Laporan Kasus Bells Palsy Destin.docx

  • Uploaded by: Destin Marseli
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laporan Kasus Bells Palsy Destin.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,177
  • Pages: 18
LAPORAN KASUS Bell’s Palsy

Disusun Oleh: Destin Marseli 112017209

Pembimbing: dr.Sholihul M, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF RSPAD GATOT SOEBROTO JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA JAKARTA Periode : 19 November s.d 22 Desember 2018

1

BAB I STATUS PASIEN I.

IDENTITAS PASIEN Nama

: Ny. S

Jenis Kelamin

: Perempuan

Usia

: 46 tahun

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Agama

: Islam

Status Pernikahan : Menikah Suku Bangsa

: Jawa

Tanggal Masuk : Minggu, 2 Desember 2018 Dirawat yang ke : Pertama Tanggal Periksa : Selasa, 4 Desember 2018 No. RM

: 915441

II. ANAMNESA Autoanamnesa pada tanggal 4 Desember 2018

KELUHAN UTAMA Mulut mencong ke kanan sejak 1 hari SMRS

KELUHAN TAMBAHAN -

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG Pasien datang ke IGD RSPAD Gatot Soebroto dengan keluhan mulut mencong ke kanan sejak 1 hari SMRS. Pasien mengatakan awalnya keluhan yang dirasakan yaitu mata kiri berair keluhan tersebut dirasakan pada malam hari, kemudian setelah pagi hari pasien mengatakan bahwa tiba-tiba mulut mencong ke kanan, pasien sempat mengabaikan keluhan tersebut. Pada sore hari pasien mulai merasa tidak nyaman dengan mulut yang mencong kanan dan akhirnya dibawa ke IGD oleh suami pasien. Keluhan lain seperti bicara pelo, lemah anggota gerak, nyeri kepala hebat, muntah mendadak yang menyembur, 2

penglihatan kabur, penurunan kesadaran, kejang, demam, pusing berputar disangkal oleh pasien. Pasien tidak memiliki riwayat merokok dan tidak mengkonsumsi alkohol ataupun obat terlarang. BAB dan BAK dalam batas normal. Pasien mengatakan setiap hari tidur dengan wajah berhadapan dengan AC sehingga udara dingin dari AC lebih banyak terpapar ke wajah pasien.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung . Riwayat trauma jatuh di dikamar mandi 10 tahun yang lalu akan tetapi kepala tidak terbentur dan selama ini tidak ada keluhan. Pasien memiliki riwayat anemia sejak 3 tahun terakhir dan memiliki riwayat ca mammae sejak 4 tahun yang lalu RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA Ayah pasien memiliki riwayat penyakit hipertensi dan stroke. Riwayat lainnya seperti diabetes melitus, penyakit jantung, alergi dan asma tidak ada.

RIWAYAT SOSIAL Pasien saat ini tidak bekerja dan pekerjaan setiap hari sebagai ibu rumah tangga. Pasien tidak ada riwayat kebiasaan merokok dan minum alkohol.

III. PEMERIKSAAN FISIK STATUS INTERNUS 

Keadaan Umum

: Tampak sakit sedang



BB

: 51 kg



TB

: 158 cm



Gizi

: Normal (IMT = 20,42 kg/m2)



Tanda Vital



Mata

Tekanan Darah Kanan

: 120/80 mmHg

Tekanan Darah Kiri

: 120/80 mmHg

Nadi Kanan

: 72 x/menit

Nadi Kiri

: 72 x/menit

Pernafasan

: 20 x/menit

Suhu

: 36,7ºC : konjungtiva anemis -/- , skelra ikterik -/3



Leher

: tidak terdapat perbesaran KGB

 Jantung

: BJ I-II, regular, Gallop (-), Murmur(-)



: vesikuler kedua lapang paru, Rhonki (-)/(-),

Paru

Wheezing(-)/(-) 

Hepar

: Tidak teraba membesar



Lien

: Tidak teraba membesar



Ekstemitas

: Akral hangat, edema (-), sianosis (-), CRT <2’

