Referat
Autistic Spectrum Disorder (ASD)
Oleh : Muhammad Kokoh Saputra, S.Ked
04084821719189
Puspa Anggraini, S.Ked
04054821820013
Nyayu Firda, S.Ked
04054821820047
Pembimbing: dr. Abdullah Shahab, Sp.KJ
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA RUMAH SAKIT JIWA ERNALDI BAHAR FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2018 1
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kasus Autistic Spectrum Disorder (ASD)
Oleh:
Muhammad Kokoh Saputra, S.Ked
04084821719189
Puspa Anggraini, S.Ked
04054821820013
Nyayu Firda, S.Ked
04054821820047
Telah diterima sebagai salah satu dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang.
Palembang, 23 November 2018 Pembimbing
dr. Abdullah Shahab, Sp.KJ
2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.................................................................................................................... 3 BAB I PENDAHULUAN
................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................12 BAB III PENUTUP………..............................................................................................15 DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................20
3
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Autisme berasal dari istilah dalam bahasa Yunani; aut‟ = diri sendiri, isme‟ orientation/state= orientasi/keadaan. Maka autisme dapat diartikan sebagai kondisi seseorang yang secara tidak wajar terpusat pada dirinya sendiri atau kondisi seseorang yang senantiasa berada di dalam dunianya sendiri. Istilah “autisme” pertama kali diperkenalkan oleh Leo Kanner pada tahun 1943, selanjutnya ia juga memakai istilah “Early Infantile Autism”, atau dalam bahasa Indonesianya diterjemahkan sebagai “Autisme masa kanak-kanak” . Hal ini untuk membedakan dari orang dewasa yang menunjukkan gejala autisme seperti ini.1,4 Adanya gangguan dalam komunikasi sosial dan interaksi sosial, perilaku, minat dan aktivitas yang repetitif dan terbatas, kecerdasan khusus dan gangguan psikiatri komorbid adalah semua hal yang dapat menggambarkan performa mental anak dengan gangguan spektrum autisme. Anak dengan ASD juga dapat mengalami gangguan kognitif atau sering disebut sebagai disabilitas intelektual. Penting untuk mengetahui performa mental dan gangguan kognitif yang menyertai anak dengan ASD agar deteksi dini, penanganan dan pengembangan potensi anak dapat dilakukan dengan baik sehingga tujuan akhir dari penatalaksanaan anak dengan ASD yaitu kemandirian diharapkan bisa tercapai1. Autisme dapat terjadi pada semua kelompok masyarakat, berpendidikan maupun tidak serta pada semua kelompok etnis dan budaya di dunia. Jumlah anak yang terkena autisme semakin meningkat pesat di berbagai belahan dunia, kondisi ini menyebabkan banyak orangtua menjadi was-was sehingga sedikit saja anak menunjukkan gejala yang dirasa kurang normal selalu dikaitkan dengan gangguan autisme. Perbandingan antara laki dan perempuan adalah 2,6-4 : 1, namun anak perempuan yang terkena akan menunjukkan gejala yang lebih berat2. Autisme termasuk kasus yang jarang, biasanya identifikasinya melalui pemeriksaan yang teliti di rumah sakit, dokter atau sekolah khusus. Umumnya keluhan utama yang disampaikan oleh orang tua adalah keterlambatan bicara, perilaku aneh dan acuh tak acuh, atau cemas apakah anaknya tuli2.
