Fiqih Muamalah 2018.docx

  • Uploaded by: Yudi Ahmed
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Fiqih Muamalah 2018.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,986
  • Pages: 27
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Agama Islam mengatur setiap segi kehidupan umatnya. Mengatur hubungan seorang hamba dengan Tuhannya yang biasa disebut dengan mu’amalah ma’allah dan mengatur pula hubungan dengan sesamanya yang disebut mu’amalah ma’annas. Hubungan dengan sesama inilah yang memunculkan suatu cabang ilmu dalam Islam yang disebut Fiqih muamalah. Aspek kajiannya adalah sesuatu yang berhubungan dengan muamalah atau hubungan antara umat satu dengan umat lainnya. Mulai dari jual beli, sewa menyewa, hutang piutang dan lain-lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, setiap muslim pasti melaksanakan suatu transaksi yang bisa disebut dengan jual beli. Si penjual menjual barangnya, dan si pembeli membelinya dengan menukarkan barang itu dengan sejumlah uang yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Jika zaman dahulu semua ini dilaksanakan dengan bertemu langsung, makan sekarang jual beli sudah tidak terbatas pada suatu ruang saja. Dengan kemajuan teknologi, danmaraknya penggunaan internet, kedua belah pihak dapat bertransaksi dengan lancar tanpa perlu adanya pertemuan.

1

B. Rumusan Masalah 1. Apa Pengertian Jual Beli? 2. Apa Dasar Hukum Jual Beli? 3. Bagaimana Syarat dan Rukun Jual Beli Konvensional dan Borongan? 4. Apa Hukum Jual Beli Onlen? 5. Apa Hukum Jual Beli Kredit? C. Tujuan Penulisan 1. Mengetahui Pengertian Jual Beli. 2. Mengetahui Dasar Hukum Jual Beli. 3. Mengetahui Syarat dan Rukun Jual Beli Konvensional dan Borongan. 4. Mengetahui Hukum Jual Beli Onlen. 5. Mengetahui Hukum Jual Beli Kredit.

2

BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Jual Beli Merut bahasa jual beli bersal dari bahasa arab yaitu bai’ yang artinya menjual atau mengganti. Wahbah al-Zuhaily mengartikan menukar sesuatu dengan seesuatu yang lain. Kata bai’ terkadang digunakan sebagai pengertian lawan katanya, yaitu kata syira’ (beli). 1 Dengan demikian, kata bai’ berarti jual sekaligus beli. Menurut istilah yang dikemukakan oleh beberapa ahli2 diantaranya: 1. Taqiyyudin Menurutnya jual beli merupakan saling tukar harta, menerima, dapat dikelola dengan proses ijab qabul dengan cara yang sesuai syara’. 2. Idris Ahmad Jual beli merupakan proses tukar menukar barang dengan barang atau barang dengan uang, dengan cara melepas hak milik dari satu orang kepada orang lain atas dasar ridha. 3. Imam Nawawi Jual beli merupakan pertukaran harta dengan harga dengan tujuan untuk kepemilikan. 4. Ulama Hanafiah Pengertian jual beli adalah proses pertukaran harta atau benda dengan harta lain berdasarkan cara-cara khusus yang diperbolehkan. 5. Ibnu Qudamah Jual beli adalah proses pertukaran harta dengan harta untuk saling menjadi milik seseorang.

Abdul Rahman Gazaly, dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 67 Ghufron A Mas’adi, Fikih Muamalah Konstektual, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 42-43 1 2

3

6. Raud Al-Nadii Syarahkafi Al-Muhtadi Menurutnya, jual beli adalah tukar menukar harta meski ada dalam tanggungan atau kemanfaatan yang mubah dengan sesuatu semisal dengan keduanya untuk memberikan secara bertahap. Dari pendapat beberapa ahli di atas, dapat ditarik pengertian jual beli adalah sebuah transaksi antara penjual dan pembeli yang melakukan tukar menukar barang dengan barang atau sesuatu yang lain atau sesuai dengan metode pembayaran yang berlaku berdasarkan tata cara dan akad tertentu. B. Dasar Hukumjual Beli Jual beli mempunyai landasan yang kuat dalam Al-Qur’an maupun Hadist3, beberapa diantaranya yaitu: 1. Surat Al-Baqarah ayat 275

)275 :‫ (البقرة‬. . . ‫الربَا‬ ِّ ‫ا َ َح َّل هللاُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم‬ Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba... 2. Surat Al-Baqarah ayat 198

)198 :‫ض اًل ِّم ْن َربَّ ُك ْم (البقرة‬ َ َ‫علَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح أ َ ْن ت َ ْبتَغُ ْوا ف‬ َ ‫ْس‬ َ ‫لَي‬ Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. 3. Surat An-Nisa’ ayat 29

)29 :‫ (النسآء‬. . . ‫اض ِّم ْن ُك ْم‬ ٍ ‫ع ْن ت ََر‬ َ ‫ارة ا‬ َ ‫ إِّ ََّّل أ َ ْن ت َ ُك ْونَ تِّ َج‬. . . ...kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu ... Dasar hukum berdasarkan sunnah Rasulullah SAW, antara lain: 1. Hadis yang diriwayatkan oleh Rifa’ah ibn Rafi’:

ْ َ‫ب أ‬ .‫لر ُج ِّل ِّب َي ِّد ِّه َو ُك ُّل بَيْعٍ َمب ُْر ْو ٍر‬ ُ ‫ط َي‬ ُ َّ ‫ع َم ُل ا‬ ِّ ‫ي ْال َك ْس‬ َ :َ‫ب؟ فَقَال‬ ُّ َ ‫ أ‬:‫ي صلي هللا عليه وسلم‬ ُّ ‫سئِّ َل النَّ ِّب‬ 3

Abdul Rahman Gazaly, dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 69-70

4

)‫(رواه ابزار والحاكم‬ “Rasulullah SAW ditanya salah seorang sahabat mengenai pekerjaan (profesi) apa yang paling baik. Rasulullah SAW menjawab: usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati” (HR. Al-Bazzar dan AlHakim). Artinya, jual beli yang jujur tanpa diiringi kecurangan-kecurangan, mendapat berkat dari Allah. 2. Hadis dari Al-Baihaqy, Ibn Majah dan Ibn Hibban, Rasulullah menyatakan:

