Jefri-mk-8111416133.docx

  • Uploaded by: Jefri Ewardiman
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Jefri-mk-8111416133.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,950
  • Pages: 13
TUGAS HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI

“Legal Opinion dan Analisis Putusan MK Nomor 56/PUU-XIV/2016 ”

Dosen Pengampu : Riska Alkadri S.H.,M.H.

Disusun oleh : Jefri Ewardiman 8111416133 Rombel 05 Rabu 15.00-16.40 K1.306

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2018

DAFTAR ISI Halaman Sampul .....................................................................................................

i

Daftar isi..................................................................................................................

ii

LEGAL OPINION ..................................................................................................

1

A. Isu Konstitusional .........................................................................................

1

B. Kewenangan Mahkamah Konstitusi..............................................................

2

C. Kedudukan Hukum Pemohon .......................................................................

2

I. Kualifikasi Sebagai Pemohon .................................................................

3

II. Kerugian Konstitusional Pemohon.........................................................

3

D. Analisis Isu Konstitusional ..........................................................................

5

E. Kesimpulan Rekomendasi ............................................................................

8

ANALISIS PUTUSAN ...........................................................................................

9

Daftar Pustaka .........................................................................................................

11

ii

PENDAPAT HUKUM (LEGAL OPINION) PUTUSAN NOMOR 56/PUU-XIV/2016 Perihal Pengujian Materil Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 251 ayat (1), ayat (2), ayat (7) dan ayat (8) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Oleh : Jefri Ewardiman1) 1) Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang Jalan Sekaran, Gunung Pati, Semarang 50229 Indonesia A. Isu Konstitusional Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sudah menggelar sidang dan mengelurakan putusan dengan nomor putusan 56/PUU-XIV/2016 sejak dimasukkannya permohonan pada 30 Juni 2016 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Dalam perkara tersebut 5 (lima) pemohon yakni Abda Khair Mufti, Muhammad Hafidz, Amal Subkhan, Solihin, dan Totok Ristiyono. Pemohon merasa bahwa berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan pasal 251 ayat (1), ayat (2), ayat (7) dan ayat (8) secara faktual atau setidaktidaknya berpotensi untuk merugikan hak-hak konstitusional pemohon. Kehadiran Pasal a quo dengan cara langsung maupun tidak langsung telah merugikan berbagai macam usaha-usaha yang sudah dilakukan secara terus menerus oleh pemohon dalam rangka menjalankan tugas dan perannya untuk mempertahankan keberadaan Perda yang dimaksud, dan menganggap pembatalan perda oleh pemerintah merupakan suatu kesalahan dan inkonstitusional. B. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 1

24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), yang menyatakan ; “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk; a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Oleh karena permohonan pemohon adalah mengenai pengujian konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentnag Pemerintahan pasal 251 ayat (1), ayat (2), ayat (7) dan ayat (8) oleh pemohon dianggap bertentangan dengan pasal 24A ayat (1) dan pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Maka Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk menangani dan memutus perkara sebagai wujud implementasi pengujiaan undang-undang terhadap Undang- Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Para pemohon berharap putusan para hakim konstitusi nantiny akan melindungi hak konstitusional segenap warga negara dan penduduk Indonesia. Karena diyakini bahwa Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia merupakan benteng dari Pancasila dan Konstitusi akan mengeluarkan putusan terkait pembatalan perda oleh pemerintah demi terwujudnya kepastian hukum Penulis berpendapat bahwa, dikarenakan objek permohonan merupakan Pasal-Pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 maka Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian konstitusionalitas terhadap pasal a quo. C.Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK, terdapat dua syarat yang harus dipenuhi untuk menguji apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara Pengujian Undang-Undang, yaitu: I. Terpenuhinya kualifikasi untuk bertindak sebagai pemohon,dan II. Adanya hak dan/atau Hak Konstitusional dari para Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya suatu Undang-Undang. 2