4
Terapi anak autisme membutuhkan deteksi dini, intervensi edukasi yang intensif, lingkungan yang terstruktur, atensi individual, staf yang terlatih baik, dan peran serta orang tua sehingga melibatkan banyak bidang, baik bidang kedokteran, pendidikan, psikologi maupun bidang sosial. Dalam bidang kedokteran, untuk menangani masalah autisme dengan pengobatan khususnya medika mentosa, di bidang pendidikan dapat dilakukan dengan memberikan latihan pada orang tua penderita. Terapi perkembangan perilaku dapat dilakukan dalam bidang psikologi, sedangkan mendirikan yayasan autisme sebagai lembaga yang mampu secara professional menangani masalah autisme adalah salah satu contoh yang dilakukan dalam bidang sosial2. Prognosis untuk penderita autisme tidak selalu buruk. Pada gangguan autisme, anak yang mempunyai IQ diatas 70 dan mampu menggunakan komunikasi bahasa mempunyai prognosis yang baik. Berdasarkan gangguan pada otak, autisme tidak dapat sembuh total tetapi gejalanya dapat dikurangi, perilaku dapat diubah ke arah positif dengan berbagai terapi. Sejauh ini masih belum terdapat kejelasan secara pasti mengenai penyebab dan faktor risikonya sehingga strategi pencegahan yang dilakukan masih belum optimal. Saat ini tujuan pencegahan mungkin hanya sebatas untuk mencegah agar gangguan yang terjadi tidak lebih berat lagi, bukan untuk menghindari kejadian autisme2.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gangguan Perkembangan Pervasif3 Gangguan perkembangan pervasif yang dikenal juga dengan autism spectrum disorder (ASD) terdiri dari lima gangguan perkembangan, seperti autisme, gangguan desintegratif masa kanak, gangguan Rett, dan gangguan perkembangan pervasif yang tidak diklasifikasikan di tempat lain. Gangguan ini ditandai dengan awitan pada masa bayi dan usia prasekolah. Tanda paling umum dari gangguan ini adalah gangguan komunikasi, gangguan interaksi sosial timbal balik serta minat dan pola perilaku, dan kegiatan yang terbatas dan berulang (stereotipik). Anak dengan ASD biasanya memiliki kemampuan luar biasa pada satu bidang. Kelompok gangguan ini ditandai oleh abnormalitas kualitatif dalam interaksi sosial dan pola komunikasi, dan kecenderungan minat dan gerakan yang terbatas, stereotipik, berulang. Abnormalitas kualitatif ini merupakan gambaran yang meluas (pervasive) dari fungsi individu dalam segala situasi, meskipun dapat berbeda dalam derajat keparahannya. Pada kebanyakan kasus, terdapat riwayat perkembangan yang abnormal sejak masa bayi dan kebanyakan kondisinya nyata dalam 5 tahun pertama.biasanya, dapat terjadi hendaya kognitif umum tetapi ganguannya batasan sebagai perilaku yang menyimpang dalam huungan dengan usia mental (tak peduli individu retardasi atau tidak). Terdapat beberapa ketidaksepakatan terhadap subdivisi dari keseluruhan kelompok gangguan perkembangan pervasif ini. Pada beberapa kasus gangguan itu dihubungkan dengan, dan diduga akibat dari, beberapa kondisi medis, seperti spasme infantile, rubella kongenital, sclerosis tuberosa, lipidosis sereberal, dan anomaly kromosom X rapuh merupakan kondisi yang sering dijumpai. Namun, demikian gangguan ini harus didiagnosis berdasarkan pada gambaran perilaku, tanpa mempedulikan ada atau tidaknya suatu kondisi medis; kondisi ini harus, diberi kode diagnosis sendiri. Jika dijumpai retardasu mental, penting untuk diberikan nomor kode terpisah, dalam kelompok F70-F79, karena bukan merupakan gambaran umum dari gangguan perkembangan pervasif.
