STATUS PASIEN LAPORAN KASUS KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL Nama : Enel Rizka Aulia
Pembimbing : dr. Raden Setiyadi, Sp.A
NIM
Tanda tangan :
: 030.13.068
A. IDENTITAS PASIEN DATA
PASIEN
AYAH
IBU
Nama
An N
Tn T
Ny F
Umur
5 tahun
31 tahun
31 tahun
Jenis Kelamin
Laki-laki
Laki-laki
Perempuan
Alamat
Jl. Brawijaya RT01/RW01 Muarareja Tegal Barat
Agama
Islam
Islam
Islam
Suku Bangsa
Jawa
Jawa
Jawa
Pendidikan
-
SMA
SMA
Pekerjaan
-
Pedagang
Pegawai bank
Penghasilan
-
Rp 700.000,00
Rp 1.500.000,00
Keterangan
Hubungan pasien dengan orang tua adalah anak kandung
Asuransi
BPJS NON-PBI
No. RM
910829
1
B. ANAMNESIS Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis terhadap ibu kandung pasien pada tanggal 28 Maret 2018 pukul 11.15 WIB, di bangsal Wijayakusuma RSU Kardinah Tegal.
Keluhan Utama: Demam >2 minggu
Keluhan tambahan : BAB cair, muntah, nyeri perut
Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke IGD RSU Kardinah pada hari Kamis 26 Maret 2018 pukul 20.40 WIB diantar oleh orangtua dengan keluhan demam >2 minggu yang tidak kunjung membaik. Demam naik turun yang biasanya meningkat pada sore-malam hari dan membaik pada pagi-siang harinya. Selama dua minggu demam ini, keluhan disertai dengan nyeri perut, mual dan muntah. Mual dan muntah dirasakan hampir setiap makan sehingga akhir-akhir ini berat badan turun akibat sulitnya makanan masuk. Tiga hari SMRS, pasien sempat BAB cair sebanyak ±3x/hari, warna cokelat-kuning, BAB masih terdapat ampas, tidak ada lendir atau pun darah. BAK dalam batas normal. Asupan minum baik. Kurang lebih satu minggu terakhir orangtua juga mengatakan os batuk berdahak, dahak dapat dikeluarkan berwarna putih-kuning. Keluhan tidak disertai napas cepat atau sesak napas. Selama keluhan demam dua minggu ini pasien sudah berobat ke puskesmas namun tidak kunjung membaik. Karena tidak puas, maka orangtua membawa pasien berobat ke klinik praktek dokter umum, yang kemudian diberi anjuran untuk segera dibawa ke rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut.
Riwayat Penyakit Dahulu Pasien belum pernah mengeluh seperti ini sebelumnya. Keluhan sakit demam biasanya segera sembuh apabila hanya dibawa ke dokter setempat. Pasien belum pernah dirawat sebelumnya. 2
Riwayat Pengobatan Pasien sudah pernah berobat ke puskesmas setempat sebelumnnya namun demam tidak kunjung membaik. Orangtua tidak ingat obat apa saja yang sudah diberikan dari puskesmas. Kemudian pasien ke prakter dokter umum karena keluarga tidak puas dengan obat dari puskesmas. Anjuran dari dokter umum adalah pasien segera dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan perawatan lebih lanjut.
Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan sama atau pun riwayat penyakit darah tinggi, DM, paru, riwayat pengobatan batuk lama / TBC, riwayat kejang. Ayah pasien merokok.
Riwayat Lingkungan Perumahan Pasien tinggal di rumah milik sendiri . Rumah tersebut berukuran ±15 x 10 m2, memiliki 2 kamar tidur dengan 1 kamar mandi dan 1 dapur, beratap genteng, berlantai keramik, berdinding tembok, memiliki 4 jendela dan 2 pintu. Di rumah tersebut tinggal kedua orang tua pasien, pasien, dan satu adik perempuan pasien. Rumah selalu dibersihkan setiap hari dengan disapu dan dipel. Cahaya matahari dapat masuk ke dalam rumah, lampu tidak dinyalakan pada siang hari. Jarak septic tank dengan wc ± 15 m. Kesan: Keadaan lingkungan rumah, sanitasi, dan pencahayaan baik, ventilasi baik.
Riwayat Sosial Ekonomi Ayah pasien berprofesi sebagai pegawai bank dengan penghasilan rata rata ± Rp 1.500.000,- per bulan. Ibu pasien berprofesi sebagai pedagang warung dengan penghasilan kurang lebih Rp 700.000,- per bulan. Penghasilan tersebut menanggung hidup 4 orang, kedua orang tua pasien, pasien dan kedua kakak pasien. Kesan: Riwayat sosial ekonomi kurang. 3
Riwayat Kehamilan dan Pemeriksaan Prenatal Morbiditas
HT (-), DM (-), Peny.jantung (-), Peny. Paru (-
kehamilan
), Anemia (-), Infeksi (-) Selama awal kehamilan ibu pasien menjalani ANC rutin di puskesmas dekat rumah +15 kali ( 2 kali per bulan) sampai menjelang masa persalinan.
