Cover, Bab Iii, Dapus.docx

  • Uploaded by: firda17
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Cover, Bab Iii, Dapus.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,770
  • Pages: 36
Laporan Kasus

Anemia dalam Kehamilan

Oleh: Nyayu Firda, S.Ked

04054821820047

Naufal Karyna Putri, S.Ked

04054821820049

Afkara Husna Firdanisa, S.Ked

04054821820146

Dwitissa Novaria Ananda, S.Ked

04054821820048

Pembimbing: dr. Hj. Putri Mirani, SpOG(K)

BAGIAN/DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2019

i

HALAMAN PENGESAHAN Laporan Kasus

Anemia dalam Kehamilan

Oleh:

Nyayu Firda, S.Ked

04054821820047

Naufal Karyna Putri, S.Ked

04054821820049

Afkara Husna Firdanisa, S.Ked

04054821820146

Dwitissa Novaria Ananda, S.Ked

04054821820048

Telah diterima dan disetujui sebagai

salah satu syarat dalam mengikuti

Kepaniteraan

Bagian/Departemen

Klinik

di

Obstetri

dan

Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang Periode 31 Desember 2018 – 11 Maret 2019.

Palembang, 22 Januari 2019

dr. Hj. Putri Mirani, SpOG(K)

ii

KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah S.W.T. karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus tentang infertilitas primer. Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat kepaniteraan klinik di Bagian/Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang/Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Hj. Putri Mirani, SpOG(K) selaku pembimbing yang telah memberikan masukan dan pengayaan selama penulisan dan penyusunan laporan kasus ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis harapkan. Semoga laporan ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Palembang, 22 Januari 2019

Penulis

iii

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL............................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ ii KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv BAB I

PENDAHULUAN ................................................................................ 1

BAB II

STATUS PASIEN ................................................................................ 3

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 11 BAB IV ANALISIS KASUS ............................................................................. 31 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 33

iv

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anemia dalam Kehamilan 3.1.1. Definisi Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer. Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hematokrit, konsentrasi hemoglobin, atau hitung eritrosit1. Anemia pada wanita ialah suatu kondisi dimana konsentrasi hemoglobin kurang dari 12 gr/dl dan kurang dari 8 gr/dl bagi wanita hamil.

The

Centers

and

Diseases

Control

Prevention

(1990)

mendefinisikan anemia sebagai suatu kondisi dimana konsentrasi hemoblobin kurang dari 11 gr/dl pada trimester pertama dan kurang dari 10,5gr/dl pada trimester kedua. Berdasarkan kadar hemoglobin menurut WHO (2002), anemia dibagi menjadi 3. 

Anemia Ringan

: Kadar Hb 9 – 11 gr%



Anemia Sedang

: Kadar Hb 7 – 8 gr%



Anemia Berat

: Kadar Hb < 7 gr%

Anemia pada ibu hamil sulit ditentukan berdasarkan tiga parameter di atas akibat variasi selama periode kehamilan. Umumnya ibu hamil dianggap anemik jika kadar hemoglobin <11 g/dl atau hematokrit <33%. Menurut CDC, anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu hamil dengan kadar hemoglobin dibawah 11 gr% pada trimester 1 dan 3 atau kadar <10,5 gr% pada trimester 21,2.

5

Tabel 1. Nilai batas untuk anemia pada perempuan1,2 Status kehamilan Tidak hamil Hamil  Trimester 1  Trimester 2  Trimester 3

Hemoglobin (g/dL) 12,0 11,0 10,5 11,0

Hematokrit (%) 36 33 32 33

3.1.2. Epidemiologi Sebagian besar perempuan mengalami anemia selama kehamilan, baik di negara maju maupun negara berkembang. WHO memperkirakan bahwa 35-75% ibu hamil di negara berkembang dan 18% ibu hamil di negara maju mengalami anemia. Angka kejadian anemia pada ibu hamil di dunia masih cukup tinggi, meskipun bervariasi. Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2012 melaporkan bahwa prevalensi anemia pada ibu hamil di dunia adalah 41,8%. Di Indonesia angka anemia menunjukkan nilai yang cukup tinggi yaitu 63,5% Karena defisiensi gizi memegang peranan yang sangat penting dalam timbulnya anemia maka dapat dipahami bahwa frekuensi anemia dalam kehamilan lebih tinggi di negara berkembang dibandingkan dengan negara maju. Prevalensi tertinggi anemia pada ibu hamil terdapat di kawasan benua Afrika dan Asia yaitu 44.6 % dan 39.3% berturut-turut. Bila dibandingkan dengan kawasan benua Asia lain, prevalensi anemia pada ibu hamil di Asia tenggara adalah yang tertinggi yaitu 48.7%. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, angka kejadian anemia di Indonesia masih tinggi, yaitu terdapat 37,1% ibu hamil yang mengalami anemia. 2,4 Dari keseluruhan anemia dalam kehamilan sekitar 95% merupakan anemia defisiensi besi. Insidens wanita hamil yang menderita anemia defisiensi besi meningkat. Hal ini menunjukkan keperluan zat besi maternal yang bertambah pada saat kehamilan. Kematian maternal

6

meningkat oleh karena terjadinya pendarahan post partum yang banyak pada wanita hamil yang sebelumnya memang sudah menderita anemia. Dua penyebab tersering anemia dalam kehamilan adalah defisiensi besi dan kehilangan darah akut. Data CDC menunjukkan 8 juta ibu hamil di Amerika mengalami defisiensi besi2. Suatu studi juga mendapatkan pada lebih dari 1300 wanita, 21% mengalami anemia pada trimester ketiga dengan 16% diantaranya akibat defisiensi besi2,5.

3.1.3. Etiologi Adapun sebab-sebab anemia dalam kehamilan dapat dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut3: 1) Didapatkan (acquired) • Anemia defisiensi besi • Anemia akibat kehilangan darah akut • Anemia akibat inflamasi atau keganasan • Anemia megaloblastik • Anemia hemolitik • Anemia aplastik 2) Herediter • Thalasemia • Hemoglobinopati lain • Hemoglobinopati sickle cell • Anemia hemolitik herediter Anemia disebabkan oleh penurunan produksi darah yaitu hemopoetik,

peningkatan pemecahan

sel

darah

(hemolitik),

atau

kehilangan darah yaitu hemoragik. Dalam kehamilan, anemia yang sering ditemukan adalah anemia hemopoetik yaitu karena kekurangan zat besi (anemia defisiensi besi), asam folat (anemia megaloblastik), dan protein.1