6
2.1.1. Epidemiologi3,4 ASD dapat mengenai siapa saja tidak tergantung pada etnik, tingkat pendidikan, sosial dan ekonomi. Autisme bukanlah masalah baru, dari berbgai bukti yang ada, diketahui kelainan ini sudah ada sejak berabad-abad yang lampau. Hanya saja istilahnya relatif masih baru. Diperkirakan kira-kira sampai 15 tahun yang lalu, autisme merupakan suatu gangguan yang masih jarang ditemukan, diperkirakan hanya 2-4 penyandang autisme. Tetapi sekarang terjdi peningkatan jumlah penyandang autisme sampai lebih kurang 15-20 per 10.000 anak. Jika angka kelahiran pertahun di Indonesia 4,6 juta anak, maka jumlah penyandang autisme pertahun akan bertambah dengan 0,15% yaitu 6900 anak. 2.1.2. Etiologi1,2,3,4 Penyebab autisme adalah multifaktorial. Faktor genetik maupun lingkungan diduga mempunyai peranan yang signifikan. Sebuah studi mengemukakan bahwa apabila 1 keluarga memiliki 1 anak autis maka risiko untuk memiliki anak kedua dengan kelainan yang sama mencapai 5%, risiko yang lebih besar dibandingkan dengan populasi umum. Di lain pihak, lingkungan diduga pula berpengaruh karena ditemukan pada orang tua maupun anggota keluarga lain dari penderita autistik menunjukkan kerusakan ringan dalam kemampuan sosial dan komunikasi atau mempunyai kebiasaan yang repetitif. Akan tetapi penyebab secara pasti belum dapat dibuktikan secara empiris. Beberapa tahun yang lalu, penyebab autisme masih merupkan suatu misteri, oleh karena itu banyak hipotesis yang berkembang mengenai penyebab autisme. Salah satu hipotesis yang kemudian mendapat tanggapan yang luas adalah teori “ibu yang dingin”. Menurut teori ini dikatakan bahwa anak masuk ke dalam dunianya sendiri oleh karena merasa ditolak oleh ibu yang dingin. Teori ini banyak yang menentang karena banyak ibu yang bersifat hangat tetap mempunyai anak yang menunjukkan ciri-ciri autisme. Teori tersebut tidak memberi gambaran secara pasti, sehingga hal ini mengakibatkan penanganan yang diberikan kurang tepat bahkan tidak jarang berlawanan dan berakibat kurang menguntungan bagi pekembangan individu autisme. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama di bidang kedokteran akhir-akhir ini telah menginformasikan individu dengan gangguan autisme mengalami kelainan neurobiologis pada susunan saraf pusat. Kelainan ini berupa pertumbuhan sel otak yang tidak sempurna pada beberapa bagian otak. Gangguan pertumbuhan sel otak ini, terjadi selama kehamilan, terutama kemahilan muda dimana sel-sel otak sedang dibentuk. 7
Pemeriksaan dengan alat khusus yang disebut Magnetic Resonance Imaging (MRI) pada otak ditemukan adanya kerusakan yang khas di dalam otak pada daerah apa yang disebut dengan limbik sistem (pusat emosi). Pada umumnya individu autisme tidak dapat mengendalikan emosinya, sering agresif terhadap orang lain dan diri sendiri, atau sangat pasif seolah- olah tidak mempunyai emosi. Selain itu muncul pula perilaku yang berulang-ulang (stereotipik) dan hiperaktivitas. Kedua peilaku tersebut erat kaitannya dengan adanya gangguan pada daerah limbik sistem di otak. Terdapat beberapa dugaan yang menyebabkan terjadinya kerusakan pada otak yang menimbulkan gangguan autisme di antaranya adanya pertumbuhan jamur Candida yang berlebihan di dalam usus. Akibat terlalu banyak jamur , maka sekresi enzim ke dalam usus berkurang. Kekurangan enzim menyebabkan makanan tak dapat dicerna dengan sempurna. Beberapa protein jika tidak dicerna secara sempurna akan menjadi “racun” bagi tubuh. Protein biasanya suatu rantai yang terdiri dari 20 asam amino. Bila pencernaan baik, maka rantai tersebut seluruhnya dapat diputus dan ke-20 asam amino tersebut akan diserap oleh tubuh. Namun bila pencernaan kurang baik, maka masih ada beberapa asam amino yang rantainya belum terputus. Rangkaian yang terdiri dari beberapa asam amino disebut peptida. Oleh karena adanya kebocoran usus , maka peptida tersebut diserap melalui dinding usus, masuk ke dalam aliran darah, menembus ke dalam otak. Di
dalam otak peptida tersebut ditangkap oleh reseptor oploid, dan ia berfungsi seperti opium atau morfin. Melimpahnya zat-zat yang bekerja seperti opium ini ke dalam otak menyebabkan terganggunya kerja susunan saraf pusat. Yang terganggu biasanya seperti persepsi, kognisi (kecerdasan), emosi, dan perilaku. Dimana gejalanya mirip dengan gejala yang ada pada individu autisme. Tentu masih terdapat dugaan-dugaan lain yang menimbulkan keruskan pada otak seperti adanya timbal , mercury atau zat beracun lainnya yang termakan bersama makanan yang dikonsumsi ibu hamil, yang selanjutnya mempengaruhi
pertumbuhan
otak
janin
yang
dikandungnya.
