STATUS PASIEN LAPORAN KASUS KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL Nama : Fidiyatun
Pembimbing : dr. Hery Susanto, Sp.A
NIM
Tanda tangan :
: 030.13.224
A. IDENTITAS PASIEN DATA
PASIEN
AYAH
IBU
Nama
An. M
Tn Y
Ny S
Umur
2 tahun
40 tahun
36 tahun
Jenis Kelamin
Laki-laki
Laki-laki
Perempuan
Alamat
Jl. Kertaharja rt 06/rw 03, Kramat kota Tegal
Agama
Islam
Islam
Islam
Suku Bangsa
Jawa
Jawa
Jawa
SD
SD Ibu rumah tangga
Pendidikan Pekerjaan
-
Buruh tani
Penghasilan
-
Rp.1,600.000,00
Keterangan
Hubungan pasien dengan orang tua adalah anak kandung
Asuransi
BPJS NPBI
No. RM
904033
1
B. ANAMNESIS Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis terhadap ibu kandung pasien pada tanggal 2 Maret 2018 13.00 WIB, di ruang Puspa Nidra RSU Kardinah Tegal
Keluhan Utama: Bengkak seluruh tubuh
Keluhan tambahan : benjolan pada skrotum kanan
Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke poli anak RSU Kardinah Tegal pada hari kamis tanggal 15 Februari
2018 pukul 11.00
WIB diantar oleh orangtuanya
dengan keluhan bengkak pada seluruh tubuh sejak + 1 minggu SMRS. Ibu pasien mengatakan awalnya bengkak terlihat pada daerah kelopak mata selama 3 hari. Bengkak terlihat lebih jelas pada pagi hari terutama saat bangun tidur dan bengkak berkurang setelah siang atau sore hari. Kemudian setelah 3 hari bengkak mulai menjalar ke wajah, leher, dada, perut, kaki dan akhirnya seluruh tubuh. Keluhan ini tidak disertai dengan keluhan sesak napas, sakit kepala, kejang-kejang, demam, mual, muntah, batuk, dan pilek. Buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB) dikatakan normal oleh ibu pasien. Pasien juga belum pernah sakit kuning. Selama bengkak pasien tidak pernah tampak pucat, lemah, lesu, dan kehilangan nafsu makan . riwayat alergi obat-obatan dan makanan di sangkal. Di poli RSU Kardinah Tegal pasien dianjurkan untuk rawat inap. Kemudian pasien di rawat inap diruang Puspa Nidra RSU Kardinah. Setelah 10 hari dirawat pasien diporbolehkan untuk berobat jalan. Setelah 2 hari berobat jalan pasien datang ke IGD RSU Kardinah Tegal pada tanggal 27 Februari 2018 pukul 17.30 WIB dengan keluhan terdapat benjolan pada kantung buah zakar kanan sejak lahir. Awalnya benjolan terdapat di lipat paha sebelah kanan, namun makin lama benjolan semakin
2
membesar bahkan sampai masuk ke kantung buah zakar sebelah kanan. Benjolan hilang timbul. Benjolan terutama muncul saat pasien menangis dan mengedan, menghilang saat pasien berbaring. Benjolan tidak pernah merah dan nyeri, namun ibu pasien mengatakan sejak 2 bulan terakhir benjolan tersebut terasa nyeri. Keluhan tidak disertai adanya mual, muntah, demam, buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB) juga dikatakan normal oleh ibu pasien.
Riwayat Penyakit Dahulu Ibu pasien mengatakan pasien belum pernah seperti ini sebelumnya, riwayat penyakit paru, jantung, hati, kejang, asma, trauma, dan operasi disangkal. Ibu pasien mengatakan benjolan di kantung buah zakar sudah ada sejak lahir.
Riwayat Pengobatan Ibu pasien mengatakan pasien sudah berobat ke klinik dokter umum dan sudah diberikan obat namun ibu pasien lupa nama obat tersebut. Setelah minum obat tersebut ibu pasien mengaku keluhan tetap sama dan tidak ada perbaikan.
Riwayat Penyakit Keluarga
Ibu pasien mengaku tidak ada anggota keluarga yang pernah menderita hal yang serupa. Riwayat penyakit jantung, riwayat kejang, penyakit paru, penyakit hati, DM, HT disangkal oleh ibu pasien.
Riwayat Lingkungan Perumahan Pasien tinggal di rumah milik sendiri . Rumah tersebut berukuran ±30 x 10 m2, memiliki 2 kamar tidur dengan 1 kamar mandi dan 1 dapur, beratap genteng, berlantai keramik, berdinding tembok, memiliki 3 jendela dan hanya ada 2 pintu. Di rumah tersebut tinggal kedua orang tua pasien, pasien, dan ke2 kakak pasien. Rumah rajin dibersihkan setiap hari dari mulai disapu sampai membersihkan debu-debu ruangan. Cahaya matahari dapat masuk ke dalam
3
rumah. Jendela rumah dibuka setiap pagi hari. Jarak septic tank dengan wc ± 8 m. Kesan: Keadaan lingkungan rumah dan sanitasi cukup baik , pencahayaan dan ventilasi baik.
Riwayat Sosial Ekonomi Ayah pasien berprofesi sebagai buruh tani dengan penghasilan rata rata ± Rp 1.600.000,- per bulan. Ibu pasien berprofesi sebagai ibu rumah tangga yang tidak berpenghasilan . Penghasilan tersebut menanggung hidup 5 orang, kedua orang tua pasien, pasien dan kedua kakak pasien. Kesan: Riwayat sosial ekonomi kurang
Riwayat Kehamilan dan Pemeriksaan Prenatal Morbiditas
HT (-), DM (-), Peny.jantung (-), Peny. Paru (-
kehamilan
), Anemia (-), Infeksi (-) Selama kehamilan ibu pasien menjalani ANC rutin tiap bulannya di puskesmas, pernah mendapat imunisasi TT tetapi ibu pasien tidak
Kehamilan
ingat Perawatan antenatal
berapa
kali.
Ibu
tidak
pernah
mengonsumsi obat-obatan dan jamu selama hamil, tidak merokok, tidak mengonsumsi alkohol, tidak pernah mengalami demam, sesak, muntah-muntah atau penyakit lain selama kehamilan
Tempat persalinan Penolong persalinan Cara persalinan
Di rumah pasien Dukun Spontan pervaginam
Kelahiran Masa gestasi
8 bulan 3 minggu Berat lahir : 2500 gr
Keadaan bayi Panjang lahir: tidak diukur
4
Lingkar kepala: tidak diukur Lingkar dada : tidak diukur Keadaan lahir : langsung menangis kuat, tidak pucat dan tidak biru Air ketuban : jernih Kelainan bawaan : Suntik Vit. K
Tidak dilakukan
Riwayat Pemeliharaan Postnatal Pemeliharaan setelah kelahiran dilakukan di Puskesmas sebulan sekali dan anak dalam keadaan sehat
Corak Reproduksi Ibu Ibu P3A0, Anak pertama adalah pasien berjenis kelamin laki-laki berusia 17 tahun. Anak kedua berjenis kelamin laki-laki berusia 8 tahun, anak ke 3 berjenis kelamin laki-laki berusia 1 tahun, hidup dan sehat
Riwayat Keluarga Berencana Ibu pasien mengaku saat ini menggunakan KB implant sejak 40 hari pasca persalinan sampai sekarang.
