Sejarah Bank Syariah.docx

  • Uploaded by: Water Tribe
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Sejarah Bank Syariah.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,831
  • Pages: 16
Sejarah Bank Syariah Sejarah panjang kelahiran Bank Syariah pada abad ke-20 tidak terlepas dari hadirnya dua gerakan renaisans Islam modern, yaitu gerakan-gerakan neorevivalis dan modernis. Sekitar tahun 1940-an, dimana para cendikiawan islam seperti Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948) dan Mahmud Ahmad (1952) mengemukakan konsep dasar bagi hasil, yang sesuai dengan syariat islam ke dalam tulisan-tulisan yang mereka buat. Pemaparan yang lebih lengkap mengenai konsepkonsep dasar tentang perbankan syariah ditulis oleh ulama besar Pakistan, yakni Abul A’la AlMawdudi (1961) serta Muhammad Hamidullah (1944-1962). Bank dengan konsep syariah, secara kelembagaan pertama kali didirikan pada tahun 1963 di Mesir, dengan nama Myt-Ghamr Bank. Pemimpin perintis usaha ini adalah Ahmad El Najjar, yang permodalannya dibantu oleh Raja F aisal dari Arab Saudi. Myt-Ghamr Bank dinilai sukses menggabungkan manajemen perbankan Jerman dengan prinsip-prinsip muamalah berdasarkan syariat Islam, dengan meng-aplikasikannya dalam pelayanan produk bank yang efektif dan sesuai untuk daerah pedesaan, yang hampir seluruh industrinya adalah industri pertanian . Namun karena persoalan politik yang tidak mendukung, pada tahun 1967 Myt-Ghamr Bank ditutup . Kemudian untuk menggantikan Myt-Ghamr Bank, pada tahun 1971, di buat kembali Bank Islam dengan nama Nasser Social Bank, namun tujuan dari bank ini lebih bersifat sosial daripada komersil. Perkembangan Bank Syariah memasuki fase yang baru pada tahun 1974. Negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konfrensi Islam bersepakat mendirikan sebuah institusi keuangan yang menyediakan jasa finansial berbasis fee dan profit sharing untuk negara-negara anggota OKI. Maka didirikanlah Islamic Development Bank (IDB). Walaupun utamanya IDB adalah bank antar pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan dana untuk proyek pembangunan di negara-negara anggotanya, tetapi dalam prakteknya bank ini menerapkan prinsip-prinsip dasar syariat dalam mengelola keuangannya, dengan menghilangkan unsur bunga di dalam pelayanannya. hal ini mengukuhkan IDB sebagai institusi keuangan internasional yang berbasiskan syariah. Pada tahun 1975, didirikan Bank syariah swasta pertama di dunia di kota Dubai, yang diberi nama Dubai Islamic Bank. Pendirian bank ini didanai oleh sekelompok pengusaha muslim dari berbagai negara. Hal ini diikuti dengan didirikannya beberapa bank syariah di negera-negara

lainnya seperti Faysal Islamic Bank (1977) di Mesir dan Sudan, dan Kuwait Finance House yang diprkarsai oleh pemerintahan Kuwait. Sejak saat itu mendekati awal dekade 1980-an, Bank-bank Islam bermunculan di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh dan Turki. Sedangkan di Indonesia sendiri, perkembangan Bank Syariah di mulai pada tahun 1991, dengan didirikannya Bank Muamalat Indonesia. Bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Hingga tahun 2007 terdapat 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara itu bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank diantaranya merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero) dan Bank Rakyat Indonesia (Persero). Sistem syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, saat ini telah berkembang 104 BPR Syariah

Zakat dan Pajak dalam Pandangan Islam Zakat dan pajak, meski keduanya sama-sama merupakan kewajiban dalam bidang harta, namun keduanya mempunyai falsafah yang khusus, dan keduanya berbeda sifat dan asasnya, berbeda sumbernya, sasaran, bagian serta kadarnya, disamping berbeda pula mengenai prinsip, tujuan dan jaminannya. Sesungguhnya ummat Islam dapat melihat bahwa zakat tetap menduduki peringkat tertinggi dibandingkan dengan hasil pemikiran keuangan dan perpajakan zaman modern, baik dari segi prinsip maupun hukum-hukumnya. Untuk Bagian terakhir ini Yusuf Al Qardhawi menjelaskan sangat detil dalam 8 bab:

Hakikat Pajak dan Zakat

Pajak ialah kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak, yang harus disetorkan kepada negara sesuai dengan ketentuan, tanpa mendapat prestasi kembali dari negara dan hasilnya untuk membiayai pengeluaranpengeluaran umumdi satu pihak dan untuk merealisir sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik dan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai negara. Zakat ialah hak tertentu yang diwajibkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala terhadap kaum Muslimin yang diperuntukkan bagi mereka, yang dalam Quran disebut kalangan fakir miskin dan mustahik lainnya, sebagai tanda syukur atas nikmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan untuk mendekatkan diri kepadaNya, serta untuk membersihkan diri dan hartanya.

