Case Asma Kyg.docx

  • Uploaded by: firda17
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Case Asma Kyg.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 8,220
  • Pages: 43
Laporan Kasus

ASMA BRONKIAL

Oleh: Gunung Nasution

04054821719046

Ressy Felisa Raini

04054821719040

Indah Permata Sari

04054821719048

M. Rizky Rasyadi

04084821719188

Naufal Karyna Putri

04054821820049

Nyayu Firda

04054821820047

Pembimbing: dr. T. Mirda Zulaikha, M.Sp.A dr. Dian Mayasari, Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA RSUD KAYUAGUNG 2018

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

ASMA BRONKIAL Oleh:

Gunung Nasution

04054821719046

Ressy Felisa Raini

04054821719040

Indah Permata Sari

04054821719048

M. Rizky Rasyadi

04084821719188

Naufal Karyn

04054821820049

Nyayu Firda

04054821820047

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUD Kayuagung periode 6 September – 14 Oktober 2018.

Palembang,

Oktober 2018

Pembimbing

Dr. T. Mirda Zulaikha, Sp.A

2

BAB I STATUS PASIEN I.1

IDENTITAS PASIEN Nama

: An. MKA

Umur

: 9 Februari 2015 (3 tahun 7 bulan)

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Tanjung Raja Selatan

Agama

: Islam

Tgl. masuk RS

: 23 September 2018

I.2. SUBJEKTIF ANAMNESIS Keluhan Utama : Sesak Riwayat Penyakit Sekarang : Sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh sesak. Sesak timbul dipengaruhi cuaca dingin dan tidak berhenti dengan istirahat. Sesak disertai suara mengi, saat sesak pasien lebih senang dalam posisi duduk dan pasien masih bisa berbicara. Pasien juga mengeluh batuk dengan dahak (+) berwarna putih bening, tidak banyak dan tidak kental serta susah dikeluarkan. Pasien mengaku tidak ada demam, mual maupun muntah. BAB biasa, tidak ada mencret. BAK biasa. Riwayat bengkak tidak ada, riwayat sakit kuning tidak ada. Riwayat paparan iritan yang memperberat sesak ada, yaitu asap rokok dan obat nyamuk bakar. Tidak ada riwayat tersedak makanan atau benda asing, tidak ada riwayat pilek, tidak ada riwayat batuk lama dan demam terus-menerus dan tidak ada kontak dengan penderita batuk lama. Pasien kemudian berobat ke Puskesmas dan dilakukan nebulisasi, kemudian pasien merasa tidak sesak lagi lalu pulang. Sejak ± 1 jam sebelum masuk rumah sakit, pasien kembali mengeluh sesak yang bertambah hebat. Pasien lalu dibawa ke IGD RSUD Kayuagung.

3

Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien memiliki riwayat sesak nafas disertai mengi pertama kali timbul saat usia 3 tahun (7 bulan yang lalu). Dalam 6 minggu terakhir, sesak tidak pernah timbul. Dalam 6 bulan terakhir, sesak muncul 2x.

Riwayat Penyakit Keluarga : Riwayat asma pada keluarga ada, yaitu pada ayah pasien. Riwayat atopi berupa rhinitis alergi (sering bersin pada pagi hari) ada, yaitu pada ibu pasien. Riwayat atopi berupa dermatitis atopik (sering muncul ruam merah) disangkal.

Riwayat kehamilan dan persalinan : Selama mengandung pasien, ibu pasien kontrol ke bidan secara teratur. Pasien dikandung cukup bulan, lahir spontan ditolong oleh bidan. Berat badan lahir pasien 3100 gram. Setelah lahir pasien langsung menangis spontan, kulit kemerahan dan tidak ada kelainan.

Makanan/Gizi 0-6 bulan minum ASI dan susu formula 6-12 bulan susu formula ditambah bubur instan 12 bulan nasi lembek

Tumbuh kembang Tengkurap dan perubahan posisi

: 3 bulan

Duduk dan merangkak

: 6-8 bulan

Bicara tidak jelas

: 8 bulan

Berjalan dipapah

: 10 bulan

Berjalan

: 1 tahun

4

Imunisasi Hepatitis B 1,2,3

+/+/+

BCG

+

Polio 0,1,2,3

+/+/+/+

DPT

+/+/+/+

Campak

+/+

Kepribadian Pasien termasuk anak yang aktif.

Lingkungan Rumah Lingkungan bersih, tidak terlalu ramai, tidak kotor, rumah memiliki ventilasi dan pencahayaan cukup, tidak lembab dan tidak menggunakan tempat tidur atau bantal terbuat dari kapuk.

I.3. OBJEKTIF PEMERIKSAAN FISIK (Dilakukan pada tanggal 23 September 2018 pukul 21.00 di bangsal Instalasi Rawat Anak) Keadaan Umum : sesak, rewel Kesadaran : Compos Mentis/ 15 Vital sign Nadi

: 118 kali/menit

Pernafasan

: 61 kali/menit

Suhu

: 36,5oC

SpO2

: 92%

Antropometri BB : 13 kg TB : 98,5 cm Status gizi

5

BB/U : 0 < Z < -2 SD = normoweight TB/U : 0 < Z < -2 SD = normoheight BB/TB : -1< Z < -2 SD = gizi baik Interpretasi : Gizi baik

Kepala Rambut

: Normocephali, warna hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut dan tidak mudah rontok.

Mata

: Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, kedudukan bola mata simetris, pupil bulat isokor, diameter 2 mm, reflek cahaya positif, edema palpebra tidak ada, allergic shiners (-)

Telinga

: Bentuk normal, tidak ada sekret

Hidung

: Bentuk normal, tidak terdapat deviasi septum, tidak ada sekret, tidak ada napas cuping hidung

Mulut

: Mukosa mulut basah, lidah kotor tidak ada, bibir tidak kering, tidak tampak sianosis

Tenggorokan : Faring tidak hiperemis, tonsil TI – TI tenang Leher

: Simetris, trakea lurus ditengah, kelenjar tiroid tidak teraba membesar, kelenjar getah bening tidak teraba membesar, JVP tidak meningkat

Thorak

: Bentuk normal (Normochest), hemithorak kanan dan kiri simetris Paru -

Inspeksi

: Dinding dada simetris, tampak sedikit retraksi epigastrium dan interkostal, tidak ada pelebaran vena, tidak tampak sikatriks, terlihat adanya penggunaan otot dada untuk pernafasan secara aktif

-

Palpasi

: Fremitus taktil kanan dan kiri simetris Ekspansi dinding dada kanan = kiri

-

Perkusi

: Sonor pada kedua lapang paru

-

Auskultasi

: Suara nafas dasar vesikuler pada kedua lapang paru, terdapat ronkhi di pulmo dekstra dan

6

sinistra, terdapat wheezing di pulmo dekstra dan sinistra. Jantung -

Inspeksi

: Iktus Cordis tidak tampak

-

Palpasi

: Iktus Cordis teraba

-

Perkusi

: Batas kiri jantung 2 jari lateral LMCS ruang intercostal (RIC) V Batas kanan jantung 2 jari lateral linea sternalis dekstra (LSD) di RIC V

-

Auskultasi

: Bunyi jantung I> II,reguler, tidak terdapat murmur, tidak terdapat gallop

Abdomen -

Inspeksi

: Datar, tidak tampak benjolan, tidak ada acites, tidak ada gerakan otot abdomen untuk bernafas

-

Palpasi

: Lunak, nyeri tekan epigastrium, hepar tidak teraba pembesaran dan lien tidak teraba pembesaran, tidak teraba massa

