REFERAT ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI HIPERTENSI GESTASIONAL
Oleh : ASKARANI KAMILASARI 201410330311167 RSU HAJI SURABAYA/B1
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2019
BAB 1 PENDAHULUAN
Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5-15% penyulit kehamilan dan merupakan salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas ibu bersalin. Di Indonesia mortalitas dan morbiditas hipertensi dalam kehamilan juga masih cukup tinggi. Hal ini disebabkan selain oleh etiologi tidak jelas juga oleh perawatan dalam persalinan masih ditangani oleh petugas non medik dan sistem rujukan yang belum sempurna. Hipertensi dalam kehamilan dapat dialami oleh semua lapisan ibu hamil sehingga pengetahuan tentang pengelolaan hipertensi dalam kehamilan harus benar-benar dipahami oleh semua tenaga medik baik di pusat maupun di daerah (Prawirohardjo, 2009). WHO telah mengevaluasi kematian ibu di seluruh dunia secara sistematis. Di negara maju, 16 % kematian ibu disebabkan oleh penyakit hipertensi. Persentase ini lebih besar dari tiga penyebab utama lain: perdarahan 13 %, aborsi 8 %, dan sepsis 2 % (Cunningham, 2013).
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hipertensi Gestasional 2.1.1. Definisi Hipertensi gestasional (disebut juga transient hypertension) adalah tekanan darah sistolik dan diastolik ≥ 140/90 mmHg yang di ukur sekurang-kurangnya 2 kali selang 4 jam dan timbul setelah usia 20 minggu kehamilan tanpa disertai proteinuria dan hipertensi menghilang setelah 3 bulan pasca persalinan (Prawirohardjo, 2009).
2.1.2. Etiologi Penyebab hipertensi gestasional sama seperti hipertensi dalam kehamilan pada umumnya dan hingga kini belum diketahui dengan jelas. Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam kehamilan, tetapi tidak ada satu pun teori tersebut yang dianggap mutlak benar. Teori-teori hipertensi gestasional yang sekarang banyak dianut adalah teori kelainan vaskularisasi plasenta, teori iskemia plasenta, radikal bebas dan disfungsi endotel, teori intoleransi imunologik antara intrauterin dan janin, teori adaptasi kardiovaskular genetik, teori defisiensi gizi dan teori inflamasi (Sari, 2016). Dalam keadaan hamil, curah jantung akan meningkat 40% oleh karena adanya peningkatan sekuncup jantung mulai pada minggu ke 6 mencapai maksimum pada trimester ke 2 dan 3. Sejalan dengan peningkatan curah jantung
ini, terjadi peningkatan aliran darah ke organ visceral seperti ginjal sehingga dapat memicu terjadinya peningkatan tekanan darah (Prawirohardjo, 2009)
2.1.3. Faktor Resiko Terdapat banyak faktor risiko untuk terjadinya hipertensi dalam kehamilan, yang dapat dikelompokkan dalam faktor risiko sebagai berikut (Prawirohardjo, 2009): a. Primigravida, primipaternitas. b. Hiperplasentosis, misalnya: mola hidatidosa, kehamilan multipel, diabetes mellitus, hidrops fetalis, bayi besar c. Umur yang ekstrim d. Riwayat keluarga pernah preeklampsia/eklampsia e. Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil f. Obesitas
2.1.4. Epidemiologi Angka kejadian hipertensi di dunia bervariasi antara 4-9% dari seluruh kehamilan, jika dibandingkan dengan angka kematian ibu. Sekitar 8% pada semua kehamilan komplikasi yang paling sering adalah hipertensi dan dapat diperkirakan 192 ibu hamil meninggal setiap hari karena komplikasi kehamilan yang disebabkan hipertensi . Berdasarkan laporan rutin program kesehatan dinas kesehatan provinsi tahun 2010, 2 penyebab terbesar kematian ibu melahirkan yaitu pendarahan (32%) dan hipertensi dalam kehamilan 25% (DepKes, 2010).