Dapat dipetik beberapa titik persamaan antara zakat dan pajak: Adanya unsur paksaan untuk mengeluarkan Keduanya disetorkan kepada lembaga pemerintah (dalam zakat dikenal amil zakat) Pemerintah tidak memberikan imbalan tertentu kepada si pemberi. Mempunyai tujuan kemasyarakatan, ekonomi dan politik disamping tujuan keuangan. Adapun segi perbedaannya: Dari segi nama dan etiketnya yang memberikan motivasi yang berbeda. Zakat: suci, tumbuh. Pajak (dharaba): upeti. Mengenai hakikat dan tujuannya Zakat juga dikaitkan dengan masalah ibadah dalam rangka pendekatan diri kepada Allah. Mengenai batas nisab dan ketentuannya. Nisab zakat sudah ditentukan oleh sang Pembuat Syariat, yang tidak bisa dikurangi atau ditambah-tambahi oleh siapapun juga. Sedangkan pada pajak bisa hal ini bisa berubah-ubah sesuai dengan polcy pemerintah. Mengenai kelestarian dan kelangsungannya, Zakat bersifat tetap dan terus menerus, sedangkan pajak bisa berubah-ubah.

Mengenai pengeluarannya, Sasaran zakat telah terang dan jelas. Pajak untuk pengeluaran umum negara. Hubungannya dengan penguasa, hubungan wajib pajak sangat erat dan tergantung kepada penguasa. Wajib zakat berhubungan dengan Tuhannya. Bila penguasa tidak berperan, individu bisa mengeluarkannya sendiri-sendiri. Maksud dan tujuan, zakat memiliki tujuan spiritual dan moral yang lebih tinggi dari pajak. Berdasarkan point-point di atas dapatlah dikatakan bahwa “zakat adalah ibadat dan pajak sekaligus”. Karena sebagai pajak, zakat merupakan kewajiban berupa harta yang pengurusannya dilakukan oleh negara. Negara memintanya secara paksa, bila seseorang tidak mau membayarnya sukarela, kemudian hasilnya digunakan untuk membiayai proyek-proyek untuk kepentingan masyarakat. Apa yang coba diterangkan dalam masalah perpajakan dewasa ini telah dilaksanakan Islam jauh sebelumnya. Inilah syariat yang berasal dari Pembuat Syariat yang Maha Tahu. Berikut ini adalah salah satu bab dalam buku Yusuf Al Qardhawi yang mengupas hal tersebut.

Prinsip Keadilan Antara Pajak dan Zakat Para ahli ekonomi keuangan menyerukan agar dalam masalah perpajakan hendaknt tetap memegang prinsip dan kaedah yang dapat menghalangi timbulnya penipuan dan kecurangan sehingga menepati prinsip keadilan, disamping itu dapat mencapai sasaran yang tepat dengan tidak memberatkan pihak wajib pajak disatu segi dan pihak pelaksana administrasi keuangan di sisi lain. Hal ini ternyata sudah diterapkan Islam dalam mekanisme zakat jauh sebelumnya. Dikenal empat prinsip yang mesti diperhatikan dalam soal perpajakan, yaitu: keadilan, kepastian, kelayakan dan ekonomis.

Tentang Keadilan

Ini merupakan prinsip pertama yang wajib diperhatikan dalam setiap pajak yang dikenakan pada masyarakat. Prinsip yang sesuai dengan syariat Islam, dimana Islam menuntutnya dalam segala hal. Prinsip keadilan ini dijumpai pada: Sama rata dalam kewajiban zakat. Setiap Muslim yang mempunyai satu nisab zakat adalah wajib zakat tanpa memandang bangsa, warna kulit, keturunan atau kedudukan dalam masyarakat, laki-laki, perempuan, pemerintah, yang diperintah, pemimpin agama, pemimpin negara, semua sama. Membebaskan harta yang kurang dari nisab Larangan berzakat dua kali. Banyak hadits yang menerangkan larangan ini. Dalam studi perpajakan dikenal dengan nama: “Larangan Pajak Ganda”. Besar zakat sebanding dengan besar tenaga yang dikeluarkan. Semakin mudah memperoleh, semakin besar zakatnya, seperti halnya zakat pertanian ada yang 10% dan 5%. Prinsip ini masih belum begitu dihiraukan oleh para ahli keuangan. Memperhatikan kondisi dalam pembayaran. Dengan juga memperhatikan besarnya pendapatan, beban keluarga, hutang-hutang yang dimiliki, dipungut dari pendapatan bersih, dan lain-lain. Keadilan dalam praktek. Islam memberikan perhatian istimewa dan hati-hati terhadap pelaksana pemungut zakat (amil), yaitu dengan persyaratan yang tinggi untuk menjadi amil, dan posisi yang mulia bagi mereka, seperti hadits sebagai berikut: “Orang yang bekerja memungut sedekah dengan benar adalah seperti orang yang berperang di jalan Allah” (Hadits shahih). Tentang Kepastian Pengetahuan para subjek pajak tentang kewajiban-kewajibannya hendaklah pasti, tak boleh ada keraguan sedikitpun, sebab ketidakpastian dalam sistem pajak apapun sangat membahayakan bagi tegaknya keadilan dalam distribusi beban pajak. Kepastian itu sangat erat hubungannya dengan kestabilan pajak. Dalam mekanisme zakat tidak diragukan lagi bahwa kaidah ini sangat jelas. Tentang Kelayakan

Kesimpulan prinsip ini ialah menjaga perasaan wajib pajak dan berlaku sopan terhadap mereka, sehingga dengan sukarela mereka akan menyerahkan pajak itu tanpa ada rasa ragu dan terpaksa karena suatu perlakuan yang kurang baik.

