot sangat nyata, gerak pasif sulit dilakukan

5

Sendi atau ekstremitas kaku/rigid pada gerakan flesi atau ekstensi

:2

Numerical Score

Qualitative Score Gerak sesuai ROM secara penuh melawan gravitasi & dapat menahan beban secara maximal Gerak sesuai ROM secara penuh melawan gravitasi & dapat melawan tahanan sedang

5 4 3

Gerak sesuai dengan ROM secara penuh dan melawan gravitasi

2

Gerak sebagian atau sesuai ROM tapi belum melawan Ada kontraksdi sedikit tapi tdk ada gerakan

1 0

Tdk ada kontraksi yg nyata baik terlihat dengan pemeriksaan palpasi

4. Pengukuran Nyeri (VAS) Hasil : 4 (Nyeri Sedang) VAS (VISUAL ANALOGUE SCALE )

0

1

2

3

4

5

6

7

Ket : 0 1-3 4-6 7-9 10

gravitasi

: Tidak ada nyeri sama sekali : Nyeri Ringan : Nyeri Sedang : Nyeri Berat tapi masih bisa ditahan : Nyeri Sangat Berat/Tak tertahankan

7

8

9

10

5. Tes Kemampuan Fungsional (Index Katz) Hasil 1. 2. 3. 4. 5. 6.

: 31 (Ketergantungan berat)

Bathing (6) : Sebagian besar seluruhnya dibantu Dressing (4) : Sebagian dengan bantuan Toileting (6) : Tidak dapat pergi ke WC Transfer (6) : Tidak dapat melakukan Continance (6) : Dibantu seluruhnya Feeding (3) : Makan dpat sendiri, kecuali hal – hal tertentu Skala penilaian skor 0-6.

6. Tes Keseimbangan (Berg Balance Test) Hasil : 10 Jenis Tes Duduk Ke Berdiri Berdiri Tanpa Menumpu Duduk di kursi dengan punggung tidak tersenggah tetapi kaki menumpu diatas lantai Berdiri ke duduk Transfer Berdiri Dengan Mata tertutup Berdiri dengan Kaki Rapat Meraih Ke Depan Dengan Lengan Lurus Sambil Berdiri Mengambil Objek Di Lantai Posisi Berdiri

Hasil Membutuhkan bantuan moderat atau maksimal untuk berdiri Membutuhkan sejumlah upaya untuk berdiri 30 detik tanpa menumpu Mampu untuk duduk 10 detik Duduk secara mandiri tetapi posisi duduk tidak terkontrol Membutuhkan dua orang untuk membantu atau pengawasan untuk pengamanan Tidak mampu untuk menjaga mata tertutup 3 detik tapi berdiri aman Membutuhkan bantuan untuk posisi tersebut dan tidak mampu untuk tahan berdiri selama 15 detik

Skoring 0 1

1

1 0 1 0

Mampu meraih ke depan 5 cm ( 2 inci )

2

Tidak mampu mengambil dan butuh pengawsan sewaktu mencoba

1

Berbalik Untuk Melihat Ke belakang Kanan dan Kiri Sambil Berdiri

Hanya mampu melihat ke samping tetapi keseimbangan terjaga

2

Berputar 360 Derajat

Membutuhkan pengawasan ketat atau aba-aba

1

Menempatkan Kaki Bergantian Diatas Stool Dalam Posisi Berdiri Tanpa Disinggah

Membutuhkan bantuan untuk menjaga tidak terjatuh/tidak mampu diselesaikan

0

Berdiri dengan Satu Kaki Di Depan Kaki Lainnya Tanpa Bersandar

Kehilangan keseimbangan sewaktu melangkah atau berdiri

0

Berdiri dengan Satu Kaki

Tidak mampu, untuk mencoba membutuhkan bantuan agar tidak terjatuh

0

 Skor 41-56  Skor 21-40  Skor 0-20

: Resiko terjatuh rendah ( dapat mandiri ) : Resiko terjatuh sedang ( butuh alat bantu jalan ) : Resiko terjatuh tinggi ( rekomendasi penggunaan kursi roda ) 8

G. ALGORITMA ASSESMENT FISIOTERAPI ALGORHITMA ASSESSMEN GANGGUAN MOTOR FUNCTION ET CAUSA PARAPARESE UMN

Nama pasien : Tn. M

Umur : 83 tahun

Jenis kelamin : L

Kondisi /penyakit : Paraparese

History Taking : Setelah di rawat di RS selama 1 pekan, pasien kurang melakukan gerakan. Karena kurangnya kalium pada tungkai, kemudian pasien merasa kram-kram pada kedua tungkai lama kelamaan pasien tidak bisa menggerakkan kaki kanan lalu kiri, serta kesulitan memiringkan badan saat baring. Pasien juga tidak bisa merasakan BAB dan BAK

Inspeksi : Statik : Keadaan umum pasien baik tapi nampak lemah, tidak terlihat adanya deformitas pada tungkai akan tetapi terlihat agak atropi. Dinamik : Pasien sulit menggerakkan kedua tungkai serta sulit memiringkan badan, kesulitan transfer dan ambulasi secara mandiri.