7

3.1.4. Faktor Resiko 1. Umur Ibu Menurut Amiruddin (2007), bahwa ibu hamil yang berumur kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun yaitu 74,1% menderita anemia dan ibu hamil yang berumur 20 – 35 tahun yaitu 50,5% menderita anemia. Wanita yang berumur kurang dari 20 tahun atau lebihdari 35 tahun, mempunyai risiko yang tinggi untuk hamil, karena akan membahayakan kesehatan dan keselamatan ibu hamil maupun janinnya, beresiko mengalami pendarahan dan dapat menyebabkan ibu mengalami anemia. 2. Paritas Menurt Herlina (2006), Ibu hamil dengan paritas tinggi mempunyai resiko 1.454 kali lebih besar untuk mengalami anemia di banding dengan paritas rendah. Adanya kecenderungan bahwa semakin banyak jumlah kelahiran (paritas), maka akan semakin tinggi angka kejadian anemia. 3. Kurang Energi Kronis (KEK) 41% (2.0 juta) ibu hamil menderita kekurangan gizi. Timbulnya masalah gizi pada ibu hamil, seperti kejadian KEK, tidak terlepas dari keadaan sosial, ekonomi, dan bio sosial dari ibu hamil dan keluarganya seperti tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, konsums pangan, umur, paritas, dan sebagainya. Pengukuran lingkar lengan atas (LILA) adalah suatu cara untuk mengetahui resiko Kurang Energi Kronis (KEK) Wanita Usia Subur (WUS). Pengukuran LILA tidak dapat digunakan untuk memantau perubahan tatus gizi dalam jangka pendek. Pengukuran lingkar lengan atas (LILA) dapat digunakan untuk tujuan penapisan status gizi Kurang Energi Kronis (KEK). Ibu hamil KEK adalah ibu hamil yang mempunyai ukuran LILA<23.5 cm. Deteksi KEK denganukuran LILA yang rendah mencerminkan kekurangan energi dan protein dalam intake makanan sehari hari yang biasanya diiringi juga dengan kekurangan zat gizi lain,

8

diantaranya besi. Dapat diasumsikan bahwa ibu hamil yang menderita KEK berpeluang untuk menderita anemia. 4. Infeksi dan Penyakit Zat besi merupakan unsur penting dalam mempertahankan daya tahan tubuh agar tidak mudah terserang penyakit. Menurut penelitian, orang dengan kadar Hb <10 g/dl memiliki kadar sel darah putih (untuk melawan bakteri) yang rendah pula. Seseorang dapat terkena anemia karena meningkatnya kebutuhan tubuh akibat kondidi fisiologis (hamil, kehilangan darah karena kecelakaan,

pascabedah atau menstruasi),

adanya penyakit kronis atau infeksi (infeksi cacing tambang, malaria, TBC). Ibu yang sedang hamil sangat peka terhadap infeksi dan penyakit menular. Beberapa di antaranya meskipun tidak mengancam nyawa ibu, tetapi dapat menimbulkan dampak berbahaya bagi janin. Diantaranya, dapat mengakibatkan abortus, pertumbuhan janin terhambat, bayi mati dalam kandungan, serta cacat bawaan. Penyakit infeksi yang di derita ibu hamil biasanya tidak diketahui saat kehamilan. Hal itu baru diketahui setelah bayi lahir dengan kecacatan. Pada kondisi terinfeksi penyakit, ibu hamil akan kekurangan banyak cairan tubuh serta zat gizi lainnya. Penyakit yang diderita ibu hamil sangat menentukan kualitas janin dan bayi yang akan dilahirkan. Penyakit ibu yang berupa penyakit menular dapat mempengaruhi kesehatan janin apabila plasenta rusak oleh bakteri atau virus penyebab penyakit. Sekalipun janin tidak langsung menderita penyakit, namun Demam yang menyertai penyakit infeksi sudah cukup untuk menyebabkan keguguran. Penyakit menular yang disebabkan virus dapat menimbulkan cacat pada janin sedangkan penyakit tidak menular dapat menimbulkan komplikasi kehamilan dan meningkatkan kematian janin 30%. 5. Jarak kehamilan Menurut Ammirudin (2007) proporsi kematian terbanyak terjadi pada ibu dengan prioritas 1 – 3 anak dan jika dilihat menurut jarak kehamilan ternyata jarak kurang dari 2 tahun menunjukan proporsi 9

kematian maternal lebih banyak. Jarak kehamilan yang terlalu dekat menyebabkan ibu mempunyai waktu singkat untuk memulihkan kondisi rahimnya agar bisa kembali ke kondisi sebelumnya. Pada ibu hamil dengan jarak yang terlalu dekat beresiko terjadi anemia dalam kehamilan. Karena cadangan zat besi ibu hamil pulih. Akhirnya berkurang untuk keperluan janin yang dikandungnya. 6. Pendidikan Pada beberapa pengamatan menunjukkan bahwa kebanyakan anemia yang di derita masyarakat adalah karena kekurangan gizi banyak di jumpai di daerah pedesaan dengan malnutrisi atau kekurangan gizi. Kehamilan dan persalinan dengan jarak yang berdekatan, dan ibu hamil dengan pendidikan dan tingkat social ekonomi rendah. Menurut penelitian Amirrudin dkk (2007), faktor yang mempengaruhi status anemia adalah tingkat pendidikan rendah.

3.1.5. Anemia Fisiologis pada Kehamilan Pada kehamilan relatif terjadi anemia karena ibu hamil mengalami hemodelusi (pengenceran) dengan peningkatan volume 30 % sampai 40 % yang puncaknya pada kehamilan 32 sampai 34 minggu. Jumlah peningkatan sel darah 18 % sampai 30 % dan hemoglobin sekitar 19 % Kehamilan memicu perubahan-perubahan fisiologis yang sering mengaburkan

diagnosis

sejumlah

kelainan

hematologis

serta

pengkajiannya. Hal ini terutama berlaku pada anemia. Salah satu perubahan yang paling bermakna adalah ekspansi volume darah dengan peningkatan volume plasma yang tidak sepadan sehingga hematokrit biasanya menurun3. Peredaran darah pada ibu hamil dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: 1) Meningkatnya kebutuhan sirkulasi darah sehingga dapat memenuhi kebutuhan perkembangan dan pertumbuhan janin dalam rahim. 2) Terjadinya hubungan langsung antara arteri dan vena pada sirkulasi

10

retro-plasenter. 3) Pengaruh hormon estrogen dan progesteron yang semakin meningkat1,3. Akibat dari faktor tersebut, dijumpai beberapa perubahan sirkulasi darah yaitu1,3: a) Volume darah, volume darah semakin meningkat dimana jumlah serum darah lebih besar dari pertumbuhan sel darah, sehingga terjadi pengenceran darah (hemodilusi) dengan puncaknya pada usia kehamilan 32 minggu. Serum darah (volume darah) bertambah sebanyak 25-30% sedangkan sel darah merah hanya sekitar 20%. Curah jantung akan bertambah sekitar 30%. Bertambahnya hemodilusi darah mulai tampak pada umur kehamilan 16 minggu. Peningkatan dari volume plasma ini adalah untuk meringankan kerja jantung akibat curah jantung yang meningkat semasa kehamilan. b) Sel darah, sel darah merah makin meningkat jumlahnya untuk mengimbangi pertumbuhan janin dalam rahim, tetapi pertambahan sel darah merah tidak seimbang dengan peningkatan volume darah sehingga terjadi hemodilusi yang disertai anemia fisiologis. Sel darah putih meningkat dengan mencapai jumlah 10.000/ml. Hemodilusi yang disertai anemia menyebabkan laju endap darah semakin tinggi dan mencapai 4 kali dari angka normal. Peningkatan produksi sel darah merah ini terjadi sesuai dengan proses perkembangan dan pertumbuhan masa janin yang ditandai dengan pertumbuhan tubuh yang cepat dan penyempurnaan susunan organ tubuh. Adanya kenaikan volume darah pada saat kehamilan akan meningkatkan kebutuhan zat besi. Pada trimester pertama kehamilan, zat besi yang dibutuhkan sedikit karena peningkatan produksi eritropoetin sedikit, oleh karena tidak terjadi menstruasi dan pertumbuhan janin masih lambat. Sedangkan pada awal trimester kedua pertumbuhan janin sangat cepat dan janin bergerak aktif, yaitu menghisap dan menelan air ketuban sehingga lebih banyak kebutuhan oksigen yang diperlukan. Akibatnya, kebutuhan zat besi semakin meningkat untuk mengimbangi peningkatan produksi 11

