Kasus Posisi Sengketa Pertamina Vs Karaha Bodas Company Llc.docx

  • Uploaded by: Water Tribe
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kasus Posisi Sengketa Pertamina Vs Karaha Bodas Company Llc.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 555
  • Pages: 2
Kasus Posisi Sengketa Pertamina vs Karaha Bodas Company LLC Sengketa antara Pertamina dan KBC terjadi sebagai akibat dari krisis ekonomi yang kemudian mendorong Pemerintah mengeluarkan Dekrit Presiden Nomor 47 Tahun 1997 ke dalam bentuk Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1997 yang isinya antara lain menghentikan proyek geothermal yang di dalamnya juga melibatkan PLN sebagai pihak. Merasa dirugikan KBC dengan mendasarkan pada kontrak membawa sengketa dimaksud ke Mahkamah Arbitrase di Switzerland dan putusan yang dihasilkan adalah menyatakan bahwa Pertamina dan PLN telah mengalami wanprestasi (breach of contract). Dalam kasus Pertamina melawan Karaha Bodas Company (KBC) bermula pada ditandatanganinya Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang terletak di Gunung Karaha dan Telaga Bodas Desa Sukamenak, Garut, Jawa Barat dengan kapasitas listrik 400 Mega Watt. Pertamina sebagai pelaksana mewakili negara dan KBC sebagai pengemban serta PLN yang akan bertindak sebagai pembeli tenaga listrik yang dihasilkan sepakat untuk menyelesaikan sengketa di luar peradilan umum melalui peradilan arbitrase internasional. Ketika terjadi wanprestasi KBC mengajukan gugatan perdata kepada Pertamina dan PLN di peradilan Arbitrase Unicitral di Jenewa-Swiss. Secara lengkap Sulistiono Kertawacana seorang Praktisi Hukum menguraikan kasus posisi sengketa antara Pertamina melawan Karaha Bodas Company (KBC) sebagai berikut : Proyek PLTP Karaha merupakan proyek pengembangan listrik tenaga panas bumi 400 Mega Watt (MW). Ada dua kontrak yang diteken pada 28 November 1994. Yaitu (i) Joint Operation Contract antara Pertamina dan KBC (berkaitan dengan pengembangan lapangan panas bumi) dan (ii) Energy Sales Contract antara antara Pertamina, KBC, dan PLN yang akan bertindak sebagai pembeli tenaga listrik yang dihasilkan. Namun, karena krisis ekonomi dan atas rekomendasi International Monetary Fund (IMF) maka pada tanggal 20 September 1997 Presiden RI mengeluarkan Keppres No.39/1997 tentang Penanggguhan/Pengkajian Kembali Proyek Pemerintah, BUMN, Dan Swasta yang berkaitan dengan Pemerintah/BUMN. Keppres tersebut menangguhkan pelaksanaan proyek PLTP Karaha sampai keadaan ekonomi pulih. Selanjutnya, pada 1 November 1997 melalui Keppres No.47/1997 proyek diteruskan. Namun, berdasarkan Keppres No.5/ 1998 pada tanggal 10 Januari 1998 proyek kembali ditangguhkan.

Meski akhirnya pada 22 Maret 2002 pemerintah melalui Keppres No.15/2002, berniat melanjutkannya proyek. Selanjutnya, didukung juga dengan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.216K/31/MEM/2002 tentang Penetapan Status Proyek PLTP Karaha dari Ditangguhkan Menjadi Diteruskan. Dari rentetan kisah ini, penangguhan proyek PLTP Karaha bukan kehendak Pertamina murni. Tapi, dalam rangka menjalankan kebijakan pemerintah. Artinya, penangguhan proyek merupakan dampak ikutan krisis ekonomi yang di luar kontrol Pemerintah RI, apalagi Pertamina. Karaha Bodas Company (KBC) adalah perusahaan dibawah kontrol Florida Oower & Light and Cithness Energy of New York yang berkerjasama dengan perusahaan Indonesia yaitu Pertamina. Sebagaimana tersebut di atas, kontrak yang dibuat khususnya dalam klausula penyelesaian sengketa tunduk pada UNCITRAL Arbitration Rules. Di tinjau dari aspek Hukum Perdata Internasional hal ini menggunakan titik pertalian berupa pilihan hukum (choice of law). Pilihan hukum ini dihormati dengan beberapa alasan, yaitu: Pertama, pilihan hukum sebagaimana dimaksud sangat memuaskan bagi mereka yang menganggap kebebasan individu adalah dasar murni dari hukum. Kedua, pilihan hukum dalam kontrak internasional memberikan kepastian berupa kemudahan para pihak untuk menentukan hukum yang mengatur kontrak tersebut. Ketiga, akan memberikan efisiensi, manfaat, dan keuntungan. Dan keempat, pilihan hukum akan memberikan kepada negara insentif bersaing. Putusan Arbitrase Jenewa Pada tanggal 18 Desember 2000 ini menghukum Pertamina untuk membayar ganti rugi sebesar US$ 266,166,654 dan berikut bunga 4 % pertahun karena Pertamina terbukti telah melanggar kewajiban yang seharusnya mereka penuhi sebagaimana tertuang dalam Joint OperationContract (JOC) dan Energy Sales Contract (ESC).

Related Documents


More Documents from ""