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak o Pertumbuhan : Berat badan lahir anak 2500 gram, panjang badan tidak diukur, dengan berat badan sekarang 8,5 kg dengan tinggi badan sekarang 85 cm. o Perkembangan : Pertumbuhan gigi pertama : 7 bulan Motorik Kasar o Tengkurap
: 3 bulan
o Duduk tanpa bantuan : 8 bulan
5
o Berdiri
: 11 bulan
o Berjalan
: 12 bulan
o Mengucapkan kata
: 12 bulan
Riwayat Makan dan Minum o Lahir hingga usia 1 tahun 5 bulan pasien mengkonsumsi ASI dan diberi tambahan susu formula. o Usia 4 bulan pasien mengkonsumsi bubur bayi o Usia 8 bulan pasien mengkonsumsi bubur campur o Usia 12 bulan pasien mengkonsumsi nasi lunak, sayur, dan lauk pauk lunak. Umur diatas 1 tahun
Jenis makanan
Frekuensi dan jumlah
Nasi/pengganti
2 kali
Sayur
1 kali sangat sedikit
Daging
1 kali
Telur
2 kali
Ikan
1 kali
Tahu
1 kali
Tempe
1 kali
Susu
1 kali
Riwayat Imunisasi VAKSIN
BCG DTP/ DT POLIO CAMPAK
ULANGAN
DASAR (umur)
(umur)
0 bulan
-
-
-
-
-
-
-
2 bulan
3 bulan
4 bulan
-
-
-
0 bulan
2 bulan
3 bulan
4 bulan
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
6
HEPATITIS B
1 bulan
2 bulan
6 bulan
-
-
-
Kesan : Pasien sudah dilakukan imunisasi dasar BCG, DTP, Polio, Hepatitis B, namun pasien belum melakukan imunisasi campak dan imunisasai ulangan.
Silsilah Keluarga
= Perempuan
= Laki Laki
= Ibu pasien
= Ayah pasien
= Pasien
= kakak pasien
Pasien merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara
Ayah pasien merupakan anak keempat dari enam bersaudara
Ibu pasien merupakan anak kedua dari tiga bersaudara
7
C. PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 02 Maret 2018, pukul 13.30 WIB, di Ruang Puspa Nidra.
I. Keadaan Umum Kesadaran : Compos mentis (GCS E4M6V5) Kesan umum : tampak sakit sedang, bengkak (-), tampak sesak (-), tandatanda dehidrasi (-) II. Tanda Vital Tekanan darah
: 140/80
Nadi
: 110x/menit reguler, kuat, isi cukup
Laju nafas
: 30 x/menit reguler
Suhu
: 36,8oC, Axilla
III. Data Antropometri Berat badan sekarang
: 8,5 kilogram
Panjang badan sekarang
: 85 cm
Lingkar kepala
: 47 m
IV. Status Internus Kepala : Normosefali Rambut
: Hitam, tidak mudah dicabut
Mata
: Conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) oedem palpebra
(-/-) namun ibu pasien mengatakan sebelumnya kedua kelopak mata bengkak Hidung : Bentuk normal, deformitas (-), deviasi (-), sekret (-/-), napas cuping hidung (-) Telinga
: Normotia, discharge (-/-)
Mulut : Bibir kering (-), bibir sianosis (-), stomatitis (-), labioschizis (-), palatochizis (-), Leher
: Simetris, tidak terdapat pembesaran KGB,
8
Thorax
: Dinding thorax normothorax dan simetris
o Paru : Inspeksi : Bentuk dada simetris kanan – kiri. Strenum dan iga normal. Retraksi (-). Gerak napas simetris, tidak ada hemithotax yang tertinggal, retraksi (-) Palpasi : Simetris, tidak ada yang tertinggal Perkusi : sonor dikedua hemihorax Auskultasi : Suara nafas vesikuler(+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-). o Cor : Inspeksi
: Ictus cordis tidak tampak.
Palpasi sinistra.
: Ictus cordis teraba di ICS IV midklavikula
Perkusi
: Tidak dilakukan pemeriksaan
Auskultasi gallop (-)
: Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-),
Abdomen : Inspeksi : sedikit membuncit, simetris Auskultasi : Bising usus (+) Palpasi : Supel, distensi (-), turgor kembali < 2 detik, hepar dan lien tidak teraba membesar, acites (-), ballottement (-), undulasi (-) Perkusi : timpani di seluruh kuadran abdomen, shifting dullness (-) Vertebra : tidak ada kelainan Genitalia : jenis kelamin laki-laki, benjolan pada scrotm tidak tampak saat dilakukan pemeriksaan. Anorektal : tidak ada kelainan
9
Ekstremitas: Keempat ekstrimitas lengkap, simetris Superior
Inferior
Akral Dingin
-/-
-/-
Akral Sianosis
-/-
-/-
CRT
<2”
<2”
Oedem
-/-
-/-
Tonus Otot
Normotonus
Normotonus
Trofi Otot
Normotrofi
Normotrofi
Ref. Fisiologis
+
+
Ref. Patologis
-
-
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium Darah tanggal 15/02/2018 Laboratorium Darah (15/02/2018)
Pemeriksaan
Hasil
Satuan
Nilai Rujukan
Hemoglobin
12,2
g/dl
10,7-14,7
Leukosit
15.9 (H)
103/µl
4.5 – 13,5
Hematokrit
34,9
%
33-41
Trombosit
505
103/µl
150 – 521
Eritrosit
4,6
106/µl
3,7-5,7
RDW
14,5
%
11.5 – 14.5
MCV
73,0
U
73-101
MCH
25,5
Pcg
22-34
MCHC
35,0 (H)
g/dl
26-34
Neutrofil
45,5 (L)
%
50 – 70
Limfosit
43,4 (H)
%
25 – 40
Monosit
6,2
%
2–8
Eosinofil
5 (H)
%
2–4
Basofil
0,3
%
0–1
Diff count
10
Laju Endap Darah LED 1 jam
97 (H)
mm/jam
0 – 15
LED 2 jam
102 (H)
mm/jam
0 – 25
Albumin
1,26 (L)
g/dl
3,60-5,40
Globulin
2,41
g/dl
2,30-3,50
Protein total
3,69 (L)
g/dl
5,60-7,50
Trigliserida
500 (H)
mg/dl
<150
Kolesterol HDL
45
mg/dl
35,3-79,5
Kolesterol LDL
235 (H)
mg/dl
<100
Kolesterol total
381
mg/dl
KIMIA KLINIK
Laboratorium urinalisa tanggal 15/02/18
URIN ( 15/02/2018) Urine Rutin Makroskopis Warna
Kuning
Kuning
Kejernihan
Jernih
Jernih
6,5
6,0-9,0
POS (2+)
Negatif
pH Protein Miroskopis Epitel
Pos (1+)
/LPK
Leukosit
2-4
/LPB
1.0 –5.0 +1/<4, +2/5-9, +3/10-29, +4
Eritrosit
7-8
/LPB
+1/<4, +2/5-9, +3/10-29, +4
Silinder Kristal
+ amorf
Negatif
Bakteri
Pos (1+)
Negatif
Jamur
Negatif
Negatif
11
Khusus BJ
<1,005
1.005 – 1.030
Eritrosit
Posistif
Negativf
Nitrit
Negatif
Negatif
Glukosa
Negatif
Negatif
Bilirubin
Negatif
Negatif
Urobilinogen
Negatif
Normal
Keton
Negatif
Negatif
Laboratorium tanggal 17/02/2018
PEMERIKSAAN
HASIL
SATUAN
NILAI NORMAL
Urin (17/2/18) Urinalisis Laboratorium Makroskopis Warna
Kuning
Kuning
Kekeruhan
Jernih
Jernih
6,5
6,0-9,0
Protein
POS (4+)
Negatif
Reduksi
Negatif
Negatif
Kimia Urin pH
Mikroskopis (Sedimen) Eritrosit Leukosit
10-21
/lpb
+1 – +4
7-10
/lpb
+1 – +4
Epitel
POS (2+)
Silinder
Negative
Bakteri
Positif (2+)
+1 – +4
Negatif
Kristal
Positif Amorf
Jamur
Negatif
Negatif
KHUSUS Berat Jenis
> 1.030
1,005-1,030
Bilirubin
Negatif
Negatif
12
Urobilinogen
Negatif
Negatif
Keton
Negatif
Negatif
Nitrit
Negatif
Negatif
POSITIF (+++)/500 Negatif
Negatif
Eritrosit Leukosit
Negatif
Laboratorium tanggal 19/02/2018
PEMERIKSAAN
HASIL
SATUAN
NILAI NORMAL
Urin 19/2/18 Urinalisis Laboratorium Makroskopis Warna
Kuning
Kuning
Kekeruhan
Jernih
Jernih
7,0
6,0-9,0
Protein
POS (3+)
Negatif
Reduksi
Negatif
Negatif
Kimia Urin pH
Mikroskopis (Sedimen) Eritrosit Leukosit
15-17
/lpb
+1 – +4
2-4
/lpb
+1 – +4
Epitel
POS (2+)
Silinder
Negative
Bakteri
Positif (2+)
+1 – +4
Negatif
Kristal
Positif Amorf
Jamur
Negatif
Negatif
KHUSUS Berat Jenis
> 1.015
1,005-1,030
Bilirubin
Negatif
Negatif
Urobilinogen
Negatif
Negatif
Keton
Negatif
Negatif
13
Negatif
Negatif
POSITIF (+++)/500 Negatif
Negatif
Nitrit Eritrosit Leukosit
Negatif
Laboratorium tanggal 21/02/18