eritrosit dan karena itu rentan untuk terjadinya anemia terutama anemia defisiensi besi1,3,6. Konsentrasi hemoglobin normal pada wanita hamil berbeda pada wanita yang tidak hamil. Hal ini disebabkan karena pada kehamilan terjadi proses hemodilusi atau pengenceran darah, yaitu terjadi peningkatan volume plasma dalam proporsi yang lebih besar jika dibandingkan dengan peningkatan eritrosit. Dalam hal ini, oleh karena peningkatan oksigen dan perubahan sirkulasi yang meningkat terhadap plasenta dan janin, serta kebutuhan suplai darah untuk pembesaran uterus, terjadi peningkatan volume darah yaitu peningkatan volume plasma dan sel darah merah. Namun, peningkatan volume plasma ini terjadi dalam proporsi yang lebih besar yaitu sekitar tiga kali lipat jika dibandingkan dengan peningkatan eritrosit sehingga terjadi penurunan konsentrasi hemoglobin akibat hemodilusi. Hemodilusi berfungsi agar suplai darah untuk pembesaran uterus terpenuhi, melindungi ibu dan janin dari efek negatif penurunan venous return saat posisi terlentang, dan melindungi ibu dari efek negatif kehilangan darah saat proses melahirkan1,3. Hemodilusi dianggap sebagai penyesuaian diri yang fisiologis dalam kehamilan dan bermanfaat pada wanita untuk meringankan beban jantung yang harus bekerja lebih berat semasa hamil karena sebagai akibat hipervolemi cardiac output meningkat. Kerja jantung akan lebih ringan apabila viskositas darah rendah dan resistensi perifer berkurang sehingga tekanan darah tidak meningkat. Secara fisiologis, hemodilusi ini membantu si ibu mempertahankan sirkulasi normal dengan mengurangi beban jantung3,6. Ekspansi volume plasma dimulai pada minggu ke-6 kehamilan dan mencapai maksimum pada minggu ke-24 kehamilan, namun dapat terus meningkat sampai minggu ke-37. Volume plasma meningkat sebesar 4565 % dimulai pada trimester II kehamilan dan mencapai maksimum pada bulan ke-9 yaitu meningkat sekitar 1000 ml, menurun sedikit menjelang aterm serta kembali normal dalam tiga bulan setelah partus. Stimulasi yang 12

meningkatkan

volume

plasma

seperti

laktogen

plasenta

yang

menyebabkan peningkatan sekresi aldosteron3,6. Volume plasma yang bertambah banyak ini menurunkan hematokrit, konsentrasi hemoglobin darah, dan hitung eritrosit, tetapi tidak menurunkan jumlah absolut Hb atau eritrosit dalam sirkulasi. Penurunan hematokrit, konsentrasi hemoglobin, dan hitung eritrosit biasanya tampak pada minggu ke-7 sampai ke-8 kehamilan dan terus menurun sampai minggu ke-16 hingga ke-22 ketika titik keseimbangan tercapai. Oleh sebab itu, apabila ekspansi volume plasma yang terus-menerus tidak diimbangi dengan peningkatan produksi eritropoetin sehingga menurunkan kadar Hct, konsentrasi Hb, atau hitung eritrosit di bawah batas “normal”, timbullah anemia1,3.

3.1.6. Gejala Klinis

Kekurangan Asam Folat

Kekurangan Protein

Kekurangan zat besi

Berkurangnya pembentukan dan terjadinya kelainan sel darah merah

Pembentukan hemoglobin berkurang

Pembentukan tissue respiratory enzymes berkurang

Anemia Megaloblastik

Anemia Defisiensi Besi

Defisiensi penggunaan oksigen

Defisiensi pengangkutan oksigen di dalam darah

Gejala Klinis Anemia

Gambar 1 : Grafik menunjukkan kekurangan asam folat, protein dan zat besi dapat menyebabkan kekurangan oksigen jaringan dan mengakibatkan terjadinya anemia (Dikutip dari kepustakaan 5).

13

Gejala klinis dari anemia bervariasi bergantung pada tingkat anemia yang diderita. Berdasarkan gejala klinisnya anemia dapat dibagi menjadi anemia ringan, sedang dan berat. Tanda dan gejala klinisnya adalah : a) Anemia ringan

: adanya pucat, lelah, anoreksia, lemah, lesu, dan sesak.

b) Anemia sedang

: adanya lemah dan lesu, palpitasi, sesak, edema kaki, dan

tanda malnutrisi seperti anoreksia, depresi mental, glossitis, ginggivitis, emesis atau diare. c) Anemia berat

: adanya gejala klinis seperti anemia sedang dan ditambah

dengan tanda seperti demam, luka memar, stomatitis, koilonikia, pika, gastritis, termogenesis yang terganggu, penyakit kuning, rambut halus dan rapuh, hepatomegali

dan

splenomegali

bisa

membawa

seorang

dokter

untuk

mempertimbangkan kasus anemia yang lebih berat. 3,7,14

3.1.7. Diagnosis Anemia dapat disebabkan oleh penurunan produksi sel darah merah, peningkatan penghancuran atau kehilangan sel darah merah, serta dilusi. Evaluasi anemia pada kehamilan sama seperti pada seseorang yang tidak hamil. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap diperlukan untuk penegakan diagnosis. Anamnesis mengenai onset, durasi, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, asupan makanan, paparan lingkungan, dan riwayat pengobatan perlu ditanyakan8. Gejala dan tanda anemia pada ibu hamil sangat tidak spesifik. Biasanya ibu hamil dengan anemia akan datang dengan keluhan lemah, pucat, dan mudah pingsan. Secara klinis, pada pemeriksaan fisik dapat dilihat tanda-tanda tubuh yang malnutrisi seperti pucat, anoreksia, depresi mental, glossitis, ginggivitis, stomatitis, koilonikia, pika, gastritis. Apabila tekanan darah masih dalam batas normal, perlu dicurigai adanya anemia defisiensi besi. Selain itu, tanda-tanda seperti demam, memar, jaundice, hepatomegali, dan splenomegali juga perlu diperhatikan untuk mengetahui apakah ada penyebab yang serius dari anemia7,8,9.

14

Pemeriksaan penunjang awal yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan kadar hemoglobin dan darah tepi. Pemeriksaan penunjang yang berlebihan tidak efektif dan tidak ekonomis untuk menguji setiap wanita hamil dengan anemia, mengingat bahwa sebagian besar anemia dalam kehamilan yang sifatnya ringan disebabkan oleh defisiensi zat besi. Maka dari itu, terapi suplementasi besi perlu diberikan apabila ibu hamil yang mengalami anemia tersebut belum mengkonsumsinya8. Apabila dicurigai adanya penyebab penyakit kronik seperti malaria dan tuberkulosis, diperlukan adanya pemeriksaan khusus seperti pemeriksaan darah tepi dan pemeriksaan sputum. Selain itu, diperlukan adanya beberapa pemeriksaan untuk membedakan anemia akibat defisiensi besi, defisiensi asam folat, dan thalassemia8,9.