-

Perkusi

: Timpani pada seluruh lapang abdomen Tidak ada tanda acites

-

Auskultasi

Ekstremitas

: Bising usus ada, normal

: Akral hangat Tidak ada sianosis

I.4. DAFTAR MASALAH Subjektif 1. Sesak nafas 2. Batuk 3. RPD: sesak nafas disertai mengi berulang sejak usia 3 tahun 4. RPK: Riwayat asma dan atopi pada keluarga (+) Objektif 1. Nadi

: 118 x/menit

2. Pernapasan

: 61 x/menit

7

3. SpO2

: 92%

4. Thoraks

: Retraksi otot napas minimal pada epigastrium dan

intercostal, ronkhi dan wheezing di kedua lapangan paru

I.5. DIAGNOSIS BANDING 1. Asma Bronkial 2. Pneumonia 3. Bronkiolitis

1.6. DIAGNOSIS KERJA Asma Bronkial (Serangan asma berat dengan perbaikan)

I.6. PLANNING Planning diagnostik -

Darah Lengkap

-

Foto Rontgen thorax PA

Planning terapi -

O2 2L/m via nasal kanul

-

IVFD KAEN 1B gtt vi/m makro

-

Injeksi Dexametason 1,2 mg per 8 jam

-

Injeksi Ampicillin 25 mg per 8 jam

-

Injeksi Gentamisin 3 x 2,5 mg per 12 jam

-

Nebulasi Salbutamol 2 mg dalam NaCl 0,9% ml per 8 jam

Planning monitoring -

Keadaan umum

-

Tanda vital

-

Efek samping obat

Hasil Pemeriksaan Penunjang Hemoglobin

: 12,4 g/dL

Hematokrit

: 35%

Leukosit

: 14.200/mm3

8

Trombosit

: 349.000/mm3

CRP

: (+)

Hitung jenis leukosit Limfosit

: 10,7%

Netrofil

: 84,7%

Mono, eos, baso

: 4,6%

HASIL FOLLOW UP

Subjektif

Objektif

Hari Perawatan II 24/03/2018

- Sesak nafas (+)  - Batuk (+)  - Dahak (+)   

KU : sakit ringan Sens : CM/ gcs 15 N :118x/mnt RR : 58 x/mnt T :36,5 0C SpO2: 96%

Assessment

- Asma bronkial serangan ringan sedang

Kepala : CA-/-, SI -/-, NCH (-) Thorax: simetris, retraksi (+) minimal pada epigastrium Cor : BJ I-II normal, murmur (-), gallop (-) Pulmo : Vesikuler (+/+) normal, Ronkhi (+/+), Wheezing (+/+) Abdomen : datar, lemas, BU (+), Hepar& lien ttb, NTE (-) Ekstremitas : edema -/-/-/-, akral hangat, CRT <3”

Planning Planning diagnostic: Planning therapy: - O2 2L/m via nasal kanul - IVFD KAEN 1B gtt vi/m makro - Injeksi Dexametason 1,2 mg per 8 jam - Drip Ceftriaxone 1 gram dalam NaCl 0,9% 100cc per 24 jam - Nebulasi salbutamol 2 mg dalam NaCl 0,9% ml per 8 jam Planning monitoring: - KU, RR, SPO2, retraksi, efek samping obat

Hari Perawatan III 25/03/2018

KU : sakit ringan Sens : CM/ gcs 15  N :124x/mnt

- Asma

Planning diagnostic:

bronkial Planning therapy:

- Sesak napas (-) 9

- Batuk (+) -

 RR : 36 x/mnt  T :36,6 0C  SpO2: 99% 

- IVFD KAEN 1B gtt vi/m makro - Nebulasi salbutamol 2 mg dalam NaCl 0,9% ml per 8 jam - Injeksi Dexametason 1,2 mg per 8 jam - Drip Ceftriaxone 1 gram dalam NaCl 0,9% 100cc per 24 jam

Kepala : CA-/-, SI -/-, NCH (-) Thorax: simetris, retraksi (-) Cor : BJ I-II normal, murmur (-), gallop (-) Pulmo : Vesikuler (+/+) normal, Ronkhi (+/-), Wheezing (+/+) Abdomen : datar, lemas, BU (+), Hepar& lien ttb, NTE (-) Ekstremitas : edema -/-/-/-, akral hangat, CRT <3”

Planning monitoring: - KU, RR, SPO2, retraksi, efek samping obat Hari Perawatan IV 26/03/2018

 - Sesak napas (-)  - Batuk (+)   

KU : baik Sens : CM/ gcs 15 N :108x/mnt RR : 31 x/mnt T :36,7 0C SpO2: 99%

- Asma

Planning diagnostic:

bronkial intermitten

Planning therapy: - IVFD KAEN 1B gtt vi/m makro - Nebulasi salbutamol 2 mg dalam NaCl 0,9% ml per 8 jam - Injeksi Dexametason 1,2 mg per 8 jam - Drip Ceftriaxone 1 gram dalam NaCl 0,9% 100cc per 24 jam - Rawat jalan

Kepala : CA-/-, SI -/-, NCH (-) Thorax: simetris, retraksi (-) Cor : BJ I-II normal, murmur (-), gallop (-) Pulmo : Vesikuler (+/+) normal, Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-) Abdomen : datar, lemas, BU (+), Hepar& lien ttb, NTE (-) Ekstremitas : edema -/-/-/-, akral hangat, CRT <3”

Planning monitoring:

-

10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DEFINISI3,5

2.1.

Asma merupakan suatu kelainan pada saluran napas yang diakibatkan oleh proses inflamasi kronis yang melibatkan sel dan elemen-elemen seluler. Inflamasi kronis tersebut berhubungan dengan hiperresponsif dari saluran pernafasan yang menyebabkan episode mengi (wheezing), apneu, sesak nafas dan batuk-batuk terutama pada malam hari atau awal pagi. Episode ini berhubungan dengan luas obstruksi saluran pernafasan yang bersifat reversibel baik secara spontan ataupun dengan terapi. Global Institute for Asthma (GINA) mendefinisikan asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas dengan banyak sel yang berperan seperti, sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Inflamasi kronik tersebut menyebabkan episode mengi (wheezing) berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam hari atau dini hari. Definisi terbaru yang dikeluarkan oleh Unit Kerja Koordinasi (UKK) Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada tahun 2015 menyebutkan bahwa asma adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut; timbul secara episodik, cenderung pada malam / dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktifitas fisik serta terdapat riwayat asma atau atopi lain pada pasien dan/atau keluarganya. Definisi asma yang saat ini umumnya disetujui oleh para ahli yaitu asma adalah penyakit paru dengan karakteristik : 1. Obstruksi saluran napas yang reversible (tetapi tidak lengkap pada beberapa pasien) baik secara spontan maupun dengan pengobatan 2. Inflamasi saluran nafas kronik 3. Peningkatan respons saluran napas terhadap berbagai rangsangan

11

2.2. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO3,4,6 Secara umum faktor risiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu: 1. Faktor genetik a. Hiperreaktivitas jalan napas Berhubungan dengan reaksi hipersensitivitas yang melibatkan sel-sel inflamasi. b. Atopi/ alergi bronkus Adanya riwayat atopi berhubungan dengan meningkatnya risiko asma persisten dan beratnya asma. Beberapa laporan menunjukan bahwa sensitisasi alergi terhadap alergen inhalan, susu, telur, atau kacang pada tahun pertama kehidupan, merupakan prediktor timbulnya asma c. Jenis kelamin Menurut laporan dari beberapa penelitian didapatkan bahwa prevalens asma pada anak laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5 sampai 2 kali lipat anak perempuan. d. Ras/ etnik Menurut laporan dari Amerika Serikat, didapatkan bahwa prevalens asma dan kejadian serangan asma pada ras kulit hitam lebih tinggi daripada kulit putih. 2. Faktor lingkungan a. Alergen

didalam

ruangan

(tungau,

debu

rumah,

kucing,

alternaria/jamur) b. Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari) c. Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan laut, susu sapi, telur) d. Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-blocker dan sebagainya) e. Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll) f. Ekspresi emosi berlebih g. Asap rokok dari perokok aktif dan pasif h. Polusi udara di luar dan di dalam ruangan

12

i. Exercise induced asthma j. Perubahan cuaca Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya asma: 

Pemicu: Alergen dalam ruangan seperti tungau, debu rumah, binatang berbulu (anjing, kucing, tikus), alergen kecoak, jamur, kapang, ragi, serta pajanan asap rokok, infeksi viral saluran napas, aeroalergen seperti bulu binatang, alergen dalam rumah (debu rumat, kecoa, jamur), seasonal aeroalergen seperti serbuk sari, asap rokok, polusi udara, pewangi udara, alergen di tempat kerja, udara dingin dan kering, olahraga, menangis, tertawa, hiperventilasi, dan kondisi komorbid (rinitis, sinusitis, dan gastroesofageal refluks).

