Laporan Fix.docx

  • Uploaded by: Fira Arifin
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laporan Fix.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,517
  • Pages: 19
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Farmasi adalah ilmu yang mempelajari tentang cara membuat, mencampur, meracik, memformulasi, mengidentifikasi, mengkombinasi, menganalisis serta menstandarkan obat dan pengobatan, juga sifat-sifat obat beserta pendistribusian dan penggunaannya secara aman (Syamsuni, 2006). Dalam dunia farmasi selain berkaitan dengan obat jenis sintetik juga perlu

dipahami

mengenai

pengetahuan

bahan

alam

beserta

cara

penanganannya dalam rangka mengembangkan potensi bahan alam indonesia menjadi produk-produk bernilai tinggi yang bermanfaat baik secara fungsional maupun ekonomi bagi masyarakat luas. Oleh sebabnya, perlu pemahaman tentang kimia bahan alam, teknologi sediaan alam dan farmakognosi (Nugroho, 2017). Farmakognosi adalah ilmu yang mempelajari tentang pengetahuan dan pengenalan obat yang berasal dari bahan tanaman dan zat-zat aktifnya, begitu pula yang berasal dari mineral dan hewan (Tjay dan Rahardja, 2007). Farmakognosi mencakup seni dan pengetahuan pengobatan dari alam yang meliputi tanaman, hewan, mikroorganisme, dan mineral. Selain melibatkan hasil penyaringan atau identifikasi ekstrak, juga meliputi proses standarisasi bahan herbal agar sediaan obat herbal yang diproduksi memenuhi ketentuan. (Anonim, 1989). WHO

merekomendasi

penggunaan

obat

tradisional

dalam

pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan, dan pengobatan penyakit, terutama untuk penyakit kronis, penyakit degeneratif, dan kanker. WHO juga mendukung upaya-upaya dalam peningkatan keamanan dan khasiat dari obat herbal (WHO, 2003). Kebijaksanaan

Obat

Nasional

(1983)

menyatakan

bahwa

penyediaan obat merupakan salah satu unsur yang penting dalam upaya pembangunan di bidang kesehatan. Obat tradisional yang terbukti berkhasiat dikembangkan dan digunakan dalam upaya kesehatan. Dalam rangka

memacu perkembangan obat tradisional tersebut, pemerintah menetapkan bahwa fitofarmaka dapat digunakan dalam sistem pengobatan formal bersama-sama dengan obat kimia. Untuk mencapai hal 2 tersebut perlu dilakukan standardisasi guna menjamin mutu produk yang dihasilkan (Ivan, 2002 cit Arini, 2004). Standarisasi adalah serangkaian parameter prosedur yang hasilnya merupakan unsur-unsur terkait paradiqma kefarmasiaan (Dirjen POM, 2000). Selain itu standarisasi juga disebut sebagai segala proses menetukan, menetapkan serta merevisi standar yang dilakukan secara tertib. Tertib yang dimaksud adalah suatu yang ditetapkan dan disusun berdasarkan konsesus seseorang yang berkaitan dengan persyaratan kesehatan, keamanan, keselamatan lingkungan, berdasarkan pengalaman, hingga perkembangan massa kini dan yang akan datang untuk memperoleh manfaat sebanyakbanyaknya (Anonim, 2008) Adapun pada praktikum kali ini dilakukan standarisasi pada sampel yakni serbuk biji cokelat (Theobroma cacao). Biji cokelat merupakan salah satu tanaman yang biasa digunakan dalam pengobatan tradisional di dalam masyarakat. Tanaman coklat (theobroma cacao) Secara empiris tanaman ini berkhasiat untuk penangkal radikal bebas, salah satu kandungan penting yang ada di dalam coklat adalah anti oksidan dan flavonoid, kandungan dari kedua zat ini memiliki fungsih utama yang sangat penting untuk menangkal radikal bebas yang akan masuk kedalam tubuh. (Sekti et al, 2008). I.2

Maksud Dan Tujuan Percobaan

I.1.2

Maksud Percobaan Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami cara-cara standarisasi obat herbal

I.1.3

Tujuan Percobaan Agar mahasiswa dapat mengetahui bagai mana cara melakukan standarisasi bahan herbal sehingga obat herbal dapat sesui dengan ketentuan fitofarmaka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II. 1