Gambar 2. Alur diagnosis anemia dalam kehamilan9

15

3.1.8. Pembagian Anemia1,3 a) Anemia Defisiensi Besi Penyebab tersering anemia selama kehamilan dan masa nifas adalah defisiensi besi dan kehilangan darah akut. Tidak jarang keduanya saling berkaitan erat, karena pengeluaran darah yang berlebihan disertai hilangnya besi hemoglobin dan terkurasnya simpanan besi pada suatu kehamilan dapat menjadi penyebab penting anemia defisiensi besi pada kehamilan berikutnya. Status gizi yang kurang sering berkaitan dengan anemia defisiensi besi. Pada gestasi biasa dengan satu janin, kebutuhan ibu akan besi yang dipicu oleh kehamilannya rata-rata mendekati 800 mg; sekitar 500 mg, bila tersedia, untuk ekspansi kadar hemoglobin ibu sekitar 200 mg atau lebih keluar melalui usus, urin dan kulit. Jumlah total ini 1000 mg jelas melebihi cadangan besi pada sebagian besar wanita. Kecuali apabila perbedaan antara jumlah cadangan besi ibu dan kebutuhan besi selama kehamilan normal yang disebutkan diatas dikompensasi oleh penyerapan besi dari saluran cerna, akan terjadi anemia defisiensi besi. Dengan meningkatnya volume darah yang relatif pesat selama trimester kedua, maka kekurangan besi sering bermanifestasi sebagai penurunan tajam konsentrasi hemoglobin. Walaupun pada trimester ketiga laju peningkatan volume darah tidak terlalu besar, kebutuhan akan besi tetap meningkat karena peningkatan massa hemoglobin ibu berlanjut dan banyak besi yang sekarang disalurkan kepada janin. Karena jumlah besi tidak jauh berbeda dari jumlah yang secara normal dialihkan, neonatus dari ibu dengan anemia berat tidak menderita anemia defisiensi besi Penegakan diagnosis Evaluasi awal pada wanita hamil dengan anemia sedang adalah pengukuran hemoglobin, hematokrit, dan indeks-indeks sel darah merah, pemeriksaan cermat terhadap sedian apus darah tepi; dan pengukuran konsentrasi besi atau ferritin serum, atau keduanya. Gambaran morfologis 16

klasik anemia defisiensi besi-hipokromia dan mikrositosis dan mikrositosis eritrosit tidak begitu menonjol pada wanita hamil dibandingkan pada wanita tidak hamil dengan kosentrasi hemogolobin yang sama. Anemia difesiensi besi tingkat sedang selama kehamilan contohnya, konsentrasi hemoglobin 9g/dl, biasanya tidak disertai perubahan morfologis eritrosit yang nyata. Namun, dengan derajat anemia defisiensi besi sebesar ini, kadar feritin serum lebih rendah daripada normal, dan pewarna besi pada sumsum tulang memberi hasil negatif. Kapasitas serum untuk mengikat besi (serum iron-binding capacity) meningkat, tetapi kapasitas ini saja tidak banyak bernilai diagnostic karena kapasitas ini juga meningkat pada kehamilan normal tanpa defisiensi besi. Hiperplasia normoblastik sedang pada sumsum tulang juga sama dengan yang terjadi pada kehamilan normal. Karena itu, anemia defisiensi besi pada kehamilan terutama merupakan konsekuensi dari ekspansi volume darah tanpa ekspansi normal massa hemogolobin ibu. Kadar ferritin serum normalnya menurun selama kehamilan. Kadar yang kurang dari 15g/l memastikan anemia difisiensi besi2. Secara pragmatis, diagnosis defisiensi besi pada wanita hamil dengan anemia sedang biasanya bersifat presumtif dan terutama didasarkan pada ekslusi kausa anemia yang lain. Tabel 2. Diagnosis Anemia Defisiensi Besi10 Pemeriksaan Hemoglobin Laki-laki dewasa Wanita dewasa (tidak hamil) Wanita dewasa (hamil) MCHC Serum Iron (SI) TIBC Saturated Transferin Serum Ferritin

Anemia Defisiensi Besi

Normal

<13 g/dl <12 g/dl <11 g/dl <31% <50 μg% > 400 μg% <15 % <12 μg/l

15 g/dl 13-14 g/dl 12 g/dl 32-35% 80 -160 μg% 250-400 μg% 30-35% 12-200 μg/l

17

Apabila wanita hamil dengan anemia defisiensi besi tingkat sedang diberi terapi besi yang memadai, akan terdeteksi respons hematologist berupa peningkatan hitung retikulosit. Laju peningkatan konsentrasi hemgolobin atau hematokrit cukup bervariasi, tetapi biasanya lebih lambat dibanding pada wanita tidak hamil. Penyebabnya terutama berkaitan dengan perbedaan volume darah, dan pada separuh terakhir kehamilan, terjadi penambahan hemoglobin baru kedalam volume sirkulasi yang lebih besar.

Terapi Terapi anemia defisiensi besi yang rutin dilakukan ialah dengan preparat besi oral atau parenteral serta transfusi darah. Preparat besi oral yang diberikan adalah fero sulfat, fero glukonat, atau Na-fero bisitrat. Program nasional yang diterapkan saat ini adalah kombinasi 60 mg besi dan 50µg asam folat untuk profilaksis anemia. Pemberian suplementasi besi pada ibu hamil harus dilakukan sedini mungkin. Oleh karena sebagian besar perempuan mengawali kehamilan dengan cadangan besi yang rendah, maka kebutuhan tambahan ini berakibat pada anemia defisiensi besi. Pemberian preparat besi 60 mg/hari dapat menaikkan kadar Hb sebanyak 1 g% per bulan. Untuk mengganti simpanan besi, terapi oral harus dilanjutkan selama 3 bulan atau lebih setelah anemia teratasi. Efek samping pada saluran gastrointestinal pada pemberian besi oral dapat menurunkan kepatuhan pemakaian. Efek samping tersebut relatif kecil pada pemberian preparat ferobisitrat dibandingkan pemberian preparat fero sulfat11. Pemberian terapi seperti ini tidak selalu membantu untuk meningkatkan kadar hemoglobin dalam darah seperti pada keadaan absorpsi gastrointestinal yang tidak adekuat, masa kehamilan akhir, intoleransi pada kebutuhan besi oral, serta anemia berat dengan kontraindikasi transfusi darah. Oleh karena itu, pemberian besi sukrosa 18

secara intravena dapat menjadi pilihan yang efektif dan cepat sebagai terapi anemia dalam kehamilan. Pemberian preparat parenteral dengan ferum dekstran sebanyak 1000 mg (20 ml) intravena atau 2 x 10 ml/im pada gluteus, dapat meningkatkan kadar hemoglobin relatif lebih cepat yaitu 2 g/dL. Pemberian parenteral ini memiliki indikasi yaitu intoleransi besi pada saluran gastrointestinal, anemia yang berat, dan kepatuhan pemakaian preparat besi oral yang buruk. Efek samping utama adalah reaksi alergi maka perlu diberikan dosis 0,5 cc/im untuk melihat adanya reaksi sebelum diberikan seluruh dosis. Transfusi sel darah merah atau darah lengkap jarang diindikasi untuk mengobati anemia defisiensi besi kecuali apabila juga terdapat hipovolemia akibat perdarahan atau harus dilakukan suatu tindakan bedah darurat pada wanita dengan anemia berat.

b) Anemia akibat Perdarahan Akut Sering terjadi pada masa nifas. Solusio plasenta dan plasenta previa dapat menjadi sumber perdarahan serius dan anemia sebelum atau setelah pelahiran. Pada awal kehamilan, anemia akibat perdarahan sering terjadi pada kasus-kasus abortus, kehamilan ektopik, dan mola hidatidosa. Perdarahan masih membutuhkan terapi segera untuk memulihkan dan mempertahankan perfusi di organ-organ vital walaupun jumlah darah yang diganti umumnya tidak mengatasi difisit hemoglobin akibat perdarahan secara tuntas, secara umum apabila hipovolemia yang berbahaya telah teratasi dan hemostasis tercapai, anemia yang tersisa seyogyanya diterapi dengan besi. Untuk wanita dengan anemia sedang yang hemoglobinnya lebih dari 7 g/dl, kondisinya stabil, tidak lagi menghadapi kemungkinan perdarahan serius, dapat berobat jalan tanpa memperlihatkan keluhan, dan tidak demam, terapi besi selama setidaknya 3 bulan merupakan terapi terbaik dibandingkan dengan transfusi darah.

