Lapsus Corpal Alienum

  • Uploaded by: faruq azmi
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lapsus Corpal Alienum as PDF for free.

More details

  • Words: 2,114
  • Pages: 14
BAB I PENDAHULUAN 1.1.

Latar Belakang Kornea merupakan bagian anterior dari mata yang harus dilalui cahaya dalam perjalanan pembentukan bayangan di retina. Kornea harus tetap jernih dan permukaannya rata agar tidak menghalangi proses pembiasan sinar. Kelainan yang

bisa

merusak

bentuk

dan

kejernihan

kornea dapat

menimbulkan gangguan penglihatan. Kelainan kornea yang paling sering ditemukan adalah keratitis. Keratitis merupakan suatu proses peradangan kornea yang dapat bersifat akut maupun kronis yang disebabkan oleh berbagai faktor antara lain bakteri, jamur, virus atau karena alergi. Keratitis dapat dibagi menjadi beberapa golongan berdasarkan kedalaman lesi pada kornea (tempatnya), penyebab dan bentuk klinisnya. Keratitis interstitial adalah suatu reaksi imunologik lambat terhadap antigen yang melintas masuk ke kornea (sampai lapisan stroma dari kornea). Virus herpes simplex merupakan penyebab utama dari keratitis interstitial unilateral (sekitar 71%) dan sifilis kongenital yang merupakan penyebab utama dari keratitis interstitial bilateral (sekitar 48%). Jika keratitis interstitial tidak ditangani dengan benar maka penyakit ini akan berkembang menjadi suatu ulkus yang kemudian menjadi jaringan parut yang dapat merusak kejernihan kornea secara permanen sehingga akan menyebabkan gangguan penglihatan bahkan dapat sampai menyebabkan kebutaan (insiden kasus kekeruhan kornea yang menyebabkan kebutaan sekitar 14%) sehingga pengobatan keratitis haruslah cepat dan tepat agar tidak menimbulkan 1

komplikasi yang merugikan di masa yang akan datang terutama pada pasien 1.2.

yang masih muda. Tujuan Penulisan Referat ini ditulis bertujuan untuk memahami definisi, etiologi, patogenesis, klasifikasi, gejala klinis, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis dari keratitis interstitial.

BAB II

2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Kornea Kornea adalah struktur yang kompleks, serta memiliki pelindung peran, bertanggung jawab untuk sekitar tiga perempat dari optic kekuatan mata. Kornea normal bebas dari pembuluh darah; nutrisi disediakan dan produkproduk metabolik dibuang terutama melalui aqueous humor posterior dan air mata di bagian anterior. Itu kornea adalah jaringan yang paling dipersarafi dalam tubuh, dan kondisi seperti lecet dan keratopati bulosa berhubungan dengan nyeri yang ditandai, fotofobia dan refleks lakrimasi; Sebuah subepithelial dan pleksus saraf stroma yang lebih dalam keduanya disediakan oleh divisi pertama dari saraf trigeminal. Ukuran Diameter kornea rata-rata adalah 11,5 mm secara vertikal dan 12 mm secara horizontal. Rata-rata ketebalan 540 μm rata-rata, dan lebih tebal menuju pinggiran. Ketebalan kornea sentral bervariasi antara individu dan merupakan penentu utama tekanan intraocular (IOP) diukur dengan teknik konvensional. Kelengkungan kornea adalah 8 mm pada permukaan anterior dan 7 mm di posterior permukaan. Perbedaan kelengkungan anterior dan permukaan posterior adalah karena perbedaan ketebalan bagian tengah kornea, dan bagian perifernya: Ketebalan bagian perifer adalah 1mm, dan itu dari bagian tengah 0,57 mm. Ada diurnal variasi fisiologis dari ketebalan kornea. Di kornea manusia utuh, sedikit peningkatan ketebalan 0,0085 mm (setidaknya 1,55%)

3

segera saat bangun tidur dari tidur alami, diikuti oleh penipisan bertahap di siang hari hingga sore hari. Kornea adalah paling tebal di pagi hari saat bangun dari tempat tidur. Variasi ketebalan ini disebabkan oleh penguapan cairan dari permukaan kornea, ketika mata tetap terbuka lebar. Bentuk oval horizontal dari kornea, adalah hasilnya perambahan sclera dan konjungtiva di bagian atas dan bagian bawah. Dilihat dari permukaan posterior, kornea tampaknya melingkar. Persimpangan dari kornea jernih dan sklera buram adalah limbus. Sebagai jari-jari kelengkungan kornea adalah 7 mm dan itu dari bola mata adalah 12 mm, puncak kornea membentuk suatu keunggulan anterior. Persimpangan kornea dan sklera dibatasi oleh sulkus, karena perbedaan kelengkungan kornea, dan sisa dari kornea bola mata. Sentral sepertiga dari pengukuran kornea sekitar 4 mm, adalah zona optik dari kornea. Menuju pinggiran, kornea menjadi sedikit lebih datar dan cenderung lebih rata di sisi hidung. Struktur Kornea terdiri dari lapisan berikut (Gambar 2.1): 1. Lapisan epitel adalah skuamosa bertingkat dan tidak berkeratin, dan terdiri dari:  Satu lapisan sel basal kolumnar yang dilekatkan hemidesmosom ke  