Dasar Teori

II.1.1 Pengertian Standarisasi Standarisasi adalah serangkaian proses yang melibatkan berbagai metode analisis kimiawi berdasarkan data farmakologis, melibatkan analisis fisik dan mikrobiologi berdasarkan kriteria umum keamanan (toksikologi) terhadap suatu ekstrak (Saifudin et al, 2011). Standarisasi secara normatif ditujukan untuk memberikan efikasi yang terukur secara farmakologis dan menjamin keamanan konsumen. Standarisasi obatherbal meliputi dua aspek: a. Aspek parameter spesifik: befokus pada senyawa atau golongan senayawa yang bertanggung jawab terhadap aktivitas farmakologis. Analisis kimia yang dilibatkan ditujukan untuk analisa kualitatif dan kuantitatif terhadap senyawa aktif. b. Aspek parameter non spesifik: berfokus pada aspek kimia, mikrobiologi, dan fisik yang akan mempengaruhi keamanan konsumen dan stabilitas. Misal kadar logam berat, aflatoksin, kadar air dan lain-lain. II.1.2 Pengertian Obat Tradisional Obat tradisional adalah bahan atau ramuan berupa bahan tanaman, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan-bahan tersebut yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Obat tradisional baik berupa jamu maupun tanaman obat keluarga masih banyak digunakan oleh masyarakat, terutama dari kalangan menengah ke bawah. Bahkan dari masa ke masa obat tradisional mengalami perkembangan semakin meningkat, terlebih dengan munculnya isu kembali ke alam (back to nature) (Sinaga, 2009). Obat tradisional awalnya digunakan berdasarkan warisan turun temurun dari nenek moyang secara konvensional. Pemakaiannya pun berdasarkan pengalaman dan kepercayaan secara empiris di kalangan masyarakat. Dalam perkembangannya obat tradisional telah mulai diteliti secara ilmiah guna membuktikan khasiatnya melalui uji praklinik dan uji

klinik. Namun kedokteran modern sekarang ini masih terasa kuat peranannya dalam menempatkan obat tradisional sebagai pendamping obat modern. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI: 4-6), menyebutkan obat tradisional dapat dikelompokkan enjadi 3 jenis, yaitu: a. Jamu (Empirical Based Herbal Medicine) adalah obat tradisional yang berisi seluruh bahan tanaman yang menjadi penyusun jamu tersebut. Jamu disajikan dalam bentuk serbuk seduhan, pil atau cairan, mengandung dari berbagai tanaman obat yang jumlahnya antara 5-10 macam bahkan bisa lebih. Jamu harus memenuhi persyaratan keamanan dan standar mutu, tetapi tidak memerlukan pembuktian ilmiah sampai uji klinis, cukup dengan bukti empiris. Kriteria yang harus dipenuhi dalam suatu sediaan jamu adalah: aman, klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris dan memenuhi persyaratan mutu. b. Obat herbal terstandar (Standarized Based Herbal Medicine) merupakan obat tradisional yang disajikan dari hasil ekstraksi atau penyarian bahan alam, baik tanaman obat, binatang, maupun mineral. Proses pembuatan obat herbal terstandar membutuhkan peralatan yang tidak sederhana dan lebih mahal dari jamu. Pembuktian ilmiah merupakan penunjang obat herbal berstandar berupa penelitian praklinis yang meliputi standardisasi kandungan senyawa berkhasiat dalam bahan penyusun, standardisasi pembuatan ekstrak yang higienis serta uji toksisitas maupun kronis. c. Fitofarmaka (Clinical Based Herbal Medicine) merupakan obat tradisional yang dapat disejajarkan dengan obat modern. Proses pembuatan fitofarmaka telah terstandardisasi yang didukung oleh bukti ilmiah sampai uji klinis pada manusia. Pembuatannya diperlukan peralatan berteknologi modern, tenaga ahli, dan biaya yang tidak sedikit. Menurut Suharmiati dan Handayani (2006) dikutip oleh Sinaga (2009), obat tradisional industri diproduksi dalam bentuk sediaan modern berupa herbal terstandar atau fitofarmaka seperti tablet dan kapsul, juga bentuk sediaan lebih sederhana seperti serbuk, pil, kapsul, dan sirup. Bentuk