Laboratorium Darah (21/02/2018) Pemeriksaan
Hasil
Satuan
Nilai Rujukan
Hemoglobin
13,2
g/dl
10,7-14,7
Leukosit
14,6 (H)
103/µl
4.5 – 13,5
Hematokrit
40,1
%
33-41
Trombosit
513
103/µl
150 – 521
Eritrosit
5,3
106/µl
3,7-5,7
RDW
14,4
%
11.5 – 14.5
MCV
75,4
U
73-101
MCH
24,8
Pcg
22-34
MCHC
32,9
g/dl
26-34
1,60(L)
g/dl
3,60-5,40
KIMIA KLINIK
Albumin
14
Laboratorium tanggal 23/02/18
PEMERIKSAAN
HASIL
SATUAN
NILAI NORMAL
Kimia klinik Albumin
1,83
3,60-5,40
Warna
Kuning
Kuning
Kekeruhan
Jernih
Jernih
8,0
6,0-9,0
Protein
POS (3+)
Negatif
Reduksi
Negatif
Negatif
Urin 23/12/18 Urinalisis Laboratorium Makroskopis
Kimia Urin pH
Mikroskopis (Sedimen) Eritrosit Leukosit
25-27
/lpb
+1 – +4
5-7
/lpb
+1 – +4
Epitel
POS (1+)
Silinder
Negative
Bakteri
Positif (1+)
+1 – +4
Negatif
Kristal
Positif Amorf
Jamur
Negatif
Negatif
KHUSUS Berat Jenis
> 1.030
1,005-1,030
Bilirubin
Negatif
Negatif
Urobilinogen
Negatif
Negatif
Keton
Negatif
Negatif
Nitrit
Negatif
Negatif
Eritrosit
POSITIF (++)/75
Negatif
Leukosit
Negatif
Negatif
15
Laboratorium tanggal 27/2/18
PEMERIKSAAN
HASIL
SATUAN
NILAI NORMAL
Hemoglobin
14,8
g/dl
10,7-14,7
Lekosit
11,9
103/ul
4,5-13,5
hematokrit
43,4
%
33-41
Trombosit
953
103/ul
150-521
RDW
13,9
MCV
73,8
U
73-101
MCH
25,2
pcg
22-34
MCHC
34,1
g/dl
26-34
Natrium
136
mmol/L
135-145
Kalium
4,99
mmol/L
3,3-5,1
Klorida
109 (H)
mmol/L
96-106
Ureum
23,5
mg/dl
19,0-44,0
creatinin
0,43
mg/dl
0,30-0,70
GDS
100
Hematologi
11,5-14,5
Kimia klinik
60-100
Laboratorium tanggal 28/2/18
PEMERIKSAAN
HASIL
SATUAN
NILAI NORMAL
Kimia klinik Albumin
1,70 (L)
3,60-5,40
Warna
Kuning
Kuning
Kekeruhan
Jernih
Jernih
6,0
6,0-9,0
Urin 28/2/18 Urinalisis Laboratorium Makroskopis
Kimia Urin pH
16
Protein
POS (2+)
Negatif
Reduksi
Negatif
Negatif
Mikroskopis (Sedimen) Eritrosit Leukosit
4-6
/lpb
+1 – +4
2-4
/lpb
+1 – +4
Epitel
POS (1+)
Silinder
Negative
Bakteri
Positif (1+)
+1 – +4
Negatif
Kristal
Positif Amorf
Jamur
Negatif
Negatif
KHUSUS Berat Jenis
> 1.030
1,005-1,030
Bilirubin
Negatif
Negatif
Urobilinogen
Negatif
Negatif
Keton
Negatif
Negatif
Nitrit
Negatif
Negatif
Eritrosit
POSITIF (++)/75
Negatif
Leukosit
Negatif
Negatif
Laboratorium tanggal 02/03/18
PEMERIKSAAN
HASIL
SATUAN
NILAI NORMAL
Urin Urinalisis Laboratorium Makroskopis Warna
Kuning
Kuning
Kekeruhan
Jernih
Jernih
6,0
6,0-9,0
Protein
POS (4+)
Negatif
Reduksi
Negatif
Negatif
Kimia Urin pH
Mikroskopis (Sedimen) Eritrosit Leukosit
7-8
/lpb
+1 – +4
6-8
/lpb
+1 – +4
17
Epitel
POS (1+)
Silinder
Negative
Bakteri
Positif (2+)
+1 – +4
Negatif
Kristal
Positif Amorf
Jamur
Negatif
Negatif
KHUSUS Berat Jenis
> 1.030
1,005-1,030
Bilirubin
Negatif
Negatif
Urobilinogen
Negatif
Negatif
Keton
Negatif
Negatif
Nitrit
Negatif
Negatif
Eritrosit
POSITIF
Negatif
Leukosit
Negatif
Negatif
E. PEMERIKSAAN KHUSUS a. Data antropometri Anak laki-laki usia 2 tahun Berat badan sekarang : 8,5 kilogram Tinggi badan sekarang : 85 cm Lingkar kepala cm
: 47 cm
18
b. Pemeriksaan Status Gizi (curva WHO Z-SCORE) Anak laki-laki usia 2 tahun Berat badan 8,5 kg BB/U = - 3 s/d <-2 SD Kesan : berat badan kurang menurut usia
19
Anak laki-laki Usia 2 tahun Panjang Badan : 85 cm PB/U = - 2 s/d +2 SD Kesan : tinggi badan normal menurut usia
20
BB/TB = - 3 s/d <-2 SD Kesan : status gizi kurang menurut berat badan per tinngi badan)
21
c. Pemeriksaan Lingkar Kepala (Kurva Nellhaus)
Kesan : Normocephali
22
F. RESUME Pasien datang ke poli anak RSU Kardinah Tegal pada hari kamis tanggal 15 Februari
2018 pukul 11.00
WIB diantar oleh orangtuanya dengan keluhan
bengkak pada seluruh tubuh sejak + 1 minggu SMRS. Ibu pasien mengatakan awalnya bengkak terlihat pada daerah kelopak mata selama 3 hari. Bengkak terlihat lebih jelas pada pagi hari
terutama saat bangun tidur dan bengkak
berkurang setelah siang atau sore hari. Kemudian setelah 3 hari bengkak mulai menjalar ke wajah, leher, dada, perut, kaki dan akhirnya seluruh tubuh. Keluhan ini tidak disertai dengan keluhan sesak napas, sakit kepala, kejangkejang, demam, mual, muntah, batuk, dan pilek. Buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB) dikatakan normal oleh ibu pasien. Pasien juga belum pernah sakit kuning. Selama bengkak pasien tidak pernah tampak pucat, lemah, lesu, dan kehilangan nafsu makan . riwayat alergi obat-obatan dan makanan di sangkal. Di poli RSU Kardinah Tegal pasien dianjurkan untuk rawat inap. Kemudian pasien di rawat inap diruang Puspa Nidra RSU Kardinah. Setelah 10 hari dirawat pasien diporbolehkan untuk berobat jalan. Setelah 2 hari berobat jalan pasien datang ke IGD RSU Kardinah Tegal pada tanggal 27 Februari 2018 pukul 17.30 WIB dengan keluhan terdapat benjolan pada kantung buah zakar kanan sejak lahir. Awalnya benjolan terdapat di lipat paha sebelah kanan, namun makin lama benjolan semakin membesar bahkan sampai masuk ke kantung buah zakar sebelah kanan. Benjolan hilang timbul. Benjolan terutama muncul saat pasien menangis dan mengedan, menghilang saat pasien berbaring. Benjolan tidak pernah merah dan nyeri, namun ibu pasien mengatakan sejak 2 bulan terakhir benjolan tersebut terasa nyeri. Keluhan tidak disertai adanya mual, muntah, buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB) juga dikatakan normal oleh ibu pasien. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum kompos mentis, tampak sakit sedang, dengan tekanan darah 140/80, denyut jantung 110 x/m, pernafasan 23
30 x/m, dan suhu 36,8˚C. Status antropometri dan status gizi pasien adalah gizi kurang ( -3 SD s/d <-2 SD) status generalis didapatkan perut sedikit membuncit. Pada saat dilakukan pemeriksaan fisik pada pasien ini tidak didapatkan adanya oedema palpebral, bengkak pada wajah, bengkak pada genitalia dan pada ekstremitas karena pemeriksaan dilakukan pada hari ke 5 pasien dirawat. Selain itu juga tidak tampak adanya benjolan pada scrotum karena sudah dilakukan tindakan reposisi bimanual oleh dokter. Namun ibu pasien mengatakan sebelum dirawat tampak pembengkakan di kedua kelopak mata pasien, bengkak pada perut, bengkak pada genital, bengkak pada seluruh tubuh, terdapat benjolan yang dapat keluar masuk pada scrotum. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis, neutrofil rendah, limfosit dan eosinofil yang meningkat, LED 1 jam dan 2 jam yang tinggi pada pemeriksaan darah rutin. Sementara itu pada pemeriksaan kimia klinik didapatkan kadar albumin yang rendah, kadar kolesterol LDL , kolesterol total dan Trigiserida meningkat, kadar kolesterol HDL normal. Pada pemeriksaan urin makroskopik ditemukan proteinuria +2, mikroskopik urin Kristal amorf +, bakteri +1, khusus urin eritrosit positif.