2.1.5. Patofisiologi Prawirohardjo (2009), menjelaskan beberapa teori yang mengemukakan terjadinya hipertensi dalam kehamilan diantaranya adalah: a. Teori Kelainan Vaskularisasi Plasenta Kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari cabangcabang arteri uterina dan arteri ovarika. Kedua pembuluh darah tersebut menembus miometrium berupa uteri arkuarta dan memberi cabang arteri radialis. Arteri radialis menembus endometrium menjadi arteri basalis dan artrei basalis memberi cabang arteri spiralis. Pada kehamilan normal akan terjadi invasi trofoblas ke dalam lapisan otot arteri spiralis yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis. Invasi trofoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi. Keadaan ini akan memberi dampak penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan tekanan darah pada daerah utero plasenta. Akibatnya aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat, sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini sering dinamakan dengan remodeling arteri spiralis. Sebaliknya pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarrya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya arteri spiralis relatif mengalami vasokonstriksi dan terjadi kegagalan remodeling arteri
spiralis. Sehingga aliran darah uteroplasenta menurun, dan terjadi hipoksia dan iskemia plasenta.
b. Teori Iskemia Plasenta, Radikal Bebas, dan Disfungsi Endotel Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan oksidan yang disebut juga radikal bebas. Iskemia plasenta tersebut akan menghasilkan oksidan penting, salah satunya adalah radikal hidroksil yang sangat toksis, khususnya terhadap membran sel endotel pembuluh darah. Radikal hidroksil tersebut akan merusak membran sel yang mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak tersebut selain akan merusak membran sel, juga akan merusak nukleus, dan protein sel endotel. Peroksida lemak sebagai oksidan akan beredar diseluruh tubuh dalam aliran darah dan akan merusak membran sel endotel. Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka terjadi kerusakan sel endotel, yang kerusakannya dimulai
dari
membran
sel
endotel.
Kerusakan
membran
sel
endotel
mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel.
c. Teori Intoleransi Imunologik Antara Ibu dan Janin HLA-G (human leukocyte antigen protein G) merupakan prakondisi untuk terjadinya invasi trofoblas kedalam jaringan desidua ibu, disamping untuk menghadapi sel natular killer. HLA-G tersebut akan mengalami penurunan jika terjadi hipertensi dalam kehamilan. Hal ini menyebabkan invasi desidua ke trofoblas terhambat. Awal trimester kedua kehamilan perempuan yang
mempunyai kecendrungan terjadi pre-eklampsia, ternyata mempunyai proporsi helper sel yang lebih rendah bila dibanding pada normotensif.
d. Teori Adaptasi Kardiovaskuler Daya refrakter terhadap bahan konstriktor akanhilangjika terjadi hipertensi dalam kehamilan, dan ternyata terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahanbahan vasopresor. Artinya daya refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor hilang hingga pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan vasopresor.
e. Teori Genetik Genotip ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial jika dibandingkan dengan genotipe janin. Telah terbukti bahwa pada ibu yang mengalami pre-eklampsia, 2,6% anak perempuannya akan mengalami preeklampsia pula, sedangkan hanya 8% anak menantu mengalami preeklampsia.
f. Teori Defisiensi Gizi Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kekurangan defisiensi gizi berperan dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Misalnya seorang ibu yang kurang mengkonsumsi minyak ikan, protein dan lain-lain.
g. Teori Stimulus Inflamasi Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam sirkulasi darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Plasenta juga akan melepaskan debris trofoblas dalam kehamilan normal. Sebagai sisa-sisa proses apoptosis dan nekrotik trofoblas, akibar reaksi stres oksidatif. Bahan-bahan ini sebagai bahan asing yang kemudian merangsang timbulnya proses inflamasi. Proses apoptosis pada preeklampsia terjadi peningkatan stress oksidatif, sehingga terjadi peningkatan produksi debris apoptosis dan dan nekrotik trofoblas. Makin banyak sel trofoblas plasenta maka reaksi stress oksidatif makin meningkat, sehingga jumlah sisa debris trofoblas juga makin meningkat. Keadaan ini menimbulkan beban reaksi inflamasi dalam darah ibu menjadi jauh lebih besar dibanding reaksi inflamasi pada kehamilan normal (Prawirohardjo, 2009).