sediaan obat tradisional seperti serbuk, pil, kapsul, dan sirup harus menjamin mutu yang sesuai dengan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB). II.1.3 Pengertian Simplisia Simplisia adalah bahan alamiah yang digunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dikatakan lain berupa bahan yang telah dikeringkan (Anonim, 1995). Dalam Materia Medika Indonesia simplisia dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: simplisia nabati, simplisia hewani, dan simplisia pelikan (mineral). Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman, atau eksudat tanaman. Eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau isi sel yang dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya, atau senyawa nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya dan belum berupa senyawa kimia murni (Dirjen POM, 1995). Simplisia sebagai produk hasil pertanian atau pengumpulan dari tanaman liar (wild crop) memiliki kandungan kimia yang tidak terjamin selalu konstan karena adanya variabel bibit, temperatur tumbuh, iklim, kondisi (umur dan cara) panen, serta proses pasca panen dan preparasi akhir. Variasi kandungan senyawa dalam produk hasil panen tanaman obat disebabkan oleh beberapa aspek sebagai berikut (Anonim, 2000) : II.1.4 Ekstraksi Ekstraksi suatu tanaman obat adalah pemisahan secara kimia atau fisika suatu bahan padat atau bahan cair dari suatu padatan, yaitu tanaman obat (Anonim, 2000). Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dibedakan menjadi dua cara yaitu: cara dingin dan cara panas. Cara dingin terbagi menjadi dua yaitu: maserasi dan perkolasi, sedangkan cara panas terbagi dalam empat jenis yaitu: refluks, soxhlet, digesti, infusa, dan dekokta (Dirjen POM, 2000). Maserasi

adalah

proses

pengekstrakan

simplisia

dengan

menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan

pada temperatur ruangan (suhu kamar) (Dirjen POM, 2000). Maserasi berasal dari bahasa latin macerase yang berarti mengairi dan melunakkan. Maserasi merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana. Dasar dari maserasi adalah melarutnya bahan kandungan simplisia dari sel yang rusak, yang terbentuk pada saat penghalusan, ekstraksi (difusi) bahan kandungan dari sel yang masih utuh. Setelah selesai waktu maserasi, artinya keseimbangan antara bahan yang diekstraksi pada bagian dalam sel dengan yang masuk kedalam cairan telah tercapai, maka proses difusi segera berakhir (Voigt, 1994). II.1.5 Standarisasi obat herbal Standarisasi obat herbal merupakan serangkaian proses melibatkan berbagai metode analisis kimiawi berdasarkan data farmakologis, melibatkan analisis fisik dan mikrobiologi berdasarkan kriteria umum keamanan (toksikologi) terhadap suatu ekstrak alam atau tanaman obat herbal (Dirjen POM, 2000). Standarisasi dalam kefarmasian tidak lain adalah serangkaian parameter, prosedur dan cara pengukuran yang hasilnya merupakan unsurunsur terkait paradigma mutu kefarmasian, mutu dalam artian memenuhi syarat standar (kimia, biologi, dan farmasi), termasuk jaminan (batas-batas) stabilitas sebagai produk kefarmasian umumnya. Dengan kata lain, pengertian standarisasi juga berarti proses menjamin bahwa produk akhir obat (obat, ekstrak atau produk ekstrak) mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan dan ditetapkan terlebih dahulu. Terdapat dua factor yang mempengaruhi mutu yaitu factor biologi dari bahan asal tanaman obat dan factor kandungan kimia bahan obat tersebut. Standarisasi terdiri dari parameter standar spesifik dan parameter standar non spesifik (Dirjen POM, 2000). II.2

Uraian Bahan 1. Alkohol 70% (Dirjen POM, 1995 ; Rowe, 2009) Nama resmi

: AETHANOLUM

Nama lain

: Etanol, Alkohol

RM/ BM

: C2H5OH / 46,07

Rumus struktur

:

H

H

H – C – C - OH H

Pemerian

H

: Cairan tak berwarna, jernih, mudah menguap dan mudah bergerak, bau khas, rasa panas dan mudah terbakar.