Apapun
yang
melatarbelakangi penyebab gangguan pada individu autisme, yang jelas bukan karena ibu yang frigit (ibu yang tidak memberi kehangatan kasih sayang), seperti yang dianut dahulu, akan tetapi gangguan pada autisme terjadi erat kaitannya dengan gangguan pada otak. 2.1.3. Patofisiologi2 Saat ini telah diketahui bahwa autisme merupakan suatu gangguan perkembangan, yaitu suatu gangguan terhadap cara otak berkembang. Akibat perkembangan otak yang salah maka jaringan otak tidak mampu mengatur pengamatan dan gerakan, belajar dan merasakan serta fungsi-fungsi vital dalam tubuh (NINDS, 2004). Penelitian post-mortem menunjukkan 8
adanya abnormalitas di daerah-daerah yang berbeda pada otak anak-anak dan orang dewasa penyandang autisme yang berbeda-beda pula. Pada beberapa bagian dijumpai adanya abnormalitas berupa substansia grisea yang walaupun volumenya sama seperti anak normal tetapi mengandung lebih sedikit neuron. 5 Kimia otak yang paling jelas dijumpai abnormal kadarnya pada anak dengan autis adalah serotonin 5-hydroxytryptamine (5-HT), yaitu sebagai neurotransmiter yang bekerja sebagai pengantar sinyal di sel-sel saraf. Anak-anak penyandang autisme dijumpai 30-50% mempunyai kadar serotonin tinggi dalam darah. Perkembangan norepinefrine (NE), dopamin (DA), dan 5-HT juga mengalami gangguan (MedlinePlus, 2006). 2.1.4. Manifestasi Klinis1,5,7 Manifestasi klinis autisme biasanya muncul sebelum anak berusia 3 tahun. Anak yang berusia muda dapat menghabiskan waktu berjam-jam bermain sendirian dan tidak tertarik dengan aktivitas sosial serta tidak ada upaya membangun komunikasi. Pasien dengan ASD sering tidak mampu melakukan komunikasi nonverbal (kontak mata) dan tidak dapat berinteraksi dengan orang, membedakan orang dengan obyek benda. Karakteristik aktivitas mereka adalah intens, berulang-ulang, kompulsif, dan bila aktivitas mereka diganggu maka akan memicu tantrum atau marah. Perilaku membenturkan kepala, menggeratakkan gigi, mengayun-ayun tubuh ke depan dan ke belakang, respons yang kurang terhadap rasa sakit dan rangsangan eksternal, serta mutilasi diri dapat ditemukan. Anak yang terkena biasanya mengalami keterlambatan bicara, dan bila pun ada, sering didominasi oleh ekolalia, perseverasi, pembalikan kata ganti, irama suara yang tidak mengandung arti sama sekali. 2.1.5. Penegakkan Diagnosis1,2,3,6 Meskipun etiologi gangguan autistik tidak diketahui, terdapat peningkatan risiko mengalami gangguan autistik pada saudara kandung dibandingkan dengan populasi umum dengan prevalensi 10 kasus per 10.000 anak. Anak lelaki terkena empat hingga lima kali lebih sering daripada anak perempuan. Anak perempuan yang terkena sering memiliki keterbelakangan mental yang berat. Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III), pedoman diagnostic autisme pada masa kanak yaitu biasanya tidak ada riwayat perkembangan abnormal yang jelas, tetapi jika dijumpai, abnormalitas tampak sebelum usia 3 tahun. Selalu dijumpai hendaya kualitatif dalam interaksi sosialnya. Ini berbentuk tiadanya 9