Kehamilan
Riwayat
imunisasi
TT
(+),
konsumsi suplemen selama selama kehamilan Perawatan antenatal
(+). Ibu tidak pernah mengonsumsi jamu selama
hamil,
mengonsumsi
tidak
merokok,
alkohol,
tidak
tidak pernah
mengalami demam, sesak, muntah-muntah atau penyakit lain selama kehamilan. Tempat persalinan Penolong persalinan Cara persalinan Masa gestasi
Rumah bersalin Bidan Spontan per vaginam 38 minggu Berat lahir : 2800 gr Panjang lahir: 45 sentimeter
Kelahiran
Lingkar kepala: ibu pasien tidak ingat Keadaan bayi
Lingkar dada : ibu pasien tidak ingat Keadaan lahir : langsung menangis kuat,tidak pucat dan tidak biru Air ketuban : jernih Kelainan bawaan : -
Suntik Vit. K
Ibu pasien tidak tahu
Riwayat morbiditas/penyulit kehamilan tidak ada, perawatan antenatal cukup baik, neonates preterm, lahir spontan, bayi dalam keadaan bugar.
4
Riwayat Pemeliharaan Postnatal Pemeliharaan setelah kelahiran dilakukan di Poli Anak RSUD Kardinah sebulan sekali dan anak dalam keadaan sehat.
Corak Reproduksi Ibu Ibu P2A0, Anak pertama adalah pasien berjenis kelamin laki-laki, berusia 5 tahun, anak kedua adalah seorang perempuan berusia 2 tahun, hidup dan sehat. Usia ibu pasien saat hamil pasien adalah 26 tahun.
Riwayat Keluarga Berencana Ibu pasien mengaku memakai IUD.
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak o Pertumbuhan : Berat badan lahir anak 2800 gram, panjang badan 45 cm dengan berat badan sekarang 20 kg, tinggi badan sekarang 112 cm. o Perkembangan : Pertumbuhan gigi pertama : 6 bulan Motorik Kasar o Tengkurap
: 4 bulan
o Duduk tanpa bantuan : 6 bulan
o Berdiri
: 9 bulan
o Berjalan
: 12 bulan
o Mengucapkan kata
: 14 bulan
Riwayat Makan dan Minum o Pasien menerima ASI Eksklusif sampai usia 6 bulan. o Usia 6 bulan pasien mulai mengkonsumsi bubur bayi, susu formula, dan masih ASI sampai usia 12 bulan.
5
Riwayat Imunisasi VAKSIN
DASAR (umur)
BCG
1 bulan
-
-
-
-
2 bulan
3 bulan
4 bulan
18 bulan
0 bulan
2 bulan
3 bulan
4 bulan
18 bulan
-
-
-
9 bulan
Lahir
1 bulan
6 bulan
-
DTP/ DT POLIO CAMPAK HEPATITIS B
Kesan : Pasien sudah dilakukan imunisasi dasar dan ulangan BCG, DTP, Polio, dan Hepatitis B.
Silsilah Keluarga
= Laki-laki = Perempuan = Ayah pasien = Ibu pasien = Pasien
Pasien merupakan anak pertama dari dua bersaudara
Ayah pasien merupakan anak ke-5 dari 5 bersaudara
Ibu pasien merupakan anak pertama dari 3 bersaudara
6
C. PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 28 Maret 2018, pukul 12.00 WIB, di Bangsal Wijayakusuma RSU Kardinah.
I. Keadaan Umum Compos mentis, tampak lemah.
II. Tanda Vital Tekanan darah
: 110/70 mmHg
Nadi
: 92 x/menit reguler, kuat, isi cukup
Laju nafas
: 24 x/menit reguler
Suhu
: 37.4oC, Axilla
III. Data Antropometri Berat badan sekarang
: 20 kg
Tinggi badan sekarang
: 112 cm
Lingkar kepala sekarang
: 50 cm
IV. Status Internus Kepala : Normosefali Rambut
: Hitam, tidak mudah dicabut
Mata
: Conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung
: Bentuk normal, deformitas (-), deviasi (-), sekret (-/-), napas cuping hidung (-)
Telinga
: Normotia, discharge (-/-)
Mulut
: Bibir kering(+), bibir sianosis(-), stomatitis (-), labioschizi(-), palatochizis (-), lidah tampak kotor (+) typhoid tounge (?)