)‫اض (رواه البيهقي‬ ٍ ‫ع ْن ت ََر‬ َ ‫إِّنَّ َما ْالبَ ْي ُع‬ “jual beli itu didasarkan atas suka sama suka” (HR. Al-Bayhaqi) 3. Hadis yang diriwayatkan Al-Tirmidzi,

ُّ ‫الص ِّد ْي ِّقيْنَ َوال‬ .)‫اء (رواه الترمذي‬ ِّ َ‫ش َهد‬ َّ ‫اج ُر ال‬ ِّ ‫صد ُْو ُق األ َ ِّمي ُْن َم َع النَّبِّيِّيْنَ َو‬ ِّ َّ ‫الت‬ “pedagang yang jujur dan terpercaya sejajar (tempatnya di syurga) dengan para Nabi, shaddiqiin dan syuhada’” (HR.Tirmidzi) C. Rukun dan Syarat Jual Beli Konvensional dan Borongan Rukun dalam jual beli adalah beberapa hal yang harus ada agar akad jual beli menjadi sah dan mengikat. Ulama Hanafiyah menegaskan bahwa rukun jual beli hanya satu yaitu ijab. Menurut mereka hal yang paling inti dalam jual beli adalah saling rela yang diwujudkan dengan kerelaan untuk saling memberikan barang. Maka jika telah terjadi ijab, pasti ditemukan hal-hal yang terkait dengannya, seperti para pihak yang berakad, objek jual beli dan nilai tukarnya.

5



Jual Beli Konvensional

Jumhur ulama’ menyatakan bahwa rukun jual beli ada empat4, yaitu: 1. Pihak yang bertransaksi atau penjual dan pembeli (muta’aqidain) 2. Shighat (lafal ijab kabul) 3. Barang yang diperjual belikan (ma’qud’alaih) 4. Nilai tukar pengganti barang. Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli berdasarkan kesepakatan jumhur ulama’5 adalah sebagai berikut: a. Syarat-syarat orang yang berakad Para ulama’ fiqh sependapat bahwa orang yang melakukan jual beli harus memenuhi syarat: 1) Berakal. 2) Yang melakukan akad adalah dua orang yang berbeda. b. Syarat-syarat yang terkait dengan ijab kabul 1) Orang yang mengucapkan telah baligh dan berakal. 2) Kabul sesuai dengan ijab. 3) Ijab kabul dilakukan dalam satu majelis. Di

zaman modern, perwujudan ijab kabul tidak lagi diucapkan,

tetapi dilakukan dengan sikap mengambil barang, membayarnya, kemudian menerima barang tanpa adanya ucapan apapun (ba’i al mu’athah). Misalnya, jual beli yang berlangsung di Swalayan. Dalam kasus ini jumhur ulama’ berpendapat hukumnya boleh, apabila hal ini telah menjadi kebiasaan suatu masyarakat di suatu negeri, karena hal ini telah menunjukkan saling rela antara kedua belah pihak. c. Syarat-syarat barang yang diperjual belikan 1) Barang itu ada. 2) Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia. 3) Milik seseorang.

4 5

Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), hlm. 25 Abdul Rahman Gazaly, dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 70-78

6

4) Boleh diserahkan saat akad berlangsung atau pada waktu yang telah disepakati bersama ketika transaksi berlangsung. d. Syarat-syarat nilai tukar 1) Harga yang disepakati harus jelas jumlahnya 2) Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun dalam bentuk cek dan kartu kredit. Apabila barang akan dibayar kemudian (berhutang) maka waktu pembayarannya harus jelas. 3) Apabila jual beli dilakukan dengan tukar menukar barang (almuqayadhah) maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan menurut syara’. 

Jual Beli Borongan Jual beli borongan adalah jual beli suatu barang yang masih ada dalam bentuk tumpukan, atau bahkan belum dipetik sama sekali dari pohonnya. Barang yang dijual adalah barang yang berwujud sebagaian dari tumpukan itu, atau bahkan total semua barang yang ada namun tidak diketahui

kadarnya.

Di

dalam

literatur

fiqih,

akad

jual

beli

tebasan/borongan ini dikenal dengan istilah bai’u shabratin atau bai’u jazafin. Dalam kitab Al-Mahally ‘ala Minhâji al-Thâlibîn, Syekh Jalaluddin AlMahally6 menjelaskan hukum dari jual beli borongan ini sebagai berikut:

‫ويصح بيع صاع من صبرة تعلم صيعا نها للمتعا قدين وينزل على اإلشاعة فإذا علما أنها عشرة‬ ‫آصع فالمبيع‬ ‫عشرها فلوتلف بقدره من المبيع‬ Artinya: “Sah jual beli satu sha’ di antara tumpukan barang yang diketahui wujud tumpukannya oleh dua orang yang berakad sehingga barang dipandang secara global saja. Misalnya, diketahui bahwa tumpukan itu terdiri dari 10 sha’, sementara barang yang dijual hanya 1/10-nya (1 sha’), meskipun sebagian dari barang itu ada yang rusak.”

Syekh Jalaluddin al-Mahally, Al-Mahally ‘ala Minhâji al-Thâlibîn, (Kediri: Pesantren Petuk), hlm. 156 6

7

Maksud dari ibarat di atas adalah bahwa sah melakukan jual beli sebagian dari barang sejenis yang masih berwujud tumpukan, meskipun di antara tumpukan itu ada barang yang rusak wujudnya, menjadi sah apabila: a. Wujud barang yang ditumpuk adalah berupa barang sejenis dan tidak bercampur dengan barang lain. Misalnya: tumpukan gandum, berarti seluruh dari isi tumpukan ini terdiri atas gandum. b. Kedua orang yang berakad harus mengetahui wujud tumpukannya. Untuk syarat kedua ini sebenarnya bukan syarat baku, karena meskipun ada barang yang rusak di antara tumpukan itu, asalkan barangnya sejenis, maka masih sah untuk diperjualbelikan, dengan syarat diketahui kebutuhan takaran yang dikehendaki oleh pembeli. c. Kedua orang yang berakad menentukan jumlah takaran yang hendak dibelinya. Takaran ini bisa berwujud takaran kilogram, liter dan sejenisnya Jika syarat ini kita tarik dalam jual beli tebasan di lahan, maka syarat mutlak yang harus dipenuhi agar jual beli tebasan menjadi sah, adalah: a. Kedua orang yang berakad harus mengetahui wujud tanaman yang hendak diborongnya b. Tanamannya harus seragam (sejenis). c. Pemborong harus menentukan besar takaran yang hendak dibelinya karena ada kemungkinan sebagian dari barang ada yang rusak. Dari ketiga syarat ini, syarat yang ketiga sering dilewatkan oleh kedua orang yang sedang bertransaksi di lapangan. Syarat itu adalah berupa jumlah takaran yang hendak diborong atau dibutuhkan oleh si pemborong. Pada umumnya, para pemborong tebasan adalah ingin mengambil untung dari kelebihan takaran barang yang ditebasnya, dan hal ini menurut qaul yang paling shohih dari madzhab Syafi’i adalah tidak diperbolehkan karena adanya unsur gharar yang tersimpan. Pandangan Imam Nawawi dan terhadap jual beli tebasan yang termaktub dalam kitab al-Majmu’ (Lihat: Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin

8

Syaraf al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Mesir: Maktabah alMathba’ah al-Munîrah, tt.: 9/83) di atas, kesimpulan yang bisa kita ambil adalah bahwa jual beli tebasan adalah sah dan diperbolehkan manakala terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Harga per takaran sudah ditentukan di muka b. Pihak yang membeli mengetahui dengan pasti kondisi barang yang hendak ditebasnya. Cara mengetahui ini sebagaimana dicontohkan dalam bunyi ibarat adalah dengan jalan menenggelamkan tangan ke dalam tumpukan sehingga dapat memprediksi kondisi bagian bawahnya. Bila hal ini ditarik ke lahan, ada kalanya jarak tanam, panjang larikan tanaman, berat buah yang dihasilkan dari sekian batang yang hendak ditebas, cukup dapat dijadikan patokan tolok ukur mengetahui kondisi takaran barang. c. Orang yang melakukan adalah sudah mahir dalam urusan memborong barang

sehingga

kecil

kemungkinan

mengalami

kesalahan

dalam

prediksinya. d. Karena adanya kemungkinan salah atau benarnya hasil prediksi terhadap ukuran barang, maka jual beli tebasan disamakan dengan jual beli barang yang belum pernah dilihat (ghaib). Jika diperhatikan dengan seksama, pendapat Syekh Jalaluddin alMahally dan pendapat Imam Nawawi di atas pada dasarnya tidak saling bertabrakan. Syekh Jalaluddin al-Mahally menyatakan keharusan menentukan kadar disebabkan ada kemungkinan barang rusak dalam tumpukan. Sementara itu, kadar kesalahan prediksi ini oleh Imam Nawawi dinyatakan dapat dijembatani melalui penaksiran dengan menyatakan langsung bukti fisik barang. Batasan-batasan kondisi barang sehingga mudah diprediksi secara tidak langsung ditetapkan sebagai langkah praktis memberikan perkiraan total takaran yang bisa didapat. D. Hukum Jual Beli Online Penggunaan media internet untuk mendukung proses jual beli sangat efisien. Bagi pihak merchant (penjual atau toko online), mereka tidak perlu

9

repot membangun toko, terikat jam kerja, memiliki pegawai yang banyak, maupun memajang barang dagangan secara fisik. Sedangkan bagi pihak buyer (pembeli) keuntungan berbelanja melalui media online (internet) antara lain dapat mengunjungi merchant kapan saja dan dapat dilakukan dimana saja. Dalam hukum Islam tidak ada larangan dalam hal media yang digunakan untuk melakukan transaksi, namun yang harus diperhatikan oleh pihak merchant dan pihak buyer pada saat melakukan transaksi jual beli adalah memperhatikan unsur-unsur Sighat al aqd (Ijab qabul), Mahallul „aqd (obyek perjanjian), Al aqidaian (pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian). Selain itu harus memenuhi prinsip-prinsip syari’ah yaitu jual beli tersebut harus bebas dari unsur ribawi, gharar dan maisyir. Hukum kontrak dalam Islamdisebut dengan “Akad” yang berasal daribahasa Arab “al aqd” yang berarti perikatan, perjanjian, kontrak atau permufakatan (al ittifaq), dan transaksi.Menurut Wahab al Zuhaili danIbnu Abidin, sebagaimana yang dikutipoleh Abdul Manan beliau menggunakan istilah “kontrak” (akad) yang secara terminologi berarti pertalian antara ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syari‟ah (Allah dan Rasul-Nya) yang menimbulkan akibat hukumpada obyeknya.7 Ijab dan qabul dimaksudkan untuk menunjukkan adanya keinginan dan kerelaan timbal balik para pihak yang bersangkutan terhadap isi kontrak. Oleh karena itu ijabdan qabul ini menimbulkan hak dan kewajiban atas masing-masing pihak yang melakukan kontrak. Menurut Hasbi Ash Shiddiqie dalam bukunya Memahami Syari’at Islam,

sebagaimana

dikutip

oleh

Abdul

Manan,

mengatakan

bahwa

suatukontrak (baca perjanjian) harus memenuhi empat rukun yang tidak boleh ditinggalkan yaitu sighat al ‘aqd, mahallul ‘aqd, al ‘aqidaian dan maudhu’ul ‘aqd 8

1. Sighat al aqd (Ijab qabul).

7

DR. H. Abdul Manan, SH.,SIP., M.Hum, Hukum Kontrak Dalam Sistem Ekonomi Syariah, Varia

Peradilan, Majalah Hukum Tahun Ke XX1 No.247 Juni 2006, hlm 32 8

DR. H. Abdul Manan, SH.,SIP., M.Hum, Hukum Kontrak Dalam Sistem Ekonomi Syariah, Varia

Peradilan, Majalah Hukum Tahun Ke XX1 No.247 Juni 2006, hlm 39-42

10

Formulasi ijab qabul dalam suatuperjanjian jual beli dapat dilaksanakandengan ucapan lisan, tulisan atau isyara bagi mereka yang tidak mampu berbicara atau menulis. Bahkan dapat dilaksanakan dengan perbuatan (fi’li) yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak untuk melakukan suatu perjanjian yang umumnya dikenal dengan almu’athah. Tidak ada petunjuk baikdalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits yang mengharuskan

penggunaan

bentukatau

kata-kata

tertentu

dalam

pelaksanaan ijab qabul yang dibuat olehpara pihak. Formulasi ijab qabul dapat

dilaksanakan

menurut

kebiasaan

(‘urf)