bagian bawah yang mendasari selaput. Dua hingga tiga lapisan sel ‘wing’. Dua lapis sel permukaan skuamosa.

4



Permukaan sel terluar ditingkatkan oleh microplicae dan microvilli yang memproduksi dari film air mata dan musin. Setelah jangka waktu



beberapa hari sel-sel dangkal dilepaskan ke dalam film air mata. Sel punca kornea terletak di limbus corneoscleral. Defisiensi dapat menyebabkan cacat epitel kronis dan 'konjungtiva' (ketidakstabilan

epitel, vaskularisasi dan penampilan sel goblet). 2. Lapisan Bowman adalah lapisan superfisial acellular stroma, dan terbentuk dari serabut kolagen. 3. Stroma mencapai 90% ketebalan kornea. Ini diatur dalam lapisan fibril kolagen yang berorientasi secara teratur yang jaraknya dipertahankan oleh substansi proteoglycan (kondroitin sulfat dan keratan sulfat) dengan fibroblas modifikasi yang diselingi (keratosit). Pemeliharaan pengaturan teratur dan jarak kolagen adalah kritis terhadap kejernihan optik. Stroma dapat menimbulkan bekas luka, tetapi tidak bisa regenerasi setelah kerusakan. 4. Membran Descement a. Merupakan membrana aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membrane basalnya. b. Bersifat sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40 µm. 5. Endotel berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 2040 m. Endotel melekat pada membran descement melalui hemidosom dan zonula okluden

5

Gambar 2.1 Anatomi Kornea 2.2. Fisiologi Kornea Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan media yang dilalui berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan strukturnya yang uniform, avaskuler dan deturgenses. Deturgenses atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh suatu pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Endotel lebih penting daripada epitel dalam mekanisme dehidrasi dan cedera kimiawi atau fisik pada endotel jauh lebih berat daripada cedera pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya, cedera pada epitel hanya menyebabkan edema lokal sesaat stroma kornea yang akan menghilang bila sel-sel epitel telah beregenerasi. Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensorik terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, cabang pertama (ophthalmicus) nervus kranialis V (trigeminus). Saraf siliar longus berjalan supra koroid masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran Bowman melepaskan selubung Schwannya. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan diantaranya. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan. Sumber nutrisi kornea adalah pembuluh-pembuluh darah limbus, humour aquous, dan air mata. Kornea superfisial juga mendapat oksigen sebagian besar dari atmosfir. Transparansi kornea dipertahankan oleh strukturnya seragam, avaskularitasnya dan deturgensinya. 6

2.3. Keratitis Interstitial 2.3.1. Definisi Keratitis adalah infeksi pada kornea akibat terjadinya infiltrasi sel radang yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh. Biasanya, diklasifikasikan menurut lapisan kornea yang terkena yaitu keratitis superfisialis apabila mengenal lapisan epitel atau Bowman dan keratitis profunda atau interstitialis (atau disebut juga keratitis parenkimatosa) yang mengenai lapisan stroma. Keratitis interstitial adalah suatu reaksi imunologik lambat terhadap antigen seperti Treponema pallidum (paling sering terjadi akibat sifilis congenital) yang melintas masuk ke kornea sebelum atau saat kelahiran karena kuman ini tidak dijumpai di komea pada fase akut. Gejala yang timbul antara lain nyeri, fotofobia, blefarospasme, injeksi gabungan (konjungtiva dan siliar) dan penurunan tajam penglihatan. 2.3.2. Etiologi Beberapa penyebab keratitis interstitial, yaitu :  Bakteri: Syphilis, Lyme Disease, Tuberculosis, Leprosy, 

Brucellosis, Leptospirosis Virus: Herpesviridae - Herpes simplex, Herpes Zoster, Epstein-



Barr. HLTV-1, Mumps, Measles, Vaccinia, Variola Parasit: Onchocerciasis, Acanthamoeba, Leishmaniasis,



Trypanosomiasis, Microsporidiosis Respon imun: Cogan's Syndrome, sarcoidosis, mycosis fungoides, penggunaan kontak lensa yang berkaitan dengan keratitis, benda asing di intrakornea, penyakit autoimmune, rheumatoid arthritis

7

Keratitis interstitial unilateral biasanya disebabkan oleh virus herpes simplex dan sesekali oleh virus varicella-zoster. Biasanya tidak ada penyebab yang ditemukan pada keratitis interstitial bilateral aktif, tetapi sifilis kongenital tetap merupakan penyebab penyakit bilateral inaktif

yang

paling

sering

didapat.