STATUS PSIKIATRI 

Tingkah Laku

: Wajar



Perasaan Hati

: Eutim



Orientasi

: Baik



Jalan Pikiran

: Koheren



Daya Ingat

: Baik

STATUS NEUROLOGIS 

Kesadaran

: Compos Mentis, E4M6V5, GCS 15



Sikap Tubuh

: Berbaring terlentang



Cara Berjalan

: Tidak dapat dinilai karena pasien berbaring



Gerakan Abnormal

: Tidak ada

Kepala 

Bentuk

: Normocephal



Simetris

: Simetris



Pulsasi

: Teraba pulsasi A. Temporalis dextra dan sinistra



Nyeri tekan

: Tidak ada

Leher 

Sikap

: Normal



Gerakan

: Bebas



Vertebra

: Normal, tidak ada scoliosis, lordosis, kifosis



Nyeri tekan

: Tidak ada 4

Rangsal Meningeal Kanan

Kiri



Kaku kuduk

: (-)

(-)



Laseque

: (-)

(-)



Kerniq

: (-)

(-)



Brudzinsky I

: (-)

(-)



Brudzinsky II

: (-)

(-)

Pemeriksaan Khusus 

Patrick Test

: (-)

(-)



Kontra Patrick Test

: (-)

(-)



Naffziger Test

: (-)

(-)



Bragard test

: (-)

(-)



Sicard test

: (-)

(-)



Valsava test

: (-)

(-)

Nervi Cranialis N I. Olfaktorius Daya Penghidu

: Normosmia / Normosmia

N II. Optikus Ketajaman Penglihatan

: Baik / Baik

Pengenalan Warna

: Baik / Baik

Lapang Pandang

: Baik / Baik

Fundus

: Tidak dilakukan

N III. Occulomotorius/ N IV. Trochlearis /N VI. Abduscen Ptosis

: (-)

(-)

Strabismus

: (-)

(-)

Nistagmus

: (-)

(-)

Exopthalmus

: (-)

(-)

Enopthalmus

: (-)

(-)

Gerakan Bola Mata 5

Lateral

: (+)

(+)

Medial

: (+)

(+)

Atas Medial

: (+)

(+)

Bawah Medial

: (+)

(+)

Atas

: (+)

(+)

Bawah

: (+)

(+)

Ukuran

: Ǿ3 mm

Ǿ3 mm

Bentuk

: Bulat

Bulat

Iso/anisokor

: Isokor

Posisi

: Sentral

Sentral

Reflek Cahaya Langsung

: (+)

(+)

Reflek Cahaya Tidak Langsung

: (+)

(+)

Pupil

N V. Trigeminus Menggigit

: (+)

Membuka Mulut

: Simetris

Sensibilitas Atas

: (+)

(+)

Tengah

: (+)

(+)

Bawah

: (+)

(+)

Reflek Masseter

: Baik

Reflek Kornea

: Baik

Reflek Bersin

: Tidak dilakukan

N VII. Fasialis Pasif  Kerutan kulit dahi

: Tidak simetris (dahi kiri tidak ada

kerutan)  Kedipan mata

: Simetris kanan dan kiri

 Lipatan nasolabial

: Tidak simetris kanan kiri

 Sudut mulut

: Tidak simetris kanan kiri

6

Aktif  Mengerutkan dahi

: Tidak simetris, dahi kiri tidak dapat

dikerutkan  Mengerutkan alis

: Tidak simetris, alis kiri tidak dapat

dikerutkan  Menutup mata

: Tidak simetris, lagoftalmus kiri

 Meringis

: Tidak simetris kanan kiri

 Menggembungkan pipi

: Tidak simetris, pipi kiri tidak bisa

digembungkan  Gerakan bersiul

: Tidak apat dilakukan

 Daya pengecapan lidah 2/3 depan

: Tidak dilakukan

 Hiperlakrimasi

: (+) mata kiri

 Lidah kering

: (-)

N VIII. Vestibulocochlearis Mendengar suara gesekan jari tangan

: (+) / (+)

Mendengar detik jam arloji

: (+) / (+)

Tes swabach

: Tidak dilakukan

Tes rinne

: Tidak dilakukan

Tes webber

: Tidak dilakukan

N IX. Glosopharingeus Arcus pharynx

: Simetris

Posisi uvula

: Ditengah

Daya pengecapan lidah 1/3 belakang

: Tidak dilakukan

Reflek muntah

: Tidak dilakukan

N X. Vagus Denyut nadi

: Kuat angkat, reguler

Arcus pharynx

: Simetris

Bersuara

: Baik

Menelan

: Baik 7

N XI. Accesorius Memalingkan kepala

: Bebas

Sikap bahu

: Simetris kanan kiri

Mengangkat bahu

: Dapat dilakukan

N XII. Hipoglosus Menjulurkan lidah

: Simetris

Kekuatan lidah

: Baik

Atrofi lidah

: (-)

