PATOGENESIS RAS Mulut merupakan pintu gerbang masuknya kuman-kuman atau rangsanganrangsangan yang bersifat merusak. Pada keadaan normal di dalam rongga mulut terdapat bermacam–macam kuman yang merupakan bagian daripada “flora mulut” dan tidak menimbulkan gangguan apapun dan disebut apatogen. Jika daya tahan mulut atau tubuh menurun, maka kuman–kuman yang apatogen itu menjadi patogen dan menimbulkan gangguan atau menyebabkan berbagai penyakit atau infeksi. (Nanchi, 2008) Rangsangan perusak yang masuk akan ditanggapi tubuh secara normal, yaitu dieliminasi dengan cara aksi fagositosis. Reaksi tubuh terhadap rangsangan yang merusak itu bertujuan untuk mengurangi atau meniadakan peradangan tersebut. Namun, kerusakan jaringan dapat terjadi bila reaksi tubuh berlebihan sehingga reaksi pertahanan yang tadinya dimaksudkan untuk melindungi struktur dan fungsi jaringan justeru berakhir dengan kerusakan jaringan itu sendiri. Hal ini berarti terjadi ketidak seimbangan immunologik yang menyangkut komponen vaskuler, seluler dan matriks daripada jaringan. Dalam hal ini sistem imun yang telah dibangkitkan untuk melawan benda asing oleh porsi reaksi yang tidak seimbang akhirnya ikut merusak jaringan-jaringan disekitarnya. Misalnya pelepasan mediator aktif dari aksi-aksi komplemen, makrofag, sel plasma, sel limposit dan leukosit, histamin, serta prostaglandin. (Nanchi, 2008) Imunitas yang paling banyak berperan pada SAR adalah imunitas seluler. Limfosit merupakan tipe sel dominan pada lesi SAR. Terjadi reaksi silang mikroba dengan antigen mukosa mulut dan menginduksi respon imun dengan terbentuknya autoantibodi terhadap epitel rongga mulut. (Haikal, 2010) Pada masa pra- ulserasi terlihat sel CD4 banyak, sedangkan sel CD8 sedikit, dengan perbandingan CD4 / CD8 = 2 : 1. Pada masa ulserasi, CD8 jumlahnya meningkat banyak, sedangkan CD4 hanya sedikit dengan perbandingan CD4 / CD8 = 1 : 10. Pada waktu penyembuhan, CD4 meningkat kembali dan hanya terdapat sedikit CD8 dengan perbandingan CD4 / CD8 = 10 : 1. Hal ini menunjukkan tidak adanya keseimbangan regulasi sistem kekebalan lokal. Sel T subset dalam hal ini (CD4 dan CD8) berperan utama pada kekuatan respon sistem kekebalan. (Haikal, 2010) Sel NK juga berpengaruh terhadap SAR oleh karena infeksi virus. Sel NK diketahui memiliki kemampuan untuk melisiskan sel yang terinfeksi virus. Namun, pada penderita
RAS, sel NK diketahui berkurang secara signifikan sehingga infeksi virus dapat menyebabkan terbentuknya ulserasi. (Haikal, 2010) Sitokin merupakan mediator utama dalam respon imun melawan mikroorganisme tumor dan self- antigen. Sitokin diproduksi oleh sel T helper tipe 1 (IL-2, IL-12, IFN-γ, dan TNF-α) yang mana diperkirakan mendukung inflamatori yang menginduksi imunitas sel penghalang dan tipe 2 (IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, dan IL-13) yang mana juga merupakan antiinflamatori yang menaikkan imunitas humoral. Oleh karena itu peran sitokin penting dalam penetapan aktivasi imunitas. (Haikal, 2010) Peningkatan paparan dari sitokin pro-inflamatori (IL-2, IL-12, IFN-γ, dan TNF-α) dan mekanisme imunosupresif yang inadekuat dapat menyebabkan respon imun berlebihan pada antigen oral. Kenyataan ini dapat