Tuberculosis,

lepra,

cytomegalovirus, virus campak, virus parotitis epidemika, dan penyakit Lyme adalah penyebab-penyebab keratitis interstitial yang jarang. 2.3.3. Epidemiologi Virus herpes simpleks (HSV) merupakan penyebab tersering (sekitar 71,4%) dari terjadinya keratitis interstitial unilateral aktif. Idiopatik menyumbang 14,3%, dan virus varicella-zoster menyumbang 8,6% pada kejadian keratitis interstitial unilateral. Enam puluh persen kasus keratitis interstitial bilateral aktif disebabkan karena idiopatik. Sifilis adalah penyebab tersering kasus keratitis interstitial bilateral tidak aktif (sekitar 48,5%). Pada sifilis congenital gejala-gejala kornea biasanya baru timbul pada usia 5-20 tahun (80% dari pasien sifilis). 2.3.4. Patofisiologi Dua proses berkontribusi terhadap produksi perubahan inflamasi: 1. Infeksi langsung. Organisme penyebab keratitis langsung menyerang stroma dari epitel kornea, saluran uveal, sirkulasi limbal, atau fokus skleral yang berdekatan. 2. Interaksi antigen-antibodi.

8

Proses yang terjadi pada keratitis akibat infeksi virus atau treponemal merupakan interaksi antara antigen-antibodi. Proses inflamasi pada keratitis interstitial dibagi menjadi aktif dan tidak aktif. Dalam keratitis interstitial aktif, terdapat proses inflamasi yang sedang berlangsung ditandai oleh infiltrasi stroma, edema, dan dalam beberapa kasus terdapat suatu reaksi kekebalan tubuh. Pada keratitis interstitial tidak aktif ditandai dengan adanya peradangan stroma sebelumnya, yang tetap latent selama setidaknya satu tahun. 2.3.5.

Manifestasi Klinis Gejala Subjektif :  Nyeri  Fotofobia  Tajam penglihatan menurun Gejala obyektif :    

Blefarospasme Injeksi konjungtiva Injeksi siliar Vaskularisasi di lapisan kornea dalam yang tak pernah melewati

 

limbus Edema kornea Infiltrate pada lapisan dalam kornea

Gambar 2.1. Keratitis Interstitial

9

Pada keadaan akut kornea yang keruh disertai pembuluh darah yang terletak dalam dan bertumpuk-tumpuk tampak berwarna reddish pink yang sering disebut sebagai Salmon patch. Kelainan ini diikuti oleh uveitis anterior granulomatous yang berat. Pada keratitis interstitial yang disebabkan oleh tuberculosis ditemukan uveitis yang lebih ringan dan gejala tuberculosis lainnya.

Pada keratitis oleh sifilis congenital biasanya Gambaryang 2.2. disebabkan Gambaran “Salmon Patch” ditemukan tanda-tanda sifilis congenital yang lain seperti saddle nose (hidung pelana) dan trias Hutchinson (keratitis interstitial, tuli dan gigi incisivus sentral atas yang bertakik) dan pemeriksaan serologis yang positif terhadap sifilis. 2.3.6. Diagnosis dan Diagnosis Banding a. Anamnesis Data demografi penderita (contoh: usia, jenis kelamin) harus dikumpulkan terlebih dahulu sebelum melakukan anamnesis lebih lanjut. Anamnesis pada pasien harus menunjukkan gejala subjektif yaitu nyeri, fotofobia dan penurunan tajam penglihatan. Pada anamnesis juga harus ditanyakan riwayat penyakit sebelumnya meliputi riwayat pada mata dan riwayat kesehatan secara umum. 10