G. DAFTAR MASALAH
Edema
Proteinuria
Hipoalbuminemia
Hiperkolesterolemia
Benjolan pada scrotum
Status gizi kurang
24
H. DIAGNOSIS BANDING
Renal = Sindrom Nefrotik Glomerulonefritis akut
Kardial
Hepatal
Nutritional ( gangguan nutrisi)
Alergi
Hernia scrotalis dextra reponible
Hernia scrotalis dextra ireponible
Hernia scrotalis dextra inkarserata
Hernia scrotalis dextra reponible
Hidrokel
Kurang
Baik
Buruk
Edema
Benjolan
pada
scrotum kanan
Status gizi
I. DIAGNOSIS KERJA -
Sindrom nefrotik
-
Hernia scrotalis dextra reponible
-
Gizi kurang
J. PENATALAKSANAAN a. Non medikamentosa
Monitor tanda vital dan keadaan umum
Edukasi: 25
-
Menjelaskan kepada keluarga tentang penyakit pasien, pengobatan, dan komplikasi yang mungkin dapat terjadi
-
Menjelaskan mengenai aktivitas yang boleh dan perlu dikurangi pada pasien
b. Medikamentosa •
D5% 10 tpm
•
Prednison 2-2-1 tab
•
Captopril 2x8 mg
•
Furosemid 2x80 mg
•
KSR 2x1/2 tab
•
Sanmol 3x1 cth
•
Cefotaxim 3x1/3 gr
c. Operatif Konsul dokter spesialis bedah rencana : Herniotomy tanggal 28 -02-2018
K. PROGNOSIS Quo ad vitam
: Dubia ad bonam
Quo ad fungsionam
: Dubia ad malam
Quo ad sanationam
: Dubia ad malam
L. PEMERIKSAAN ANJURAN Cek Ulang Urinalisa Cek Ulang Albumin Cek ulang kolesterol Fungsi Hepar (SGOT/SGPT) ASTO
26
PERJALANAN PENYAKIT 28 februari 2018 pukul 06.15 WIB(R. Puspa Nidra ) Hari Perawatan ke-1 S
O
terdapat benjolan di scrotum kanan sejak lahir, benjolan dapat masuk lagi, mual (-), muntah(-) BAK dan BAB (N), demam(-), kejang(-), riwayat kejang(-), nafsu makan (+), pasien post dirawat selama 10 hari karena sindrom nefrotik KU: CM, tampak sakit sedang TTV: HR 112 x/m, RR 28x/m, S 36.80C, Status generalis: Kepala: Normocepali Mata: CA(-/-),SI (-/-) oedem palpebral (-/-) cekung(-/-) Thoraks: Retraksi (-/-), SNV (+/+), rh (-/-) wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-) Abdomen: sedikit membuncit +, Supel, BU (+)N, distensi (-), NT(-) Genital : benjolan + pada scrotum kanan, hiperemis : ( -) , nyeri + , Ekstremitas atas-bawah:AH (+/+), OE (-/-) CRT <2 detik
A
P
Sindrom Nefrotik
Hernia scrotalis dextra reponible
• Prednison 2-2-1 tab • Captopril 2x4 mg • KSR 2x1/2 Tab Program : Permeriksaan DR Pemerikksaan urin
27
S O
01 Maret 2018 pukul 06.15 WIB (R. PN) Hari Perawatan ke-2 Benjolan pada scrotum kanan +, Demam (-), kejang (-), batuk(-) pilek (-),mual (-), muntah (-), nafsu makan (+), BAK (+), BAB (+), riwayat post dirawat karena SN KU: CM, tampak sakit sedang TTV: HR 110 x/m, RR 30x/m, S 37,20C, Status generalis: Kepala: Normocepali Mata: CA(-/-),SI (-/-) oedem palpebral (-/-), cekung(-/-) Thoraks: Retraksi (-/-), SNV (+/+), rh (-/-) wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-) Abdomen: sedikit buncit (+), Supel, BU (+)N, distensi (-)NT (-) Genital : benjolan pada scrotum kanan (+),hiperemis (-) Ekstremitas atas-bawah:AH (+/+), OE (-/-) CRT <2 detik
A
Sindrom Nefrotik Hernia Scrotalis Dextra Reponible
P
• Prednison 2-2-1 tab • Captopril 2x4 mg • KSR 2x1/2 Tab Reposisi bimanual Program: Transfusi albumin 50 ml dalam 4 jam Injeksi furosemid 2,5 mg pertengahan dan akhir transfusi albumin
28
S
O
29
A
P
30
S
O
31
A
P
32
S
O
33
A
P
34
S
O
35
A
P
36
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sindrom Nefrotik 2.1.1 Definisi Sindrom nefrotik merupakan suatu penyakit ginjal yang terbanyak pada anak. Penyakit tersebut ditandai dengan sindrom klinik yang terdiri dari beberapa gejala yaitu proteinuria masif (>40 mg/m2LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstick ≥ 2+), hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dL, edema, dan hiperkolesterolemia. Selain gejala-gejala klinis di atas, kadang-kadang dijumpai pula hipertensi, hematuri, bahkan kadang-kadang azotemia.3
2.1.2 Etiologi Berdasarkan etiologinya, sindrom nefrotik dibagi menjadi tiga, yaitu kongenital, primer atau idiopatik, dan sekunder.1,2 1) Kongenital Penyebab dari sindrom nefrotik kongenital atau genetik adalah11 : - Finnish-type congenital nephrotic syndrome (NPHS1, nephrin) - Denys-Drash syndrome (WT1 - Frasier syndrome (WT1) - Diffuse mesangial sclerosis (WT1, PLCE1) - Autosomal recessive, familial FSGS (NPHS2, podocin) - Autosomal dominant, familial FSGS (ACTN4, α-actinin-4; TRPC6) - Nail-patella syndrome (LMX1B) - Pierson syndrome (LAMB2) - Schimke immuno-osseous dysplasia (SMARCAL1) - Galloway-Mowat syndrome - Oculocerebrorenal (Lowe) syndrome 2) Primer Berdasarkan gambaran patologi anatomi, sindrom nefrotik primer atau idiopatik adalah sebagai berikut :
37
Tabel 1. Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer Kelainan minimal (KM) Glomerulosklerosis (GS) Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) Glomerulosklerosis fokal global (GSFG) Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD) Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif Glomerulonefritis kresentik (GNK) Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP) GNMP tipe I dengan deposit subendotelial GNMP tipe II dengan deposit intramembran GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial Glomerulopati membranosa (GM) Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL) Sumber : Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI pp. 381-426. 3) Sekunder Sindrom nefrotik sekunder mengikuti penyakit sistemik, antara lain sebagai berikut : - lupus erimatosus sistemik (LES) - keganasan, seperti limfoma dan leukemia - vaskulitis, seperti granulomatosis Wegener (granulomatosis dengan poliangitis), sindrom Churg-Strauss (granulomatosis eosinofilik dengan poliangitis), poliartritis nodosa, poliangitis mikroskopik, purpura Henoch Schonlein -
Immune
complex
mediated,
seperti
post
streptococcal
(postinfectious)
glomerulonephritis
2.1.3 Batasan Berikut ini adalah beberapa batasan yang dipakai pada sindrom nefrotik5 : 1) Remisi Apabila proteinuri negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam satu minggu, maka disebut remisi. 2) Relaps Apabila proteinuri ≥ 2+ ( >40 mg/m2LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg) 3 hari berturut-turut dalam satu minggu, maka disebut relaps. 3) Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS)
38
Sindrom nefrotik yang apabila dengan pemberian prednison dosis penuh (2mg/kg/hari) selama 4 minggu mengalami remisi 4) Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS) Sindrom nefrotik yang apabila dengan pemberian prednison dosis penuh (2mg/kg/hari) selama 4 minggu tidak mengalami remisi. 5) Sindrom nefrotik relaps jarang Sindrom nefrotik yang mengalami relaps < 2 kali dalam 6 bulan sejak respons awal atau < 4 kali dalam 1 tahun. 6) Sindrom nefrotik relaps sering Sindrom nefrotik yang mengalami relaps ≥ 2 kali dalam 6 bulan sejak respons awal atau ≥ 4 kali dalam 1 tahun. 7) Sindrom nefrotik dependen steroid Sindrom nefrotik yang mengalami relaps dalam 14 hari setelah dosis prednison diturunkan menjadi 2/3 dosis penuh atau dihentikan dan terjadi 2 kali berturut-turut.