2.3.

EPIDEMIOLOGI3,4,7 Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics (NCHS) tahun

2003, prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa dengan usia diatas 18 tahun, 38 per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Jumlah anak laki-laki yang mengalami asma 1,5 sampai 2 kali lebih sering dibandingkan perempuan, tetapi setelah pubertas prevalensi asma pada laki-laki sama dengan perempuan. World Health Association (WHO) memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma. Sedangkan berdasarkan laporan National Center for Health Statistics (NCHS) tahun 2000 terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu populasi. Asma adalah penyakit kronik yang umum menyebabkan peningkatan angka kesakitan. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari data statistik pusat nasional Amerika Serikat pada tahun 1998, terdapat 8,65 juta anak-anak dilaporkan menderita asma dan 3,8 juta anak pernah mengalami episode serangan asma dalam waktu 12 bulan. Asma pada anak-anak di Amerika Serikat dianggap sebagai penyebab tersering adanya kunjungan ke Instalasi Gawat Darurat (867,000 kasus), rawat inap (166,000 kasus) dan tidak masuk sekolah (10.1 juta kasus) Walaupun asma tidak sering menyebabkan kematian, namun dilaporkan 164 kematian anak akibat asma pada tahun 1998.

13

PATOGENESIS3,7,8

3.4.

Asma merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel dan ditandai oleh serangan batuk, wheezing (mengi) dan dispnea pada individu dengan jalan nafas yang hiperreaktif. Tidak semua asma memiliki dasar alergi, dan tidak semua orang dengan penyakit atopik mengidap asma. Asma mungkin bermula pada semua usia tetapi paling sering muncul pertama kali dalam 5 tahun pertama kehidupan. Beberapa orang dengan gejala asma yang bermula dalam 2 dekade pertama kehidupan, lebih besar kemungkinannya mengidap asma yang diperantarai oleh Immunoglobulin E (IgE) dan memiliki penyakit atopi terkait lainnya, terutama rinitis alergika dan dermatitis atopik. Asma merupakan suatu bentuk reaksi hipersensitivitas tipe 1, alergen masuk ke dalam tubuh menimbulkan respon imun berupa produksi IgE yang terdiri dari 3 fase, yaitu: 1. Fase Sensitisasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikat silang oleh reseptor spesifik (Fce-R) pada permukaan sel mast dan basofil. 2. Fase Aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi. 3. Fase Efektor yaitu waktu terjadinya respons yang kompleks sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast/basofil.

14

Gambar 1. Patofisiologi Asma

Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T oleh antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang melibatkan molekul Major Histocompability Complex atau MHC (MHC kelas II pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada sel T CD8+). Sel dendritik berperan sebagai Antigen Precenting Cells (APC) utama pada saluran respiratori. Sel dendritik terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang, lalu membentuk jaringan yang luas dan sel-selnya saling berhubungan di dalam epitel saluran respiratori. Pajanan pada dengan antigen mengaktifkan sel Th2 yang merangsang sel B berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi IgE. Molekul IgE yang dilepas diikat oleh Fce-R pada sel mast dan basofil. Pajanan

kedua dengan

alergen menimbulkan ikatan silang antara antigen dan IgE yang diikat sel mast, memacu pelepasan mediator farmakologis aktif (amin vasoaktif) dari sel mast dan basofil.

Mediator-mediator

tersebut

menimbulkan

kontraksi

otot

polos,

meningkatkan permeabilitas vaskular dan vasodilatasi, kerusakan jaringan dan anafilaksis. Teori terbaru mengenai patogenesis asma adalah hubungan antara suatu proses inflamasi dengan proses remodeling sel epitel yang rusak akibat proses inflamasi. Semakin lama suatu proses inflamasi terjadi, maka semakin besar pula proses remodeling terjadi. Pada remodeling saluran respiratori, terjadi serangkaian

15

proses yang menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran respiratori melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi struktur sel. Kombinsai antara kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang berlanjut, ketidakseimbangan Matriks Metalloproteinase (MMP) dan Tissue Inhibitor of Metalloproteinase (TIMP), produksi berlebih faktor pertumbuhan profibrotik atau Transforming Growth Factors (TGF-β), dan proliferasi serta diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses yang penting dalam remodelling. Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi faktor-faktor pertumbuhan, kemokin, dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel

otot

polos

saluran

respiratori

dan

meningkatkan

permeabilitas

mikrovaskular, menambah vaskularisasi, neovaskularisasi, dan jaringan saraf. Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk kompleks proteoglikan pada dinding saluran respiratori dapat diamati pada pasien yang meninggal akibat asma. Hal tersebut secara langsung berhubungan dengan lamanya penyakit.

Gambar 2. Patogenesis Asma (Teori remodelling)

Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet dan kelenjar submukosa terjadi pada bronkus pasien asma, terutama pada proses inflamasi kronik dan berat. Secara keseluruhan, saluran respiratori pasien asma, memperlihatkan perubahan struktur saluran respiratori yang bervariasi dan dapat 16

menyebabkan penebalan dinding saluran respiratori. Remodeling juga merupakan hal penting pada patogenesis hiperaktivitas saluran respiratori yang non spesifik, terutama pada pasien yang sembuh dalam waktu lama (lebih dari 1-2 tahun) atau yang tidak sembuh sempurna setelah terapi inhalasi kortikosteroid. Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamsai kronik dan hiperaktivitas bronkus.Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran nafas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan nafas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa sehingga memperbesar reaksi yang terjadi.

3.5.

PATOFISIOLOGI ASMA4,7,8

3.5.1.

Obstruksi saluran respiratori Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada pasien asma dapat

disebabkan oleh banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot polos bronkial yang diprovokasi mediator agonis yang dikeluarkan oleh sel inflamasi seperti histamin, triptase, prostaglandin D2, dan leukotrien C4 yang dikeluarkan oleh sel mast, neuropeptidase yang dikeluarkan oleh saraf aferen lokal dan asetilkolin yang berasal dari saraf eferen post ganglionik. Akibat yang ditimbulkan dari kontraksi otot polos saluran nafas adalah hiperplasia kronik dari otot polos, pembuluh darah, serta terjadi deposisi matriks pada saluran nafas. Namun,dapat juga timbul pada keadaan dimana saluran nafas dipenuhi sekret yang banyak, tebal dan lengket pengendapan protein plasma yang keluar dari mikrovaskularisasi bronkial dan debris seluler. Secara garis besar, semua gangguan fungsi pada asma ditimbulkan oleh penyempitan saluran respiratori, yang mempengaruhi seluruh struktur pohon trakeobronkial. Salah satu mekanisme adaptasi terhadap penyempitan saluran nafas adalah kecenderungan untuk bernafas dengan hiperventilasi untuk mendapatkan volume yang lebih besar, yang kemudian dapat menimbulkan hiperinflasi toraks. Perubahan ini meningkatkan kerja pernafasan agar tetap dapat

17

mengalirkan udara pernafasan melalui jalur yang sempit dengan rendahnya compliance pada kedua paru. Inflasi toraks berlebihan

mengakibatkan otot

diafragma dan interkostal, secara mekanik, mengalami kesulitan bekerja sehingga kerjanya menjadi tidak optimal . Peningkatan usaha bernafas dan penurunan kerja otot menyebabkan timbulnya kelelahan dan gagal nafas.