apresiasi adekuat terhadap isyarat sosio-emosional, yang tampak sebagai kurangnya respons terhadap emosi orang lain dan/atau kurangnya modulasi terhadap perilaku dalam konteks sosioal; buruk dalam menggunakan isyarat sosial dan lemah dalam integrasi perilaku sosial, emosional, dan komunikatif; dan khususnya, kurangnya respons timbal balik sosioemosional. Demikian juga terdapat hendaya kualitatif dalam komunikasi. Ini berbentuk kurangnya penggunaan sosial dari kemampuan bahasa yang ada; hendaya dalam permintaan imaginatif dan imitasi sosial; buruknya keserasian dan kurangnya interaksi timbal balik dalam percakapan; buruknya fleksibilitas dalam bahasa ekspresif dan relatif kurang dalam kreatifitas dan fantasi dalam proses berpikir, kurangnya respons emosional terhadap ungkapan verbal dan nonverbal orag lain; hendaya dalam menggunakan variasi irama atau tekanan modulasi komunikatif, dan kurangnya isyarat tubuh untuk menekankan atau mengartikan komunikasi lisan. Kondisi ini juga ditandai oleh pola perilaku, minat dan kegiatan yang terbatas, pengulangan dan stereotipik. Ini berbentuk kecenderungan untuk bersikap kaku dan rutin dalam aspek kehidupan sehari-hari; ini biasanya berlaku untuk kegiatan baru atau kebiasaan sehari-hari yang rutin dan pola bermain. Teritama sekali dalam masa dini kanak, terdapat kelekatan yang aneh terhadap benda yang tak lembut. Anak dapat memaksakan suatu kegiatan rutin seperti upacara dari kegiatan yang sebetulnya tidak perlu; dan dapat menjadi preokupasi yang stereotipik dengan perhatian pada tanggal, rute dan jadwal; sering terdapat stereotipi motoric; sering menunjukkan perhatian yang khusus terhadap unsur sampingan dari benda (seperti baud an rasa); dan terdapat penolakan terhadap perubahan dari rutinitas atau dalam tata ruang dari lingkungan pribadi (seperti perpindahan dari mebel atau hiasan dalam rumah). Sebagai tambahan dari gambaran diagnosis khas ini, ana autistic sering menunjukkan beberapa masalah yang tak khas seperti ketakutan/fobia, gangguan tidur dan maka, mengadat (temper tantrum), dan agresivitas. Mencederai diri sendiri (seperti, mengigit tangan) sering terjadi, khususnya jika terkait dengan retardasi mental. Kebanyakan individu dengan autism kurang dalam spontanitas, inisiatif dan kreativits dalam mengatur waktu luang dan mempunyai kesulitan dalam melaksanakan konsep untuk menuliskan sesuatu dalam pekerjaan (meskipun tugas merea tetap dilaksanakan dengan baik). Manifestasi khusus dari sifat defitsit autism berubah sejalan dengan pertumbuhan, tetapi defisit itu berlanjut sampai dan melewati usia dewasa dengan pola yang sama dalam sosialisasi, komunikasi dan pola minat. Abnormalitas perkembangan harus telah tampak dalam usia 3 tahun untuk dapat meneggakkan diagnosis, tetapi sindrom ini dapat didiagnosis pada semua usia. Semua 10
tingkatan IQ dapat ditemukan dalam hubungannua dengan autism, tetapi ditemui retardari mental yang bermakna pada tigaperempat kasus. Komorbid pada ASD yang umum adalah retardasi mental (hingga 80%), gangguan kejang (25% dan biasanya dimulai pada masa remaja), gangguan cemas, gangguan obsesifkompulsif, dan gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas (GPPH). IQ yang lebih tinggi dan kemampuan bahasan yang lebih baik berhubungan dengan prognosis yang lebih baik. Kemampuan komunikasi yang baik memprediksi kemungkinan mampu beradaptasi dalam situasi sosial yang kurang terstruktur atau bahkan dapat mandiri. Diagnosa pada autisme didasarkan pada kriteria sebagai berikut:
A. Enam atau lebih butir dari (1), (2), dan (3), dengan setidaknya dua butir dari (1) dan masing-masing minimal satu butir dari (2) dan (3) 1. Penurunan kualitatif interaksi sosial, seperti yang ditunjukkan oleh setidaknya dua butir berikut: a. Ditandai oleh penurunan yang bermakna dalam penggunaan beberapa perilaku non-verbal, seperti kontak mata, ekspresi wajah, postur tubuh, dan gerak tubuh untuk mengatur interaksi sosial. b. Kegagalan untuk mengembangkan hubungan dengan teman sebaya yang sesuai dengan tingkat perkembangannya. c. Kurangnya usaha spontanitas untuk berbagi kegembiraan, minat, atau kemampuan untuk mencapai usaha tertentu dengan orang lain (misalnya kurang mampu mempertunjukkan, membawa, atau menunjuk objek yang diminati) d. Keterbatasannya interaksi sosial atau emosional yang timbal balik 2. Gangguan kualitatif dalam komunikasi seperit yang ditunjukkan oleh setidaknya salah satu dari berikut: a. Keterlambatan dalam, atau kesejangan total dari perkembangan bahasa lisan (tidak disertai dengan upaya untuk mengkompensasi melalui moda komunikasi alternatif, seperti gerakan atau mimik) b. Pada individu dengan kemampuan bicara yang memadai, ditandai oleh penurunan kemampuan untuk memulai atau mempertahankan percakapan dengan orang lain. c. Penggunaan bahasa atau bahasa idiosinkratik yang stereotipik dan berulangulang. 11
d. Kurangnya variasi bermain spontan, bermain pura-pura, atau bermain imitatif sosial yang sesuai dengan tingkat perkembangannya. 3.Pola perilaku, minat, dan aktivitas yang berulang-ulang, stereotipik, dan terbata seperti yang ditunjukkan oleh setidaknya salah satu dari berikut: a. Pola minat terbatas dan stereotipik yang seringkali tidak normal dalam hal intensitas atau fokusnya, dan seringkali menjadi terpreokupasi oleh kondisi tersebut. b. Terdapat aktivitas non-fungsional rutin atau bersifat ritual dan tidak fleksibel. c. Gerakan motorik yang stereotipik dan berulang berupa manerisme motorik (misalnya, mengepak-ngepakan jari atau tangan atau gerakan seluruh tubuh berputar-putar serta kompleks) d. Preokupasi persisten dengan bagian-bagian dari suatu obyek.
B. Keterlambatan atau fungsi abnormal pada setidaknya satu dari beberapa ranah berikut, dengan onset sebelum usia 3 tahun 1. Interaksi sosial 2. Bahasa yang digunakan dalam komunikasi sosial 3. Bermain secara simbolik atau imajinatif C. Gangguan ini tidak dapat dikelompokkan ke dalam sindrom Rett atau gangguan disgeneratif masa kanak.
Untuk pemeriksaan penunjang, tidak ada pemeriksaan laboratorium definitif untuk menegakkan diagnosis gangguan autistik, tetapi dapat membantu dalam mengidentifikasi penyebab medis yang menyerupai autisme. Fungsi pendengaran harus diuji untuk menentukan apakah defisit yang ada dapat menjelaskan gangguan berbahasa yang ada. Adanya kelainan pada pemeriksaan EEG nonspesifik adalah umum bahkan tanpa kejang. The American Academy of Pediatrics merekomendasikan skrining untuk autisme pada usia 18 dan 24 bulan. Pengkajian yang komprehensif harus dilakukan jika ada saudara atau orangtua yang mengalami gangguan ini, kekhawatiran pengasuh atau dokter anak. 2.1.6. Diagnosis Banding1,2,7 Selain dari variasi gangguan perkembangan pervasif yang lain, penting untuk diperhatikan: gangguan perkembangan khas berbahasa reseptif (F80.2) dengan masalah 12