sepanjang

tidak

bertentangan dengansyara‟. Menurut Wahbah Zuhaili ada tiga syarat yang harusdipenuhi agar suatu ijab dan qabul dipandang sah serta memiliki akibat hukum9, yakni : a) Jala’ul ma’na, yaitu tujuan yangterkandung dalam pernyataan itu jelas. b) Tawafuq, yaitu adanya kesesuaianantara ijab dan qabul. c) Jazmul iradataini, antara ijab danqabul menunjukkan kehendak parapihak secara pasti, tidak ada keraguansedikitpun, tidak berada dibawahtekanan dan tidak berada dalam keadaanterpaksa. ‫ َع ْن‬,ٍ‫ َحدَثَنَا َع ْبد ُ ْال َع ِّزي ِّْز اِّ ْبنُ ُم َح َّمد‬.ٍ‫ َحدَثَنَا َم ْر َوانَ اِّ ْبنُ ُم َح َّمد‬,‫ي‬ ُ ‫َحدَثَنَا ْال َعب‬ ُّ ‫َّاس اِّ ْبنُ اْ َلو ِّل ْي ِّد ْالدَ َم ْش ِّق‬ ‫م‬.‫س ْو ُل هللا ص‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:ُ‫ي يَقُ ْول‬ َ ‫س ِّم ْعتُ أَبَا‬ َ :َ‫ َع ْن أَبِّ ْي ِّه قَال‬,‫صا ِّلحٍ ْال َمدَنِّ ْي‬ َ ُ‫دَ ُاودَ اِّ ْبن‬ َّ ‫س ِّع ْي ٍد ْال ُخذْ ِّر‬ )‫اض)) (رواه ابن ماجه‬ ٍ ‫(( ِّإنَّ َماالبَ ْي ُع َع ْن ت ََر‬ Artinya :

“Menawarkan kepada kami al-‘Abas ibn al-Walîd al-Dmasqiy; mewartakan kepada kami Marwân ibn Muhammad; mewartakan kepada kami ‘Abd al-Aziz dari ayahnya, dia berkata: Rasûllâh Saw bersabda: sesungguhnya jual beli itu atas dasar suka sama suka.” (HR. Ibn Mâjah) Dalam transaksi online, buyer, setelah melihat-lihat daftar barang danharga berikut prosedur pembayaran danpengirimannya, apabila ia menyetujuiaturan-aturan yang tercantum pada formtata cara pembelian maka ia akanmelakukan proses order dengan mengisiform pembelian dan 9DR.

H. Abdul Manan, SH.,SIP., M.Hum, Hukum Kontrak Dalam Sistem Ekonomi Syariah, Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun Ke XX1 No.247 Juni 2006, hlm 39

11

diakhiri dengan klik ”OK” .Dengan buyer melakukan klik ”OK” dapat dipahami jika buyer telahsetuju untuk terikat perjanjian jual belidengan merchant. Sehingga telah terjadikesepakatan antara pihak merchantdengan buyer, yang mana pihakmerchant sepakat untuk mengirimkanbarang yang dipesan dan buyers sepakatuntuk menyerahkan uang (melaluitransfer bank, kartu Kredit/debit, ATM). Namun apabila buyer keberatan dengan apa yang tercantum dalam form, makadapat mengabaikannya denganmenghentikan transaksi (tekan cancel atau close).Tindakan buyer agar berhati-hati dan tidak tergesa-gesa dalam membaca peraturan mengenai cara pemesanan, cara pembayaran dan cara pengiriman barang yang dibuat dan di posting olehmerchant merupakan upaya agar terhindar dari kesalahan melakukan transaksi yang tidak dikehendaki, sehingga apabila buyer setuju dengan peraturan tersebut ia akan menekantombol ”OK”, dan manakala tidak setuju ia akan menekan tombol ”cancel”. Apa yang dilakukan tersebut merupakan perwujudan darikerelaan pihak buyer untukterikat/menyetujui atau tidakterikat/tidak menyetujui denganpenawaran aturan yang dibuat olehmerchant. Tidak ada paksaan samasekali dari pihak merchant agar buyermelanjutkan proses transaksi ataumembatalkan proses tersebut. Demikianhalnya pihak merchant, tindakan berupamemproses permintaan order dari buyerdengan rela hati dan tanpa paksaan daripihak buyer atau pihak manapun merupakan perwujudan dari unsurjazmul iradataini. Oleh karena ada kesesuaian antara ijabdan qabul dari merchant dan buyer,walaupun tidak diikrarkan secara lisandan langsung, namun ada tindakan nyata(perbuatan konkrit berupa meng-kliktombol ”OK”) berarti ada kerelaan pihakbuyer untuk terikat pada ketentuan tatacara pembelian, pembayaran danpengiriman barang. Disamping itu adatindakan nyata dari pihak merchantuntuk memproses order yang dimintapihak buyer, maka menurut kami telahsah memenuhi unsur pertama dariperjanjian jual beli,

12

yakni sighat al aqad (ijab qabul). Hal ini berarti tidakbertentangan dengan syara’. 2. Mahallul ‘aqd (obyek perjanjian). Obyek

perjanjian

dalammuamalah

jangkauannya

sangat

luas,bentuknya pun berbeda-beda satudengan yang lain. Para ahli hukum Islam(fuqaha) sepakat bahwa obyekperjanjian harus memenuhi empat syarat10yaitu : a) Obyek harus sudah ada secarakonkrit ketika perjanjian dilangsungkan atau diperkirakan ada pada masa yangakan datang. b) Dibenarkan syara’. c) Obyek harus dapat diserahkan ketikaterjadi perjanjian, namun tidak harusseketika melainkan dapat diserahkanpada saat yang telah ditentukan dalamkontrak. d) Obyek harus jelas dan dapatditentukan (mu‟ayyan) dan harusdiketahui oleh kedua belah pihak yangmembuat perjanjian.Selain itu untuk mencegahterjadinya sengketa atau timbul hal-halyang tidak diinginkan, para fuqahamembedakan dua macam kekeliruan11 1. Kekeliruan

pada

jenis

obyekperjanjian,

dipandang

sebagai

kesalahanfatal yang dapat menyebabkan tidaksahnya perjanjian sehingga sejak awalbatal demi hukum. 2. Kekeliruan pada sifat perjanjian,dipandang sebagai kesalahan ringanyang tidak sampai merusak aqad, karena aqad dipandang sah tetapi bagi pihakyang merasa dirugikan dengan adanya perjanjian itu dapat meminta pembatala kepada pengadilan. Dalam transaksi online, buyerdapat melihat barang atau jasa yang ditawarkan pada layar monitor, namun obyek tersebut tidak bisa seketika diperoleh karena harus menunggu dikirim oleh pihak merchant. Lamanyamasa pengiriman tergantung dari lokasi(tempat 10DR.