Gambar 3. Bronkus Normal dan Bronkus Asmatik

3.5.2.

Hiperaktivitas saluran respiratori Mekanisme

terhadap

reaktivitas

yang

berlebihan

bronkus

yang

menyebabkan penyempitan saluran napas sampai saat ini tidak diketahui, namun dapat berhubungan dengan perubahan otot polos saluran nafas yang terjadi sekunder serta berpengaruh terhadap kontraktilitas ataupun fenotipnya. Sebagai tambahan, inflamasi pada dinding saluran nafas yang terjadi akibat kontraksi otot polos tersebut. Saluran respiratori dikatakan hiperreaktif atau hiperresponsif jika pada pemberian histamin dan metakolin dengan konsentrasi kurang 8µg% didapatkan penurunan Forced Expiration Volume (FEV1) 20% yang merupakan kharakteristik asma, dan juga dapat dijumpai pada penyakit yang lainnya seperti Chronic

18

Obstruction Pulmonary Disease

(COPD), fibrosis kistik dan rhinitis alergi.

Stimulus seperti olahraga, udara dingin, ataupun adenosin, tidak memiliki pengaruh langsung terhadap otot polos saluran nafas (tidak seperti histamin dan metakolin). Stimulus tersebut akan merangsang sel mast, ujung serabut dan sel lain yang terdapat disaluran nafas untuk mengeluarkan mediatornya.

3.5.3

Otot polos saluran respiratori Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang otot bronkus.

Kelainan ini disebabkan oleh perubahan pada aparatus kontraktil pada bagian elastisitas jaringan otot polos atau pada matriks ektraselularnya. Peningkatan kontraktilitas otot pada pasien asma berhubungan dengan peningkatan kecepatan pemendekan otot. Sebagai tambahan, terdapat bukti bahwa perubahan pda struktur filamen kontraktilitas atau plastisitas dari sel otot polos dapat menjadi etiologi hiperaktivitas saluran nafas yang terjadi secara kronik. Peran dari pergerakan aliran udara pernafasan dapat diketahui melalui hipotesis pertubed equilibrium, yang mengatakan bahwa otot polos saluran nafas mengalami kekakuan bila dalam waktu yang lama tidak direnggangkan sampai pada tahap akhir, yang merupakan fase terlambat, dan menyebabkan penyempitan saluran nafas yang menetap atau persisten. Kekakuan dari daya kontraksi, yang timbul sekunder terhadap inflamasi saluran nafas, kemudian menyebabkan timbulnya edema adventsial dan lepasnya ikatan dari tekanan rekoil elastis. Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast, seperti triptase dan protein kationik eosinofil, dikatakan dapat meningkatkan respon otot polos untuk berkontraksi, sama seperti mediator inflamasi yang lainnya seperti histamin. Keadaan inflamasi ini dapat memberikan efek ke otot polos secara langsung ataupun sekunder terhadap geometri saluran nafas.

3.5.4

Hipersekresi mukus Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali ditemukan pada

saluran nafas pasien asma dan penampakan remodeling saluran nafas merupakan karakteristik asma kronis. Obstruksi yang luas akibat penumpukan mukus saluran

19

nafas hampir selalu ditemukan pada asma yang fatal dan menjadi penyebab ostruksi saluran nafas yang persisiten pada serangan asma berat yang tidak mengalami perbaikan dengan bronkodilator. Sekresi mukus pada saluran nafas pasien asma tidak hanya berupa peningkatan volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas. Penebalan dan perlengketan dari sekret tidak hanya sekedar penambahan produksi musin saja tetapi terdapat juga penumpukan sel epitel, pengendapan albumin yang bersal dari mikrovaskularisasi bronkial, eosinofil, dan DNA yang berasal dari sel inflamasi yang mengalami lisis. Hipersekresi mukus merefleksikan dua mekanisme patofisiologi yaitu mekanisme terhadap sekresi sel yang mengalami metaplasia dan hiperplasia dan mekanisme patofisologi hingga terjadi sekresi sel granulasi. Degranulasi sel Goblet yang dicetuskan oleh stimulus lingkungan, diperkirakan terjadi karena adanya pelepasan neuropeptidase lokal atau aktivitas jalur refleks kolinergik. Kemungkinan besar yang lebih penting adalah degranulasi yang diprovokasi oleh mediator inflamasi, dengan aktivitas perangsang sekret, seperti neutrofil elastase, kimase sel mast, leukotrien, histamin, produk neutrofil non-protease.

3.6.

DIAGNOSIS3,4,10 Kelompok anak yang patut diduga asma adalah anak yang menunjukkan

gejala batuk dan/ atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam atau dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma dan/ atau atopi pada pasien atau keluarga. Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil, dan bertambahnya umur khususnya diatas umur tiga tahun, diagnosis asma menjadi lebih definitive. Untuk anak yang sudah sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederharna dengan peak flow meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan histamine, metakolin, gerak badan (exercise), udara kering dan dingin,atau dengan salin hipertonis sangat menunjang diagnosis.pemeriksaan ini berguna untuk mendukung diagnosis asma anak melalui 4 cara yaitu didapatkannya.

20

3.6.1. Anamnesis Seorang anak dikatakan menderita serangan asma apabila didapatkan gejala batuk dan/atau mengi yang memburuk dengan progresif. Selain keluhan batuk dijumpai sesak nafas dari ringan sampai berat. Pada serangan asma gejala yang timbul bergantung pada derajat serangannya. Pada serangan ringan, gejala yang timbul tidak terlalu berat. Pasien masih lancar berbicara dan aktifitasnya tidak terganggu. Pada serangan sedang, gejala bertambah berat anak sulit mengungkapkan kalimat. Pada serangan asma berat, gejala sesak dan sianosis dapat dijumpai, pasien berbicara terputus-putus saat mengucapkan kata-kata.

3.6.2. Pemeriksaan Fisik Gejala dan serangan asma pada anak tergantung pada derajat serangannya. Pada serangan ringan anak masih aktif, dapat berbicara lancar, tidak dijumpai adanya retraksi baik di sela iga maupun epigastrium. Frekuensi nafas masih dalam batas normal. Pada serangan sedang dan berat dapat dijumpai adanya wheezing terutama pada saat ekspirasi, retraksi, dan peningkatan frekuensi nafas dan denyut nadi bahkan dapat dijumpai sianosis. Berbagai tanda atau manifestasi alergi, seperti dermatitis atopi dapat ditemukan. Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus akibat adanya inflamasi kronik saluran respiratorik. Akibatnya timbul hipersekresi lendir, udem dinding bronkus dan konstriksi otot polos bronkus. Ketiga mekanisme patologi diatas mengakibatkan timbulnya gejala batuk, pada auskultasi dapat terdengar ronkhi basah kasar dan mengi. Pada saat serangan dapat dijumpai anak yang sesak

21

dengan komponen ekspiratori yang lebih menonjol seperti fase ekspirasi lebih panjang dibandingkan fse inspirasi dan dapat ditemukan suara nafas wheezing.