Artikulasi

: Jelas

Tremor lidah

: (-)

Sistem Motorik Trofi

:

Gerakan

:

Kekuatan

:

Tonus

Eutrofi

Eutrofi

Eutrofi

Eutrofii

Bebas

Bebas

Bebas

Bebas

5555

5555

5555

5555

: Normotonus

Normotonus

Normotonus

Normotonus

Sistem Refleks Refleks Fisiologis Refleks Tendon :

Kanan

Kiri



Refleks Biseps

:

(+)

(+)



Refleks Triseps

:

(+)

(+)



Refleks Patella

:

(+)

(+)



Refleks Archilles

:

(+)

(+)

8

Refleks Periosteum

: Tidak dilakukan

Refleks Permukaan : 

Dinding perut

: Tidak dilakukan



Cremaster

: Tidak dilakukan



Spinchter Anii

: Tidak dilakukan

Refleks patologis kanan

kiri



Hoffman Trommer :

(-)

(-)



Babinski

:

(-)

(-)



Chaddock

:

(-)

(-)



Openheim

:

(-)

(-)



Gordon

:

(-)

(-)



Schaefer

:

(-)

(-)



Rosolimo

:

(-)

(-)



Mendel Bechterew :

(-)

(-)



Klonus paha

:

(-)

(-)



Klonus kaki

:

(-)

(-)

Sistem Sensibilitas Eksteroseptif Nyeri

: (+) / (+)

Suhu

: Tidak dilakukan

Taktil

: (+) / (+)

Proprioseptif Getar

: Tidak dilakukan

Sikap

: (+) / (+)

Tekan dalam

: (+) / (+)

9

Koordinasi dan Keseimbangan Tes Romberg

: Tidak dilakukan

Tes Tandem walking

: Tidak dilakukan

Disdiadokinesis

: Tidak dilakukan

Reboun phenomenon

: Tidak dilakukan

Finger to nose test

: Tidak dilakukan

Finger to finger test

: Tidak dilakukan

Tes tumit lutut

: Tidak dilakukan

Fungsi Otonom Miksi Inkontinensia

: (-)

Retensi

: (-)

Anuria

: (-)

Defekasi Inkontinensia

: (-)

Retensi

: (-)

Funsi Luhur

IV.

Fungsi bahasa

: Baik

Fungsi emosi

: Baik

Fungsi orientasi

: Baik

Fungsi memori

: Baik

Fungsi kognisi

: Baik

PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan laboratorium Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 3 Desember 2018 Jenis Pemeriksaan Hematologi Hematologi Lengkap Hemoglobin Hematokrit Eritrosit Leukosit

Nilai Rujukan 12 – 16 gr/dL 37 – 47 % 4.3 – 6.0 juta/uL 4800 – 10800 /uL 10

13/12/2018

7,7* 29* 3.3* 11150*

Trombosit Hitung Jenis: • Mielosit • Metamielosit • Basofil • Eosinofil • Batang • Segmen • Limfosit • Monosit

150000 – 400000 /uL

114000*

% % 0-1% 1-3% 2-6% 50-70% 20-40% 2-8%

1 1 0 2 5 74* 13* 4

MCV MCH MCHC

80-96 fL 27-32 fL 32 – 36 gr/dL

89 31 35

Detik 9.3-11,8 detik

10,9 10,6

Detik 31-47 detik

23,6 19,6

< 35 U/L < 40 U/L 20 - 50 mg/dL 0.5 - 1.5 mg/dL 135 – 147 mEq/L 3.5 – 5.0 mEq/L 95 – 105 mEq/L 70-140 mg/dL

36* 13 43 0.7 133* 4.3 98 111

Koagulasi Waktu Protombin (PT) • Kontrol • Pasien APTT • Kontrol • Pasien Kimia Klinik SGOT (AST) SGPT (ALT) Ureum Kreatinin Natrium Kalium Klorida Glukosa Darah (sewaktu)