Dalam zakat hal ini sudah mendapat perhatian seperti halnya: Perintah untuk memungut zakat dari harta yang kualitasnya pertengahan dan melarang memungut yang terbaik, misalnya ternak. Nabi menyuuruh tukang taksir agar memperkecil taksiran terhadap tanaman dan buahbuahan. Bolehnya menangguhkan zakat karena ada satu sebab yang menghalangi, misalnya ketika terjadi wabah kelaparan. Dan lain-lain. Tentang Faktor Ekonomis Yang dimaksudkan disini adalah ekonomis dalam biaya pemungutan pajak dan menjauhi berbagai pemborosan. Jangan sampai bagian besar dari pajak yang terkumpul hanya habis terserap oleh petugas pajak. Islam sangat melarang pemborosan kepada harta pribadi seseorang, apalagi terhadap harta kepunyaan umum terutama lagi terhadap harta zakat. Diceritakan, bagaimana para petugas zakat berangkat untk mengumpulkan zakat, yang lalu dibagikan kepada yang berhak, sehingga ketika mereka pulang pun mereka tidak membawa apa-apa lagi. Jatah untuk para amilpun di batasi (maksimal 1/8 bagian). Apakah Pajak Diwajibkan Di Samping Zakat? Apabila Islam telah mewajibkan zakat sebagai hak yang dimaklumi atas harta kaum Muslimin dan menjadikannya sebagai pajak yang dikelola oleh pemerintah Islam, maka bolehkah pemerintah Islam mewajibkan kepada orang kaya pajak-pajak lain disamping zakat untuk melaksanakan kepentingan ummat dan menutupi pembiayaan umum negara? Jawabnya boleh tapi dengan syarat.

Dalil-dalil yang memperbolehkan adanya kewajiban pajak disamping zakat Karena jaminan/solidaritas sosial merupakan suatu kewajiban. Hal ini sudah kita kupas pada bagian yang membahas adanya kewajiban lain di luar zakat. Sasaran zakat itu terbatas sedangkan pembiayaan negara itu banyak sekali. Zakat harus digunakan pada sasaran yang ditentukan oleh syariah dan menempati fungsinya yang utama dalam menegakkan solidaritas sosial. Zakat tidak digunakan untuk pembangunan jalan, jembatan dan lain-lain. Bila pemerintahan Islam dulu memperoleh pemasukan dari Kharaj (rampasan perang) untuk membiayai keperluan-keperluan tersebut, maka untuk saat ini Yusuf Al Qardhawi menyokong pendapat para ulama yang berpendapat bahwa pemerintah dapat memungut kewajiban pajak dari orang-orang kaya. Adanya kaidah-kaidah umum hukum syara’ yang memperbolehkan. Misalnya kaidah “Maslahih Mursalah” (atas dasar kepentingan). Kas yang kosong akan sangat membahayakan kelangsungan negara, baik adanya ancaman dari luar maupun dari dalam. Rakyat pun akan memilih kehilangan harta yang sedikit karena pajak dibandingkan kehilangan harta keseluruhan karena negara jatuh ke tangan musuh. Adanya perintah Jihad dengan harta. Islam telah mewajibkan ummatnya untuk berjihad dengan harta dan jiwa sebagaimana difirmankan dalam Al Quran 9:41, 49:51, 61:11, dan lain-lain. Maka tidak diragukan lagi bahwa jihad dengan harta itu adalah kewajiban lain di luar zakat. Di antara hak pemerintah (ulilamri) dari kaum Muslimin adalah menentukan bagian tiap orang yang sanggup memikul beban jihad dengan harta ini. Kerugian yang dibalas dengan keuntungan. Sesungguhnya kekayaan yang diperoleh dengan pajak akan digunakan untuk segala keperluan umum yang manfaatnya kembali kepada masyarakat seperti; pertahanan dan keamanan, hukum, pendidikan, kesehatan, pengangkutan, dan lain-lain. Syarat-syarat diperbolehkannya pajak di luar zakat Pajak yang diakui dalam sejarah Islam dan dibenarkan sistemnya harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut:

Harta itu benar-benar dibutuhkan dan tak ada sumber lain. Tidak diperbolehkan memungut sesuatu dari rakyat selagi dalam baitul-mal masih terdapat kekayaan. Adanya pembagian pajak yang adil. Pengertian adil tidak harus sama rata bebannya. Pajak hendaknya dipergunakan untuk membiayai kepentingan ummat bukan untuk maksiat dan hawa nafsu. Pajak bukan upeti untuk para raja dalam rangka memuaskan hawa nafsu, kepentingan pribadi dan keluarga mereka, atau kesenangan para pengikut mereka, tetapi harus dikembalikan untuk kepentingan masyarakat luas. Adanya persetujuan para ahli dan cendikia. Pemerintah tidak bertindak sendirian dalam hal mewajibkan pajak, menentukan besarnya serta memungutnya tanpa adanya persetujuan dari hasil musyawarah para ahli atau cendikia dari kalangan masyarakat (dewan perwakilan rakyat). Terdapat beberapa pendapat yang mencoba mengawinkan antara zakat dan pajak, dan memungkinkan adanya substitusi antara pajak dan zakat. Sehingga bagi kita yang telah rajin membayar pajak tidak perlu lagi membayar zakat, benarkah? Hal ini diulas panjang lebar oleh Yusuf Al Qardhawi di bagian akhir buku beliau.