Kelarutan

: Sangat mudah larut dalam air, dalam klorofom P dan dalam eter P

Penyimpanan

: Dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya, ditempat sejuk, dan jauh dari nyala api

Khasiat

: Antiseptik (digunakan pada bagian tubuh yang mengalami luka atau sayatan bedah untuk mencegah infeksi) dan Desinfektan (digunakan pada permukaan bukan tubuh seperti alat operasi atau ruang operasi

untuk

menghancurkan

mikroba berbahaya) Kegunaan II.3

:

Untuk membersihkan sampel

Morfologi Tanaman Coklat (Theobroma Cacao) Klasifikasi Tanaman Coklat (Cronquist, 1981) Kerajaan

: Plantae

Divisi

: Magnoliophyta

Kelas

: Magnoliopsida

Bangsa

: Malvales

Suku

: Sterculiaceae

Genus

: Theobroma

Spesies

: Theobroma cacao L.

Gambar Cokelat (Theobroma cacao )

Coklat (Theobroma

Morfologi Coklat a.

Akar Perakaran tanaman kakao sangat beragam dan bervariasi tergantung dengan media tanah yang digunakan, namun pada umumnya tanaman kakao memiliki akar tunggang, memanjangberkisar 30-35 cm dalam tanah. Perajaran tanaman kakao juga tergantung dengan tanaman kakao liar akar akan tunggang lebih pendek dan akar lateral lebih meluas dan banyak (Abdolerachman, 1979).

b.

Daun Daun berbentuk bulat memanjang, ujung daun meruncing, pangkal daun meruncing dan susunan pertulangan menyirip serta memiliki permukaan bahwa menonjol. Pada tanaman tunas ortotrop, tangkai daun dengan panjang 7,5-10 cm dan tunas plagiotrop panjang tangkai daun 2,5 cm.

c.

Batang Batang memanjang dengan membentuk bulat berdiameter 3-5 cm bahkan lebih tergantung dengan pertumbuhan tanaman, berwarna kecoklatan bergetah dan juga permukaan kulit kasar,. Percabangan tanaman coklat sangat banyak, dalam satu tanaman percabangan akan berkisar 5-10 percabangan dan bahkan juga percabangan tersebut berbentuk tidak beraturan. Adapun yang menyebutkan arah kehorizontal dan tidak rimbun.

Kandungan coklat Asam oleat. Asam lemak tak jenuh. Ditemukan pada minyak zaitun. Studi epidemiologis pada penduduk mediterania yang banyak mengkonsumsi asam oleat dari minyak zaitun, menyimpulkan bahwa efek positif bagi kesehatan jantung (Brotodjojo, 2008). Manfaat coklat Mencegah penyakit jantung karena mengandung beberapa bahan kimia yang membuat system kardiovaskular sahabat CNI berjalan lancar. Membantu menurunkan berat badan.

BAB III METODE KERJA III.1

Alat dan bahan

III.1.1 Alat

Api Bunsen

Cawan porselen

Desikator

Neraca Analitik

Oven

Penjepit

Sendok tanduk

Kompor

III.1.2 Bahan

Alkohol 70%

Tissue

III.3

Aluminium foil

Sampel biji coklat

Cara kerja

1. Kadar abu a. Dimasukan cawan porselen dalam oven dengan suhu1800 C selama 10 menit b. Dimasukan cawan dalam desikator selama 5 m3nit c. Ditimbang cawan menggunakan neraca analitik dan catat hasilnya sebagai MO d. Dimasukan serbuk simplisia kedalam cawan sebanyak 5 gr e. Dimasukan cawan kedalam oven selama 30 menit pada suhu 1800 C f. Dimasukan cawan kealam desikator selama 5 menit ditimbang kemudian dicatat hasilnya sebagai M1 g. Dibakar sampel diatas Bunsen sampai hilang asapnya h. Dimasukan sampel kedalam oven selama 15 menit pada suhu 1800 C i. Dimasukan kedalam desikator dan didiamkan selama 5 menit j. Ditimbang menggunakan neraca analitik dan catat hasilnya sebagai M2 k. Dihitung kadar abu dengan rumus M1 – M2 / Z x 100 % =…???