Pemeriksaan spesifik

Tes neurologis  Tajam Tumpul (-)  Panas Dingin (-)  Kasar Halus (-)

Pengukuran Nyeri (VAS) Hasil : 4 ( Nyeri sedang)

Tes kemampuan fungsional (Index Katz)

Hasil : nilai 31 (Ketergantungan berat)

Tes MMT Hasil : Nilai 2

Tes Tonus Otot Hasil : 1 (Peningkatan tonus otot)

Tes Keseimbangan (Berg Balance Scale) Hasil : Nilai 10

DiagnosaICF : Gangguan Motor Function Et Causa Paraparese UMN

9

H. DIAGNOSA FISIOTERAPI Gangguan Motorik Function Et Causa Paraparese UMN I. PROBLEMATIK FISIOTERAPI DAN BAGAN ICF BAGAN ICF Nama

: Tn. M

Umur

: 83 Tahun

Jenis kelamin

:L

Kondisi / Penyakit : Gangguan Motor Function Et Causa Paraparese UMN

Impairment  Keterbatasan ROM.  Athropy dan Kelemahan otot pada kedua tungkai

Functional Limitation  Kesulitan melakukan dari baring ke duduk  Kesulitan untuk duduk ke berdiri  Kesulitan untuk jongkok ke berdiri  Kesulitan untuk memiringkan

Participation Restriction  Kesulitan atau hambatan dalam melakukan toileting, dan beribadah, dll.

badan pada posisi baring.

J. TUJUAN INTERVENSI FISIOTERAPI a. Tujuan Jangke Pendek  Memelihara dan meningkatkan ROM  Meningkatkan kekuatan otot dan mengembalikan athropy otot b. Tujuan Jangka Panjang  Memperbaiki kemampuan fungsional seoptimal mungkin, hingga pasien mampu beraktivitas secara mandiri. 10

K. PROGRAM INTERVENSI FISIOTERAPI 1. IR Tujuan : Untuk melancarkan sirkulasi darah Teknik :  Posisi pasien senyaman mungkin  Sebelumnya pasien dijelaskan terlebih dahulu tentang manfaat dan efek yang akan dirasakan dengan toleransi hangat pada bagian yang diterapi  Anggota tubuh yang akan diterapi bebas dari pakaian dan dalam keadaan bersih  Arahkan lampu infra merah dibagian yang akan diterapi. Dosis : Atur waktu 10 – 15 menit dengan jarak 35 – 45 cm. Tanyakan kepada pasien efek yang dirasakan pada bagaian yang diterapi. 2. TENS Tujuan : Untuk mengurangi nyeri Teknik :  Posisi pasien senyaman mungkin  Sebelum pemberian terapi jelaskan terlebih dahulu manfaat dan efek dari TENS, yakni rasa tertusuk – tusuk halus  Pasang pad elektrode di pinggang belakang pasien pad diikat menggunakan perekat pengikat dan ditindih mengunakan badan pasien kearah bed. Dosis : Atur F : 5000, Intensitas sebatas toleransi pasien dengan pengaturan waktu 10 menit. Naikkan intensitas dan tanyakan kepada pasien rasa dari pemberian TENS sampai pada toleransi pasien. 3. Exercise Therapy  Active Assisted Exercise  Bridging Tujuan : Mengembalikan dan memelihara ROM dan fungsi gerakan. Teknik :  Posisi pasien senyaman mungkin  Terapis memberikan contoh gerakan pada pasien  Pesien mengikuti gerakan secara aktif yang dilakukan oleh terapis. Dosis : lakukan 3-5 set selama 6-8 kali repetisi.

L. EVALUASI FISIOTERAPI  Evaluasi Sesaat Pasien nampak lelah dan kesakitan dalam melakukan setiap intervensi yang diberikan oleh terapis.  Evaluasi Berkala Setelah 5-6 kali menjalani program terapi diperoleh hasil yaitu peningkatan ROM walau masih sedikit, Peningkatan kekuatan otot masih minimum, Perubahan hasil tes neurologi minimum, Perbaikan aktivitas fungsional masih perubahan yang kecil karena pasien masih ketergantungan skala sedang. 11

BAB IV PENUTUP

A. KESIMPULAN Setelah pasien mengikuti serangkaian program terapi selama 5-6 kali, maka dapat diperoleh hasil perubahan yang masih dalam skala minimum baik untuk peningkatan ROM, Perubahan tonus otot, tes neurologi, dan terlebih untuk perubahan aktivitas fungsional masih minimum sehingga aktivitas sehari-hari pasien belum dilakukan secara mandiri dalam artian masih ketergantungan kategori sedang terhadap orang lain atau keluarga.

12

Related Documents

Lapsus Depresi.docx
December 2019 38
Lapsus Snhl.docx
November 2019 33
Lapsus Paraparese.docx
November 2019 41
Lapsus Tulunagung.doc
December 2019 42
Lapsus Neneng.docx
November 2019 43
Lapsus Oklusi.docx
June 2020 25

More Documents from "Hyder"