19

c) Anemia Penyakit Kronis Gejala-gejala tubuh lemah, penurunan berat badan, dan pucat sudah sejak jaman dulu dikenal sebagai cirri penyakit kronik. Berbagai penyakit terutama infeksi kronik dan neoplasma menyebabkan anemia derajat sedang dan kadang-kadang berat, biasanya dengan eritrosit yan sedikit hipokromik dan mikrositik. Dahulu, infeksi

khususnya

tuberculosis, endokarditis, atau esteomielitis sering menjadi penyebab, tetapi terapi antimikroba telah secara bermakna menurunkan insiden penyakit-penyakit tersebut. Saat ini, gagal ginjal kronik, kanker dan kemoterapi, infeksi virus imunodefisiensi manusia (HIV), dan peradangan kronik merupakan penyebab tersering anemia bentuk ini. Denominator bersama adalah meningkatkan produksi sitokin yang memperantarai respons imun atau peradangan. Pada pasien tidak hamil dengan penyakit peradangan kronik, konsentrasi hemoglobin jarang kurang dari 7 g/dl. Biasanya morfologi sel sumsum tulang tidak terlalu berubah. Konsentrasi besi serum menurun, dan kapasitas serum mengikat besi, walaupun lebih rendah daripada kehamilan normal, tidak jauh dibawah rentang normal tidak hamil. Kadar ferittin serum biasanya meningkat. Karena itu, walaupun mekanisnmenya sedikit

berbeda

satu

sama

lain,

anemia-anemia

ini

sama-sama

memperlihatkan perubahan fungsi retikuleondotelial, metabolisme besi, dan penurunan eritropoiesis dengan derajat dan kombinasi yang berbedabeda. Selama kehamilan, sejumlah penyakit kronik dapat menyebabkan anemia. Beberapa diantaranya adalah penyakit ginjal kronik, supurasi, penyakit

peradangan

usus

(inflammatory

bowel

disease),

lupus

eritematosus sistemetik, infeksi granulomatosa, keganasan, dan arthritis remotoid. Anemia biasanya semakin berat seiring dengan meningkatnya volume plasma melebihi ekspansi massa sel darah merah. Wanita dengan 20

pielonfritis akut berat sering mengalami anemia nyata. Hal ini tampaknya terjadi

akibat

meningkatnya

destruksi

eritosit

dengan

produksi

eritropoietin normal. Anemia pada penyakit kronik berespons terhadap pemberian eritropoietin rekombinan. Obat ini sudah berhasil digunakan untuk mengobati anemia pada insufisiensi ginjal kronik, peradangan kronik, dan keganasan.

d) Anemia Megaloblastik Anemia megaloblastik adalah kelompok penyakit darah yang ditandai oleh kelainan darah dan sumsum tulang akibat gangguan sintesis DNA. Defisiensi Asam Folat Anemia megaloblastik yang dimulai selama kehamilan hampir selalu disebabkan oleh defisiensi asam folat, dan dahulu disebut sebagai anemia pernisiosa gravidarum. Anemia ini biasanya dijumpai pada wanita yang tidak mengokonsumsi sayuran berdaun hijau, polong-polongan, dan protein hewani. Wanita dengan anemia megaloblastik mungkin mengalami mual, muntah dan anoreksia selama kehamilan. Seiring dengan memburuknya defisiensi folat dan anemia, anoreksia semakin parah sehinggga defisiensi gizi juga semaki parah. Pada sebagian kasus, konsumsi etanol yang berlebihan menjadi penyebab atau ikut berperan dalam timbulnya anemia ini. Pada wanita normal tidak hamil, kebutuhan asam folat harian adalah 50 sampai 100 g/hari. Selama kehamilan, kebutuhan akan asam folat meningkat, asupan dianjurkan 400 μg/hari. Bukti biokimiawi yang paling awal ditemui adalah rendahnya aktivitas asam folat di dalam plasma. Tanda morfologis paling dini biasanya adalah hipersegmentasi neufrofil. Seiring dengan timbulnya anemia, eritosit yang baru terbentuk akan menjadi makrositik. Apabila sudah terdapat difisiensi besi, eritrosit makrositik tidak dapat terdeteksi dari pengukuran volume rata-rata sel 21

darah merah (mean corpuscular volume). Namun, pada pemeriksaan yang teliti

terhadap sediaan apus darah tapi biasanya ditemukan makrosit.

Seiring dengan bertambah parahnya anemia, kadang-kadang muncul eritrosit berinti didarah tepi. Pada saat yang sama, pemeriksaan sumsum tulang akan mengungkapkan adanya eritorpoiesis megaloblastik. Anemia kemudian dapat bertambah parah, dan dapat juga terjadi trombositopenia, laukopenia atau keduanya. Janin dan plasenta mengekstraksi folat dari sirkulasi ibu sedemikian efektifnya sehingga janin tidak mengalami anemia walaupun ibunya mengerita anemia berat akibat difisiensi folat. Pernah dilaporkan kasus-kasus dengan kadar hemoglobin neonatus mencapai 18 g/dl atau lebih, sedangkan kadar pada ibu serendah 3,6 g/dl. Terapi Asam folat, makanan bergizi, dan zat besi. Bahkan hanya 1 mg asam folat yang diberikan per oral setiap hari sudah dapat menimbulkan respons hematologis yang nyata. Dalam 4 sampai 7 hari setelah awal pengobatan, hitung retikulosit akan meningkat secara bermakna, sedangkan leukopenia dan trombositopenia akan segera terkoreksi. Kadang-kadang laju peningkatan konsentrasi hemoglobin atau hematokrit tidak terlalu besar, terutama apabila dibandingkan dengan retikulositosis yang biasanya mencolok segera setelah terapi dimulai. Pencegahan Makanan yang cukup mengandung asam folat mencegah anemia megaloblastik. Telah banyak perhatian dipusatkan pada peran defisiensi folat pada pembentukan defek tabung saraf (neural – tube defect) Temuantemuan ini mendorong Centers for Disease Control dan American College of Obstetricians and Gymecologists mengeluarkan anjuran bahwa semua wanita usia subur mengkonsumsi paling sedikit 0,4 mg asam folat setiap hari. Tambahan asam folat diberikan pada keadaan-keadaan kebutuhan folat sangat meningkat, misalnya pada kehamilan multijanin atau anemia hemolitik, misalnya penyakit sel sabit. Indikasi lain adalah penyakit 22