Apakah Cukup Membayar Pajak Saja Tanpa Membayar Zakat Itu adalah suatu pertanyaan yang sering muncul diantara kita. Yang saat ini merasakan terbebani dua kewajiban sekaligus. Namun setelah mengkaji beberapa perbedaan antara pajak dan zakat maka dapat dimengerti bahwa zakat tidak dapat digantikan oleh pajak, walaupun sasaran zakat dapat dipenuhi sepenuhnya oleh pengeluaran dari pajak. Zakat berkaitan dengan ibadah yang diwarnai dengan kemurnian niat karena Allah. Ini adalah tali penghubung seorang hamba dengan khaliqnya yang tidak bisa digantikan dengan mekanisme lain apapun. Zakat adalah mekanisme yang unik Islami, sejak dari niat menyerahkan, mengumpulkan dan mendistribusikannya. Maka apapun yang diambil negara dalam konteks bukan zakat tidak bisa diniatkan oleh seorang Muslim sebagai zakat hartanya.

Demikian pula setiap pribadi Muslim wajib melaksanakannya walaupun dalam kondisi pemerintah tidak memerlukannya atau tidak mewajibkannya lagi. Adalah suatu hal yang sangat berbahaya, bila kita diperbolehkan untuk mengganti zakat dengan pungutan-pungutan lainnya, niscaya hukum wajib zakat akan hilang dan sedikit demi sedikit akan sirna dari kehidupan setiap orang, seperti hal telah lenyapnya zakat dari undangundang pemerintahan saat ini. Sesungguhnya zakat tidak dapat dicukupi oleh pajak. Inilah pendapat yang akan menyelamatkan agama seorang Muslim, yang akan melestarikan kewajiban tersebut dan mengekalkan hubungan antara kaum Muslimin melalui zakat, sehingga zakat tidak dapt diganti dengan nama pajak dan tak dapat dihilangkan begitu saja. Benar orang Islam itu dibebani kesulitan dalam menanggung beban harta yang sebagian ini tidak dapat dipikulnya. Akan tetapi ini adalah kewajiban iman dan tuntutan Islam, khususnya dalam masa-masa cobaan (fitnah) yang membuat bimbang orang-orang penyantun dan orang yang memegang agama seperti orang yang menggenggam bara api. Akhirnya kaum Muslimin berkewajiban untuk bekerja dan berjuang untuk memperbaiki penyimpanganpenyimpangan, meluruskan peraturan yang bengkok dan mengembalikannya pada jalan yang lurus dalam hukum Islam. Tanpa usaha tersebut orang Muslim akan dirugikan oleh harta, jiwa dan sosial, karena ia akan hidup dalam masyarakat yang membuatnya hidup terbelakang tanpa ada yang menolongnya, dan diam tanpa berbuat apa-apa. Dan ini merupakan cobaan umum dalam segala sektor kehidupan yang dituntut oleh Islam terhadap putera-puteri Islam agar tetap berpegang teguh pada syariat Islam, bukan hanya dalam soal zakat saja.

Zakat Dalam Islam Adalah Sistem Baru dan Unik Dari celah-celah seluruh bagian dan bab pada buku ini jelaslah kepada kita bahwa zakat diwajibkan mula-mula di Madinah dan diterangkan batas-batas serta hukumnya, zakat adalah suatu sistem baru yang unik dalam sejarah kemanusiaan. Suatu sistem yang belum pernah ada pada

