Gamelan : Sektor Ekonomi yang Terpinggirkan
Suis mengeluhkan tentang sikap acuh tak acuh masyarakat dan pemerintah terhadap gamelan. Ia menyayangkan masyarakat yang kurang perhatian terhadap kesenian gamelan.
Suasana nyaman hadir ketika menginjakkan kaki di desa Candigaron, kecamatan Sumowono yang memiliki enam dusun. Selain keasriannya, kekentalan tradisi dan keseniannya seakan menjadi indentitas dari desa ini. Kesenian yang tidak bisa jauh dari desa ini adalah kesenian gamelan. Gamelan ini telah menjadi ikon desa candigaron, yang diwariskan oleh para pendahulunya
Gamelan: Awal hingga Akhir Suis, salah satu pengrajin gamelan desa Candigaron menuturkan, bahwasannya sejarah keberadaan gamelan di desa ini masih simpang siur. Belum ada catatan sejarah yang jelas membahas akan awal mula kehadiran seni gamelan di desa ini. Lelaki berperawakan tinggi ini menuturkan, gamelan telah ditekuni para pendahulu di keluarganya sehingga masih mampu dinikmati keunikannya hingga seakarang. Ia juga mengaskan gamelan memang benarbenar asli dari desa Candigaron. “ Suis juga memaparkan peluang pasar yang dihadapi oleh para pengrajin cukup besar. Karena, gamelan dari desa Candigaron telah memiliki nama dikalangan masyarakat pada umunnya. Gamelan yang ia buat telah mencapai pasaran luar negri. Ketika kami temui di kediamannya, Suis menjelaskan bahwa omset yang didapat dari
pembuatan gamelan ini cukup menjanjikan. Hal ini dikarenakan, pembuatan gamelan tidak membutuhkan biaya produksi yang besar. Selain itu, tingkat kerumitan motif menentukan nilai jual gamelan. ”Saya membandrol harga cukup tinggi dengan biaya produksi yang rendah bukan sematamata untuk mencari banyak keuntungan. Saya rasa itu sesuai dengan tingkat kesusahan dan tingkat kerumitan motif dari gamelan tersebut,” ungkap Suis. Berbicara mengenai kendala yang dihadapi, Suis mengaku kesulitan yang dihadapi dalam pembuatan gamelan adalah tahap pengukiran dan penyelarasan nada. Pada tahapan ini pengrajin dituntut akan kreatifitas dan ketelatenannya dalam setiap pola ukir yang dibuatnya. Selain itu, beliau menegaskan bahwasannya, bahan baku yang dibutukan tidaklah menjadi kendala utama yang dihadapi para pengrajin. Untuk menemukan seperti besi, perunggu, maupun kayu yang digunakan cukup mudah dengan harga yang tidak memberatkan mereka, dalam artian sesuai dengan harga pada pasaran umum. “Untuk masalah modal, saya tidak begitu memikirkannya. Karena, jika saya mendapat sebuah pesanan, pembeli akan memberi saya dana pertama (DP). Dari situlah, saya gunakan uang hasil dp untuk menjadi modal pembuatan gamelan sesuai dengan apa yang pembeli pesan”,ujar suis dengan nada santai.
Potensi belum dimaksimalkan Walaupun begitu Suis juga v mengeluhkan tentang sikap acuh tak acuh masyarakat dan birokrasi terhadap gamelan. Ia menyayangkan masyarakat yang kurang perhatian terhadap kesenian gamelan. ”Tidak adanya kerja nyata dari pihak birokrasi untuk menggali potensi kesenian gamelan yang mengarah pada upaya memajukaan ekonomi desa,” ujar Suis. Seorang perempuan paruh baya yang akrab dipanggil Narti juga senada dengan Suis. “Di sini, saya selaku masyarakat awam belum pernah melihat upaya pejabat desa mensosialisasikan kesenian gamelan dijadikan sebagai salah satu potensi yang dikembangkan untuk memajukan perekonomian desa.” Ia juga menambahkan respon masyarakat yang tidak antusias karena tidak ada ketertarikan lagi terhadap kesenian gamelan. Selain itu tanggapan dari perempuan paruh baya tersebut diperkuat bahwa pembuatan gamelan memang membutuhkan tingkat kerumitan yang tinggi. Ketika kami konfirmasi kepada perangkat desa yakni kepala desa Candigaron mengaku belum ada kerja nyata mengenai penggalian potensi kesenian gamelan yang memajukan perekonomian desa.