2.1.4 Klasifikasi Ada beberapa macam pembagian klasifikasi pada sindrom nefrotik. Menurut berbagai penelitian, respon terhadap pengobatan steroid lebih sering dipakai untuk menentukan prognosis dibandingkan gambaran patologi anatomi.5 Berdasarkan hal tersebut, saat ini klasifikasi SN lebih sering didasarkan pada respon klinik, yaitu : 1) Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS) 2) Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)
2.1.5 Manifestasi klinis dan patofisiologi Kelainan pokok pada sindrom nefrotik adalah peningkatan permeabilitas dinding
kapiler
glomerulus
yang
menyebabkan
proteinuria
masif
dan
hipoalbuminemia.Pada biopsi, penipisan yang luas dari prosesus kaki podosit (tanda sindrom nefrotik idiopatik) menunjukkan peran penting podosit. Sindrom nefrotik idiopatik berkaitan pula dengan gangguan kompleks pada sistem imun, terutama imun yang dimediasi oleh sel T. Pada focal segmental glomerulosclerosis (FSGS), faktor plasma, diproduksi oleh bagian dari limfosit yang teraktivasi, bertanggung jawab terhadap kenaikan permeabilitas dinding kapiler. Selain itu, mutasi pada protein
39
podosit (podocin, α-actinin 4) dan MYH9 (gen podosit) dikaitkan dengan focal segmental glomerulosclerosis (FSGS).6 Sindrom nefrotik resisten steroid dapat dikaitkan dengan mutasi NPHS2 (podocin) dan gen WT1, serta komponen lain dari aparatus filtrasi glomerulus, seperti celah pori, dan termasuk nephrin, NEPH1, dan CD-2 yang terkait protein.4
1) Proteinuria Protenuria merupakan kelainan utama pada sindrom nefrotik. Apabila ekskresi protein ≥ 40 mg/jam/m2 luas permukaan badan disebut dengan protenuria berat. Hal ini digunakan untuk membedakan dengan protenuria pada pasien bukan sindrom nefrotik.11 2) Hipoalbuminemia Abnormalitas sistemik yang paling berkaitan langsung dengan proteinuria adalah hipoalbuminemia. Salah satu manifestasi pada pasien sindrom nefrotik pada anak terjadi hipoalbuminemia apabila kadar albumin kurang dari 2,5 g/dL.7 Pada keadaan normal, produksi albumin di hati adalah 12-14 g/hari (130-200 mg/kg) dan jumlah yang diproduksi sama dengan jumlah yang dikatabolisme. Katabolisme secara dominan terjadi pada ekstrarenal, sedangkan 10% di katabolisme pada tubulus proksimal ginjal setelah resorpsi albumin yang telah difiltrasi. Pada pasien sindrom nefrotik, hipoalbuminemia merupakan manifestasi dari hilangnya protein dalam urin yang berlebihan dan peningkatan katabolisme albumin.10 Hilangnya albumin melalui urin merupakan konstributor yang penting pada kejadian hipoalbuminemia.Meskipun demikian, hal tersebut bukan merupakan satusatunya penyebab pada pasien sindrom nefrotik karena laju sintesis albumin dapat meningkat setidaknya tiga kali lipat dan dengan begitu dapat mengompensasi hilangnya albumin melalui urin.Peningkatan hilangnya albumin dalam saluran gastrointestinal
juga
diperkirakan
mempunyai
kontribusi
terhadap
keadaan
hipoalbuminemia, tetapi hipotesis ini hanya mempunyai sedikit bukti. Oleh karena itu, terjadinya hipoalbuminemia harus ada korelasi yang cukup antara penurunan laju sintesis albumin di hepar dan peningkatan katabolisme albumin.10 Pada keadaan normal, laju sintesis albumin di hepar dapat meningkat hingga 300%,
sedangkan
penelitian
pada
penderita
sindrom
nefrotik
dengan 40
hipoalbuminemia menunjukan bahwa laju sintesis albumin di hepar hanya sedikit di atas keadaan normal meskipun diberikan diet protein yang adekuat.Hal ini mengindikasikan respon sintesis terhadap albumin oleh hepar tidak adekuat. Tekanan onkotik plasma yang memperfusi hati merupakan regulator mayor sintesis protein. Bukti eksperimental pada tikus yang secara genetik menunjukkan adanya defisiensi dalam sirkulasi albumin, menunjukkan dua kali peningkatan laju transkripsi gen albumin hepar dibandingkan dengan tikus normal.1 Meskipun demikian, peningkatan sintesis albumin di hepar pada tikus tersebut tidak adekuat untuk mengompensasi derajat hipoalbuminemia, yang mengindikasikan adanya gangguan respon sintesis. Hal ini juga terjadi pada pasien sindrom nefrotik, penurunan tekanan onkotik tidak mampu untukmeningkatkan laju sintesis albumin di hati sejauh mengembalikan konsentrasi plasma albumin.Ada juga bukti pada subjek yang normal bahwa albumin interstisial hepar mengatur sintesis albumin. Oleh karena pada sindrom nefrotik pool albumin interstisial hepar tidak habis, respon sintesis albumin normal dan naik dengan jumlah sedikit, tetapi tidak mencapai level yang adekuat. Asupan diet protein berkontribusi pada sintesis albumin.Sintesis mRNA albumin hepar dan albumin tidak meningkat pada tikus ketika diberikan diet rendah protein, tetapi sebaliknya, meningkat pada tikus yang diberikan diet tinggi protein.Meskipun begitu, level albumin serum tidak mengalami perubahan karena hiperfiltrasi yang dihasilkan dari peningkatan konsumsi protein menyebabkan peningkatan albuminuria. Kontribusi katabolisme albumin ginjal pada hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik masih merupakan hal yang kontroversial. Dalam penelitian terdahulu dikemukakan bahwa kapasitas transportasi albumin tubulus ginjal telah mengalami saturasi pada level albumin terfiltrasi yang fisiologis dan dengan peningkatan protein yang terfiltrasi yang hanya diekskresikan dalam urin, bukan diserap dan dikatabolisme. Penelitian pada perfusi tubulus proksimal yang diisolasi pada kelinci membuktikan sebuah sistem transportasi ganda untuk uptake albumin. Sebuah sistem kapasitas rendah yang telah mengalami saturasi pada muatan protein yang berlebih, tetapi masih dalam level fisiologis, terdapat pula sebuah sistem kapasitas tinggi dengan afinitas yang rendah, memungkinkan tingkat penyerapan tubular untuk albumin meningkat karena beban yang disaring naik. Dengan demikian, peningkatan tingkat fraksi katabolik dapat terjadi pada sindrom nefrotik.2 41
Hipotesis ini didukung oleh adanya korelasi positif di antara katabolisme fraksi albumin dan albuminuria pada tikus dengan puromycin aminonucleoside PAN yang diinduksi hingga nefrosis.14 Namun, karena simpanan total albumin tubuh menurun dalam jumlah banyak pada sindrom nefrotik, laju katabolik absolut mungkin normal atau bahkan kurang. Hal ini berpengaruh pada status nutrisi, sebagaimana dibuktikan oleh fakta bahwa katabolisme albumin absolut berkurang pada tikus nefrotik dengan diet protein rendah, tetapi tidak pada asupan diet protein normal. Jadi cukup jelas bahwa hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik merupakan akibat dari perubahan multipel pada homeostasis albumin yang tidak dapat dikompensasi dengan baik oleh adanya sintesis albumin hepar dan penurunan katabolisme albumin tubulus ginjal.