memunculkan gejala klinis pada RAS. Peningkatan paparan TNF-α, IFN-γ, dan IL-6 juga dapat menyebabkan maturasi sel epitel oral dan aktivasi sel T. Destruksi jaringan ikat pada RAS secara potensial mengaktivasi sel sitotoksik yang mana dapat menyebabkan gambaran lesi pada tingkat lokal. (Haikal, 2010) Perubahan kadar estrogen dan progesteron dalam siklus menstruasi juga mempengaruhi pembentukan RAS. Menurut siklus menstruasi, fase luteal terjadi pada hari ke- 15 sampai dengan 28. Pada fase ini terjadi penurunan kadar progesteron dan estrogen dalam siklus menstruasi. Penurunan kadar estrogen dapat merangsang maturasi lengkap sel epitel mukosa mulut. Rendahnya kadar progesteron dari normal juga beresiko tinggi terhadap terjadinya RAS sebab efek self-limiting process bisa berkurang, PMN leukosit menurun, dan permeabilitas vaskuler menurun sehingga aliran dan suplai darah ikut menurun. Hal ini dapat memperlambat proses keratinisasi dan timbul reaksi pertahanan tubuh yang berlebih. Apabila didapati oral hygiene yang buruk terutama pada fase luteal dalam siklus menstruasi, maka invasi bakteri dapat dengan mudah menembus barrier pertahanan rongga mulut dan menciptakan bentukan ulser (RAS). (Thantawi, 2014) Stress juga dapat mempengaruhi timbulnya RAS. Respon stress mengakibatkan hipotalamus mengeluarkan CRH (Corticotropin Hipotalamus- Releasing Hormone) kemudian CRH menstimulasi kelenjar pituitary melepas ACTH (Adenocorticotropic Hormone). ACTH menstimulasi korteks adrenal memproduksi kortisol. Glukokortikoid yang termasuk kortisol akan menekan fungsi imun seperti fungsi IgA, IgG, dan fungsi neutrofil. Fungsi IgA adalah mengikat virus maupun bakteri sehingga mencegah mikroorganisme tersebut melekat pada permukaan mukosa. IgA mengaktivasi komplemen melalui jalur alternatif sehingga
mikroorganisme mudah difagositosis. Penurunan fungsi IgA pada stres akan mempermudah perlekatan mikroorganisme ke mukosa sehingga mikroorganisme mudah invasi ke mukos, mikroorganisme juga sulit di fagosit menyebabkan mudah terjadi infeksi. (Hernawati, 2013) IgG merupakan imunoglobulin utama yang dibentuk atas rangsangan antigen. IgG paling mudah berdifusi ke dalam jaringan ekstravaskuler dan melakukan aktivitas antibodi di jaringan. IgG melapisi mikroorganisme sehingga partikel itu lebih mudah difagositosis, disamping itu IgG juga mampu menetralisasi toksin dan virus. Penurunan fungsi IgG pada stres akan memudahkan terjadinya kondisi patologis, karena penurunan fagositosis, toksin dan virus tidak bisa dinetralisir. (Hernawati, 2013) Neutrofil bereaksi cepat terhadap rangsangan, dapat bergerak menuju daerah inflamasi karena dirangsang oleh faktor kemotaktik antara lain dilepaskan oleh komplemen dan limfosit teraktivasi. Seperti halnya makrofag, fungsi neutrofil yang utama adalah memberikan respon imun non spesifik dengan melakukan fagositosis serta membunuh dan menyingkirkan mikroorganisme. Fungsi ini didukung dan ditingkatkan oleh komplemen atau antibodi. Neutrofil juga mempunyai granula yang berisi enzim perusak dan berbagai protein yang merusak mikroorganisme pada kondisi stres fungsi neurtofil mengalami penurunan, fagositosis menurun, penurunan dalam membunuh mikroorganisme. (Hernawati, 