agama-agama samawi juga dalam peraturan-peraturan manusia. Zakat mencakup sistem keuangan, ekonomi, sosial, politik, moral dan agama sekaligus. Zakat adalah sistem keuangan dan ekonomi karena ia merupakan pajak harta yang ditentukan. Sebagai sistem sosial karena berusaha menyelamatkan masyarakat dari berbegai kelemahan. Sebagai sistem politik karena pada asalnya negaralah yang mengelola pemungutan dan pembagiannya. Sebagai sistem moral karena ia bertujuan membersihkan jiwa dari kekikiran orang kaya sekaligus jiwa hasud dan dengki orang yang tidak punya. Akhirnya sebagai sistem keagamaan karena menunaikannya adalah salah satu tonggak keimanan dan ibadah tertinggi dalam mendekatkan diri kepada Allah. Zakat itu sendiri menjadi bukti bahwa ajaran Islam itu dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Suatu sistem yang adil, yang tidak mungkin dihasilkan oleh Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang ummi. Inilah zakat yang disyariatkan Islam meskipun banyak kaum Muslimin pada masa akhirakhir ini tidak mengetahui hakikatnya dan mereka melalaikan membayarnya, kecuali mereka yang disayangi Tuhannya dan jumlahnya sedikit. Banyak pendapat baik yang dari kalangan Muslim maupun non Muslim, yang mengagumi indahnya konsepsi zakat sebagai pemecahan problematika sosial. Jika seandainya kaum Muslimin melaksanakan kewajiban ini dengan baik, tentu di kalangan mereka tidak akan ditemukan lagi orang-orang yang hidupnya sengsara. Akan tetapi kebanyakan dari mereka telah melalaikan kewajiban ini, mereka mengkhianati agama dan ummatnya, akibatnya nasib Ummat Islam sekarang ini lebih buruk dalam kehidupan ekonomi dan politiknya dari seluruh bangsa-bangsa lain di dunia ini. Kekayaan, kebesaran dan kemuliaan Ummat Islam telah sirna. Kini mereka menjadi tanggungan penganut agama lain, sehingga pendidikan anak-anaknya pun diserahkan ke sekolahsekolah missi kristen atau missi atheis. Bila mereka ditanya mengapa tidak mendirikan sendiri sekolah itu, mereka berkata: “kami tidak mempunyai biaya untuk mendirikannya. Maka sebanarnya mereka tidak memperoleh dari agama; akal fikiran, cita-cita dan ghairah yang dengan itu mereka dapat melakukannya. Mereka

menyaksikan para penganut agama lain yang berkorban untuk mendirikan sekolah-sekolah, organisasi-organisasi sosial dan politik, padahal tidak disuruh oleh agama mereka, tapi mereka diharuskan oleh akal fikiran dan ghairahnya terhadap agama dan kaumnya. Tapi pada kaum Muslimin ghairah itu telah tidak ada. Mereka rela menjadi beban dan tanggungan orang. Mereka telah meninggalkan agamanya sendiri, akibatnya mereka kehilangan dunianya sesuai dengan firman Allah: “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik” (59:9). Yang menjadi kewajiban bagi para da’i saat ini ialah mulai mengadakan usaha membina mereka yang masih ada rasa keagamaannya dengan mendirikan organisasi pengumpulan zakat. Zakat yang dapat digunakan untuk konsolidasi ummat, memberantas kemiskinan, memperlancar aktivitas da’wah menahan agresi dari kaum kuffar. Bila seluruh kaum Muslimin menunaikan zakat dan digunakan secara teratur, maka Islam akan mampu untuk mengembalikan kejayaannya.

A. GHANIMAH Secara etimologi berasal dari kata ghanama-ghanimatuh yang berarti memperoleh jarahan ‘rampasan perang’. Harta ini menurut Sa’id Hawwa adalah harta yang didapatkan dari hasil peperangan dengan kaum musyrikin. Yang menjadi sasarannya adalah orang kafir yang bukan dalam wilayah yang sama (kafir dzimmi), dan harta yang diambil bisa dari harta yang bergerak atau harta yang tidak bergerak, seperti: perhiasan, senjata, unta, tanah, dll. Untuk porsinya 1/5 untuk Allah dan Rasulnya, kerabat Rasul, anak yatim, dan fakir miskin, dan ibn sabil, dan 4/5 untuk para balatentara yang ikut perang. Kemudian sisanya disimpan di Baitul Mal untuk didistribusikan kemudian.Al-Qur'an telah mengatur hal ini secara jelas. "Katakanlah sesungguhnya apa saja yang kamu peroleh sebagai rampasan perang (ghanimah), maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kamu turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di Hari (Furqan), yaitu hari bertemunya dua pasukan".(Q.S. Al-Anfal, ayat 41). 1) 2) 3) 4) 5) 6)

Sementara Ibn Abbas membagi ghanimah menjadi enam bagian : bagian untuk Allah digunakan untuk kemaslahatam ka’bah. bagian untuk kerabat rasul. bagian untuk anak-anak yatim orang-orang miskin. Ibn sabil sokongan kepada ahl al-radkh dan ahl-al-zimmah.

Ahl al-radkh adalah mereka yang hadir dalam peperangan akan tetapi tidak memperoleh bagian. Dengan melihat pendapat ulama tentang khums yang variatif maka disimpulkan bahwa hal itu bergantung pada kebijakan negara. Ghanimah merupakan sumber yang berarti bagi negara Islam waktu itu, karena masa itu sering terjadi perang suci. Perintah persoalan ghanimah turun setelah Perang Badar, pada tahun kedua setelah Hijrah ke Madinah. Ghanimah merupakan pendapatan negara yang didapat dari kemenangan perang. Penggunaan uang yang berasal dari ghanimah ini, ada ketentuannya dalam Al-Qur'an. Distribusi ghanimah empat perlimanya diberikan kepada para prajurit yang bertempur (mujahidin), sementara seperlimanya adalah khums. jadi, Khums adalah satu seperlima bagian dari pendapatan (ghanimah) akibat dari ekspedisi militer yang dibenarkan oleh syariah, dan kemudian pos penerimaan ini dapat digunakan negara untuk program pembangunannya.[1] Menurut Abu Yusuf, Ghanimah adalah segala sesuatu yang dikuasai oleh kaum Muslim dari harta orang kafir melalui peperangan. Dikatakan Abu Yusuf bahwa ghaminah merupakan sumber pemasukan Negara. Pemasukan dari ghanimah tetap ada dan menjadi bagian yang penting dalam keuangan publik. Akan tetapi, karena sifatnya yang tidak rutin, maka pos ini dapat digolongkan sebagai pemasukan yang tidak tetap bagi Negara.[2]

1. 2. 3. 4.