I. Kualifikasi Sebagai Pemohon Bahwa Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,menyatakan para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan Konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu: 1. Perorangan warga negara Indonesia; 2. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembanganmasyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang; 3. Badan hukum publik atau privat, atau lembaga negara. Dalam penjelasan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak -hak yang diatur dalam UndangUndang Dasar 1945. Bahwa atas ketentuan di atas, maka terdapat dua syarat yang harus dipenuhi untuk menguji apakah Pemohon memiliki legal standing (dikualifikasi sebagai pemohon) dalam permohonan pengujian Undang-Undang tersebut. Adapun syarat yang pertama adalah kualifikasi bertindak sebagai pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Syarat kedua adalah adanya kerugian Pemohon atas terbitnya UndangUndang tersebut yang dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Bahwa para Pemohon selaku masing-masing perorangan adalah Warga Negara Indonesia, dibuktikan dengan fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang juga dijadikan sebagai alat bukti yang diberi tanda bukti P-4 sampai dengan P-4A. Masing-masing pemohon bekerja pada badan usaha swasta. II. Kerugian Konstitusional Pemohon Pemohon memiliki hak konstitusional untuk memperjuangkan haknya secara bersama untuk kepentingan bangsa dan negara ini juga kepentingan konsitusional mereka. Menurut pasal 28C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa: “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memeperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangnun masyarakat, bangsa dan negaranya”

3

Selain pekerjaan para pemohon juga diberikan hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, agar dapat hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat. Dalam upaya pembangunan masyarakat yang berkeadilan dan berkesejahteraan sebagai citacita bangsa dan negara, para Pemohon telah turut serta berpartisipasi dalam proses pemilihan kepala daerah dan dalam tingkat perwakilan di provinsi serta kabupaten/kota, melalui proses pemilihan kepala daerah dan keanggotaan dewan perwakilan, yang pada akhirnya telah melahirkan produk legislasi berupa Perda tingkat provinsi dan Perda tingkat kabupaten/kota, guna merealisasikan kehidupan bermasyarakat. Namun, Perda tingkat provinsi atau Perda tingkat kabupaten/kota yang diundangkan dari sebuah proses legislasi dan komunikasi antara dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) dengan gubernur atau bupati/wali kota, dalam rangka mewujudkan masyarakat yang hidup berkeadilan dan berkesejahteraan, dapat dibatalkan oleh gubernur dan menteri sebagai perwakilan dari Pemerintah Pusat. Kewenangan gubernur dan menteri yang diberikan oleh ketentuan Pasal 251 ayat (1) dan ayat (2) UU 23/2014, berpotensi akan merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon. Sebab, demi mewujudkan kehidupan masyarakat yang berkeadilan dan berkesejahteraan, Perda tingkat provinsi atau Perda tingkat kabupaten/kota, yang isinya justru mengatur hal-hal yang belum atau tidak diatur oleh ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi, terancam dibatalkan tanpa melalui mekanisme pengujian ketentuan peraturan perundang-undangan di bawah UndangUndang terhadap Undang-Undang. Selain itu, pemberlakuan Pasal 251 ayat (7) dan ayat (8) UU 23/2014, yang hanya mengakui penyelenggara pemerintahan pada tingkatan kabupaten/kota dan provinsi, untuk mengajukan keberatan atas keputusan pembatalan Perda tingkat provinsi atau kabupaten/ kota, dan peraturan gubernur atau peraturan bupati/wali kota, telah menghilangkan hak para Pemohon untuk turut serta mempertahankan keberadaan Perda dimaksud. Sebab, sangat mungkin bagi penyelenggara pemerintahan pada tingkatan kabupaten/kota dan provinsi, tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan keberatan atas keputusan gubernur atau menteri terhadap pembatalan Perda provinsi atau kabupaten/kota, dan peraturan gubernur atau peraturan bupati/wali kota.