H. Abdul Manan, SH.,SIP., M.Hum, Hukum Kontrak Dalam Sistem Ekonomi Syariah, Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun Ke XX1 No.247 Juni 2006, hlm. 40 11DR. H. Abdul Manan, SH.,SIP., M.Hum, Hukum Kontrak Dalam Sistem Ekonomi Syariah, Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun Ke XX1 No.247 Juni 2006, hlm. 46

13

tinggal atau kantor) buyer, apakah di tengah kota atau di daerah yang terpencil, di luar pulau bahkan dinegara yang berbeda. Disamping itubuyer tidak dapat langsung memeriksa kondisi barang yang akan ia beli, apakahsesuai dengan yang di posting atau tidak,apakah ada cacatnya atau tidak. Menurut hukum Islam keadan demikian dibolehkan, sepanjang obyek yang diperdagangkan bukan barang haram seperti minuman keras (khamar),majalah/buku/VCD porno, makanan kaleng yang mengandung zat yang diharamkan misalnya babi, darah, alkohol, serta barang-barang yang terlarang menurut undang-undangnegara yang bersangkutan, misalnya hewan langka, benda purbakala, barangcurian, rampasan, hasil penjarahan,bebas dari unsur ribawi, gharar danmaisyir. Selain itu pihak merchant wajib memastikan bahwa barangnya telah adaatau segera dibuatkan dan siao dikirim sesuai dengan janji yang telah ia postingpada toko virtualnya (web).

14

3. Al ‘aqidaian (pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian) Pihak-pihak yang melaksanakanperjanjian (subyek hukum) adalahmanusia dan badan hukum. Dalam halsubyek hukum ini maka hal yang

perludiperhatikan

kewenangan

(wilayah)

yaitu

kecakapan

danperwakilan

bertindak

(wakalah).

(ahliyah),

Apabila

hal

initerpenuhi maka perjanjian yang dibuatnya mempunyai nilai hukum yang dibenarkan syara’12. Pelaku perjanjian (jual beli online)disyaratkan harus mukhallaf (aqilbaligh, berakal, sehat, dewasa/bukan mumayyid dan cakap hukum). Jadi tidak sah perjanjian (jual beli online) apabila dilakukan oleh anakanak

dan

orang

gilaserta

orang-orang

yang

berada

di

bawahpengampuan. Para ahli hukum Islam sepakat bahwa batasan umur pelakuperjanjian diserahkan kepada ‘urf (adat) setempat dan atau perundang-undanganyang berlaku dalam suatu negara13. Dalam hukum Islam dikenalorang-orang yang tidak cakap bertindakdalam hukum yang disebut sebagai assyuf’ah/ mahjur ‘alaih (tidak cakapbertindak), yaitu orang yang tidak sempurna akalnya dalam hal memelihara hartanya dan kebaikan tasharruf padanya, dalam hal ini anak-anak yang belum dewasa, orang gila dan orang yang selalu membuat mubazir dalam hidupnya.14 Dalam transaksi online yang dilakukan oleh manusia sebagai subyek hukum adalah sah sepanjang ia adalah orang-orang yang cakap menurut syara’, namun karena antara merchant dan buyer tidak bertatap muka secara langsung maka kemungkinan untuk terjadinya penipuan (tadlis) mengenaiusia sangat potensial. Apabila hal initerjadi maka, pihak yang dirugikan (merchant) dapat membatalkan perjanjian kepada pihak yang berwenangatau pengadilan. Menurut Abdul Halim

12DR.

H. Abdul Manan, SH.,SIP., M.Hum, Hukum Kontrak Dalam Sistem Ekonomi Syariah, Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun Ke XX1 No.247 Juni 2006, hlm.42 13Heri Sudarsono, 2003, Konsep Ekonomi aIslam Suatu Pengantar, Penerbit Ekonisia FE-UII, Yogyakarta, Hlm.6 14Heri Sudarsono, 2003, Konsep Ekonomi aIslam Suatu Pengantar, Penerbit Ekonisia FE-UII, Yogyakarta, hlm. 41

15

Mahmud alBa‟ly, sebagaimana dikutip oleh AbdulManan, bahwa penipuan (tadlis) adatiga macam15 yaitu : 1. Penipuan yang berbentuk perbuatanyaitu menyebutkan sifat yang tidaknyata pada obyek perjanjian. 2. Penipuan yang berupa ucapan, sepertiberbohong yang dilakukan oleh satupihak agar pihak lain mau melakukanperjanjian. Penipuan juga dapat terjadipada harga barang yang dijual denganmenipu memberi penjelasan yangmenyesatkan. 3. Penipuan dengan menyembunyikancacat pada obyek perjanjian padahal iasudah mengetahui kecacatan tersebut. Berdasarkan pernyataan Abdul Halim Mahmud al Ba’ly di atas, maka menurutkelompok kita, perjanjian jual beli online tetap sah dan tidak melanggar syara’ sepanjang antara pihak merchant danpihak buyer sama-sama memiliki itikadbaik untuk tidak berbuat curang (bebasdari upaya penipuan atau tadlis ataupuntipu muslihat atau taghir). Maksud daritidak berbuat curang ini adalah daripihak merchant apabila telah menerimapembayaran dari buyer maka ia wajib mengirimkan barang sesuai yangdipesan dan menjamin bahwa barang yang ia kirimkan itu dalam kondisi baik. Sedangkan daripihak buyer, juga

harus

ada

itikad

baikbahwa

jika

ia

belum

mukhallaf

(aqilbaligh,dewasa/bukan mumayyid dancakap hukum) maka janganlah membuattransaksi apapun, selain itu segera melunasi pembayaran manakala ia sudahmenerima barang namun barumembayar sebagian dari total harga. 4. Maudhu’ul aqd (tujuan kontrak danakibatnya) Adalah untuk apa suatu perjanjiandilakukan oleh seseorang dengan oranglain dalam rangka melaksanakan suatu muamalah, adapun yang menentukan akibat hukum dari suatu kontrak adalahal musyarri’ (yang menetapkan syariat,yakni Allah sendiri). Dengan kata lain,akibat 15Heri

Sudarsono, 2003, Konsep Ekonomi aIslam Suatu Pengantar, Penerbit Ekonisia FE-UII, Yogyakarta, hlm. 6

16

hukum dari suatu perjanjian harus diketahui melalui syara’ (hukum Islam)dan harus sejalan dengan kehendaksyara’, sehingga apabila tujuannya bertentangan dengan syara’ adalah tidaksah sehingga tidak menimbulkan

akibathukum.