peradangan kulit. Terdapat bukti bahwa wanita yang pernah melahirkan janin dengan defek tabung saraf mengalami penurunan angka kekambuhan apabila mereka mendapat asam folat 4 mg perhari sebelum dan selama awal kehamilan. Defisiensi Vitamin B12 Anemia megaloblastik yang disebabkan oleh kekurangan vitamin B12 selama kehamilan sangat jarang terjadi, ditandai oleh kegagalan tubuh menyerap vitamin B12 karena tidak adanya faktor intrinsik. Ini adalah suatu penyakit autoimun yang sangat jarang pada wanita dengan kelainan ini. Defisiensi vitamin B12 pada wanita hamil lebih mungkin dijumapai pada mereka yang menjalani reseksi lambung parsial atau total. Kausa lain adalah penyakit Crohn, reseksi ileum, dan pertumbuhan bakteri berlebihan di usus halus. Kadar vitamin B12 serum diukur dengan radio immunoassay. Selama kehamilan, kadar nonhamil karena berkurangnya konsentrasi protein pengangkut B12 transkobalamin. Wanita yang telah menjalani gastrektomi total harus diberi 1000 mg sianokobalamin (vitamin B12) intramuscular setiap bulan. Mereka yang menjalani gastrektomi parsial biasanya tidak memerlukan terapi ini, tetapi selama kehamilan kadar vitamin B12 perlu dipantau. Tidak ada alasan untuk menunda pemberian asam folat selama kehamilan hanya karena kekhawatiran bahwa akan terjadi gangguan integritas saraf pada wanita yang mungkin hamil dan secara bersamaan mengidap anemia pernisiosa Addisonian yang tidak terdeteksi sehingga tidak diobati.

3.1.9. Komplikasi Anemia dalam kehamilan memberi pengaruh kurang baik bagi ibu, baik dalam kehamilan, persalinan maupun dalam nifas dan masa selanjutnya. Berbagai penyulit dapat timbul akibat anemia seperti berikut : 1) Pengaruh Anemia terhadap Kehamilan a) Abortus (keguguran) 23

b) Persalinan prematur c) Gangguan pertumbuhan janin d) Ancaman dekompensasi kordis (Hb < 6 gr%) e) Mudah terjadi infeksi f) Hyperemesis gravidarum g) Perdarahan sebelum persalinan h) Ketuban pecah dini. 2) Pengaruh Anemia terhadap Persalinan a) Gangguan his b) Kala II dapat berlangsung lama dan partus lama c) Kala uri dapat diikuti retensio plasenta dan kelemahan his. 3) Pengaruh Anemia pada saat Nifas a) Terjadi subinvolusi uteri yang menimbulkan perdarahan post partum b) Memudahkan infeksi puerpuerium c) Pengeluaran ASI berkurang d) Terjadinya dekompensasi kordis. 4) Pengaruh Anemia terhadap Janin a) Kematian janin dalam kandungan b) Berat bayi lahir rendah c) Kelahiran dengan anemia d) Cacat bawaan e) Mudah terinfeksi hingga kematian perinatal f) Inteligensi yang rendah. (1)

3.1.10. Prognosis Prognosis anemia defisiensi besi dalam kehamilan pada umumnya baik bagi ibu dan anak. Persalinan dapat berlangsung seperti biasa tanpa pendarahan banyak atau adanya komplikasi lain. Anemia berat meningkatkan morbiditas dan mortalitas wanita hamil. Walaupun bayi yang dilahirkan dari ibu yang menderita anemia defisiensi besi tidak 24

menunjukkan hemoglobin (Hb) yang rendah, namun cadangan zat besinya kurang sehingga baru beberapa bulan kemudian akan tampak sebagai anemia infantum1,14. Anemia megaloblastik dalam kehamilan mempunyai prognosis cukup baik tanpa adanya infeksi sistemik, preeklampsi atau eklampsi. Pengobatan dengan asam folat hampir selalu berhasil. Apabila penderita mencapai masa nifas dengan selamat dengan atau tanpa pengobatan maka anemianya akan sembuh dan tidak akan timbul lagi. Hal ini disebabkan karena dengan lahirnya anak, kebutuhan asam folat jauh berkurang. Anemia megaloblastik berat dalam kehamilan yang tidak diobati mempunyai prognosis buruk1,3,15.

3.1.11. Ketuban Pecah Dini 3.1.11.1.

Definisi

Ketuban pecah sebelum waktunya (KPSW) adalah suatu keadaan pecahnya selaput ketuban baik dalam kehamilan maupun dalam persalinan sebelum pembukaan 3 cm (sebelum fase aktif, masih dalam fase laten).1 Pada keadaan normal selaput ketuban pecah dalam persalinan. Ketuban pecah sebelum waktunya atau Premature Rupture Of Membranes (PROM) adalah pecahnya selaput ketuban yang terjadi sebelum terjadinya persalinan. KPSW terjadi sekitar 2,7% - 17% kehamilan dan pada kebanyakan kasus terjadi secara spontan. KPSW merupakan masalah obstetrik, dan 30% terjadi pada kehamilan preterm.2 Terjadinya

ketuban

pecah

sebelum

waktunya

memerlukan

penanganan yang serius karena bila telah lewat dari 6-8 jam (golden periode) akan menimbulkan infeksi yang dapat berakibat buruk terhadap ibu dan janin. 3.1.11.2.

Struktur Selaput Ketuban

Selaput ketuban tersusun dari lima lapisan yang terpisah, rata-rata tebal 0,08 – 0,12 mm (Gambar 1).3 Tidak mengandung pembuluh darah 25

dan syaraf. Kebutuhan nutrisi dipenuhi melalui cairan ketuban. Lapisan paling dalam, terdekat dengan janin adalah epitel ketuban. Sel-sel epitel ketuban mensekresi kolagen tipe III dan IV serta glikoprotein nonkolagen (laminin, nidogen dan fibronektin) yang membentuk membran basalis yaitu lapisan berikutnya dari ketuban.3,4 Lapisan jaringan ikat padat disekitar membran basalis membentuk rangka fibrosa utama selaput ketuban. Jaringan kolagen dari lapisan jaringan ikat padat disekresi oleh sel-sel mesenkim dalam lapisan fibroblas.5 Kolageninterstitial (tipe I dan III) ,mendominasi dan membentuk kumparan paralel dan menjaga integritas mekanik dari selaput ketuban.6 Kolagen tipe V dan VI membentuk hubungan

dengan

vilamentosa antara kolagen interstitial dengan epitel membran basalis.6 Tidak ada hubungan interposisi antara substansi amorf dasar dengan fibrin-fibrin kolagen dalam jaringan ikat selaput ketubab pada saat kehamilan aterm, sehingga selaput ketuban menahan regangan secara menyeluruh dalam stadium akhir kehamilan normal. Lapisan fibroblas merupakan lapisan yang paling tebal, terdiri dari sel-sel mesenkim dan makrofag dalam matriks ekstraseluler6. Kolagen pada lapisan ini membentuk hubungan yang longgar dengan pulau-pulau glikoprotein nonkolagen. Lapisan intermediate (zona spongiosa) berada diantara selaput ketuban dan korion. Kandungan proteoglikan dan glikoproteinnya yang banyak menyebabkan lapisan ini seperti busa pada preparat histologis dan mengandung jaringan non fibrin pada sebagian besar kolagen tipe III. Lapisan intermediate menyerap stress fisik dengan cara menempatkan selaput ketuban cenderung ke arah sisi korion yang berhubungan dengan desidua ibu.