2.1.6. Diagnosis Diagnosa hipertensi gestasional ditegakkan pada ibu hamil yang memiliki tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih untuk pertama kalinya pada masa kehamilan namun tidak ditemukan proteinuria. Hipertensi gestasional disebut hipertensi transient bila tidak berkembang menjadi preeklamsi dan tekanan darah kembali normal setelah 12 minggu post-partum (Sari, 2016). Selain melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, ada
beberapa
pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendukung penegakan diagnosis jenis hipertensi dalam masa kehamilan. Pemeriksaan penunjang tersebut
antara lain urinalisis, pemeriksaan fungsi ginjal dan pemeriksaan darah lengkap (Phipps et al, 2016) a. Urinalisis Analisis urin terdiri dari 3 pemeriksaan yaitu secara makroskopik, mikroskopik
dan
kimiawi.
Pemeriksaan
makroskopik
meliputi
pemeriksaan warna, kejernihan, volume dan aroma urin. Pemeriksaan mikroskopik dilakukan untuk mengidentifikasi kristal, epitel, sel darah atau bahan lain yang terkandung dalam urin. Pemeriksaan kimiawi dilakukan dengan metode dipstick, yaitu menyelupkan kertas indikator yang berisi marker tertentu dan dilihat perubahan warnanya berdasarkan kandungan zat yang ada pada urin. Metode ini mengidentifikasi kadar leukosit, nitrit, ph, protein, eritrosit, berat jenis, keton, glukosa dan bilirubin (Utah Medical University, 2017). Pada pre-eklampsia dan eklampsia, kadar protein pada pemeriksaan dipstik dapat meningkat, namun pada hipertensi gestasional tidak didapatkan proteinuria (Phipps et al, 2016). b. Pemeriksaan darah lengkap Pemeriksaan terhadap kondisi al, 2016).
jumlah
darah
lengkap
plasma,
pre-eklampsia,
platelet,
jumlah
meliputi leukosit
platelet
dan
penghitungan eritrosit.
<100.000/µl
Pada
(Phipps
et
2.1.7. Tatalaksana Tatalaksana untuk hipertensi gestasional menurut American College of Obstetricians and Gynecologists tahun 2013 adalah: a. Rawat Jalan Ibu dengan hipertensi gestasional dianjurkan untuk banyak istirahat (berbaring atau tidur miring). Pada umur kehamilan >20 minggu tirah baring dengan posisi miring menghilangkan tekanan rahim pada vena cava inferior sehingga meningkatkan aliran darah balik dan akan menambah curah jantung. Hal ini berarti meningkatkan aliran darah ke organ-organ vital. Penambahan aliran darah ke ginjal akan meningkatkan filtrasi glomeruli dan meningkatkan diuresis. Diuresis dengan sendirinya meningkatkan ekskresi natrium, menurunkan reaktivitas kardiovaskuler, sehingga mengurangi vasospasme. b. Tidak perlu dilakukan restriksi garam sepanjang fungsi ginjal masih normal. Diet yang mengandung 2 gr Natrium atau 4-6 gr NaCl adalah cukup. c. Tidak diberikan obat-obat diuretik, antihipertensi dan sedatif. d. Pada kehamilan preterm (<37 minggu) bila tekanan darah mencapai normotensif selama perawatan, persalinan ditunggu sampai aterm. Jika pada kehamilan aterm (>37 minggu), persalinan ditunggu sampai terjadi onset persalinan atau dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan pada taksiran tanggal persalinan. e. Pemberian Kalsium Karbonat (1,5-2 gr/hari) dan aspirin dosis rendah (6080 mg terbukti dapat mencegah resiko preeklampsia).