3.6.3. Pemeriksaan Penunjang Pada serangan asma berat, pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah analisis gas darah (AGD) dan foto rontgen thoraks proyeksi antero-posterior. Pada AGD dapat dijumpai adanya peningkatan PCO2 dan rendahnya PO2 (hipoksemia). Pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan adalah uji fungsi paru bila kondisi memungkinkan. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan adanya penurunan FEV1 yang mencapai <70% nilai normal. Selain pemeriksaan di atas, pemeriksaan IgE dan eosinofil total dapat membantu penegakan diagnosis asma. Peningkatan kadar IgE dan eosinofil total umum dijumpai pada pasien asma. Untuk memastikan diagnosis, dilakukan pemeriksaan uji provokasi dengan histamin atau metakolin. Bila uji provokasi positif, maka diagnosis asma secara definitive dapat ditegakkan. Pada pemerikasaan radiologi dapat menunjukan gambaran hiperaerasi, diameter aneto-posterior bertambah, costae mendatar, sela antar costae yang melebar dan diafragma tertekan ke bawah

3.6.4. Derajat Penyakit Asma Klasifikasi kekerapan dibuat pada kunjungan-kunjungan awal dan dibuat berdasarkan anamnesis

22

Keterangan: 1. Klasifikasi berdasarkan kekerapan gejala dibuat setelah dibuat diagnosis kerja asma

dan

dilakukan

tata

laksana

umum

(pengendalian

lingkungan,

penghindaran pencetus) selama 6 minggu. 2. Jika sudah yakin diagnosis asma dan klasifikasi sejak kunjungan awal, tata laksana dapat dilakukan sesuai klasifikasi. 3. Klasifikasi kekerapan ditujukan sebagai acuan awal penetapan jenjang tata laksana jangka panjang. 4. Jika ada keraguan dalam menentukan klasifikasi kekerapan, masukkan ke dalam klasifikasi lebih berat.

3.6.5. Derajat Serangan Asma Asma merupakan penyakit kronik yang dapat mengalami episode gejala akut yang memberat dengan progresif yang disebut sebagai serangan asma. Selain berdasarkan kekerapan serangan dan obat yang digunakan sehari-hari, klasifikasi asma juga dapat dinilai berdasarkan derajat keparahan serangan, yang terbagi menjadi serangan ringan sedang, serangan berat, dan serangan asma dengan ancaman henti napas. Dalam pedoman ini klasifikasi derajat serangan digunakan sebagai dasar penentuan tata laksana. Jadi perlu dibedakan antara derajat penyakit asma (aspek kronik) dengan derajat serangan asma (aspek akut). Seorang pasien asma persisten dapat hanya mengalami serangan asma ringan sedang. Sebaliknya, mungkin saja seorang pasien asma intermiten mengalami serangan asma berat,

bahkan serangan

ancaman henti napas yang dapat menyebabkan kematian. Kriteria untuk menentukan derajat keparahan serangan asma pada anak dapat ditentukan bila memenuhi gejala yang tercantum pada tabel berikut ini.

23

3.6.6

Derajat Kendali Penyakit Asma Setiap pasien asma harus ditentukan derajat kendali asma untuk memulai

pengobatan jangka panjang. Sebelum memutuskan untuk turun jenjang atau naik jenjang dalam tata laksana jangka panjang asma, dokter harus menilai kepatuhan pasien terhadap pengobatan, teknik inhalasi, dosis obat

inhalasi, dan

mengendalikan faktor pencetus asma. Untuk menentukan derajat kendali asma dapat menggunakan penilaian seperti pada tabel di bawah ini.

24

3.6.7

Alur Diagnosis Asma

25

3.6.8

Tahap Penegakan Diagnosis Asma

1) Diagnosis kerja: Asma Dibuat sesuai alur diagnosis asma anak, kemudian diberi tata laksana umum yaitu penghindaran pencetus, pereda, dan tata laksana penyakit penyulit. 2) Diagnosis klasifikasi kekerapan Dibuat dalam waktu 6 minggu, dapat kurang dari 6 minggu bila informasi klinis sudah kuat. 3) Diagnosis derajat kendali Dibuat setelah 6 minggu menjalani tata laksana jangka panjang awal sesuai klasifikasi kekerapan. Labelisasi pasien asma:

3.7.

DIAGNOSIS BANDING (Mengi) (a) Bronkiolitis (b) Wheezing yang berkaitan dengan batuk dan pilek (c) Pneumonia (d) Benda asing

3.8.

TATALAKSANA ASMA 3,9,10 Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin

tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal sesuai dengan potensi genetiknya. Secara lebih khusus tujuan yang ingin dicapai adalah: 1. Mengupayakan aktivitas normal dimana pasien dapat menjalani aktivitas normal sebagai seorang anak, termasuk bermain dan berolah raga.

26

2. Mencegah eksaserbasi akut sehingga pasien sedikit mungkin absensi di sekolah. 3. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma, dalam hal ini gejala tidak timbul siang ataupun malam hari (tidur tidak terganggu) 4. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru

seoptimal mungkin

yang dapat dinilai dari uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang mencolok pada PEF. 5. Kebutuhan obat seminimal mungkin, kurang dari sekali dalam dua tiga hari, dan tidak ada serangan. 6. Mencegah efek samping obat, terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak. 7. Mencegah kematian karena asma Pada dasarnya terapi asma dapat dinagi menjadi dua kelompok besar yaitu terapi non-medikamentosa dan terapi medikamentosa.

3.8.1. Terapi Non-Medikamentosa Terapi non-medikamentosa pada pasien asma terutama ke arah edukasi kepada pasien dan atau keluarga pasien. Terapi non-medikamentosa sangat penting dan perlu mendapat perhatian yang cukup demi menurunkan insidensi dan morbiditas asma. Edukasi pasien asma dapat meliputi: 1) Meningkatkan pemahaman pasien dan keluarga pasien mengenai asma secara umum dan pola penyakit asma. 2) Meningkatkan pengetahuan pasien atau keluarga pasien dalam identifikasi faktor penyebab gejala asma pada pasien, baik dalam hal kontrol terhadap alergen debu, bulu binatang, asap rokok, atau penyebab lainnya. 3) Meningkatkan pola hidup sehat, terutama konsumsi makanan yang mengandung gizi baik. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan imunitas seseorang yang sudah terkena asma dan menurunkan morbiditas asma.

27

3.8.2. Tatalaksana Medikamentosa Terapi medikamentosa meliputi terapi saat terjadinya serangan maupun terapi untuk jangka panjang. Tujuan tatalaksana saat serangan: 1. Meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin 2. Mengurangi hipoksemia 3. Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya 4. Rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah kekambuhan. Terapi medikamentosa pada pasien asma dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali (controller).

Obat pereda digunakan untuk meredakan serangan atau

gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada lagi gejala maka obat ini tidak lagi digunakan atau diberikan bila perlu. Kelompok kedua adalah obat pengendali yang disebut juga obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan demikian pemakaian obat ini terus menerus diberikan walaupun sudah tidak ada lagi gejalanya kemudian pemberiannya diturunkan pelan – pelan yaitu 25 % setiap penurunan setelah tujuan pengobatan asma tercapai 6 – 8 minggu. Obat – obat Pereda (reliever)9 1. Bronkodilator a. Short-acting β2 agonist Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut pada anak. Reseptor β2 agonist berada di epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus, sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot lurik, hepar, dan pankreas(10). Obat ini menstimulasi reseptor β2 adrenergik menyebabkan perubahan ATP menjadi cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas yang menyebabkan terjadinya bronkodilatasi. Efek

28

lain seperti peningkatan klirens mukosilier, penurunan permeabilitas vaskuler, dan berkurangnya pelepasan mediator sel mast. b. Epinefrin/adrenalin9 Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak ada β2 agonis selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor β1, β2, dan α sehingga menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, gelisah, palpitasi, takiaritmia, tremor, dan hipertensi. Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan karena durasi efek bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping, terutama pada jantung dan sistem saraf pusat. c. β2 agonis selektif9 Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol. 1) Dosis salbutamol oral

: 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6

jam. 2) Dosis tebutalin oral

: 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6

jam. 3) Dosis fenoterol

: 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.