26

Gambar 3. Schematic representation of the structure of the fetal membranes at term. The extracellular-matrix composition of each layer is shown. Dikutip dari Bilic, 20053 Meskipun selaput ketuban lebih tipis (4 kali) daripada korion, selaput ketuban memiliki kekuatan regangan yang lebih besar. Korion mirip dengan suatu tipikal membran epitel dengan kutub-kutubnya mengarah ke desidua ibu. Seiring dengan perkembangan kehamilan, vili trofoblas dalam jaringan korion pada sisi yang berlawanan dari selaput ketuban (bebas dari plasenta) mengalami regresi. Dibawah lapisan sitotrofoblas (lebih dekat dengan janin) adalah membran basalis dan jaringan ikat korionik yang kaya akan fibrin-fibrin kolagen. Selaput ketuban memiliki gambaran yang berbeda untuk membedakan lapisan selaput ketuban yang mengelilingi plasenta dengan lapisan pada sisi yang berlawanan. Meskipun tidak ada bukti yang dapat menentukan dimana titik lemah selaput yang pecah, tetap harus dilakukan perawatan untuk mencegah perubahan-perubahan dalam struktur selapu ketuban dan komposisinya di dalam mempelajari PROM.

27

3.1.11.3.

Mekanisme Pecah Selaput Ketuban Pecahnya selaput ketuban sewaktu inpartu merupakan

akibat kelemahan secara umum akibat kontraksi uterus dan tegangan yang berulang-elang. Kekuatan regangan selaput ketuban berkurang

pada

preparat histologi yang diperoleh setelah inpartu dibandingkan dengan yang diperoleh dari persalinan sesar tanpa inpartu.7 Kelemahan umum selaput ketuban lebih sulit ditentukan antara PROM dengan selaput ketuban yang dipecahkan secara buatan selama proses persalinan.8 Selaput ketuban yang pecah sebelum waktunya, lebih sering tampak hanya kelemahan fokal saja daripada kelemahan umum Daerah di sisi dekat ruptur disebut “zona restriksi” yang ditandai oleh daerah pembengkakan dan kerusakan fibrin jaringan kolagen antara jaringan padat, fibroblas dan lapisan spongiosa. Oleh karena daerah ini tidak termasuk seluruh daerah sisi ruptur, daerah ini dapat muncul sebelum selaput ketuban pecah dan menjadi titik awal pecahnya ketuban. Agar kekuatan regangan dapat terpelihara harus melibatkan keseimbangan antara sintesis dan degradasi dari komponen matriks ekstraseluler. Diduga bahwa perubahan pada selaput ketuban, termasuk penurunan kandungan kolagen, struktur kolagen yang berubah dan peningkatan aktifitas

kolagenolitik, berhubungan dengan PROM.9

Terjadinya ketuban pecah sebelum waktunya menunjukkan adanya perubahan sitoarsitektur membran korioamniotik, kualitas dan kuantitas dari membran kolagen. Khususnya kolagen tipe III yang dapat berkurang pada pasien KPSW, serta peningkatan aktifitas kolagenolitik ditemukan pada preterm KPSW.11 Infeksi

diduga

berperanan

cukup

penting

dalam

menyebabkan persalinan prematur dan preterm KPSW. Organisme yang paling sering menyebabkan yaitu bakteri vaginosis, Trichomonas vaginalis,

Mycoplasmae,

gonnorhea,

Streptococcus

Chlamydia group

B,

trachomitis, serta

Bacteroides

Neisseria fragilis, 28

Peptostreptococcus, dan Fusobacterium. Bakteri yang sering ditemukan dari cairan amnion pada persalinan prematur dan bakteri vagina lainnya termasuk

Lactobacillus

dan

Staphylococcus

epidermidis

dapat

menyebabkan pengeluaran mediator inflamasi yang dapat menyebabkan kontraksi uterus. Hal ini dapat menyebabkan perubahan pada serviks, pemisahan korion dari amnion, dan KPSW.2,10,11

Gambar 4. Mekanisme terjadinya korioamnionitis (Goldenberg)15 Maternal dan fetal “stress” juga dapat menyebabkan pengeluaran stress

mediator

melalui

axis

hypothalamic-pituitary-adrenal

yang

menyebabkan peningkatan produksi placental corticotrophin releasing hormone ( CRH ). Aksi yang belakangan diketahui sebagai suatu efector parakrin, yang dapat meningkatkan pengeluaran enzim dan senyawa compound yang dapat menyebabkan preterm KPSW.11 Gambar dibawah ini menunjukkan mekanisme terjadinya preterm KPSW.12

29

Gambar 5. Mekanisme PROM. Dikutip dari Gillian D-Bryant-Greenwood14

3.1.11.4. Etiologi / Faktor Predisposisi Penyebab KPSW tidak diketahui dengan pasti. Berdasarkan hasil-hasil penelitian didapatkan faktor-faktor predisposisi terjadinya KPSW antara lain : 1. Faktor infeksi Faktor infeksi dapat berupa infeksi traktus urinarius dan genital, termasuk Penyakit Menular Seksual (PMS). Mikroorganisme pada mukus servik secara ascenden berkembang mencapai uterus menimbulkan reaksi inflamasi pada plasenta, selaput ketuban, dan desidua maternal. Reaksi inflamasi ini mengeluarkan sitokin seperti IL-1 dan IL-6 dari sel endothelial dan tumor necrosing factor dari makrofag. Hal ini menstimulasi produksi prostaglandin yang

akan

menyebabkan

pematangan

servik

dan

kontraksi

uterus.

Mikroorganisme penyebab yang sering adalah streptococcus, mikoplasma, basil fusiform. Infeksi intrauterin dapat juga menjadi predisposisi pecahnya selaput ketuban melalui beberapa mekanisme, semuanya menyebabkan degradasi dari matriks ekstraseluler. Beberapa organisme yang ermasuk dalam flora vagina

30

menghasilkan protease yang dapat menurunkan kadar kolagen dan melemahkan selaput ketuban. Infeksi bakteri dan respon inflamasi ibu juga menyebabkan produksi prostaglandin oleh selaput ketuban yang akhirnya meningkatkan resiko preterm KPSW yang diakibatkan oleh iritabilitas uterin dan penurunan kolagen selaput ketuban. 2.

Faktor selaput ketuban

3. Faktor terjadinya perubahan tekanan intrauterin yang mendadak 4. Faktor sosio-ekonomi yang rendah seperti defisiensi gizi, vit C 5. Faktor antagonisme golongan darah A, B, O 6. Faktor keturunan 7. Faktor merokok13 8. Faktor-faktor lainnya seperti multigravida, adanya riwayat KPSW pada persalinan-persalinan yang lalu, hidramion, adanya malposisi, trauma vagina, kehamilan ganda,perdarahan antepartum, adanya diproporsi sefalo-pelviks dan hamil dengan umur yang lebih dari 35 tahun.

3.1.11.5.

Diagnosis

Diagnosis ada tidaknya air ketuban pada KPSW dapat ditegakkan melalui beberapa cara antara lain: 1.

Anamnesis Pada umumnya pasien datang dengan keluhan keluarnya cairan dari kemaluan. Cairan dapat keluar mendadak dan banyak atau perlahan dan sedikit. Juga perlu ditannyakan adakah kontraksi uterus, perdarahan pervaginam, baru saja intercourse (berhubungan intim/coitus), atau adakah demam. Penting memastikan kapan taksiran persalinan sebab informasi ini mempengaruhi pengobatan selanjutnya.