11

V. RESUME Perempuan berusia 46 tahun datang dengan keluhan mulut mencong ke kanan sejak 1 hari SMRS. Awalnya pasien merasa mata kiri berair pada malam hari dan mulut mencong ke kanan keesokan harinya. Keluhan muncul secara tiba-tiba dan pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Keluhan lain seperti bicara pelo dan lemah pada anggota gerak disangkal. Pasien mengatakan setiap hari tidur dengan wajah berhadapan dengan AC sehingga udara dingin dari AC lebih banyak terpapar ke wajah pasien. Pada pemeriksaan fisik, untuk status internus dan psikiatri dalam batas normal. Pada status neurologis terdapat paresis N.VII perifer sinistra. Pada pemeriksaan motorik, refleks fisiologis, refleks patologis, fungsi luhur dan fungsi otonom dalam batas normal.

VI. DIAGNOSIS Diagnosa Klinis

: Paresis N.VII Perifer Sinistra

Diagnosa Topis

: Foramen stylomastoid

Diagnosa Etiologi

: Bell’s Palsy

VII. PENATALAKSANAAN Non- Medikamentosa 

Tirah baring

Medikamentosa 

IVFD Asering 20 tpm



Prednisolon 3 x 5mg PO



Mecobalamin 2 x 500mg PO



Omeprazole 2 x 40mg PO

VIII. PROGNOSIS Ad vitam

: Dubia ad Bonam

Ad fungsionam

: Dubia ad bonam

Ad sanatonam

: Dubia ad malam

12

BAB II ANALISA KASUS  Diagnosis pada pasien ini adalah: Diagnosa Klinis

: Paresis N.VII Perifer Sinistra

Diagnosa Topis

: Foramen stylomastoid

Diagnosa Etiologi

: Bell’s Palsy

Hal ini berdasarkan: 

Perempuan berusia 46 tahun datang dengan keluhan mulut mencong ke kanan sejak 1 hari SMRS. Awalnya pasien merasa mata kiri berair pada malam hari dan mulut mencong ke kanan keesokan harinya. Keluhan muncul secara tibatiba dan pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.



Berdasarkan data diatas dapat diduga bahwa pasien mengalami masalah di daerah wajah. Dapat diketahui saraf kranial yang bertanggung jawab di daerah wajah adalah saraf kranialis ketujuh. Saraf kranialis ketujuh mempunyai komponen motorik yang mempersarafi semua otot ekspresi wajah pada salah satu sisi, komponen sensorik kecil (nervus intermedius Wrisberg) yang menerima sensasi rasa dari 2/3depan lidah, dan komponen otonom yang merupakan cabang sekretomotor yang mempersarafi glandula lakrimalis.



Pada pasien tidak ditemukan keluhan lainnya seperti bicara pelo, kelemahan anggota gerak, penurunan kesadaran, muntah mendadak, sakit kepala berat, penglihatan kabur dan demam sehingga berdasarkan keluhan utama mendukung kearah Bell’s Palsy.



Bell’s palsy merupakan suatu kelumpuhan akut N. Fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya. Bell’s palsy dapat didefinisikan menjadi kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non -supuratif, non neo-plasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.



Berdasarkan letak lesi, manifestasi klinis Bell’s palsy dapat berbeda (4). Bila lesi di foramen stylomastoid, dapat terjadi gangguan komplit yang menyebabkan paralisis semua otot ekspresi wajah. Saat menutup kelopak mata, kedua mata melakukan rotasi ke atas (Bell’s phenomenon). Selain itu, mata dapat terasa berair karena aliran air mata ke sakus lakrimalis yang dibantu 13

muskulus orbikularis okuli terganggu. Manifestasi komplit lainnya ditunjukkan dengan makanan yang tersimpan antara gigi dan pipi akibat gangguan gerakan wajah dan air liur keluar dari sudut mulut. 

Lesi di kanalis fasialis (di atas persimpangan dengan korda timpani tetapi di bawah ganglion genikulatum) akan menunjuk semua gejala seperti lesi di foramen stylomastoid ditambah pengecapan menghilang pada dua per tiga anterior lidah pada sisi yang sama. Bila lesi terdapat di saraf yang menuju ke muskulus stapedius dapat terjadi hiperakusis (sensitivitas nyeri terhadap suara keras). Selain itu, lesi pada ganglion genikulatum akan menimbulkan lakrimasi dan berkurangnya salivasi serta dapat melibatkan saraf kedelapan.



Bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan. Fisura palpebral tidak ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun di situ.