4) Dosis salbutamol nebulisasi: 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum 5mg/kgBB), interval 20 menit, atau nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15 mg/jam). 5) Dosis terbutalin nebulisasi: 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi. Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak dicapai dalam 2 – 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam. Pemberian inhalasi (inhaler/ nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit, efek puncak dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 – 6 jam. Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat karena pada keadaan ini obat inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan napas. Efek samping berupa takikardi lebih sering terjadi.

29

1) Dosis salbutamol IV

:

mulai

0,2

mcg/kgBB/menit,

dinaikkan 0,1 mcg/kgBB setiap 15 menit, dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit. 2) Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit, dilanjutkan dengan 0,1 – 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu. Efek samping β2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi, palpitasi, dan takikardi.

d. Methyl xanthine Efek bronkodilatasi Methyl xanthine setara dengan β2 agonist inhalasi, tapi karena efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini diberikan pada serangan asma berat dengan kombinasi β2 agonist dan antikolinergik(12). Contoh obat golongan Methyl xanthine adalah teofilin dan aminofilin. Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap reseptor adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5. Methyl xanthine cepat diabsorbsi setelah pemberian oral, rektal, atau parenteral. Pemberian teofilin (intramuskular) IM harus dihindarkan karena menimbulkan nyeri setempat yang lama. Umumnya adanya makanan dalam lambung akan memperlambat kecepatan absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi derajat besarnya absorpsi. Methyl xanthine didistribusikan keseluruh tubuh, melewati plasenta dan masuk ke air susu ibu. Eliminasinya terutama melalui metabolisme hati, sebagian besar dieksresi bersama urin. Dosis aminofilin intravena (IV) inisial bergantung kepada usia : a. 1 – 6 bulan

: 0,5mg/kgBB/Jam

b. 6 – 11 bulan

: 1 mg/kgBB/Jam

c. 1 – 9 tahun

: 1,2 – 1,5 mg/kgBB/Jam

d. > 10 tahun

: 0,9 mg/kgBB/Jam

Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia.

30

2. Anticholinergics Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan nebulisasi β2 agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis anjuran 0, 1 cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam. Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis : untuk usia diatas 6 tahun 8 – 20 tetes; usia di bawah 6 tahun 4 – 10 tetes. Efek sampingnya adalah kekeringan atau rasa tidak enak dimulut. Antikolinergik inhalasi tidak direkomendasikan pada terapi asma jangka panjang pada anak. 3. Kortikosteroid10 Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan: a. Terapi inisial inhalasi β2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang cukup lama. b. Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan kortikosteroid hirupan sebagai kontroler. c. Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya. Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk mencapai perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12 – 24 jam. Preparat oral yang di pakai adalah prednisone, prednisolon, atau triamsinolon dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 – 3 kali sehari selama 3 – 5 kali sehari. Kortikosteroid

tidak

secara

langsung

berefek

sebagai

bronkodilator. Obat ini bekerja sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat sintesis eikosainoid, menghambat peningkatan basofil, eosinofil dan leukosit lain di jaringan paru dan menurunkan permeabilitas vaskular. Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi ke jaringan paru lebih baik. Dosis metilprednisolon intravena (IV) yang dianjurkan adalah 1 mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Selain itu dapat digunakan Hidrokortison intravena (IV) dengan dosis 4 mg/kgBB tiap 4 – 6 jam. Dexamethasone bolus intravena (IV) juga dapat digunakan

31

dengan dosis 0,5 – 1 mg/kgBB dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari setiap 6 – 8 jam. Obat untuk Nebulisasi No. 1.

2.

Nama Generik

Sediaan

Dosis Nebulasi

β Agonis Fenoterol

Solution 0,1%

5-10 tetes

Salbutamol

Nebule 2,5 mg

1 nebule

Terbutalin

Respule 2,5 mg

1 respule

Solution 0,025%

> 6 tahun: 8-20 tetes

Antikolinergik Ipatropium Bromida

< 6 tahun: 4-10 tetes 3.

Steroid Budesonide

Respule

Sediaan Steroid untuk Serangan Asma No. 1.

2.

Nama Generik

Sediaan

Dosis

Steroid Oral Prednisolon

Tab 4 mg

1-2 mg/kgBB/hari, tiap 6 jam

Prednison

Tab 5 mg

1-2 mg/kgBB/hari, tiap 6 jam

Triamsinolon

Tab 4 mg

1-2 mg/kgBB/hari, tiap 6 jam

Metilprednisolon

Vial 500 mg

30 mg/kgBB dalam 30 menit

Hidrokortison

Vial 100 mg

4 mg/kgBB tiap 6 jam

Deksametason

Ampul 4 mg

0,5-1 mg/kgBB tiap 6-8 jam

Betametason

Ampul 4 mg

0,05-0,1 mg/kgBB tiap 6 jam

Steroid Injeksi

Obat – obat Pengontrol (controller)10 Obat – obat asma pengontrol pada anak – anak termasuk inhalasi dan sistemik glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled β2-agonist, teofilin, , dan long acting oral β2-agonist.

32

1. Inhalasi glukokortikosteroid Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol

yang

paling efektif dan direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Intervensi awal dengan

penggunaan inhalasi budesonide berhubungan

dengan perbaikan dalam pengontrolan asma dan mengurangi penggunaan obat-obat

tambahan.

glukokortikosteroid

ini

Terapi

pemeliharaan

dengan

mampu

mengontrol

gejala-gejala

inhalasi asma,

mengurangi frekuensi dari eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di rumah sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru dan hiperresponsif bronkial, dan mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi latihan. Glukokortikosteroid dapat mencegah penebalan lamina retikularis, mencegah terjadinya neoangiogenesis, dan mencegah atau mengurangi terjadinya down regulation receptor β2 agonist. Dosis yang dapat digunakan sampai 400 ug/hari (respire anak). Efek samping berupa gangguan pertumbuhan, katarak, gangguan sistem saraf pusat, dan gangguan pada gigi dan mulut.

2.

Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA) Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan mungkin hasilnya lebih baik. Sayangnya, belum ada percobaan jangka panjang yang membandingkannya dengan steroid hirupan dan Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA). Keuntungan memakai Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA) adalah sebagai berikut :

a. LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil leukotriane; b. Mempunyai

efek

bronkodilator

dan

perlindungan

terhadap

bronkokonstriktor; c. Mencegah early asma reaction dan late asthma reaction d. Dapat diberikan per oral, bahkan montelukast hanya diberikan sekali per hari., penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati; sayangnya preparat montelukast ini belum ada di Indonesia;

33

e. Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan meningkatkan kerja epithel growth factor (EGF) dan menekan transforming growth factor (TGF) sehingga dapat mengendalikan terjadinya fibrosis, hyperplasia, dan hipertrofi otot polos, serta diharapkan mencegah perubahan fungsi otot polos menjadi organ pro-inflamator. Ada dua preparat LTRA : 1.

Montelukast

Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Dosis per oral 1 kali sehari. Dosis pada anak usia 2-5 tahun adalah 4 mg. 2.

Zafirlukast

Preparat ini terdapat di Indonesia, digunakan untuk anak usia > 7 tahun dengan dosis 10 mg 2 kali sehari. Leukotrin memberikan manfaat klinis yang baik pada berbagai tingkat keparahan asma dengan menekan produksi cystenil leukotrine. Efek samping obat

dapat mengganggu fungsi hati (meningkatkan

transaminase) sehingga perlu pemantauan fungsi hati. 3. Long acting β2 Agonist (LABA) Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol. Pemberian inhalasi kortikosteroid 400 ug dengan tambahan LABA lebih baik dilihat dari frekuensi serangan, FEV1 pagi dan sore, penggunaan steroid oral, menurunnya hiperreaktivitas dan airway remodeling. Kombinasi inhalasi kortikosteroid dan LABA sudah ada dalam 1 paket, yaitu kombinasi fluticasone propionate dan salmeterol (Seretide), budesonide dan formoterol (Symbicort). Seretide dalam MDI sedangkan Symbicort dalam DPI. Kombinasi ini mempermudah penggunaan obat dan meningkatkan kepatuhan memakai obat.