3) Edema Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang timbulnya edema pada sindrom nefrotik. Underfilled theory merupakan teori klasik tentang pembentukan edema. Teori ini berisi bahwa adanya edema disebabkan oleh menurunnya tekanan onkotik intravaskuler dan menyebabkan cairan merembes ke ruang interstisial. Adanya peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus menyebabkan albumin keluar sehingga terjadi albuminuria dan hipoalbuminemia.Sebagaimana diketahui bahwa salah satu fungsi vital dari albumin adalah sebagai penentu tekanan onkotik. Maka kondisi hipoalbuminemia ini menyebabkan tekanan onkotik koloid plasma intravaskular menurun. Sebagai akibatnya, cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruang intravaskular ke ruang interstisial kemudian timbul edema.6
Kelainan glomerulus ↓ Albuminuria ↓ Hipoalbuminemia ↓ Tekanan onkotik koloid plasma ↓ ↓ Volume plasma ↑ ↓ 42
Retensi Na Renal sekunder ↑ ↓ Edema Gambar 1. Teori underfilled
Menurut teori lain yaitu teori overfilled, retensi natrium renal dan air tidak bergantung pada stimulasi sistemik perifer tetapi pada albuminuria hipoalbuminemia mekanisme intrarenal primer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Overfilling dapat menerangkan volume plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron rendah sebagai akibat hipervolemia. Cairan ke dalam ruang interstisial menyebabkan terbentuknya edema.10
Kelainan glomerulus ↓ Retensi Na renal primer ↓ Volume plasma ↑ ↓ Edema Gambar 2. Teori overfilled 4) Hiperkolesterolemia Hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum meningkat pada sindrom nefrosis. Hal ini dapat dijelaskan dengan penjelasan antara lain yaitu adanya kondisi hipoproteinemia yang merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, termasuk lipoprotein. Selain itu katabolisme lemak menurun karena terdapat penurunan kadar lipoprotein lipase plasma, sistem enzim utama yang mengambil lemak dari plasma.3
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang untuk mendukung diagnosis sindrom nefrotik, antara lain8 : 43
1) Urinalisis dan bila perlu biakan urin Biakan urin dilakukan apabila terdapat gejala klinik yang mengarah pada infeksi saluran kemih (ISK). 2) Protein urin kuantitatif Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari. 3) Pemeriksaan darah - Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit, hematokrit, LED) - Albumin dan kolesterol serum - Ureum, kreatinin, dan klirens kreatinin Pengukuran dapat dilakukan dengan cara klasik ataupun dengan rumus Schwartz. Rumus Schwartz digunakan untuk memperkirakan laju filtrasi glomerulus (LFG).5 eLFG = k x L/Scr eLFG :estimated LFG (ml/menit/1,73 m2) L : tinggi badan (cm) Scr : serum kreatinin (mg/dL) k : konstanta (bayi aterm:0,45; anak dan remaja putri:0,55; remaja putra:0,7) - Kadar komplemen C3 Apabila terdapat kecurigaan lupus erimatosus sistemik, pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-DNA.
2.1.7 Komplikasi Komplikasi mayor dari sindrom nefrotik adalah infeksi. Anak dengan sindrom nefrotik yang relaps mempunyai kerentanan yang lebih tinggi untuk menderita infeksi bakterial karena hilangnya imunoglobulin dan faktor B properdin melalui urin, kecacatan sel yang dimediasi imunitas, terapi imuosupresif, malnutrisi, dan edema atau ascites. Spontaneus bacterial peritonitis adalah infeksi yang biasa terjadi, walaupun sepsis, pneumonia, selulitis, dan infeksi traktus urinarius mungkin terjadi. Meskipun Streptococcus pneumonia merupakan organisme tersering penyebab peritonitis, bakteri gram negatif seperti Escherichia coli, mungkin juga ditemukan sebagai penyebab.4 44
2.1.8 Penatalaksanaan umum Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan berikut : 1) Pengukuran berat badan dan tinggi badan 2) Pengukuran tekanan darah 3) Pemeriksaan fisik Pemeriksaan dilakukan untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti lupus eritematosus sistemik dan purpura Henoch-Schonlein 4) Pencarian fokus infeksi Sebelum melakukan terapi dengan steroid perlu dilakukan eradikasi pada setiap infeksi, seperti infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun infeksi karena kecacingan. 5) Pemeriksaan uji Mantoux Apabila hasil uji Mantoux positif perlu diberikan profilaksis dengan isoniazid (INH) selama 6 bulan bersama steroid dan apabila ditemukan tuberkulosis diberikan obat antituberkulosis (OAT). Diitetik Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema. Diuretik Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah.
45
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), bia-sanya terjadi karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/ dL), dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb se-lama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mence-gah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang. Skema pemberian diuretik untuk mengatasi edema tampak pada Gambar 1.
Furosemid 1 – 3 mg/kgbb/hari + spironolakton 2-4 mg/kgbb/hari Respons (-) Berat badan tidak menurun atau tidak ada diuresis dalam 48 jam Dosis furosemid dinaikkan 2 kali lipat (maksimum 4-6 mg/kgbb/hari) Respons (-) Tambahkan hidroklorothiazid 1-2 mg/kgbb/hari Respons (-) Bolus furosemid IV 1-3 mg/kgbb/dosis atau per infus dengan kecepatan 0,1-1 mg/kgbb/jam Respons (-) Albumin 20% 1g/kgbb intravena diikuti dengan furosemid intravena Gambar 1. Algoritma pemberian diuretik 2.1.9 Pengobatan kortikosteroid 1) Terapi inisial
46
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalahdiberikan prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/ hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh ( full dose ) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.
2) Pengobatan sindrom nefrotik relaps Pada pasien sindrom nefrotik relaps diberikan pengobatan prednison dosis penuh hingga terjadi remisi (maksimal 4 minggu) dan dilanjutkan dengan pemberian dosis alternating selama 4 minggu. Apabila pasien terjadi remisi tetapi terjadi proteinuria lebih dari sama dengan positif 2 dan tanpa edema, terlebih dahulu dicari penyebab timbulnya proteinuria, yang biasanya disebabkan oleh karena infeksi saluran nafas atas, sebelum diberikan prednison. Apabila ditemukan infeksi, diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian protenuria menghilang maka pengobatan relaps tidak perlu diberikan. Namun, apabila terjadi proteinuria sejak awal yang disertai dengan edema, diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan diberikan prednison pada pasien.