Riwayat pada mata meliputi adanya penyakit mata sebelumnya, riwayat penggunaan kontak lensa sebelumnya, dan riwayat trauma. Riwayat kesehatan secara umum seperti adanya infeksi herpes sebelumnya, riwayat digigit serangga, adanya riwayat penyakit menular seksual, dan riwayat yang berkaitan dengan penyakit seperti penurunan tajam pendengaran juga harus ditanyakan karena dapat menjadi etiologi atau menentukan prognosis dan kesesuain terapi bedah yang akan dipilih. Selain itu perlu ditanyakan pula riwayat terapi yang sudah didapat sebelumnya dan adanya alergi terhadap obat khususnya antibiotik b. Pemeriksaan Fisik 1. Pemeriksaan tajam penglihatan dengan kartu Snellen. Pada keratitis interstitial biasanya disertai tajam penglihatan yang menurun 2. Segmen

anterior:

didapatkan

blefarospasme,

injeksi

konjungtiva dan siliar, neovaskularisasi atau tumbuhnya “ghost vessels” di lapisan kornea dalam yang tak pernah melewati limbus, edema kornea dan infiltrate pada lapisan dalam kornea c. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk keratitis interstitial harus disesuaikan dengan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang sudah dilakukan. Pemeriksaan serologis untuk penyakit sifilis (RPR/VDRL dan FTA-ABS) perlu dilakukan untuk kasus-kasus keratitis interstitial. Kultur dari spesimen kornea juga dapat dilakukan untuk melihat kemungkinan bakteri atau keratitis akibat penggunaan kontak lensa sebelumnya. Cogan's 11

syndrome biasanya terjadi pada dewasa muda yang memiliki gejala penurunan tajam pendengaran disertai dengan gejala di mata yang diawali dengan injeksi konjungtiva sehingga perlu dilakukan follow-up MRI scans untuk melihat inflamasi pada vestibular atau koklear. d. Diagnosis Banding  Keratitis ulseratif akut akibat infeksi (bakteri, jamur, parasite, virus) atau imun  Sikatrik kornea akibat trauma 2.3.7. Tatalaksana Siklopegik topical (sulfas atropine) untuk melebarkan pupil penting untuk mencegah sinekia posterior. Tetesan kortikosteroid sering meredakan gejala secara drastis namun harus diberi cukup lama untuk mencegah kambuhnya gejala, sedangkan kortikosteroid sistemik perlu diberikan untuk keratitis interstitial karena sarcoidosis. Mungkin diperlukan kacamata gelap dan kamar yang digelapkan bila keluhan fotofobia berat. Pengobatan sistemik untuk sifilis dan penyakit lainnya tetap diberikan meskipun hal ini memiliki efek atau pengaruh kecil terhadap keadaan matanya. Pemberian antivirus untuk keratitis interstitial akibat herpes simplex dan kortikosteroid topical dapat meningkatkan tajam penglihatan. Pemberian kortikosteroid pada keratitis interstitial akibat parasite masih kontroversial efeknya sehingga tidak diindikasikan untuk kasus-kasus keratitis akibat parasit. Perlu diperhatikan dalam penggunan kortikosteroid jangka panjang yang terkait dengan

12

komplikasi yang bisa terjadi. Menjaga kebersihan mata juga sangat penting untuk menunjang penyembuhan dari keratitis interstitial. Timbulnya parut kornea mungkin memerlukan transplantasi kornea. 2.3.8. Komplikasi Timbul vaskularisasi dan sikatrik kornea jika prosesnya hebat dan lama. Glaucoma sekunder dapat timbul akibat adanya uveitis. Penggunaan kortikosteroid jangka panjang dapat menimbulkan glaucoma dan terbentuknya katarak. 2.3.9. Prognosis Prognosis dari keratitis interstitial itu sendiri baik selama gejala terdeteksi dini dan segera melakukan terapi sebelum terjadinya sikatrik kornea.

DAFTAR PUSTAKA

13

1. American

Academy

of

Ophthalmology. Interstitial

keratitis Practicing

Ophthalmologists Learning System, 2017–2019 San Francisco: American Academy of Ophthalmology, 2017 2. Orsoni JG, Zavota L, Vincenti V, et al: Cogan syndrome in children: early diagnosis and treatment is critical to prognosis. Am JOphthalmol 2004; 137:757–758. 3. Schwartz, G. S., A. R. Harrison, et al. (1998). "Etiology of immune stromal

(interstitial) keratitis." Cornea 17(3): 278-81. 4. Kiss S, Damico FM, Young LH: Ocular manifestations and treatment of syphilis. Semin Ophthalmol 2005; 20:161–167. 5. Jack J Kanski. Clinical Ophthalmology. A systematic Approach 5 th edition.

Butterworth-Heinemann; 2003 6. Prof.Dr.H. Sidarta Ilyas. Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata. FK UI; 2008

14

Related Documents

Lapsus Corpal Alienum
October 2019 21
Lapsus Corpal Alienum.docx
October 2019 20
Lapsus Depresi.docx
December 2019 38
Lapsus Snhl.docx
November 2019 33
Lapsus Paraparese.docx
November 2019 41

More Documents from "YuniAbtyFajarsari"