f. Kriteria rawat inap adalah bila tidak ada perbaikan tekanan darah dan terdapat proteinuria, adanya satu/lebih gejala preeclampsia berat. g. Dilakukan USG dan Doppler untuk evaluasi pertumbuhan janin dan jumlah cairan amnion. Perlu juga dilakukan pemeriksaan NonStress Test (NST) tiap 2x seminggu (Prawirohardjo, 2009). h. Adapun Indikasi pemberian anti hipertensi adalah (Sari, 2016) : a. Risiko rendah hipertensi yaitu ibu sehat dengan tekanan darah diastolik menetap ≥100 mmHg serta dengan disfungsi organ dan tekanan darah diastolik ≥90 mmHg, b. Obat anti hipertensi yaitu pilihan pertama ialah obat anti hipertensi golongan a2-agonis sentral yaitu Methyldopa dengan dosis 0,5–3,0 g/hari, dibagi dalam 2-3 dosis, pilihan kedua ialah obat anti hipertensi golongan calsium channel blocker, yaitu Nifedipine dengan dosis 30– 120 g/hari, dalam slow-release tablet (Nifedipine harus diberikan per oral) i. Edukasi a. Menjaga agar ibu sehat selama kehamilan b. Rutin kontrol tekanan darah c. Menjaga pembatasan konsumsi garam d. Para ibu hamil mampu mengidentifikasi kemungkinan adanya resiko kehamilan dan segera menghubungi pelayan kesehatan
2.1.8. Prognosis Penderita hipertensi pada kehamilan yang terlambat dalam penanganannya akan berdampak pada ibu dan janin yang dikandungnya. Pada ibu dengan hipertensi gestasional dapat terjadi preeclampsia (hipertensi >140/90 mmHg di usia kehamilan >20 minggu dengan disertai proteinuria dan edema wajah sert tungkai)/eklampsia (preeklampsia dengan disertai kejang) yang menyebabkan perdarahan otak, dekompensasi kordis dengan edema paru, payah ginjal dan masuknya isi lambung ke dalam pernapasan saat kejang. Pada janin dapat
terjadi
kematian
karena
hipoksia
intrauterin
dan
kehamilan
prematur. Tingginya kematian ibu dan bayi di negara-negara berkembang disebabkan oleh kurang sempurnanya pengawasan masa antenatal dan natal. Penderita eklampsia sering datang terlambat sehingga terlambat memperoleh pengobatan yang tepat dan cepat. Biasanya preeklampsia dan eklampsia murni tidak menyebabkan hipertensi menahun. Segera setelah persalinan berakhir, perubahan patofisiologik akan segera pula mengalami perbaikan. Diuresis terjadi 12 jam kemudian setelah persalinan merupakan tanda prognosis yang baik karena ini merupakan gejela pertama penyembuhan. Tekanan darah kembali normal dalam beberapa jam kemudian (Prawirohardjo,2009).
BAB 3 KESIMPULAN Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5-15% penyulit kehamilan dan merupakan salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas ibu bersalin. Di Indonesia mortalitas dan morbiditas hipertensi dalam kehamilan juga masih cukup tinggi. Hal ini disebabkan selain oleh etiologi tidak jelas juga oleh perawatan dalam persalinan masih ditangani oleh petugas non medik dan sistem rujukan yang belum sempurna. Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum diketahui dengan jelas. Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam kehamilan, tetapi tidak ada satu pun teori tersebut yang dianggap mutlak benar. Diagnosis hipertensi dalam kehamilan ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan penunjang dan pemeriksaan laboratorium yaitu berupa urin dipstick dan darah lengkap Tatalaksana yang tepat dan cepat akan menunjukkan prognosis yang baik. Tatalaksana untuk hipertensi gestasional yaitu dengan tirah baring dan miring ke kiri, konsumsi Pemberian Kalsium Karbonat (1,5-2 gr/hari) dan aspirin dosis rendah (60-80 mg terbukti dapat mencegah resiko preeklampsia). Penanganan yang lambat dapat menyebabkan terjadinya perdarahan otak, dekompesasi kordis dengan edema paru, payah ginjal dan masuknya isi lambung ke dalam pernapasan saat kejang pada ibu. Pada janin dapat terjadi kematian karena hipoksia intrauterin dan kehamilan prematur.
DAFTAR PUSTAKA 1. Cunningham, Leveno et al, 2013, 23rd edition Williams Obstetric. Mc GrawHill Companies. United States. 2. Phipps et al, 2016, Preeclampsia: Updates in Pathigenesis, Definitions Ana Guidlines, The American Society of Neurology, Vol. 11, pp 1106 3. Prawirohardjo, S., 2009, Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo, Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 4. Hypertension
in
Pregnancy, 2013,
American Journal Obstetrics
Gynecology, 183, S1-22. 5. Sari, W. E., 2016, Kehamilan dengan Hipertensi Gestasional. Jurnal Medula, 4(3), pp.145-148. 6. Utah Medical University, 2017, Urinalysis, [online] diakses pada 22 September
2018
https://library.med.utah.edu/WebPath/TUTORIAL/URINE/URINE.html