Menurut

Ahmad

Azhar

Basyir,

sebagaimana dikutip oleh Abdul Manan, syarat sah dari suatu perjanjian16 adalah: 1) Tujuan perjanjian tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak yang bersangkutan tanpa perjanjian yang diadakan, tujuan hendaknya baru ada pada saat aqad diadakan. Misalnya perjanjian ijarah (perjanjian kerja) yang diadakan antarauami istri untuk melakukan pekerjaan rumah tangga. Perjanjian ini tidak sahsebab tujuan perjanjian telah menjadi kewajiban istri untuk melakukan pekerjaan itu menurut ketentuan agama,walaupun tanpa adanya perjanjian tersebut. 2) Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan perjanjian. Misalnya dalam perjanjiansewa-menyewa rumah dalam jangkawaktu dua tahun, tujuannya untuk mengambil manfaat dari perjanjian tersebut, jika manfaat tidak tercapai maka perjanjian menjadi rusak sejaktu juannya hilang. 3) Tujuan perjanjian harus dibenarkan syara’, jika syarat ini tidak terpenuhi maka perjanjian tidak sah. Misalnya perjanjian riba. Dalam transaksi online, tujuan yang hendak dicapai merchant adalah memperoleh sejumlah uang, sedang kanbagi buyer tujuannya adala mendapatkan barang/jasa yang ditawarkan, sehingga akibat hukumnya adalah kedua belah pihak memiliki kewajiban untuk serah terima uang dengan barang/jasa. Jika masing-masingpihak telah

melaksanakan

hak

dankewajibannya

tersebut

maka

inidibenarkan syara‟, namun jika masingmasingpihak atau salah satunya ada itikad yang tidak baik untuk tidak melaksanakan hak atau kewajibannya atau dengan kata lain ada unsur penipuan 16DR.

H. Abdul Manan, SH.,SIP., M.Hum, Hukum Kontrak Dalam Sistem Ekonomi Syariah, Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun Ke XX1 No.247 Juni 2006, hlm. 43

17

(tadlis) dan tipu muslihat (taghir), inilah yang bertentangan dengan syara’ sehingga tidak diperbolehkan. Hal yang bertentangan dengan syara’ tersebut misalnya pihak merchant tidak mengirimkan barang yang di order atau apabila mengirimkan ternyata tidak sesuai sebagaimana yang telah di posting, atau ternyata barang yang dikirim ada cacatnya. Demikian juga jika pihak buyer tidak mengirimkan uang pelunasan atas barang yang ia order, misalnya dalam tata cara pembayaran pihak merchant membuat keleluasaan peraturan (trik ini biasa digunakan sebagai upaya untuk menarik minat pembeli namun rawan disalah gunakan oleh buyer) bahwa barang akan dikirim setelah buyer membayar 50% dan sisa pembayarannya dilunasi apabila buyer telah menerima barang tersebut. E. Hukum Jual Beli Kredit Di zaman yang serba canggih ini perkembangan sistem ekonomi sudah sangat pesat. Beragam sistem ditawarkan oleh para niagawan untuk bersaing menggaet hati para pelanggan. Seorang niagawan muslim yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan dunia sudah semestinya cerdik dan senantiasa menganalisa fenomena yang ada agar mengetahui bagaimana pandangan syariat terhadap transaksi ini. Dengan demikian tidak mudah terjerumus ke dalam larangan-Nya.Di antara sistem yang saat ini terus dikembangkan adalah sistem kredit, yaitu cara menjual barang dengan pembayaran secara tidak tunai (pembayaran ditangguhkan atau diangsur).17 Di dalam ilmu fikih, akad jual beli ini lebih familiar dengan istilah jual beli taqsith (‫)التَ ْقسيـْط‬. Secara bahasa, taqsith itu sendiri berarti membagi atau menjadikan sesuatu beberapa bagian.Meskipun sistem ini adalah sistem klasik, namun terbukti hingga kini masih menjadi trik yang sangat jitu untuk menjaring pasar, bahkan sistem ini terus-menerus dikembangkan dengan berbagai modifikasi.

17Kamus

Besar Bahasa Indonesia

18

Secara umum, jual beli dengan sistem kredit diperbolehkan oleh syariat. Hal ini berdasarkan pada beberapa dalil, di antaranya adalah: 1. Firman Allah Ta’ala:

ُ‫س ًّمى فَا ْكتُب ُْوه‬ َ ‫ٰيأَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا ِإ َذا ت َ َدا َي ْنت ُ ْم بِ َدي ٍْن ِإ ٰلى أ َ َج ٍل ُّم‬ “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al Baqarah : 282) Ayat di atas adalah dalil bolehnya akad hutang-piutang, sedangkan akad kredit merupakan salah satu bentuk hutang, sehingga keumuman ayat di atas bisa menjadi dasar bolehnya akad kredit.

2. Hadis ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,beliau mengatakan, َ ٍ ‫سلَّ َم ِّم ْن يَ ُهودِّي‬ َّ ‫سو ُل‬ ُ‫عه‬ ُ ‫ا ْشت ََرى َر‬ َ ‫ َو َر َهنَهُ د ِّْر‬،ٍ‫طعَا اما بِّنَسِّيئَة‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬ َ ‫علَ ْي ِّه َو‬ َ ِّ‫َّللا‬ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran dihutang dan beliau juga menggadaikan perisai kepadanya.” (HR. Bukhari:2096 dan Muslim: 1603) Dalam hadis ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membeli bahan makanan dengan sistem pembayaran dihutang, itulah hakikat kredit. Rambu-Rambu Kredit Meskipun pada dasarnya jual-beli kredit adalah diperbolehkan, akan tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan bagi praktisi jual beli kredit. Di antaranya adalah: 1. Obyek jual beli bukan komoditi ribawi yang sejenis dengan alat tukar Sebagaimana sudah ma’ruf bahwa para ulama membagi komoditi ribawi menjadi dua kelompok. kelompok pertama adalah kategori barang yang menjadi alat tukar atau standar harga, seperti; emas, perak, uang, dll. Dan kelompok yang kedua adalah kategori bahan makanan pokok yang tahan lama, seperti; gandum, kurma, beras, dll. 19