sosio-emosional sekunder; gangguan kelekatan (attachment) reaktif (F94.1) atau gangguan kelekatan yang tak terkendali (F94.2); retardasi mental (F70-F79) dengan gangguan emosional/ perilaku; skizofrenia (F20.-) dengan onset dini; dan sindrom Rett (F84.2). Gangguan Asperger (2,5 per 10.000 anak dengan rasio lelaki : perempuan 5:1) dapat dibedakan dari gangguan autistik karena tidak ada gangguan wicara atau peribahasa. Gangguan desintegratif masa kanan (0,11 per 10.000 anak) memiliki pola khas yaitu adanya regresi perkembangan yang berat. Regresi ini terjadi setelah tahap perkembangan yang dicapai relatif normal dalam 2 tahun pertama kehidupan. Selanjutnya terjadi penurunan yang cepat di beberapa ranah perkembangan merupakan ciri khas gangguan tersebut. Gangguan Rett (0,44 sampai 2,1 per 10.000 anak) didiagnosis hanya pada anak perempuan dan diasosiasikan dengan mutasi pada gen MECP2. Pola regresi perkembangan terjadi setlah perkembangan relatif normal dalam beberapa bulan pertama kehidupan. Pertambahan beaar leingkar kepala secara dramatis berkurang kecepatannya, Gerakan tangan khas seperti meremas-remas (hand wringing) yang stereotipik. Gangguan koordinasi motorik adalah kelainan yang paling menonjol. Gangguan perkembangan pervasif yang tidak diklasifikasikan di tempat lain (2 sampai 16 per 10.000 anak) adalah diagnosis yang dibuat bila terdapat gangguan perkmebangan yang bermakna namun tidak memenuhi kriteria secara komplit untuk salah satu diagnosis tersebut di atas. 2.1.7. Tatalaksana2,7,8 Penatalaksanaan pada autisme harus secara terpadu, meliputi semua disiplin ilmu yang terkait: tenaga medis (psikiater, dokter anak, neurolog, dokter rehabilitasi) dan non medis (tenaga pendidik, psikolog, ahli terapi bicara/okupasi/fisik, pekerja sosial). Tujuan terapi pada autis adalah untuk mengurangi masalah perilaku dan meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangannya terutama dalam penguasaan bahasa. Dengan deteksi sedini mungkin dan dilakukan manajemen multidisiplin yang sesuai yang tepat waktu, diharapkan dapat tercapai hasil yang optimal dari perkembangan anak dengan autisme. Manajemen multidisiplin dapat dibagi menjadi dua yaitu non medikamentosa dan medika mentosa.
1. Terapi medikamentosa Pada penderita autisme dengan gejala-gejala seperti tempertantrum, agresifitas, melukai diri sendiri dan perilaku streotifik, pemberian obat akan membantu 13
memperbaiki perilaku dan respon anak terhadap lingkungan sehingga ia lebih mudah menerima terapi yang lain. Obat-obat yang diberikan obat-obat yang mempengaruhi kerja sel otak dan memperbaiki abnormalitas kadar neurotransmitter, seperti: -
Risperidon dimulai dengan dosis 2 x 0,1 mg dapat dinaikan 0,05 mg setiap 1-2 minggu, dosis bisa mencapai 1-2 mg/ hari. Dapat memperbaiki hubungan sosial, atensi, agresifitas, hiperaktifitas dan perilaku yang menyakiti diri sendiri.
-
Aripiprazole, dimulai dengan dosis 2 mg sekali sehari, dapat dinaikkan bartahap hingga maksimal 10 mg/ hari. Dapat mengurangi gangguan iritabilitas yang berhubungan dengan autis (tantrum, agresivitas, perubahan mood tiba-tiba, perilaku yang merugikan diri sendiri). Digunakan pada anak usia 6-17 tahun.
-
Haloperidol, dosis 0,25 – 3 mg / har, dibagi menjadi 2-3 dosis. Dapat memperbaiki agresivita hiperaktifitas, iritabilitas, dan streifilik.
-
Thioridazine dosis 0,5-3 mg / kg/ hari dibagi menjdi 2-3 dosis. Dapat menurunkan agresifitas dan agitasi. dipertimbangkan bila dengan diet tersebut ada penurunan hiperaktifitas.