Berdasarkan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg, sedangkan untuk status neurologis kesadaran compos mentis, E4V5M6. Pada pemeriksaan neurologis didapatkan paresis N.VII perifer sinistra yaitu mulut mencong ke kanan, alis kiri tidak terangkat, tidak bisa mengerutkan dahi kiri, lagoftalmus kiri, pipi kiri tidak dapat digembungkan. Pemeriksaan saraf cranial lainnya dalam batas normal, motorik dan sensorik dalam batas normal.



Pemeriksaan ini sesuai dengan klinis Bell’s Palsy yaitu kelemahan pada seluruh wajah sisi yang terkena. Tanda klinis yang membedakan Bell’s palsy dengan stroke atau kelainan yang bersifat sentral lainnya adalah tidak terdapatnya kelainan pemeriksaan saraf kranialis lain, motorik dan sensorik ekstremitas dalam batas normal, dan pasien tidak mampu mengangkat alis dan dahi pada sisi yang lumpuh.



House Brackmann Classification of Facial Function Derajat 1 > Fungsional normal Derajat 2 > Angkat alis baik, menutup mata komplit, mulut sedikitasimet ris.

14

Derajat 3 >Angkat alis sedikit, menutup mata komplit denganusaha, mulut bergerak sedikit lemah dengan usaha maksimal. Derajat 4 >Tidak dapat mengangkat alis, menutup matainkomplit dengan usaha, mulut bergerak asimetris dengan usaha maksimal. Derajat 5 >Tidak dapat mengangkat alis, menutup mata inkomplit dengan usaha, mulut sedikit bergerak. Derajat 6 >Tidak bergerak sama sekali.  Pemeriksaan Anjuran 

Laboratorium : Pemeriksaan darah lengkap dilakukan untuk mencari

tanda- tanda

infeksi. 

Pemeriksaan Radiologi

-

Foto polos: Untuk melihat apakah ada fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP).

-

EMG: Untuk menilai kecepatan hantar saraf.

-

Mielografi, Mielo-CT, CT scan, MRI: untuk melihat apakah ada tumor pada otak. Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan penyengatan kontras saraf fasialis.

 Penatalaksanaan pada pasien ini dilakukan berdasarkan : 

Pada teori didapatkan terapi rehabilitasi medik untuk Bell’s Palsy yang dapat dilakukan, ialah:



Program Fisioterapi

o

Pemanasan: Pemanasan superfisial dengan infrared, pemanasan profunda berupa Shortwave Diathermy.

o

Latihan otot-otot wajah dan massage wajah: Latihan gerak volunteer diberikan setelah fase akut, latihan berupa mengangkat alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi, menutup mata, dan mengangkat sudut mulut, tersenyum, bersiul atau meniup (dilakukan di depan kaca dengan konsentrasi penuh). Massage pada fase akut bell’s palsy diberi gentle massage secara perlahan dan berirama. Hal ini untuk memberikan relaksasi otot dan mempertahankan tonus otot. Setelah lewat fase akut diberi Deep

15

Kneuding Massage sebelum latihan gerakan volunteer wajah. Deep Kneuding Massage memberikan efek mekani terhadap pembuluh darah vena dan limfe. Massage daerah wajah dibagi 4 daerah yaitu dagu, mulut, hidung dan dahi. Semua gerakan diarahkan keatas, lamanya 5-10 menit. 

Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing. Proteksinya dapat dilakukan dengan penggunaan air mata buatan (artificial tears), pelumas (saat tidur), kaca mata, plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral (penjahitan bagian lateral kelopak mata atas dan bawah).



Pada pasien ini diberikan terapi cairan berupa RL 20 tetes per menit, untuk memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit, serta untuk memasukkan obat melalui vena.



Prednisolon 3x5mg secara oral merupakan obat golongan obat kortokosteroid. Obat ini umumnya digunakan untuk meminimalisasi kerusakan pada saraf. Indikasi prednisolon: Dapat digunakan pada semua pasien dengan lumpuh pada otot wajah.

Efek samping

prednisolone pada penggunaan jangka Panjang (lebih dari 2 minggu) berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes, ulkus peptikum, cushing syndrome. Dosis prednisolon yang dapat diberikan (maksimal 70 mg) adalah 1 mg per kgBB per hari peroral selama enam hari diikuti empat hari tappering off 

Omeprazol 2 x 40 mg (PO) diberikan untuk profilaksis dari efek samping gastritis kortikosterod. Omeprazole secara reversibel mengurangi sekresi asam lambung dengan menghambat secara spesifik enzim lambung pompa proton H+/ K+- ATPase dalam sel parietal.