31

2.

Inspekulo Pemeriksaan inspekulo secara steril merupakan langkah pemeriksaan pertama terhadap kecurigaan KPSW. Adanya genangan cairan di forniks posterior (adanya air ketuban keluar dari OUE) mendukung diagnosis ini. Pengambilan cairan ketuban dari forniks posterior a. Cairan ketuban bersifat alkalis sehingga, bila cairan yang diambil dengan menggunakan kapas lidi atau pipet ditempelkan pada kertas lakmus akan terjadi perubahan warna merah menjadi biru. b. Untuk menentukan ada tidaknya cairan ketuban dapat digunakan test arboriasasi atau kristalisasi. Cara pembuatan preparat pada test ini adalah sebagai berikut. Dengan pipet diambil cairan dan dibuat preparat apus dan dikeringkan diudara, preparat apus kemudian diamati dengan mikroskop akan tampak gambaran daun pakis c. Ada tidaknya verniks kaseosa dapat diketahui melalui pemeriksaan sitologi yaitu: - Pewarnaan Papanicolaou - Pewarnaan Piasianole - Zat warna Nile Blue Sulfate1

3.

Nitrazin test Metode diagnostik menggunakan kertas nitrazin (lakmus) dan pemeriksaan gambaran daun pakis memiliki sensitifitas mendekati 90%. Untuk memastikan cairan tersebut merupakan cairan ketuban dilakukan tes dengan nitrasin. Cairan ketuban akan mengubah kertas nitrasin menjadi biru karena pH cairan ketuban diatas 6,0-6,5. Sedangkan pH normal vagina adalah antara 4,5-6,0. Pemeriksaan dengan kertas nitrasin dapat bersifat positif palsu dengan adanya kontaminasi darah, semen, dan vaginitis.

32

4.

Fern test Merupakan pemeriksaan apusan terpisah untuk mengambil cairan dari forniks posterior atau dinding vagina. Sewaktu cairan mengering pada kaca objek, dapat dilihat adanya gambaran daun pakis (arborisasi) di bawah mikroskop. Terdapatnya daun pakis ini mengindikasikan adanya KPSW.

5.

Ultrasonografi Pemeriksaan USG merupakan pemeriksaan yang digunakan terutama untuk melihat banyak tidaknya air ketuban.13Pada kasus dimana penderita diduga memiliki riwayat PROM, tetapi pemeriksaan fisik gagal memastikan diagnosis, pemeriksaan USG dapat membantu.

3.1.11.6.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan ketuban pecah sebelum waktunya dapat dibedakan atas penatalaksanaan secara konservatif dan aktif. 1.

Konservatif Bila tidak didapatkan komplikasi dan usia gestasi 28-37 minggu, diberikan obat-obatan: - Tokolitik - Kortikosteroid untuk pematangan paru - Vitamin C dosis tinggi - Antibiotik13 Komplikasi : a. Suhu > 38,2°C b. Leukosit > 15000/mm3 c. Air ketuban berbau, kental, dan hijau kuning.13 Apabila setelah pengobatan diberikan air ketuban tidak lagi keluar, maka penderita boleh pulang dengan nasihat : a. Tidak boleh bersetubuh 33

b. Vagina tidak boleh diirigasi c. Tidak memakai celana dalam, pembalut wanita atau semua yang memudahkan terjadinya infeksi. 2.

Penatalaksanaan aktif Indikasi penatalaksanaan aktif bila : a. Didapatkan komplikasi b. Usia kehamilan kurang dari 28 minggu atau lebih dari 37 minggu c. Janin mati dalam kandungan d. Indeks tokolitik > 8.13 Penatalaksanaan aktif meliputi : a. Pemberian antibiotik bila : 

Terjadinya komplikasi



Inpartu



Ketuban pecah < 12 jam1



Adanya rencana terminasi dengan induksi atau akselerasi, seksio sesaria

b. Dilakukan terminasi Pervaginam bila : 

Usia gestasi < 28 minggu



Janin mati13

Perabdominam bila : 

Kontra indikasi tetes pitosin



Letak lintang



Presentasi lain yang tidak memungkinkan pervaginam, Skor Bishop

< 51

34

DAFTAR PUSTAKA 1.

Muthalib A. Kelainan hematologik. Dalam: Wiknjosastro H, Saifuddin A.B, Rachimhadhi T, editor. Ilmu Kebidanan. Edisi keempat. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2011; p. 775-80.

2.

Centers for Diseases Control and Prevention. CDC criteria for anemia in children and childbearingaged women. Morb Mortal Wkly Rep 1989;38:400-404.

3.

Cunningham FG, Hauth JC, Bloom SL, et al. Hematological disorders. In: William obstetrics. Edisi 22. New York: Mc-Graw Hill Medical Publishing Division, 2005; p. 1143, 1145, 1148.

4.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia.

5.

Vandevijvere S, Amsalkhir S, Oyen HV, et al. Iron status and its determinant in a nationally representative sample of pregnant women. J Acad Nutr Diet. 113(5):659, 2013.

6.

Pitkin J, Peattie AB, Magowan BA. Anemia in pregnancy. In: Obstetrics and gynaecology, an illustrated colour text. 1st ed. London: Churchill Livingstone, 2003; p. 32-3.

7.

D. Keith Edmonds. Dewhurst’s Textbook of Obstetrics & Gynaecology. Blackwell Publishing. 2007.

8.

E Albert Reece, John C Hobbins. Clinical Obstetrics: the fetus & mother. Blackwell Publishing. 2007.

9.

Abdul Bari Saifuddin, et al. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2002.

10. Riswan, M. Anemia Defisiensi Besi Pada Wanita Hamil Di Beberapa Praktek Bidan Swasta Dalam Kota Madya Medan, Universitas Sumatera Utara. 2003. 11. Singh Subhadra, et al. A Study to Compare the Efficacy and Safety of Intravenous Iron Sucrose and Intramuscular Iron Sorbitol Therapy for Anemia During Pregancy. J Obstet Gynecol India. 2013;63 (1):18-21. 12. Manuaba. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan Keluarga Berencana. Jakarta: EGC. 2010.

35

13. Magdalena, DT. Gambaran Kejadian Anemia Ibu Hamil dan Faktor-faktor yang Berhubungan di Wilayah Kerja Puskesmas Sei Apung Kabupaten Asahan Tahun 2011. Tesedia di: http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-12/20440768Dameria%20Magdalena%20Tambunan.pdf Diakses pada tanggal 26 Agustus 2018 14. Samuels P. Hematologic complications of pregnancy. In: Gabbe SG, Niebyl JR, Simpson JL, et al, eds. Obstetrics normal and problem pregnancies. 5th ed. Tennessee: Mosby Elsevier, 2007; p. 1050, 1052. 15. Pernoll ML. Medical and surgical complications during pregnancy: Hematologic disorders. In: Benson & Pernoll’s: handbook of obstetrics & gynecology. 10th ed. New York: McGraw-Hill Medical Publishing Division, 2001; p. 435-8.

36

Related Documents

Bab Iii
October 2019 77
Bab Iii
November 2019 69
Bab-iii
June 2020 63
Bab Iii
May 2020 50
Bab Iii
June 2020 55

More Documents from ""