2. Kadar air a. Dimasukan cawan yang dibungkus aluminium foil ke dalam oven pada suhu 1050 C selama 10 menit b. Dipindahkan kedalam desikator selama 15 menit c. Ditimbang cawan setelah melepaskan bungkusan aluminium foil catat sebagai X, kemudian dinol kan dan masukan bahan serbuk sebanyak 5 gr sebagai Y d. Dimasukan cawan yang sudah diisi bahan kedalam oven selam 15-30 menit, setelah itu ditimbang kembali sebagai Z e. Dihitung kadar air dari sampel dengan menggunakan rumus X+Y-Z / Y x 100% =…??? 3. Susut pengeringan a. Dipanaskan cawan petri kosong dalam oven pada suhu 1800 C selama 15 menit b. Dimasukan kedalam desikator selama 5 menit c. Ditimbang sebagai bobot awal hitung sebagai M0 d. Diambil serbuk sebanyak 10 gr sebagai X, masukan kedalam cawan petri e. Ditimbang cawan petri dan sampel kemudian hitung sebagai M1 f. Dimasukan kedalam oven selama 15 menit g. Dimasukan cawan petri kembali kedalam desikator h. Ditimbang cawan petri dan sampel dan hitung sebagai M2 i. Diulangi langkah F dan H sampai mendapatkan M4 j. Dihitung susut pengeringan sampel dengan menggunakan rumus X (MX - M0 X 100 / 10 = … ??? Dengan catatan Mx dihitung M1 - M4

BAB IV PEMBAHASAN IV.1 Hasil Pengamatan

IV.2

Sampel

Kadar Air

Serbuk Biji Coklat

%

Sampel

Kadar Abu

Serbuk Biji Coklat

%

Sampel

Susut Pengeringan

Serbuk Biji Coklat (M1)

1,7%

Serbuk Biji Coklat (M2)

5,26%

Serbuk Biji Coklat (M3)

8,77%

Serbuk Biji Coklat (M4)

10%

Perhitungan

IV.2.1 % Kadar Air Diketahui

: Berat cawan porselen kosong (X)

= 20,0290 g

Berat sampel sebelum pengeringan (Y) = 6 g Berat Sampel sesudah pengeringan (Z) = 5,691 g Ditanyakan

: Kadar air = …?

Penyelesaian : Kadar Air = =

x+y-z y

x 100%

20,0290 g + 6 g – 5,691

= 3,38%

6g

x 100 %

IV.2.2 % Kadar Abu Diketahui

Ditanya

: Berat sampel setelah pengeringan (M1)

= 27,2938 g

Berat sampel seelah pembakaran (M2)

= 35,2303 g

Berat sampel (Z)

=6g

: % Kadar abu = ..?

Penyelesaian M2-M1

Kadar Abu =

Z

=

35,2303 g - 27,2938 g 6g

= 1,32% IV.2.3 Susut Pengeringan Diketahui

: X = 5,7 gram Mo= 29,7084 gram M1= 35,40 gram M2= 25,11 gram M3= 25 gram M4= 29,7 gram

Ditanyakan

: Susut Pengeringan M1, M2, M3, M4 = …?

Penyelesaian : 1. Susut pengeringan M1 = =

X – (M1 - Mo ) X

x 100%

5,7 – (35,40 – 29,7084 ) 5,7

x 100%

= 1,7 % 2. Susut pengeringan M2 = =

X – (M2 - Mo ) X

x 100%

5,7 – (35,11890 – 29,7084 ) 5,7

x 100%

= 5,26 % 3. Susut pengeringan M3 = =

X – (M3 - Mo ) X

x 100%

5,7 – (35 – 29,7084 ) 5,7

= 8,77 %

x 100%

4. Susut pengeringan M4 = =

X – (M4 - Mo ) X

x 100%

5,7 – (29,7 – 29,7084 ) 5,7

x 100%

= 10 % IV.3

Pembahasan Persyaratan mutu ekstrak meliputi parameter standar umum dan parameter standar spesifik. Standarisasi ini dimaksudkan agar dapat menjamin bahwa produk sampel mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan (Depkes RI, 2000). Simplisia yang akan kami amati kadar abu, air dan susut pengeringannya adalah serbuk biji coklat.