Hal yang perlu diketahui bahwa akad barter atau jual beli antara dua komoditi ribawi yang masih dalam satu kelompok (misalkan emas dengan uang, atau gandum dengan kurma) harus dilakukan secara tunai. Artinya tidak boleh ada kredit di dalamnya (harus kontan) agar tidak terjadi praktik riba nasi’ah. Dasarnya adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

َّ ‫ير ِّبال‬ َّ ‫ض ِّة َو ْالب ُُّر ِّب ْالب ُِّر َوال‬ ‫ير َوالت َّ ْم ُر ِّبالت َّ ْم ِّر َو ْال ِّم ْل ُح ِّب ْال ِّم ْلحِّ ربا ا إَّل‬ َّ ‫ضةُ ِّب ْال ِّف‬ َّ ‫ب َو ْال ِّف‬ ُ ‫الذَّه‬ ُ ‫ش ِّع‬ ِّ ‫َب ِّبالذَّ َه‬ ِّ ‫ش ِّع‬ ‫ِّمثْ اًل ِّب ِّمثْ ٍل‬ ْ ‫ويَداا بِّيَ ٍد فَإِّذَا‬ ْ َ‫اختَلَف‬ ‫ْف ِّشئْت ُ ْم إِّذَا َكانَ يَداا بِّيَد‬ ْ َ ‫ت َه ِّذ ِّه ْاأل‬ ُ ‫صن‬ َ ‫َاف فَبِّيعُوا َكي‬ “Menukarkan emas dengan emas, perak dengan perak, gandum burr dengan gandum burr, gandum sya’ir dengan gandum sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam adalah termasuk akad riba, kecuali dengan dua syarat:sama ukurannya dan dilakukan secara tunai (cash) Namun, Jika jenisnya berbeda (dan masih dalam satu kelompok) maka tukarlah sekehendakmu dengan satu syarat, yaitu harus diserahkan secara tunai” (HR Muslim). Konsekuensi dari penjelasan di atas, maka tidak diperbolehkan jual beli uang, valas, emas atau alat tukar sejenisnya dengan cara kredit. 2. Hindari penundaan serah terima barang Di dalam akad kredit tidak boleh ada penundaan serah terima barang. Sebab hal itu merupakan praktik jual beli hutang dengan hutang. Artinya, barang masih berada dalam tanggungan penjual dan uang pun juga masih berada dalam tanggungan pembeli. Inilah praktik jual beli dain bid dain yang disepakati keharamannya oleh para ulama. Sebagaimana dinukilkan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab beliau, AlMughni18.

18

Al-Mughni: 3/306

20

Diriwayatkan

di

dalam sebuah hadis

dari Ibnu ‘Umar

mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli hutang dengan hutang.” (HR. Hakim: 2343) Imam Al Hakim menilai hadis ini sebagai hadis yang shohih sesuai syarat Muslim, akan tetapi kebanyakan ulama menilai hadis ini sebagai hadis yang lemah, tidak bisa dijadikan dalil 19. Meskipun demikian mereka bersepakat untuk menerima maknanya. Sebagaimana perkataan Ibnul Mundzir yang dinukilkan oleh Ibnu Qudamah, beliau mengatakan, “Para ahli ilmu telah bersepakat bahwa jual beli hutang dengan hutang tidak diperbolehkan. Imam Ahmad mengatakan, “Ini adalah ijma’.”20 Harga Ganda dalam Jual Beli Kredit Di antara hal penting yang perlu kita ketahui juga adalah akad jual beli kredit dengan harga ganda. Ilustrasinya adalah sebagai berikut: Seorang penjual menawarkan barang dagangan kepada para pembeli dengan beberapa penawaran harga. Jika dibayar secara kontan maka harganya sekian rupiah (satu juta misalnya), akan tetapi jika dibayar secara kredit maka harganya sekian (dua juta misalnya), dst. Kenyataannya praktik semacam inilah yang banyak berkembang di dalam jual beli kredit. Oleh karena itu penting kiranya kita mengetahui tinjauan syariat terhadap sistem perniagaan seperti ini. Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi transaksi seperti ini. Mayoritas para ulama membolehkan praktik jual beli kredit semacam ini, dengan catatan sudah terjadi kesepakatan harga antara penjual dan pembeli sebelum mereka berpisah. Artinya pembeli sudah menentukan pilihan harga dan pihak penjual juga sudah menyepakati hal itu.

19Imam

Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Para pakar hadis melemahkan hadis ini.” (Nailul Authar: 5/164-165). Syaikh Albani juga menilai hadis ini sebagai hadis dho’if (lihat Dha’if Al Jami’ : 6061) 20

Al- Mughni/ Ibnu Qudamah, penerjemah, ( Jakarta : Pustaka Azzam 2008) hlm. 306

21

Pendapat ini berdasarkan kaidah dalam muamalah bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya,

َّ ‫َوأ َ َح َّل‬ ‫الر َبا‬ ِّ ‫َّللاُ ْال َب ْي َع َو َح َّر َم‬ “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al Baqarah: 275) Oleh karena itu selama tidak ada dalil yang valid nan tegas yang mengharamkan praktik semacam ini, maka perniagaan tersebut halal atau boleh dilakukan. Dan sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa akad jual beli seperti ini tidak boleh5. Pendapat ini didukung oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

َّ ‫صلَّى‬ ‫ع ْن بَ ْيعَتَي ِّْن فِّي بَ ْيعَ ٍة‬ َ – ‫سلَّ َم‬ َ ُ‫َّللا‬ َ ‫علَ ْي ِّه َو‬ َ –‫ي‬ ُّ ِّ‫نَ َهى النَّب‬ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang dual transaksi dalam satu jual beli.” (HR. Tirmidzi: 3/1290 dan Nasai: 7/296)6 Pendapat inilah yang dipegang oleh Imam An Nasa’i. Beliau membuat sebuah judul bab “Transaksi Ganda dalam jual beli” (‫)بيعتين في بيعة‬ kemudian beliau mengatakan, “Yaitu perkataan seseorang, ‘saya jual dagangan ini seharga seratus dirham cash/tunai, dan dua ratus dirham secara kredit.” Pendapat yang Lebih Kuat Perbedaan pendapat ini didasari atas perbedaan mereka dalam memahami konteks hadits ini. Ulama yang memperbolehkan transaksi ini, mereka berpendapat bahwa transaksi tersebut (kredit dengan harga ganda) bukanlah transaksi yang dimaksud dalam hadits Abu Hurairah di atas. Sedangkan pendapat ke dua yang mengharamkan transaksi ini, mereka berpendapat bahwa transaksi kredit adalah contoh riil dari hadis di atas.