4

Berdasarkan uraian diatas, penulis menyimpulkan dengan jelas bahwa pemohon telah memenuhi kualitas maupun kapasitas sebagai Pemohon pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana ditentukan dalam pasal 51 huruf c Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Karenanya jelas pula keseluruhan pemohon memiliki hak dan kepentingan hukum mewakili kepentingan masyarakat untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 251 ayat (1), ayat (2), ayat (7), dan ayat (8) UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014. D. Analisis Isu Konstitusional Para pemohon mengajukan permohonan pengujian pasal 251 ayat (1), ayat (2), ayat (7), ayat (8) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang secara langsung ataupun tidak langsung merugikan hak konstitusional mereka. Pasal 251 ayat (1) UU 23/2014: “Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri”. Pasal 251 ayat (2) UU 23/2014: “Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat”. Pasal 251 ayat (7) UU 23/2014: “Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda Provinsi dan gubernur tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan, gubernur dapat mengajukan keberatan kepada Presiden paling lambat 14 (empat belas) Hari sejak keputusan pembatalan Perda atau peraturan gubernur diterima”.

5

Pasal 251 ayat (8) UU 23/2014: “Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan

pembatalan

Perda

Kabupaten/Kota

dan

bupati/wali

kota

tidak

dapat

menerimakeputusan pembatalan peraturan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan, bupati/wali kota dapat mengajukan keberatan kepada Menteri paling lambat 14 (empat belas) Hari sejak keputusan pembatalan Perda Kabupaten/Kota atau peraturan bupati/wali kota diterima”. Terhadap isu ini, akan dijabarkan beberapa pertimbangan, baik dari aspek filosofis, maupun yuridis sebagai berikut: a. Aspek Filosofis Sistem kekuasaan di Indonesia mengenal konsep pembagian kekuasaan yang diutarakan oleh Montesquieu dengan sebutan trias politica dimana kekuasaan terbagi menjadi kekuasaan legislatif yaitu kekuasaan untuk membuat atau membentuk undang-undang, kekuasaan eksekutif yaitu kekuasaan untuk menjalankan ataupun melaksanakan undang-undang, kekuasaan yudikatif yaitu kekuasaan untuk mempertahankan undang-undang. Hal ini yang kemudian di introdusir oleh konstitusi kita yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai wujud pengimplementasian Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan tujuan menyejahterakan masyarakatnya. Pemikiran mendalam terkait pembagian kekuasaan ini juga didasarkan atas pertimbangan bahwa dengan adanya pembagian kekuasaan maka tidak akan ada yang lebih dominan diantara satu sama lain melainkan semuanya berjalan beriringan dan juga selaras. Maka dalam konteks negara kesatuan yang berdasarkan hukum Pemerintah Pusat berdasarkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 seharusnya tidak membatalkan produk hukum daerah dalam rangka mengendalikan norma hukum, karena ditinjau dari konsep pembagian kekuasaan yang lebih mendalam kekuasaan lembaga eksekutif tidak memiliki konsep kewenangan mengendalikan norma hukum yang berujung pada pembatalan, melanikan hanya dapat melakukan pengawasan preventif dana pengawasan melalui mekanisme executive preveiew terhadap Rancangan Peraturan Daerah. Maka dari itu menurut penulis apa yang terkandung didalam pasal 251 ayat (1), (2), (7), dan (8) tidaklah dapat dibenarkan mekanisme kontrol terhadap produk hukum daerah yang ada. 6

b. Aspek Yuridis Implementasi dari sistem otonomi yang yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 memiliki implikasi terhadap terbaginya kekuasaan pemerintah pusat pada pemerintah daerah. Atas dasar itulah pemerintah daerah memiliki hak untuk mengatur daerahnya. Seperti layaknya peraturan perundang-undangan yang lain, pembentukan perda juga tidak lepas dari pengedalian dan pengawasan, yang mana tentu saja hal ini tidak lepas dari kontrol terhadap norma hukum. Dimana ada tiga bentuk-bentuk pengendalian atau pengawasan norma hukum dalam peraturan perundang-undangan yang berupa kontrol yuridis, kontrol administrative, dan kontrol politik. Peraturan Daerah juga merupakan instrumen hukum negara, ketika kemudian perda tersebut bermasalah maka dapat dilakukan pengujian. Peraturan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dapat di uji oleh dua model kewenangan yaitu dengan eksekutif review (pengujian pertauran perundangundangan oleh pemerintah pusat) dan judicial review (pengujian peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh lembaga peradilan). Berdasarkan pasal 250 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 pembatalan peraturan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dilakukan oleh pemerintah pusat yang cakupannya meliputi: a) Terganggunya kerukunan antar warga masyarakat; b) Terganggunya akses terhadap pelayanan publik; c) Terganggunya ketentraman dan ketertiban umum; d) Terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan/atau; e) Diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antar golongan dan gender. Namun mekanisme eksekutif review yang diatur dalam pasal 251 ayat (1), ayat (2), ayat (7), dan ayat (8) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bermuara kepada mekanisme pembatalan perda yang dianggap bertentangan dengan ketertiban umum dan hukum yang lebih tinggi dimana hal ini sudah bertentangan dengan pasal 24A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang menyatakan:

7

“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang” Selain berlawanan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, apa yang ditetapkan dalam pasal a quo juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 Pasal 26 ayat (1) yang memberikan wewenang kepada Mahkamah Agung untuk menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Wewenang tersebut dipertegas kembali melalui melalui Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 atau Ketetapan MPR No. III/MPR/1978, Pasal 11 ayat (4) menyatakan: “Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang”. E. Kesimpulan Rekomendasi Pembatalan Perda yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini menteri adalah suatu hal yang inkonstitusional dan perlu diluruskan karena apa yang terkandung dalam pasal 251 ayat (1), (2), (7), dan (8) UU Nomor 23 tahun 2014 juga telah mencederai konsep trias politica yang dianut di Indonesia dan telah diformulasi kedalam konstitusi. Sehingga putusan hakim yang mengabulkan permohonan para pemohon melalui Putusan 56/PUU-XIV/2016 adalah suatu langkah yang tepat sebagai wujud pengimplementasian Mahkamah Konstitusi bahwa telah melaksanakan tugasnya sebagai the guardians of the constituion dan juga the final interpreter of the constutition. Adapun rekomendasi atau saran yang dapat diberikan oleh penulis adalah agar kedepannya setiap peraturan yang dibuat baik undang-undang atau peraturan dibawahnya sudah sewajibnya disesuaikan dan diselaraskan dengan norma yang ada di konstitusi sebagai norma hukum yang paling tinggi, agara tidak terjadi kembali perbedaan norma hukum yang terdapat di undang-undang dengan yang ada di Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 hal ini juga bertujuan untuk menciptakan akan adanya kepastian hukum terhadap setiap penangan suatu perkara termasuk didalamnya terkait mekanisme dan kompetensi pembatalan suatu Peraturan Daerah dalam melaksanakan Otonomi Daerah di Indonesia. 8

ANALISIS PUTUSAN Putusan Mahkamah Konstitusi yang mencabut kewenangan daripada Menteri Dalam Negeri sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk membatalkan peraturan daerah adalah putusan yang tepat dan Penghapusan kewenangan eksekutif review berupa pembatalan perda melalui putusan MK ini merupakan langkah untuk mewujudkan judicial supremacy.. Benar memang bahwa setiap derah berhak untuk membuat perda/ local wet sesuai dengan local culture daerah masing-masing, hal ini juga sebagai wujud penegakkan akan pelaksanaan otonomi daerah.1 Namun yang menjadi masalah adalah mekanisme pembatalan perda yang dilakukan oleh menteri dalam negeri seperti yang di introdusir dalam pasal 251 ayat (1), ayat (2), ayat (7), dan ayat (8) UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Hal ini menjadi masalah karena sudah jelas-jelas di dalam konsitiusi UUD 1945 pasal 24A ayat (1) bahwa Mahkamah Agung yang memiliki wewenang untuk menguji peraturan dibawah undang-undang terhadap undangundang.2 Atau dengan kata lain Kewenangan Pembatalan Perda oleh Kementrian Dalam Negeri yang dilandasi pada UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah menyalahi asas yang diadopsi oleh negara Indonesia yaitu asas lex superiori derogate legi priori yaitu hukum yang lebih tinggi derajatnya mengesampingkan hukum/peraturan yang derajatnya dibawahnya dengan pedoman UU No 12 Tahun 2011. Dalam hal ini UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan hal tersebut bahwa kewenangan Mahkamah Agung lebih tinggi daripada UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Sehingga hal tersebut dianggap menyalahi dan bertentangan. Tidak jarang pemerintah pusat mengatakan bahwa dalam melaksanakan pengawasan terhadap prinsip-prinsip otonomi daerah, Pemerintah Pusat secara konstitusional mengawasi penyelenggaraaan Pemerintahan Daerah melalui produk-produk hukum daerah. Oleh karena itu Pasal 250 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda, memuat ketentuan bahwa, Pemerintah dapat membatalkan Perda, yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundan-gundang yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan. Pengawasan Pemerintah Pusat terhadap daerah tersebut menurut Jimly Asshiddiqie, merupakan hal yang wajar, kerena pemerintahan daerah merupakan bagian dari lembaga negara yang berada di bawah