IV.3.1

Kadar Air Kadar air adalah presentase kandungan air pada suatu bahan yang dapat di kelompokkan menurut berat basah, atau berdasrkan berat kering. Kadar air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri, khamir dan kapang untuk berkembang biak, sehingga akan terjadi perubahan pada bahan pangan. Kadar air setiap bahan berbeda tergantung pada kelembaban suatu bahan. Semakin lembab tekstur suuatu bahan maka akan semakin tinggi presentase kadar air yang terkandung dalam sampel (Winarno, 1997). Penentuan kadar air pada praktikum kali ini yaitu dengan memasukkan cawan kosong yang dibungkus aluminium foil ke dalam oven selam 10 menit pada suhu 105o C. Tujuannya adalah untuk menguapkan air yang terkandung dalam sampel sudah diuapkan (Sudarmadji, 2007). Kemudian cawan dikeluarkan dan dipindahkan ke dalam desikator, fungsi desikator yaitu untuk menghilangkan kadar air dari bahan maupun cawan porselin (Shahin, 2002). Selanjutnya cawan ditimbang sebagai X, kemudian dimasukkan sampel serbuk biji coklat sebanyak 6 gram kedalam cawan sebagai Y, lalu dipanaskan dalam oven selama 15-30 menit . Setelah itu, cawan yang berisi sampel dimasukkan

kedalam desikaor selama 5 menit. Kemudian ditimbang kembali sebagai Z. Setelah selesai penimbangan, kemudian dihitung % kadar air pada sampel serbuk biji coklat dengan menggunakan rumus

x+y-z y

x 100%. Hasil

dari perhitungan tersebut adalah 3,38% sedangkan menurut SNI 01-23232008 maksimal 8%. Jadi pada praktikum kadar air untuk sampel serbuk coklat memenuhi standar kadar air sesuai SNI 01-2323-2008. IV.3.2

Kadar Abu Pengabuan merupakan suatu proses pemanasan bahan dengan suhu sangat tinggi selama beberapa waktu sehingga bahan akan habis terbakar dan hanya tersisa zat anorganik berwarna putih keabu-abuan yang disebut abu. Kandungan abu dan komposisinya bergantung pada macam bahan dan cara pengabuan yang digunakan (Muchtadi, 1989). Penetapan kadar abu bertujuan memberikan gambaran kandungan mineral baik dari dalam simplisia maupun dari mineral cemaran luar, sehingga ini biasa digunakan untuk mengetahui tingkat cemaran senyawa non organik (mineral) (Sandjaja, 2009). Penetapan kadar abu pada praktikum ini dilakukan dengan cara memasukkan cawan kosong kedalam oven selama 10 menit. Tujuannya adalah untuk menguapkan air yang terkandung dalam sampel hingga berat konstan, dimana semua air yang terkandung dalam sampel sudah diuapkan (Sudarmadji, 2007). Cawan kemudian dimasukkan kedalam desikator. Fungsi desikator yaitu untuk menghilangkan kadar air dari suatu bahan maupun cawan porselin (Anonim, 2007). Selanjutnya cawan ditimbang sebagai Mo lalu dimasukkan sampel serbuk biji kopi sebanyak 6 gram kedalam cawan lalu dipanaskan dalam oven selama 30 menit. Setelah itu cawan yang berisi sampel dimasukkan kedalam desikator selama 5 menit. Kemudian ditimbang kembali sebagai M1. Selanjutnya sampel dibakar diatas Bunsen sampai berwarna putih keabuan. Tujuannya yaitu untuk menghilangkan senyawa organic yang ada dalam sampel sehingga yang tertinggal hanya senyawa anorganiknya saja (Fennema, 1996). Setelah itu

sampel dimasukkan lagi kedalam oven selama 15 menit lalu kemdian ditimbang sebagai M2. Pada praktikum kali ini didapat % kadar abu pada sampel serbuk coklat adalah 1,32%, sedangkan menurut SNI standar % kadar abu pada serbuk coklat adalah Persen kadar abu ini biasa terjadi kesalahan pada penggunaan neraca. Neraca yang digunakan seharusnya memuat 4 angka dibelakang koma, namun yang kami gunakan adalah neraca Ohaus yang angka ketelitiannya sangat kurang. IV.3.3