Abu Yusuf juga membagi jenis-jenis harta atau barang yang dikategorikan sebagai 1/5 (khums), yaitu: Barang-barang tambang seperti emas, perak, tembaga, besi dan timah Tanah arab atau tanah orang asing yang didalamnya diletakkan tempat shadaqoh. Apa pun yang keluar dari lautan. Rikaz (barang temuan berupa emas, perak, mutiara dan lain-lainya.

Kedudukan Ghanimah Dalam Perpajakan Kontenporer. Ghanimah bukan hanya rampasan perang, tetapi juga pahala, keuntungan lebih, atau kelebihan dari penghasilan. “Ghanimah adalah kelebihan harta yang diperoleh baik dari peperangan maupun bukan peperangan” . Dengan demikian, surah Al-Anfal ayat 41 harus kita artikan, “Dan ketahuilah bahwa apa-apa yang kamu peroleh sebagai kelebihan penghasilan (keuntungan), yang seperlima adalah kepunyaan Allah Rasul, kerabat, . . . dan seterusnya. jadi, di samping zakat, di dalam Islam dikenal adanya perlimaan (khumus). Banyak keterangan dari Al-Sunnah bahwa Nabi memungut khumus di luar zakat untuk kelebihan penghasilan selain rampasan perang. Sebagian di antaranya kita cantumkan berikut ini: Pertama: Rombongan Bani Qays menemui Nabi saw. Mereka mengeluh tidak dapat menemui Nabi kecuali di bulan Haram. Mereka takut kepada kaum musyrik Mudhar. Nabi memerintahkan mereka untuk mengucapkan syahadat, menegakkan shalat, dan mengeluarkan seperlima dari kelebihan penghasilan mereka (Shahih Al-Bukhari 4:205; Shahih Muslim 1:35-36; Musnad Ahmad 3:318). Tidak mungkin mereka disuruh mengeluarkan seperlima dari rampasan perang, karena mereka justru selalu menghindari peperangan. Kedua: Ketika Nabi saw. mengutus ‘Umar bin Hazm ke Yaman, Nabi menyuruhnya untuk mengumpulkan perlimaan di samping zakat (Futuh Al-Buldan 1:81; Sirah Ibnu Hisyam 4:265).

Begitu pula ketika beliau menulis surat kepada kepala-kepala suku (Lihat: Tanwir Al-Hawalik; Syarh Al-Muwatha 1:157; Thabaqat Ibnu Saad 1:270, dan lain-lain). Kepada juhaynah bin Zaid, Nabi juga menyuruh, “Minumlah airnya dan keluarkan perlimaannya” (Al-Watsaiq Al-Siyasiyah, 142). Contoh Praktis Anda seorang dokter, mendapat penghasilan Rp 3.000.000,- satu bulan. Keluarkanlah dari penghasilan itu untuk sewa tempat praktek, membayar gaji pegawai, membayar obat-obatan dan listrik, membayar biaya transport, juga membayar kebutuhan pokok dan orang-orang yang menjadi tanggungan Anda. Katakanlah, Anda menghabiskan satu juta setengah untuk segala pengeluaran itu. Ini disebut mu’nah., Kemudian Anda harus mengeluarkan seperlima dari sisanya. Dipotong mu’nah, penghasilan Anda tinggal satu juta setengah lagi. Keluarkanlah seperlimanya; yaitu sejumlah Rp 300.000,- satu bulan. Anda seorang dosen dengan pangkat III/d. jika gaji Anda sebesar Rp 350.000,- dipandang cukup untuk membayar kebutuhan pokok Anda sekeluarga, maka Anda tidak membayar perlimaan. Kemudian Anda menulis buku, Anda mendapat royalty sebesar dua juta. Bayarkanlah sebagian royalty itu untuk ongkos tukang tik, beli kertas, dan hubungan dengan penerbit. Setelah dipotong pengeluaran itu, Anda memperoleh hasil bersih satu setengah juta rupiah. Keluarkan Rp 300.000,Begitulah seterusnya.[3]