47
c. Pengobatan dengan sitostatika d. Pengobatan dengan siklosporin atau mikofenolat mofetil (opsi terakhir) Perlu dicari pula adanya fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi, radang telinga tengah atau kecacingan. Penjelasan mengenai empat opsi di atas adalah sebagai berikut : a. Steroid jangka panjang Untuk pengobatan sindrom nefrotik relaps sering atau dependen steroid pada anak, setelah remisi dengan prednison dosis penuh, pengobatan dilanjutkan dengan pemberian steroid dosis 1,5 mg/kgBB secara alternating. Dosis lalu diturunkan perlahan atau secara bertahap 0,2 mg/kgBB setiap 2 minggu hingga dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/kgBB alternating. Dosis tersebut merupakan dosis threshold dan dapat dipertahankan selama 6-12 bulan. Setelah pemberian 6-12 bulan, lalu dicoba untuk dihentikan. Pada anak usia sekolah umumnya dapat menoleransi prednison dengan dosis 0,5 mg/kgBB dan pada anak usia pra sekolah dapat menoleransi hingga dosis 1 mg/kgBB secara alternating. Apabila pada prednison dosis 0,1-0,5 mg/kgBB alternating terjadi relaps, terapi diberikan dengan dosis 1 mg/kgBB dalam dosis terbagi diberikan setiap hari hingga remisi. Apabila telah remisi dosis prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgBB
48
secara alternating. Setiap 2 minggu diturunkan 0,2 mg/kgBB hingga satu tahap (0,2 mg/kgBB) di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya. Apabila pada dosis prednison rumatan > 0,5 mg/kgBB alternating terjadi relaps tetapi pada dosis < 1,0 mg/kgBB alternating tidak menimbulkan efek samping yang berat maka dapat diikombinasikan dengan levamisol dengan selang satu hari 2,5 mg/kgBB selama 4-12 bulan atau dapat langsung diberikan siklofosfamid. Pemberian siklofosamid (2-3 mg/kgBB/hari) selama 8-12 minggu, apabila pada keadaan berikut : - Relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgBB alternating, atau - dosis rumat < 1 mg/kgBB tetapi disertai : efek samping steroid yang berat pernah relaps dengan gejala yang berat, yaitu hipovolemia, trombosis, dan sepsis.
49
b. Levamisol Peran levamisol sebagai steroid sparing agent terbukti efektif.18 Dosis yang diberikan yaitu 2,5 mg/kgBB dosis tunggal, dengan selang satu hari dalam waktu 4-12 bulan. Levamisol mempunyai efek samping antara lain mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic rash, dan neutropenia yang reversibel. c. Sitostatika Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil. Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/ hari dalam dosis tunggal (Gambar 5), maupun secara intravena atau puls (Gambar 6). CPA puls diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/ m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan). Efek samping CPA adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin, leukosit, trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit <3000/uL, hemoglobin <8 g/dL, hitung trombosit <100.000/uL, obat dihentikan sementara dan diteruskan kembali setelah leukosit >5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, trombosit >100.000/uL.12
Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total kumulatif mencapai ≥200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral se-lama 3 bulan mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak. Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 – 0,3 mg/kg bb/hari selama 8 minggu. Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek toksik berupa kejang dan infeksi.12
d. Siklosporin (CyA) Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgbb/hari (100 -150 mg/m2 LPB). Dosis tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin darah berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen steroid, CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan, biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek samping dan pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada bagian penjelasan SN resisten steroid.13
e. Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF)
50
Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau sitostatik dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 – 1200 mg/m2 LPB atau 2530 mg/kgbb bersamaan dengan penurunan dosis steroid selama 12 - 24 bulan. Efek samping MMF adalah nyeri abdomen, diare, leukopenia. Ringkasan Tata Laksana anak dengan SN relaps sering atau dependen steroid dapat dilihat pada Gambar 6.
4)
Pengobatan sindrom nefrotik dengan kontraindikasi steroid Apabila terdapat geajala atau tanda yang menjadi kontraindikasi steroid, seperti tekanan darah tinggi, peningkatan ureum, dan atau kreatinin, infeksi berat, dapat diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA puls.Pemberian siklofosfamid per oral diberikan dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari dosis tunggal. Untuk pemberian CPA puls dosisnya adalah 500-750 mg/m2LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCl 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan dalam 7 dosis dengan interval 1 bulan. 51
5) Pengobatan sindrom nefrotik resisten steroid Sampai saat ini belum ditemukan pengobatan SN resisten steroid yang memuaskan.Sebelum dimulai pengobatan pada SN resisten steroid sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi. Hal ini karena gambaran patologi anatomi akan mempengaruhi prognosis. Pengobatan pada SNRS adalah: a. Siklofosfamid (CPA) b. Siklosporin (CyA) c. Metilprednisolon puls PEMBERIAN OBAT NON-IMUNOSUPRESIF UNTUK MEN-GURANGI PROTEINURIA Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin receptor blocker (ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria. Cara kerja kedua obat ini dalam menurunkan ekskresi protein di urin melalui penurunan tekanan hidrostatik dan mengubah permeabilitas glomerulus. ACEI juga mempunyai efek renoprotektor melalui penurunan sintesis transforming growth factor (TGF)-β1 dan plasminogen activator inhibitor (PAI)-1, keduanya merupakan sitokin penting yang berperan dalam terjadinya glomerulosklerosis. Pada SNSS relaps, kadar TGF-β1 urin sama tinggi dengan kadarnya pada SNRS, berarti anak dengan SNSS relaps sering maupun dependen steroid mempunyai risiko untuk terjadi glomerulosklerosis yang sama dengan SNRS.23 Dalam kepustakaan dilaporkan bahwa pemberian kombinasi ACEI dan ARB memberikan hasil penurunan proteinuria lebih banyak. Pada anak dengan SNSS relaps sering, dependen steroid dan SNRS dianjurkan untuk diberikan ACEI saja atau dikombinasikan dengan ARB, bersamaan dengan steroid atau imunosupresan lain. Jenis obat ini yang bisa digunakan adalah:
1. Golongan ACEI: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari, enalapril 0.5 mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis,26 lisinopril 0,1 mg/ kgbb dosis tunggal 2. Golongan ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal
52
Skema Lata Laksana Sindrom Nefrotik selengkapnya seperti terlihat pada Gambar 8.
2.1.10 Tatalaksana Komplikasi Sindrom Nefrotik 1) Infeksi Pasien sindrom nefrotik sangat rentan terhadap infeksi, bila terdapat infeksi perlu segera diobati dengan pemberian antibiotik. Infeksi yang terutama adalah selulitis dan peritonitis primer. Bila terjadi peritonitis primer (biasanya disebabkan oleh kuman Gram negatif dan Streptococcus pneumoniae) perlu diberikan pengobatan penisilin parenteral dikombinasi dengan sefalosporin generasi ketiga yaitu sefotaksim atau seftriakson selama 10-14 hari. Infeksi lain yang sering ditemukan pada anak dengan SN adalah pnemonia dan infeksi saluran napas atas karena virus.14 Pada orangtua dipesankan untuk menghindari kontak dengan pasien varisela. Bila terjadi kontak diberikan profilaksis dengan imu-noglobulin varicella-zoster, dalam waktu kurang dari 96 jam. Bila tidak memungkinkan dapat diberikan suntikan dosis tunggal imunoglobulin intravena (400mg/kgbb). Bila sudah terjadi infeksi perlu diberi obat asiklovir intravena (1500 mg/m2/hari dibagi 3 dosis) atau asiklovir oral
53