2013) Respons dari stres mengeluarkan glukokortikoid termasuk kortisol, glukokortikoid termasuk kortisol efek terhadap sistem imun, yaitu imunosupresi dan efek anti- inflamasi. Efek ini lebih banyak melibatkan respos imun selular, efek anti inflamasi yaitu menekan penimbunan sel–sel lekosit pada daerah radang. Kortisol menekan IgA, IgG dan sel neutrofil akan menyebabkan mudah terjadi infeksi. Banyaknya mediator IL-1 dan matrik metaloproteinase menyebabkan terjadinya penyakit RAS. (Hernawati, 2013) RAS juga dapat timbul akibat dari anemia pernisiosa. Anemia pernisiosa disebabkan oleh malabsorbsi vitamin B12. Pada penderita anemia, aktivitas enzim di mitokondria menurun karena terganggunya transpor oksigen dan nutrisi. Hal ini menyebabkan penurunan diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel dimana diferensiasi sel epitel ke stratum korneum dapat terhambat pula. Mukosa oral akan menjadi lebih tipis sehingga lebih rentan terhadap invasi bakteri yang dapat menyebabkan ulser. (Garcia, 2009) Tahapan dari Recurrent Aphthous Stomatitis adalah :
1. Tahap premonitory berlangsung pada 24 jam pertama pengembangan RAS. Penderita mengalami sensasi terbakar atau kesemutan di lokasi pengembangan RAS. Epitel yang terinfeksi diinfiltrasi sel mononuklear dan terjadi edema. 2. Tahap pra-ulseratif terjadi selama 18 sampai 72 jam pertama (3 hari) dalam perkembangan lesi RAS. Timbul rasa sakit dari moderate sampai severe. Secara klinis,
mulai terbentuk makula atau papula eritematosa dengan adanya halo
eritematous dengan indurasi yang sedikit. Di pipi atau bibir berbentuk lesi melingkar, sedangkan pada bagian bukal sulkus labial dan vestibulum lesi berbentuk oval. Lesi dilapisi oleh fibromuskular dan terasa sangat menyakitkan. 3. Tahap ulseratif berlangsung dari 1 sampai 16 hari. Secara klinis terdapat papula atau makula dengan erosi dan membesar membentuk ulser. Ukuran maksimum terjadi pada hari ke 4 sampai hari ke 6 setelah terbentuk ulser. 2 sampai 3 hari selanjutnya rasa sakit mulai menurun tetapi terdapat rasa tidak nyaman. Gambaran klinisnya lesi diliputi oleh fibro membranus. Dasar lesi diinfiltrasi oleh neutrofil, limfosit dan sel plasma. 4. Tahap penyembuhan terjadi selama 4 sampai 35 hari. Ulser dilapisi oleh epitel dan terjadi proses penyembuhan dan rasa sakit hilang secara signifikan. Jaringan parut terjadi pada tipe mayor dan berhubungan dengan kedalaman nekrosisnya. (Khan,2006)
Daftar Pustaka: 1. Thantawi, Amelia. 2014. Stomatitis Aphtosa Rekuren (SAR) Minor Multiple Pre Menstruasi (Laporan Kasus). Padang: Odonto Dental Journal, Vol. 1 No. 2, 285- 1047 2. Haikal, Mohammad. 2010. Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren. Medan: Universitas Sumatera Utara 3. Hernawati, Sri. 2013. Mekanisme Selular dan Molekular Stres terhadap Terjadinya Rekuren Aptosa Stomatitis. Jember: Jurnal PDGI 63 (1) Hal. 36-40 | ISSN 0024-9548 4. Nanci, A., 2008, Oral Histology: Development, Structure, and Function, Mosby Elsevier: Missouri, pp: 191-4. 5. Nabiha Farasat Khan, Farkhanda Ghafoor dan Ayyaz Ali Khan. 2006. Pathogenesis of Recurrent Aphthous Stomatitis. Ilmu Kesehatan Oral Sheikh Zayed Postgraduate Medical Institute Lahore. vol: 20 (2): Pp 113-118 2006