B. KHARAJ Kharaj atau biasa disebut dengan pajak bumi/tanah adalah jenis pajak yang dikenakan pada tanah yang terutama ditaklukan oleh kekuatan senjata, terlepas dari apakah si pemilik itu seorang yang dibawah umur, seorang dewasa, seorang bebas, budak, muslim ataupun tidak beriman. Kharaj merujuk pada pendapatan yang diperoleh dari biaya sewa atas tanah pertanian dan hutan milik umat. Jika tanah yang diolah dan kebun buah-buahan yang dimiliki non-Muslim jatuh ke tangan orang Islam akibat kalah perang, aset tersebut menjadi bagian kekayaan publik umat. Karena itu, siapapun yang ingin mengolah lahan tersebut harus membayar sewa. Pendapatan dari sewa inilah yang termasuk dalam lingkup kharaj. Jika orang non muslim yang mempunyai perjanjian damai dan tanah tetap sebagai miliknya maka membayar kharaj sebagai pajak bukan sewa. Jika tanah tersebut jatuh menjadi milik orang muslim, maka kharajnya sebagai ongkos sewa atas tanah tersebut.[4] Sumber pendapatan negara berupa kharaj belum ada pada masa Rasulullah. Ia mulai digali pada masa Umar bin al-Khattab. Kharaj adalah pungutan yang dikenakan atas bumi atau hasil bumi. Dua istilah kharaj dan jizyah mempunyai arti umum, yaitu pajak dan mempunyai arti khusus dimana kharaj berarti pajak bumi dan jizyah berarti pajak kepala. Arti khusus yang membedakan antara keduanya inilah yang ada pada masa-masa awal Islam. Di Indonesia kharaj termasuk pada pajak bumi dan bangunan. Umar bin al-Khattab adalah orang pertama yang membangun lembaga kharaj dalam Islam. munculnya lembaga kharaj dalam Islam diaklibatkan dari pandangan umar yang jauh ke depan demi mengantisipasi supaya terpenuhinya kesejahteraan dan kemaslahatan masyarakat. Penentuan tarif kharaj didasarkan pada faktor-faktor : a) kapasitas tanah, subur dan tidaknya,

b) jenis tanaman, c) metode irigasi , d) letak tanah dan e) kemampuan pemilk tanah. Dengan demikian besar kecilnya kharaj diserahkan pada keputusan negara. Menurut Abu Yusuf, tanah yang akan dikenai pajak antara lain sebagai berikut: a) Wilayah lain (di luar Arab) di bawah kekuasaan Islam.  Wilayah yang diperoleh melalui peperangan.  Wilayah yang diperoleh melalui perjanjian damai.  Wilayah yang dimiliki muslim diluar Arab (membayar Usyr). b) Wilayah yang berada di bawah perjanjian damai.  Penduduk yang kemudian masuk Islam (membayar Usyr).  Penduduk yang tidak memeluk Islam (membayar Kharaj). c) Tanah taklukan  Penduduk yang masuk Islam sebelum kekalahan, maka tanah yang mereka miliki akan tetap menjadi milik mereka dan harus membayar Usyr.  Tanah taklukan tidak diserahkan dan tetap dimiliki dzimmi, maka wajib membayar Kharaj.  Tanah yang dibagikan kepada para pejuang, maka tanah tersebut dipungut Usyr.  Tanah yang ditahan Negara, maka kemungkinan jenis pajaknya adalah Usyr dan Kharaj.[5] C.

JIZYAH Secara bahasa jiyah berasal dari kalimat jaza yang berarti penggantian (kompensasi), atau balasan atas suatu kebaikan atau kejahatan. Secara terminology jizyah adalah penerimaan negara yang dibayarkan oleh warga non-Muslim khususnya Ahli Kitab untuk jaminan perlindungan jiwa, properti, ibadah, dan bebas dari kewajiban militer. Pada masa Rasulullah SAW besarnya jizyah adalah satu dinar per tahun untuk orang dewasa kaum laki-laki yang mampu membayarnya. Perempuan, anak-anak, pengemis, pendeta, orang lanjut usia, orang gila, dan orang yang menderita sakit dibebaskan dari kewajiban ini. Pembayarannya tidak harus berupa uang tunai, tetapi dapat juga berupa barang atau jasa. Dalam al-Quran dijelaskan: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Mereka tiada mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan tiada pula beragama dengan agama yang benar (yaitu ) dari orang-orang ahli kitab, kecuali jika mereka membayar pajak dengan tangannya sendiri, sedang mereka orang yang lemah”. (at-Taubah 29). Sejarah jizyah dikenal sebelum adanya Islam yakni dilakukan oleh Bangsa Yunani kepada negeri daerah Asia Kecil sekitar abad 5 SM untuk melindungi penduduk dari serangan Persia. Begitu juga Bangsa Romawi melakukan pemungutan zakat kepada daerah yang dikuasainya, bahkan mengambil pajak jauh lebih besar dari pajak kaum muslimin paska itu. Bangsa Romawi memungut pajak 7 kali lipat lebih besar dari pungutan kaum muslimin sebagaimana pungutan pajak negeri ghalia (Prancis, sekarang).