4. Teofilin lepas lambat Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama kortikosteroid yang bertujuan untuk mengontrol asma dan mengurangi

34

dosis pemeliharaan glukokortikosteroid. Tapi efikasi teofilin lebih rendah daripada glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah. Efek samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala, stimulasi ringan SSP, palpitasi, takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan jarang, perdarahan lambung. Efek samping muncul pada dosis lebih dari 10mg/kgBB/hari, oleh karena itu terapi dimulai pada dosis inisial 5mg/kgBB/hari dan secara bertahap diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari.

3.8.3. Terapi Suportif 1. Terapi oksigen Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui kanula hidung, masker atau headbox. Perlu dilakukan pemantauan saturasi oksigen, sebaiknya diukur dengan pulse oxymetry (nilai normal > 95%). 2. Campuran Helium dan oksigen Inhalasi Helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit sebagai tambahan pemberian oksigen (dengan kanula hidung), bersama dengan nebulisasi salbutamol dan metilprednisolon intravena (IV), secara bermakna menurunkan pulsus paradoksus, meningkatkan peakflow dan mengurangi sesak. Campuran helium dan oksigen dapat memperbaiki oksigenasi karena helium bersifat ringan sehingga dapat mengubah aliran turbulen menjadi laminar dan menyebabkan oksigen lebih mudah mencapai alveoli. 3. Terapi cairan Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang adekuatnya asupan cairan, peningkatan insensible water loss, takipnea serta efek diuretik teofilin. Pemberian cairan harus hati-hati karena pada asma berat terjadi peningkatan sekresi Antidiuretik Hormone (ADH) yang memudahkan terjadinya retensi cairan dan tekanan pleura negatif tinggi pada puncak inspirasi yang memudahkan terjadinya edema paru. Jumlah cairan yang diberikan adalah 1-1,5 kali kebutuhan rumatan.

35

Serangan Asma Nilai derajat serangan asma dan Cari riwayat asma risiko tinggi

Ringan-Sedang Bicara dalam kalimat Lebih senang duduk daripada berbaring Tidak gelisah Frekuensi nafas meningkat Frekuensi nadi meningkat Retraksi normal SpO2 (udara kamar) 90-95% PEF >50% prediksi atau terbaik

       

       

Berat Bicara dalam kata Duduk bertopang tangan Gelisah Frekuensi napas meningkat Frekuensi nadi meningkat Retraksi jelas SpO2 (udara kamar) <90% PEF ≤50% prediksi/terbaik

Mulai Terapi Awal Berikan oksigen 1-2L/m jika SpO2 <94% Agonis β2 kerja pendek : - Via nebuliser atau via MDI dan spacer (4-10 semprot) - Nebulisasi dapat diulang sampai 3x tiap 20 menit dalam 1 jam  Nebulisasi ke-3 pertimbangkan kombinasi agonis β2 kerja pendek dan ipratroprium bromide  Pada saat serangan : Steroid sistemik (prdnisolon/prednison) 1-2 mg/KgBB/hari maksimal 40 mg peroral  

Lanjutkan Terapi dengan agonis β2 kerja pendek jika diperlukan nilai respon terapi dalam 1 jam berikutnya (atau lebih cepat)

Bila di IGD RS  Lanjutkan tatalaksana sesuai derajat serangan Gagal

Gagal

Bila di fasyankes primer segera rujuk, sambil menunggu lakukan terapi  Nebulisas agonis β2 kerja pendek dan ipratropium bromide  Steroid sistemik (prdnisolon/prednison) 12 mg/KgBB/hari maksimal 40 mg peroral  Oksigen 2 L/m

Siapkan untuk rawat jalan Obat pereda: lanjut sampai gejala reda/hilang  Obat pengendali: dimulai, dilanjutkan, dinaikkan sesuai dengan derajat kekerapan asma  Steroid oral: dilanjutkan 3-5 hari Tindak lanjut  Kunjungan ulang ke RS dalam Obat pereda diberikan jika perlu Obat pengendali dilanjutkan dengan dosis yang sesuai 3-5 hari

Penilaian sebelum dipulangkan  Gejala : membaik  SpO2 >94% (udara kamar)  PEF membaik dan 60-80% nilai prediksi terbaik

   

Ancaman henti napas Kriteria asma serangan berat terpenuhi + mengantuk/letarg i, suara napas tak terdengar



Evaluasi faktor risiko

Bila tidak tersedia obat-obatan lain, gunakan adrenalin untuk asma yang berhubungan dengan anafilaksis dan angioedema, dosis 10 µg/kg (0,01 ml/kg adrenalin 1:1000) maks 500 µg (0,5 ml)

36

Pasien dengan asma serangan berat atau ancaman henti napas yang dirujuk kerumah sakit

 

Penilaian awal: A: airway B: breathing C: circulation Apakah ada: Mengantuk, letargi, suara paru tak terdengar

TID Akkk K

Berat Bicara dalam kata Duduk bertopang tangan Gelisah Frekuensi napas meningkat Frekuensi nadi meningkat Retraksi jelas SpO2 (udara kamar) <90% PEF ≤50% prediksi/terbaik

       



  

YA

  

Ancaman henti hapas Siapkan perawatan ICU Inhalasi agonis β2 kerja pendek Oksigen Siapkan intubasi jika perlu

Mulai terapi Inhalasi agonis β2 kerja pendek + ipratroppium bromide Steroid IV Oksigen untuk menjaga spO2 94-98% Berikan aminofillin IV

Jika memburuk, kelola sebagai serangan asma dengan ancaman henti napas dan pertimbangkan rawat ICU Nilai kondisi klinis secara berkala Periksa spirometri/PEF (1 jam setelah terapiawal )

FEV1 atau PEF 60-80% dan terdapat perbaikan gejala SEDANG Pertimbangkan rawat jalan

FEV1 atau PEF <60% dan tidak terdapat perbaikan gejala BERAT Lanjutkan tatalaksana dan evaluasi berkala 37

3.9.

PREVENSI DAN INTERVENSI DINI 3 1. Pengendalian lingkungan : menghindarkan anak dari asap rokok, tidak memelihara

hewan

berbulu,

memperbaiki

ventilasi

ruangan,

mengurangi kelembaban kamar untuk anak yang sensitif terhadap debu rumah dan tungau. 2. Pemberian ASI ekslusif minimal 6 bulan 3. Menghindari makanan berpotensi alergen

3.10.

KOMPLIKASI 1,3,4 Bila serangan asma sering terjadi dan telah berlangsung lama, maka akan

terjadi emfisema dan mengakibatkan perubahan bentuk toraks yaitu toraks membungkuk ke depan dan memanjang. Pada foto rontgen toraks terlihat diafragma letak rendah, gambaran jantung menyempit, corakan hilus kiri dan kanan bertambah. Pada asma kronik dan berat dapat terjadi bentuk dada burung dara dan tampak sulkus Harrison. Bila sekret banyak dan kental, salah satu bronkus dapat tersumbat sehingga dapat terjadi atelektasis pada lobus segmen yang sesuai. Bila atelektasis berlangsung lama dapat berubah menjadi bronkiektasis dan bila ada infeksi terjadi bronkopneumonia. Serangan asma yang terus menerus dan beberapa hari serta berat dan tidak dapat diatasi dengan obat-obatan disebut status asmatikus. Bila tidak ditolong dengan semestinya dapat menyebabkan gagal pernapasan, gagal jantung, bahkan kematian.

3.11.