2. Non medikamentosa a. Terapi edukasi Intervensi dalam bentuk pelatihan keterampilan sosial, keterampilan sehari-hari agar anak menjadi mandiri. Tedapat berbagai metode penganjaran antara lain metode TEACHC (Treatment and Education of Autistic and related Communication Handicapped Children) metode ini merupakan suatu program yang sangat terstruktur yang mengintegrasikan metode klasikal yang individual, metode pengajaran yang sistematik terjadwal dan dalam ruang kelas yang ditata khusus. b. Terapi perilaku Intervensi terapi perilaku sangat diperlukan pada autisme. Apapun metodenya sebaiknya harus sesegera mungkin dan seintensif mungkin yang dilakukan terpadu dengan terapi-terapi lain. Metode yang banyak dipakai adalah ABA (Applied Behaviour Analisis) dimana keberhasilannya sangat tergantung dari usia saat terapi itu dilakukan (terbaik sekitar usia 2 – 5 tahun). c. Terapi wicara Intervensi dalam bentuk terapi wicara sangat perlu dilakukan, mengingat tidak semua individu dengan autisme dapat berkomunikasi secara verbal. Terapi ini harus diberikan sejak dini dan dengan intensif dengan terapi-terapi yang lain. d. Terapi okupasi/fisik 14
Intervensi ini dilakukan agar individu dengan autisme dapat melakukan gerakan, memegang, menulis, melompat dengan terkontrol dan teratur sesuai kebutuhan saat itu. e. Sensori integrasi Adalah pengorganisasian informasi semua sensori yang ada (gerakan, sentuhan, penciuman, pengecapan, penglihatan, pendengaran)untuk menghasilkan respon yang bermakna. Melalui semua indera yang ada otak menerima informasi mengenai kondisi fisik dan lingkungan sekitarnya, sehingga diharapkan semua gangguan akan dapat teratasi. f. AIT (Auditory Integration Training) Pada intervensi autisme, awalnya ditentukan suara yang mengganggu pendengaran dengan audimeter. Lalu diikuti dengan seri terapi yang mendengarkan suara-suara yang direkam, tapi tidak disertai dengan suara yang menyakitkan. Selanjutnya dilakukan desentisasi terhadap suara-suara yang menyakitkan tersebut. g. Intervensi keluarga Pada dasarnya anak hidup dalam keluarga, perlu bantuan keluarga baik perlindungan, pengasuhan, pendidikan, maupun dorongan untuk dapat tercapainya perkembangan yang optimal dari seorang anak, mandiri dan dapat bersosialisai dengan lingkungannya. Untuk itu diperlukan keluarga yang dapat berinteraksi satu sama lain (antar anggota keluarga) dan saling mendukung. Oleh karena itu pengolahan keluarga dalam kaitannya dengan manajemen terapi menjadi sangat penting, tanpa dukungan keluarga rasanya sulit sekali kita dapat melaksanakan terapi apapun pada individu dengan autisme. Selanjutnya anak akan kehilangan sebagian atau semua kemampuan komunikasi dan keterampilan sosialnya.
15
BAB III PENUTUP
16
DAFTAR PUSTAKA 1. Direktorat Jendral Pelayanan Medik. 1993. Pedoman Pengglongan dan Diagnosis gangguan Jiwa di Indonesia III. Departemen Kesehatan R.I.: Jakarta 2. Sadock, B. J., Sadock, V. A., dan Ruiz, P. 2015. Kaplan &Sadoks’s Synopsis of Psychiatry Ed. 11th. Wolters Kluwer: New York 3. Gofir, Abdul. 2016.Performa Mental dan Gangguan Kognitif Pada Anak dengan Gangguan Spektrum Autisme di Sekolah Autis Bina Anggita Yogyakarta diambil dari http://etd.repository.ugm.ac.id Diakses tanggal : 1 September 2018 4. Yeni, A. F., Murni, J. Y., & Oktora, R. 2009. Autisme dan Penatalaksanaan. Diambil dari: http://www.Files-of-DrsMed.tk/. Diakses tanggal 1 September 2018. 5. Marcdante, Kliegman, Jenson, dan Behrman dalam Suryawan, dkk. 2014. Nelson : Ilmu Keshatan Anak Esensial. Edisi VI. Hal. 85-87. Elsevier : Singapura. 6. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2002). Pedoman Pelayanan bagi Anak Autistik. DEPDIKNAS: Jakarta. 7. Phil Foreman. Ed (2001) Integration and Inclusion in Action. Nelson Thomas Learning: Australia. 8. Rudi Sutady, dkk (2003) Penatalaksanaan Holistik Autisme. Pusat Informasi FKUI: Jakarta.
17
18