Banyaknya pemungutan jizyah yang pernah dilakukan Nabi Saw dengan melihat kondisi yang ada. Pengambilan pajak dilakukan dengan konsesus dengan ridho antar dua belah pihak antara kaum muslimin dan non muslim. Perbedaan antara Jizyah dan Kharaj, Kharaj adalah pajak yang dikenakan atas tanah bukan orang dan tidak terputus dengan masuk Islam dan telah ditetapkan dengan ijtihad. Telah diwajibkan untuk membayar jizyah bagi ahli dzimmah sepadan dengan zakat yang diwajibkan atas kaum muslimin sehingga kedua belah pihak terlindungi, karena keduanya terjaga dalam satu negara. Mereka mendapat dan menikmati hak yang sama. Karenanya Allah Swt mewajibkan atas mereka (ahli dzimmah) jizyah untuk kaum muslimin untuk melindungi dan menjaga mereka yang di sana terdapat negeri-negeri Islam. Kelompok non muslim pertama yang membuat perjanjian membayar jizyah kepada pemerintahan Islam pada masa Rasulullah adalah kaum Nasrani Najran, kemudian masyarakat Bahrain yang menganut paham Zorotrisme. Adapun warga non muslim yang wajib membayar jizyah adalah laki-laki dewasa yang meredeka (bukan budak). Sedangkan bagi wanita, anak-anak, orang tua pendeta, pengemis dan orang gila tidak dikenakan wajib jizyah. Malahan bagi mereka yang tidak mampu membayar justru mendapat subsidi dari negara. Pada masa Rasulullah besarnya jizyah yang dipungut adalah 1 dinar / tahun untuk laki-laki dewasa yang mampu. Pada masa Umar ibn Khatab, daerah kekuasaan islam semakin luas, dan diberbagai wilayah tersebut banyak kaum Nasrani dan kafir zimmi yang belum masuk Islam, sementara mereka wajib membayar jizyah, maka Khalifah Umar membuat sistem dan aturan baru tentang jizyah. Hal ini bertujuan bertujuan untk mewujudkan keadilan bagi seluruh warga Negara. Umar menetapkan tarif jizyah yang bervariasi tergantung kondisi ekonomi dan kemampuan para wajib jizyah tersebut.[6] Dikenakan banyaknya jizyah sebagai berikut: 1. Orang-orang kaya diambil sebanyak 48 dirham. 2. Orang-orang menengah diambil sebanyak 24 dirham. 3. Di bawah menengah diambil 12 dirham. 4. Untuk orang miskin yang berhak meneraima Shadaqah tidak dipungut jizyah, juga orang yang tidak mampu bekerja, orang buta, pensiun, orang gila, dan sejenisnya. Jizyah juga hanya dibebani kepada orang-laki-laki merdeka, berakal dan dewasa dan tidak diwajibkan kepada wanita dan anak-anak. Sedangkan pemungutan jizyah, para pemimpin Islam telah berpesan kepada para gubernur dan petugasnya agar saat menjalankan tugas kepada ahli kitab, mereka bersikap lembut dan bijaksana dengan tetap memelihara jiwa dan harta bendanya dari kesewenang-wenang. Bahsanya tidak boleh melakukan pemukulan kepada siapapun dari kalangan ahlu dzimmah agar mereka bersedia membayar jizyah, tidak boleh dijemur, tidak boleh melakukan tindakan yang membuat mereka cacat dan seterusnya.[7] Setelah Islam runtuh yakni setelah keruntuhan Islam di Turki Usmani dan Spanyol, istilah jizyah tidak ada lagi. Hal ini disebabkan daerah-daerah Islam telah dikuasai oleh orang-orang kafir. Sehingga pajak terhadap warga non muslim tidak ada lagi. Pada zaman modern, pajak jiwa yang dipungut oleh pemerintah terhadap warga asing yang masuk dan atau menetap dalam wilayah kekuasaan suatu pemerintahan adalah dalam bentuk visa. D. ‘USYUR

‘Usyur yaitu bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang, dibayar hanya sekali dalam setahun dan hanya berlaku terhadap barang yang nilainya lebih dari 200 dirham. Tingakt bea orangorang yang dilindungi adalah 5% dan pedagang muslim 2,5%. Hal ini juga terjadi di Arab sebelum masa Islam, terutama di Makkah sebagai pusat perdagangan regional terbesar.[8] Sistem keuangan dengan model usyur ini diterapkan di zaman Umar bin Khatab dengan dilatarbelakangi oleh Abu Musa Al-Asy’ari yang telah menulis surat kepada Umar bin Khattab yang memberitahukan bahwa para pedagang kaum muslimin yang memasuki wilayah orang-orang musyrik atau ke negara kafir (darul harb) yang tidak ada perjanjian damai, mereka harus membayar Usyur (1/10) per kepala dari barang dagangan mereka. Kemudian Umar menulis surat kepada Abu Musa yang berisi : Ambilah olehmu dari mereka seperti yangt dilakukan oleh mereka kepada para pedagang muslim. Kemudian ambil pula dari ahlu dzimmah separuh dari sepersepuluh dirhamnya. Namun, janganlah kamu mengambil dari mereka sedikit juga bilamana jumlah barang mereka kurang dari dua ratus. Selanjutnya bilamana mencapai dua ratus maka ambilah dari mereka lima dirham. Karenanya, Umar memerintahkan kaum muslimin mengambil pajak 1/10 kepada pedagang non muslim ketika mereka masuk ke negeri Islam. Dan memerintahkan mengambil setengah dari sepersepuluh kepada ahli dzimmah dan kepada kaum muslimin hanya seperempat dari usyur jika barang dagangan mereka hanya 200 dirham saja. Namun berbeda dengan jizyah yang dalam masa modern ini hampir tidak dijumpai lagi, pajak perdagangan masih tetap diberlakukan di Negara-negara islam. Tentu saja penerapannya disesuaikan dengan perkembangan zaman. Dalam masa sekarang, penerapan pajak ini antara lain dengan memberlakukan bea masuk barang-barang impor

Related Documents


More Documents from ""