dengan dosis 80 mg/kgbb/hari dibagi 4 dosis selama 7 – 10 hari,9 dan pengobatan steroid sebaiknya dihentikan sementara.14 2) Trombosis Terdapat suatu penelitian prospektif dengan hasil 15% pasien SN relaps terdapat defek ventilasi-perfusi pada pemeriksaan skintigrafi yang berarti terdapat trombosis pembuluh vaskular paru yang asimtomatik. Pemeriksaan fisik dan radiologis perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis trombosis.Apabila telah ada diagnosis trombosis, perlu diberikan heparin secara subkutan, dilanjutkan dengan warfarin selama 6 bulan atau lebih. Saat ini tidak dianjurkan pencegahan tromboemboli dengan pemberian aspirin dosis rendah. 15 3) Hiperlipidemia Kadar LDL, VLDL, trigliserida, dan lipoprotein meningkat pada sindrom nefrotik relaps atau resisten steroid, tetapi kadar HDL menurun atau normal. Kadar kolesterol yang meningkat tersebut mempunya sifat aterogenik dan trombogenik.Hal ini
dapat
meningkatkan
morbiditas
kardiovaskular
dan
progresivitas
glomerulosklerosis. Untuk itu perlu dilakukan diet rendah lemak jenuh dan mempertahankan berat badan normal. Pemberian obat penurun lipid seperti HmgCoA reductase inhibitor (contohnya statin) dapat dipertimbangkan.16 Peningkatan kadar LDL, VLDL, trigliserida, dan lipoprotein pada sindrom nefrotik sensitif steroid bersifat sementara sehingga penatalaksanaannya cukup dengan mengurangi diet lemak.17 4) Hipokalsemia Hipokalsemia pada sindrom nefrotik dapat terjadi karena : - Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis dan osteopenia - Kebocoran metabolit vitamin D Untuk menjaga keseimbangan jumlah kalsium maka pada pasien SN dengan terapi steroid jangka lama (lebih dari 3 bulan) sebaiknya diberikan suplementasi kalsium 250-500 mg/hari dan vitamin D (125-250 IU).22 Apabila telah ada tetani perlu diberikan kalsium glukonas 10% sebanyak 0,5 ml/kgBB intravena. 5) Hipovolemia Hipovolemia dapat terjadi akibat pemberian diuretik yang berlebihan atau pasien dengan keadaan SN relaps. Gejala-gejalanya antara lain hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin, dan sering juga disertai sakit perut. Penanganannya pasien diberi infus NaCl fisiologis dengan cepat sebanyak 15-20 mL/kgBB dalam 20-30 menit, dan 54
disusul dengan albumin 1 g/kgBB atau plasma 20 mL/kgBB (tetesan lambat 10 tetes per menit). Pada kasus hipovolemia yang telah teratasi tetapi pasien tetap oliguria, perlu diberikan furosemid 1-2 mg/kgBB intravena. 6) Hipertensi Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam perjalanan penyakit SN akibat dari toksisitas steroid. Untuk pengobatanya diawali dengan ACE (angiotensin converting enzyme) inhibitor, ARB (angiotensin receptor blocker), calcium chanel blockers, atau antagonis β adrenergik, hingga tekanan darah di bawah persentil 90.15 7) Efek samping steroid Terdapat banyak efek samping yang timbul pada pemberian steroid jangka lama, antara lain peningkatan nafsu makan, gangguan pertumbuhan, perubahan perilaku, peningkatan resiko infeksi, retensi air dan garam, hipertensi, dan demineralisasi tulang. Pemantauan terhadap gejala-gejala cushingoid, pengukuran tekanan darah, pengukuran berat badan dan tinggi badan setiap 6 bulan sekali, dan evaluasi timbulnya katarak setiap tahun sekali pada pasien SN.10
2.1.11 Indikasi Biopsi Ginjal Keadaan di bawah ini merupakan indikasi untuk melakukan biposi ginjal: 1) Pada presentasi awal a. Sindrom nefrotik terjadi pertama kali pada usia< 1 tahun atau lebih dari 16 tahun b. Pada pemeriksaan terdapat tanda hematuria nyata 2) Setelah pengobatan inisial a. Sindrom nefrotik resisten steroid b. Sebelum memulai terapi siklosporin
2.1.12 Indikasi melakukan rujukan kepada ahli nefrologi anak Keadaan di bawah ini merupakan indikasi untuk merujuk pasien kepada ahli nefrologi anak: 1) Awitan sindrom nefrotik pada usia di bawah 1 tahun dan riwayat penyakit sindrom nefrotik di dalam keluarga
55
2) Sindrom nefrotik dengan hipertensi, hematuria nyata persisten, penurunan fungsi ginjal, atau dengan disertai gejala-gejala ekstrarenal, seperti artritis, serositis, atau lesi di kulit 3) Sindrom nefrotik yang disertai komplikasi edema refrakter, trombosis, infeksi berat, dan toksik steroid 4) Sindrom nefrotik resisten steroid 5) Sindrom nefrotik relaps sering atau dependen steroid
2.2 Hipoalbuminemia pada Sindrom Nefrotik Hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik mempunyai karakteristik yaitu hilangnya albumin urin dalam jumlah yang besar dan reduksi pada total exchangeable albumin pool. Laju pecahan katabolisme albumin meningkat pada pasien nefrotik yang kemungkinan disebabkan peningkatan katabolisme albumin oleh ginjal.Namun, tingkat katabolik albumin absolut menurun pada pasien nefrotik.Sintesis albumin dapat meningkat tetapi tidak cukup untuk mempertahankan konsentrasi serum albumin normal atau albumin pool.Augmentasi diet protein pada tikus nefrotik langsung merangsang sintesis albumin dengan meningkatkan konten mRNA albumin di hati, tetapi juga menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap makromolekul.Ketika diet protein dibatasi, laju sintesis albumin tidak meningkat, baik pada pasien nefrotik atau tikus nefrotik, meskipun hipoalbuminemia berat. Meskipun suplemen protein dapat menyebabkan keseimbangan nitrogen, tetapi pemberian suplemen protein saja tidak dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi albumin serum, tetapi sebaliknya dapat menyebabkan deplesi albumin pool yang lebih lanjut karena perubahan yang diinduksi dalam rejeksi glomerulus.
Prognosis Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut : 1. Menderita untuk pertama kalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6 tahun. 2. Disertai oleh hipertensi. 3. Disertai hematuria. 4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder. 5. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal. 56
Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi respons yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan steroid.11
57
DAFTAR PUSTAKA
1. Chesney RW, 1999. The idiopathic nephrotic syndrome. Curr Opin Pediatr 11 : 158-61. 2. International Study of Kidney Disease in Children, 1978. Nephrotic syndrome in children. Prediction of histopathology from clinical and laboratory chracteristics at time of diagnosis. Kidney Int 13 : 159. 3. Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI pp. 381-426. 4. Feehally J, Johnson RJ, 2000. Introduction to Glomerular Disease : Clinical Presentations. In : Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive Clinical Nephrology. London : Mosby; p. 5 : 21.1-4. 5. Wila Wirya IGN, 1992. Penelitian beberapa aspek klinis dan patologi anatomis sindrom nefrotik primer pada anak di Jakarta. Disertasi. Jakarta : Universitas Indonesia, 14 Oktober. 6. Noer MS, 1997. Sindrom Nefrotik. In: Putra ST, Suharto, Soewandojo E, editors. Patofisiologi Kedokteran. Surabaya : GRAMIK FK Universitas Airlanggap. 137-46. 7. A Report of the International Study of Kidney Disease in Children, 1981. The primary nephrotic syndrome in children : Identification of patients with minimal change nephrotic syndrome from initial response to prednison. J Pediatr 98 : 561. 8. Kaysen GA, 1992. Proteinuria and the nephrotic syndrome. In : Schrier RW, editor. Renal and electrolyte disorders. 4th edition. Boston : Little, Brown and Company pp. 681-726. 9. Travis L, 2002. Nephrotic syndrome. Emed J [on line] 2002, 3 : 3 [2002 Mar 18]
[(20)
:
screens].
Available
from:
URL:http//www.emedicine.com/PED/topic1564.htm on September 16, 2002 at 08.57. 10. Niaudet P, 2000. Treatment of idiopathic nephrotic syndrome in children. Up To Date 2000; 8.
58
11. Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI pp. 381-426. 12. Latta K, von Schnakenburg C, Ehrich JH. A meta-analysis of cytotoxic treatment for frequently relapsing nephrotic syndrome in children. Pediatr Nephrol 2001;16:271-82. 13. Niaudet P, Habib R. Cyclosporin in the treatment of idiopatic nephrosis. J Am Soc Nephrol 1994;5:1049. 14. Morani KN, Khan KM, Ramzan A. Infection in children with nephrotic syndrome. J Coll Phycisian Surg Pak 2003;13:337-9. 15. Indian Pediatric Nephrology Group, Indian Academy of Pediatrics. Consensus statement on management of steroid sensitive nephrotic syndrome. Indian Pediatr 2001;38:975-86. 16. Bagga A, Hari P, Moudgil A, Jordan SC. Mycophenolate mofetil and prednisolone therapy in children with steroid-dependent nephrotic syndrome. Am J Kidney Dis 2003;42:1114-20. 17. Bajpai A, Bagga A, Hari P, Dinda A, Srivastava RN. Intravenous cyclophosphamide in steroid-resistant nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol 2003;18:351-6.
59