PROGNOSIS3 Mortalitas akibat asma jumlahnya kecil. Gambaran yang paling akhir

menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang jumlahnya kira-kira 10 juta penduduk. Angka kematian cenderung meningkat di pinggiran kota dengan fasilitas kesehatan terbatas. Informasi mengenai perjalanan klinis asma menyatakan bahwa prognosis baik ditemukan pada 50–80% pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan dan timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang masih menderita asma 7– 10 tahun setelah diagnosis pertama bervariasi dari 26–78% dengan nilai rata-rata

38

46%. Secara keseluruhan dapat dikatakan 70–80% asma anak bila diikuti sampai dengan umur 21 tahun asmanya sudah menghilang.

39

BAB III ANALISIS MASALAH Anak laki-laki, usia 3 tahun 7 bulan datang dengan keluhan sesak napas yang bertambah hebat sejak 1 jam yang lalu. Sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh sesak. Sesak timbul dipengaruhi cuaca dingin dan tidak berhenti dengan istirahat. Sesak disertai suara mengi, saat sesak pasien lebih senang dalam posisi duduk dan pasien masih bisa berbicara. Pasien juga mengeluh batuk dengan dahak (+) dahak berwarna putih bening, tidak banyak dan tidak kental serta susah dikeluarkan. Pasien mengaku tidak ada demam, mual maupun muntah. BAB biasa, tidak ada mencret. BAK biasa. Riwayat bengkak tidak ada, riwayat sakit kuning tidak ada. Riwayat paparan iritan yang memperberat sesak ada, yaitu asap rokok dan obat nyamuk bakar. Tidak ada riwayat tersedak makanan atau benda asing, tidak ada riwayat pilek, tidak ada riwayat batuk lama dan demam terus-menerus dan tidak ada kontak dengan penderita batuk lama. Pasien kemudian berobat ke Puskesmas dan dilakukan nebulisasi, kemudian pasien merasa tidak sesak lagi lalu pulang. Pasien kembali sesak sehingga dibawa ke IGD RSUD Kayuagung. Berdasarkan anamnesis diatas, keluhan sesak pada pasien dapat dipikirkan berdasarkan kelainan pada paru dan ekstraparu. Kelainan paru pada anak usia >2 tahun dapat dipikirkan asma bronkial, pneumonia, tuberculosis, aspirasi benda asing dan bronkiolitis. Sedangkan kelainan ekstraparu dapat dipikirkan berasal dari jantung (dekompensasi kordis), ginjal (chronic kidney disease), hati ataupun metabolik

(seperti

ketoasidosis

diabetikum).

Kelainan

ekstraparu

dapat

disingkirkan sementara dengan tidak ada keluhan sistemik seperti sesak yang ada perbaikan dengan istirahat, riwayat bengkak, dan riwayat kuning. Dengan adanya riwayat pengobatan nebulisasi di puskesmas, sesak pada pasien ini mengarah pada kelainan paru. Sesak pada pasien bersifat berulang sehingga diagnosis banding kelainan paru tersebut ialah asma, rhinitis, infeksi respiratori berulang, aspirasi benda asing berulang, dan tuberkulosis. Pada pasien ini memenuhi kriteria diagnosis asma yaitu:

40

No Karakteristik Asma

Pada kasus

1

Gejala timbul secara episodik atau berulang.

Gejala berulang

2

Timbul bila ada faktor pencetus.

Faktor pencetus: iritan asap

- Iritan:

asap

sampah,

rokok,

asap

asap

obat

bakaran

nyamuk,

rokok dan asap obat nyamuk

suhu

dingin, udara kering, makanan minuman dingin,

penyedap

rasa,

pengawet

makanan, pewarna makanan. - Alergen:

debu,

tungau

debu

rumah,

rontokan hewan, serbuk sari. - Infeksi

respiratori

akut

karena

virus,

selesma, common cold, rinofaringitis - Aktivitas

fisis:

berlarian,

berteriak,

menangis, atau tertawa berlebihan. 3

Adanya riwayat alergi pada pasien atau

Terdapat riwayat asma pada

keluarganya.

ayah

dan

atopi

(rhinitis

alergika) pada ibu 4

Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi

Terdapat variabilitas dalam

dari waktu ke waktu, bahkan dalam 24 jam.

24 jam

Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal). 5

Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik

Gejala

secara

nebulisasi di Puskesmas

spontan atau dengan pemberian obat

membaik

dengan

pereda asma.

Pada pemeriksaan fisik, didapatkan pasien sudah tenang dan mulai bisa bicara dalam kalimat meskipus pasien masih tampak lebih senang duduk, tandatanda frekuensi napas meningkat yaitu 61x/menit, SpO2 92%, frekuensi nadi dalam batas normal, dan retraksi minimal pada epigastrium dan intercostal. Dari pemeriksaan fisik yang dilakukan di bangsal IRA ini menunjukkan serangan asma ringan sedang di mana menunjukkan adanya perbaikan dari diagnosis IGD, yaitu asma serangan berat.

41

Pasien ditatalaksana lebih lanjut sesuai dengan asma ringan sedang berupa pemberian oksigen 2 L/m, nebulisasi β2 agonis short acting yaitu salbutamol 3 x 2 mg, steroid sistemik berupa injeksi deksamethasone 3x1,2 mg dan antibiotik. Pemberian antibiotik pada asma tidak dianjurkan karena sebagian besar pencetusnya bukan infeksi bakteri melainkan infeksi virus.

Pada

keadaan

tertentu antibiotik dapat diberikan, yaitu pada infeksi respiratori yang dicurigai karena bakteri atau dugaan adanya sinusitis yang menyertai asma. Pada pasien diberikan antibiotik injeksi Ampicillin 25 mg per 8 jam dan injeksi Gentamisin 3 x 2,5 mg per 12 jam, namun karena batuk dan ronkhi pada pasien belum ada perbaikan maka terapi antibiotik diganti dengan Ceftriaxone 1 gram per 24 jam secara intravena. Pasien lalu mengalami perbaikan klinis pada hari perawatan IV

sehingga diperbolehkan rawat jalan dimana keluhan sesak tidak ada, batuh masih ada, frekuensi napas menurun menjadi normal, SpO2 normal, tidak ada retraksi, tidak ditemukan ronkhi dan wheezing.

42

DAFTAR PUSTAKA

1. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan RI ;2009; 5-11. 2. Kartasasmita CB. Epidemiologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.71-83. 3. O’Byrne P, Bateman ED, Bousquet J, Clark T, Paggario P, Ohta K, dkk. Global Initiative For Asthma. Medical Communications Resources, Inc ; 2006. 4. Nataprawira HMD. Diagnosis Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.105-18. 5. John M. Weiler, Sergio Bonini, Robert Coifman, Timothy Craig, Luı´s Delgado, Miguel Capa o-Filipe. Asthma & Immunology Work Group Report : Exercise-induced asthma. Iowa City, Iowa, Rome and Siena, Italy, Millville, NJ, Hershey, Pa, Porto, Portugal, and Colorado Springs, Colo : American Academy of Allergy : 2007 6. Supriyatno B, Wahyudin B. Patogenesis dan Patofisiologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.85-96.

7. S Makmuri M. Patofisologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.98-104. 8. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.2004

9. Pusponegoro HD, Hadinegoto SRS, Firmanda D, Pujiadi AH,Kosem MS, Rusmil K, dkk, penyunting. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta : Badan Penerbit IDAI; 2005. 10. Noenoeng R, Cissy B, Darmawan B, Bambang S. Pedoman Nasional Asma Anak edisi kedua. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2015. 43

Related Documents

Case Asma Kyg.docx
May 2020 11
Asma'
June 2020 38
Asma
November 2019 62
Asma
November 2019 54
Asma
June 2020 40
Asma
November 2019 54

More Documents from ""