Susut Pengeringan Dalam praktikum kali ini, dilakukan pengukuran parameter non spesifik berupa susut pengeringan terhadap serbuk biji coklat. Tujuannya adalah untuk mengetahui sampel tidak rusak jika disimpan dalam waktu relative lama. Parameter non spesifik susut pengeringan dilakukan untuk mengetahui presentase senyawa yang menghilang selama proses pemanasan (tidak hanya menggambarkan air yang hilang, tetapi juga senyawa menguap lain yang hilang) (Fardiaz, 1980). Penetapan susut pengeringan pada serbuk biji coklat dilakukan dengan menggunakan metode oven, yang mana pengeringan tersebut dengan cara memanasukan cawan petri kosong dalam oven selama 5 menit. Tujuannya yaitu untuk menguapkan air yang terkandung dalam sampel hingga berat konstan, dimana semua air yang terkandung dalam sampel sudah diuapkan (Sudarmadji, 2007). Kemudian dimasukkan kedalam desikator selama 5 menit. Hal ini bertujuan agar berat sampel yang dihasilka konstan karena suhu sangat mempengaruhi berat dari sampel (Saragih, 2011). Selanjutnya di timbang cawan porselin yang telah dipanaskan sebagai Mo. Setelah itu, dimasukkan serbuk biji kopi sebanyak 5,7 gram kedalam cawan porselin lalu di timbang kembali sebagai M1. Tujuan penimbangan yaitu agar dapat diketahui selisih berat gram dari awal pemanasan hingga kepemanasan yang berikutnya sehingga mudah dibandingkan penurunan beratnya (Irawati, 2008). Kemudian masukkan

sampel yang sudah ditimbang ke dalam oven selama 5 menit lalu di dinginkan lagi dalam desikator. Setelah itu tibang kembali cawan yang berisi serbuk biji kopi tersebut sebagai M2. Kemudian lakukan dengan cara yang sama hingga diperoleh nilai M4. Susut pengeringan serbuk biji cokltat diperoleh sebesar 1,7 % pada susut pengeringan M1, 5,26 % pada susut pengeringan M2, 8,77 % pada susut pengeringan M3, 10% pada susut pengeringan M4. Nilai ini menyatakan jumlah maksimal senyawa yang mudah menguap atau hilang pada proses pengeringan. Nilai susut pengeringan dalam hal khusus identik demgan kadar air jika bahan tidak mengandung minyak atsiri dan sisa pelarut organic yang menguap. Susut pengeringan ditentukan untuk menjaga kualitas sampel yang berkaitan dengan kemungkinan tumbuhnya jamur pada sampel (Suharmadji, 1989) Pada sampel serbuk biji coklat didapatkan % kadar susut pengeringan yang bervariasi. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya kesalahan prosedur. Salah satunya mungkin disebabkan karena kurang teliti dalam melakukan perhitungan, penimbangan, dan metode pemanasan. Selain itu, perbedaan ini dapat disebabkan karena pengaruh alat-alatnya seperti timbangan analitik yang sulit stabil dank arena bahan yang digunakan sudah terkontaminasi dengan bahan lain ketika penyimpanan atau ketika berada dalam desikator.

BAB V PENUTUP V.1

Kesimpulan Pada praktikum kali ini didapat hasil kadar air dan kadar abu pada sampel yang digunakan yakni 3,38% dan 1,32%. Dari hasil yang didapat disimpulkan bahwa kadar air dan kadar abu yang terdapat pada sampel telah sesuai dengan ketentuan umum. Olehnya dapat dikatakan pula bahwa sampel yang digunakan berdasarkan tahapan standarisasi yang sudah dilakukan telah sesuai dengan ketentuan fitofarmaka.

V.2

Saran

V.2.1 Asisten Diharapkan kepada asisten agar lebih mengawasi dan membimbing praktikan terutama yang belum paham tentang metode standarisasi obat herbal V.2.2 Praktikan Dalam melakukan praktikum, praktikan harus mengerjakan dengan telitih dan hati-hati agar mendapat hasil yang valid. Praktikan juga harus tenang dan tidak ribut saan melakukan praktikum. V.2.3 Laboratorium Sebaiknya laboratorium bahan alam dijaga kebersihan dan kenyamananya dan lebih disediakan alat alat yang akan digunakan pada saat praktikum, agar praktikum berjalan dengan lancar.

Related Documents

Tugas Pkn Individu Fixdocx
October 2019 113
Laporan
August 2019 120
Laporan !
June 2020 62
Laporan
June 2020 64
Laporan
April 2020 84
Laporan
December 2019 84

More Documents from "Joseph Gilbert"