22

Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang pertama yang mengatakan bolehnya transaksi seperti ini. Sebab penafsiran yang lebih tepat sebagaimana disampaikan oleh Ibnul Qayyim dan yang lainnya21, bahwa makna hadits ini ialah larangan dari jual beli sistem ‘inah. Yaitu seseorang menjual kepada orang lain suatu barang dengan pembayaran dihutang dengan syarat sang penjual membelinya kembali dengan harga yang lebih mahal secara kredit. Pendapat ini dikuatkan dengan beberapa alasan: Pada hakikatnya di dalam kasus jual beli di atas tidak terjadi dua transaksi, sebab meskipun ada variasi harga akan tetapi sang pembeli hanya memilih salah satu harga saja. Itu artinya harga yang disepakati oleh penjual dan pembeli hanya satu saja, bukan ganda. Sedangkan yang dilarang di dalam hadis di atas adalah jual beli dengan akad ganda. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

‫وم‬ ْ ‫ف فِّي شَيءٍ فَليُ ْس ِّل‬ ٍ ُ‫وم إِّلَى أ َ َج ٍل َم ْعل‬ ٍ ُ‫زن َم ْعل‬ ٍ ُ‫ف فِّي َك ْي ٍل َم ْعل‬ ٍ ‫وم َو َو‬ َ َ‫َم ْن أ َ ْسل‬ “Barang siapa yang membeli dengan cara memesan (salam), hendaknya ia memesan dengan takaran serta timbangan yang jelas dan hingga batas waktu yang jelas pula.” (HR. Bukhari: 2240 dan Muslim: 1604) Hadis di atas menunjukan bolehnya akad salam (akad pemesanan). Sebagaimana dalam akad salam diperbolehkan mengakhirkan penyerahan barang dengan syarat pembayaran kontan serta ukuran dan waktu penyerahannya jelas, maka boleh juga dalam akad kredit mengakhirkan penyerahan uang dengan syarat peyerahan barang secara kontan serta nominal pembayaran dan waktu pembayarannya jelas.

21

Tahdzibus Sunan

23

Catatan Penting Ada beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan dalam akad jual beli kredit. Di antaranya adalah; Jika pembeli sudah menentukan pilihan harga, maka sebesar itulah jumlah uang yang berhak di ambil oleh penjual. Pihak penjual tidak berhak untuk

mengambil

lebih,

sekalipun

pembeli

terlambat

melunasi

pembayaran. Misalnya, “A” membeli barang kepada pihak “B” dengan harga 10 juta dibayar kredit selama satu tahun. Jika ternyata pihak “A”tidak mampu melunasi dalam tempo satu tahun, maka pihak “B” tidak berhak menaikkan harga yang telah disepakati. Karena di dalam jual bei kredit tidak boleh adanya harga ganda. Semisal pembeli belum bisa melunasi maka diberi perpanjangan waktu, dan tidak diperkenankan untuk menaikkan harga artinya harga tetap pada kesepakatan awal. Jika barang sudah berada di tangan pembeli dan kesepakatan harga juga sudah disetujui, maka barang dagangan resmi menjadi milik pembeli. Dengan demikian, penjual tidak berhak menyita atau menarik kembali barang dagangannya meskipun uang cicilan kredit belum selesai. Semisal “ada seseorang membeli kulkas dibayar kredit dengan harga 1.000.000 dan jangka waktu pembayarnnya yaitu satu tahun. Pada pembayaran pertama kulkas sudah ada di tangan pembeli. Setelah satu tahun kemudian ternyata pembeli belum bisa melunasi, maka dari pihak penjual tidak boleh menarik lagi kulkas tersebut, melainkan penjual memberi kelonggaran waktu kepada si pembeli, sampai pembeli bisa melunasi sesuai dengan harga yang sudah disepakati dari awal.

24

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Pertama, jual beli adalah sebuah transaksi antara penjual dan pembeli yang melakukan tukar menukar barang dengan barang atau sesuatu yang lain atau sesuai dengan metode pembayaran yang berlaku berdasarkan tata cara dan akad tertentu. Kedua, rukun jual beli konvensional ada empat yaitu muta’aqidain, ijab kabul, barang yang diperjual belikan dan nilai tukar. Sedangkan syaratnya meliputi syarat orang yang berakad, yang terikat dengan ijab kabul, barang yang diperjual belikan dan harga barang. Ketiga, jual beli borongan sah dilakukan apabila memenuhi beberapa syarat yaitu: Harga per takaran sudah ditentukan di muka, pihak yang membeli mengetahui dengan pasti kondisi barang yang hendak ditebasnya, orang yang melakukan adalah sudah mahir dalam urusan memborong Keempat, Jual beli melalui melalui media online adalah sah menurut syara’ (hukum Islam) sepanjang memenuhi empat kriteria yaitu Sighat, Mahallul aqd, Al aqidaian, tujuan kontrak dan akibatnya, yaitu kewajiban buyer untuk membayar harga yang telah ia setujui dan kewajiban merchant mengirim barang yang telah di order oleh buyer dalam kondisi baik dan tanpa cacat, bebas dari penipuan (tadlis) dan tipu muslihat (taghir). Kelima, jual beli dengan sistem kredit diperbolehkan oleh syariat, Meskipun pada dasarnya jual-beli kredit adalah diperbolehkan, akan tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan bagi praktisi jual beli kredit. Di antaranya adalah: obyek jual beli bukan komoditi ribawi yang sejenis dengan alat tukar, hindari penundaan serah terima barang.

25

B. Kritik dan Saran Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis butuhkan untuk memperbaiki makalah ini.

26

DAFTAR PUSTAKA

Al- Mughni/ Ibnu Qudamah, penerjemah, ( Jakarta : Pustaka Azzam 2008) Al-Mahally, Syekh Jalaluddin, Al-Mahally ‘ala Minhâji al-Thâlibîn, (Kediri: Pesantren Petuk) Gazaly, Abdul Rahman dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010) Kamus Besar Bahasa Indonesia Manan, Abdul, Hukum Kontrak Dalam Sistem Ekonomi Syariah, Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun Ke XX1 No.247 Juni, 2006. Mas’adi, Ghufron A, Fikih Muamalah Konstektual, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002) Mustofa, Imam, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016) Sudarsono, Heri, Konsep Ekonomi aIslam Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Ekonisia FE-UII, 2003) Tahdzibus Sunan

27

Related Documents


More Documents from "athye"