1

Krishna D. Darumurti dan Umbu Rauta(2003). Otonomi Daerah Perkembangan pemikiran, pengaturan dan pelaksanaan, Citra Aditya:Bandung. Hlm. 34. 2 Ni’matul Huda ( 2010). Problematika Pembatalan Peraturan Daerah.Jakarta: FH UII Press. Hlm. 21.

9

koordinasi Kementrian Dalam Negeri. Namun Jimly lebih lanjut mengatakan bahwa pengawasan terhadap produk hukum daerah yang dilakukan oleh pemerintah tidak mesti harus membatalkan atau mencabut produk hukum tersebut, karena produk hukum yang dihasilkan oleh Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berupa Perda serta produk hukum yang dibentuk oleh Kepala Daerah berupa Perkada tidak dapat dibatalkan secara sepihak oleh Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat seharusnya tidak diberikan kewenangan untuk membatalkan produk hukum daerah, karena hal tersebut merupakan kewenangan konstitusional Mahkamah Agung yang diatribusi dari UUD 1945.3 Menurut Imam M. Nasef4 Walaupun Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 telah menggariskan bahwa mekanisme ihwal pengujian Peraturan daerah dilakukan melalui judicial review yang kewenangannya oleh Mahkamah Agung, hal itu tidak serta merta menegasikan bahwa fungsi kontrol Pemerintah Pusat terhadap Perda. Pemerintah Pusat sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan juga sebagai pembina dan pengawas daerah tetap memiliki andil dalam pengawasan Peraturan daerah, namun harus juga dilakukan formulasi secara proporsional. putusan ini telah mengembalikan ruh kewenangan pembatalan peraturan perundangundangan di bawah undang-undang kepada Mahkamah Agung sebagaimana dicantumkan secara eksplisit dalam ketentuan Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Akan tetapi apabila ditelaah secara mendalam, maka putusan ini justru tidak sepenuhnya mengembalikan kewenangan pembatalan peraturan perundangundangan di bawah undangundang kepada Mahkamah Agung. Dalam negara dengan bentuk kesatuan memang sudah sepatutnya pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap regulasi (termasuk peraturan daerah dan peraturan kepala daerah) yang lahir di daerah. Implementasi dari pengawasan tersebut dapat dilakukan dengan melakukan pembinaan kepada daerah melalui penguatan executive preview atau pengujian terhadap suatu norma hukum sebelum sah mengikat secara umum.

3

Jimly Asshiddiqie, Model-model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara (Jakarta: Konstitusi press, 2005).Hal 5-7 4 Detiknews, diakses 25 Agustus 2108, http://news.detik.com/kolom/d3240276/anomali-pembatalan-perda. “Anomali Pembatalan Perda.”

10

DAFTAR PUSTAKA Asshiddiqie, Jimly. Model-model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara (Jakarta: Konstitusi press, 2005). Darumurti, Krishna D. dan Umbu Rauta(2003). Otonomi Daerah Perkembangan pemikiran, pengaturan dan pelaksanaan, Citra Aditya:Bandung. Huda, Ni’matul ( 2010). Problematika Pembatalan Peraturan Daerah.Jakarta: FH UII Press. http://news.detik.com/kolom/d3240276/anomali-pembatalan-perda. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016 Undang-Undang Dasar Negara Repubilki Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Kententuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Tap MPR No. IV/MPR/1973 Tap MPR No. III/MPR/1978

11

More Documents from "Jefri Ewardiman"