 

Mecobalamin 2x500mcg digunakan sebagai neuroprotector.

Edukasi yang dapat diberikan: Edukasi yang dapat diberikan pada pasien Bell’s palsy dapat berupa penjelasan secara umum mengenai penyakit yang dialami oleh pasien dan apa saja yang sebaiknya dilakukan dan dihindari oleh pasien, hal ini penting dilakukan karena proses penyembuhan Bell’s palsy juga dapat dipengaruhi oleh perilaku ataupun kebiasaan pasien seperti tidur dengan menggunakan kipas angina/AC yang dihadapkan secara langsung ke wajah, dan tidur lansung dilantai tanpa 16

menggunakan alas atau kasur dengan posisi wajah menempel pada lantai. Edukasi lain yang dapat diberikan berupa pencegahan terhadap terjadinya iritasi pada mata pasien. Edukasi tersebut dapat berupa anjuran untuk menutup mata pada sisi yang sakit pada saat tidur dengan menggunakan tisu atau penutup mata yang lain dan pasien dianjurkan untuk menggunakan obat tetes mata setelah seharian beraktivitas 

Prognosis 

Prognosis Quo ad vitam

: Bonam

Karena pemeriksaan tanda vital, keadaan umum dan kesadaran pasien dalam keadaan stabil, penyakit yang dialami pasien tidak mengancam jiwa 

Quo ad fungsionam

: Bonam

Secara fungsi pasien dengan bell’s palsy tidak terganggu aktivitasnya 

Quo ad sanam

: Bonam

Karena sebagian besar bell’s palsy dapat sembuh 

Quo ad cosmeticum

: Dubia

Selama terjadi paresis NVII pasien akan merasa tidak nyaman dan kemungkinan malu dengan bentuk wajahnya.

17

DAFTAR PUSTAKA 1. Lo B. Emergency medicine-neurology: Bell’s palsy. Eastern Virginia: Medscape. 2010. 2. Ropper AH, Adams RD, Victor M, Brown RH. Disease of spinal cord, peripheral nerve, and muscle. In: Ropper AH, Brown RH, editors. Adam and Victor’s Principles of Neurology. 8th Ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2005. p. 1180-2. 3. Noback CR, Strominger NL, Demarest RJ, Ruggiero DA. Cranial nerves and chemical senses. In: Strominger NL, editor. The human nervous system: structure and function. 6th Ed. New Jersey: Humana Press; 2005. p. 253. 4. Sabirin J. Bell’s palsy. In: Hadinoto HS, Noerjanto M, Jenie MN, Wirawan RB, Husni A, Soetedjo, editors. Gangguan gerak. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 1996. p. 163-172. 5. Murakami S, Honda N, Mizobuchi M, Nakashiro Y, Hato N, Gyo K, et al. Rapid diagnosis of varicella Zoster Virus in acute facial palsy. Neurology. 1998;51:1202. 6. Ginsberg L. Penglihatan dan nervus kranialis lainnya. In: Ginsberg L, editor. Lecture Notes-Neurologi. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2005. p. 35. 7. Grosheva

M,

Wittekindt

electroneurography

and

C,

Guntinas-Lichius

electromyography

in

O. facial

Prognostic palsy.

value

of

Laryngoscope.

2008;118:394-7. 8. Hill MD, Midroni G, Goldstein WC, Deeks SL, Low DE, Morris AM. The spectrum of electrophysiological abnormalities in Bell’s palsy. Can J Neurol Sci. 2001;28:130-3. 9. Hato N, Yamada H, Kohno H, Matsumoto S, Honda N, Gyo K, et al. Valacyclovir and prednisolone treatment for Bell’s palsy: a multicenter, randomized, placebo-controlled study. Otol Neurotol. 2007;28:408-13. 10. Lindsay RW, Robinson M, Hadlock TA. Comprehensive facial rehabilitation improves function in people with facial paralysis: a 5-year experience at the Massachussets Eye and Ear Infirmary. Phys Ther. 2010;90:391-7.

18

Related Documents


More Documents from "Albert Shanto"