Leher
: Simetris, tidak terdapat pembesaran KGB
Thorax
: Dinding thorax normothorax dan simetris
o Paru :
7
Inspeksi : Bentuk dada simetris kanan – kiri. Strenum dan iga normal. Gerak napas simetris, tidak ada hemithotax yang tertinggal. Palpasi : Simetris, tidak ada yang tertinggal Perkusi : tidak dilakukan Auskultasi : Suara nafas vesikuler(+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-), suara hantaran (+/+) o Cor : Inspeksi
: Ictus cordis tidak tampak.
Palpasi
: Ictus cordis teraba di ICS IV midklavikula sinistra.
Perkusi
: Tidak dilakukan pemeriksaan
Auskultasi
: Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Inspeksi : Datar, simetris Auskultasi : Bising usus ↑ (+) Palpasi : Supel, distensi (-), turgor kembali < 2 detik, hepar dan lien tidak teraba, asites (-), nyeri tekan regio epigastric. Perkusi : timpani di 4 kuadran Vertebra : tidak ada kelainan Genitalia : tidak ada kelainan, jenis kelamin laki-laki Anorektal : tidak ada kelainan Ekstremitas: Keempat ekstrimitas lengkap, simetris Superior
Inferior
Akral Dingin
-/-
-/-
Akral Sianosis
-/-
-/-
CRT
<2”
<2”
8
Oedem
-/-
-/-
Tonus Otot
Normotonus
Normotonus
Trofi Otot
Normotrofi
Normotrofi
Ref. Fisiologis
+
+
Ref. Patologis
-
-
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium Darah
Pemeriksaan
Hasil (26/03/2018) (31/03/2018) (01/04/2018)
Satuan
Nilai Rujukan
10.1 (L)
10.0 (L)
9.1 (L)
g/dl
11.2 – 15.7
7.4
6.7
6.8
103/µl
4.4 – 11.3
Hematokrit
30.9 (L)
29.1 (L)
27.2 (L)
%
37 – 47
Trombosit
196
102 (L)
125 (L)
103/µl
150 – 521
Eritrosit
4.1
4.1
3.7 (L)
106/µl
4.1 – 5.1
RDW
13.9
14.1
14.4
%
11.5 – 14.5
MCV
74.8
71.1
72.7
U
80 – 96
MCH
32.5
24.4
24.3
Pcg
28 – 33
MCHC
32.7
24.4
33.5
g/dL
26 – 34
Hemoglobin Leukosit
Diff count Neutrofil
53.2
%
50 – 70
Limfosit
38.6
%
25 – 40
Monosit
7.8
%
2–8
Eosinofil
0 (L)
%
2–4
0.3
%
0–1
Basofil Sero Imunologi WIDAL St-O
PO3 1/320
Negatif
St-H
PO3 1/320
Negatif
S pt-AH
PO3 1/80
Negatif
9
Urinalisis (27/03/2018)
PEMERIKSAAN
HASIL
SATUAN
NILAI RUJUKAN
Urinalisis Laboratorium Makroskopis Warna
Kuning
Kuning
Kekeruhan
Jernih
Jernih
Kimia Urin pH Protein
6.5
6.0 – 9.0
POS (1+)
Negatif,
+-/0.15,
+1/0.03,
+2/1.00, +4/10.0 Reduksi
Negatif
Negatif
Mikroskopis (sedimen) Eritrosit
1-2
/lpb
+1/<4, +2/5-9, +3/10-29, +4/
Lekosit
1-2
/lpb
+1/<4, +2/5-9, +3/10-29, +4/
Epitel
POS (1+)
Silinder
Negatif
Bakteri
Negatif
Kristal
Amorf
Jamur
Negatif
+1/<4, +2/5-9, +3/10-29, +4/
Negatif
Negatif
KHUSUS Berat Jenis
1.015
1.005 – 1.030
Bilirubin
Negatif
Negatif
Urobilinogen
Negatif
Negatif
Keton
2+
Negatif
Nitrit
Negatif
Negatif
Eritrosit
Negatif
Negatif
Lekosit
Negatif
Negatif
10
Foto Thorax AP/Lateral (29/03/2018)
Apex pulmo tenang
Infiltrate peribronkial (+)
COR CTR < 0.56
KESAN: Bronchitis
11
E. PEMERIKSAAN KHUSUS a. Data antropometri Anak laki-laki usia 5 tahun Berat badan sekarang
: 20 kg
Tinggi badan sekarang
: 112 cm
Lingkar kepala sekarang
: 50 cm
b. Pemeriksaan Status Gizi (curva WHO)
Kesan: Berat badan normal
Kesan: Perawakan normal
12
Kesan: Gizi baik
c. Pemeriksaan Lingkar Kepala (Kurva Nellhaus)
Kesan : Normocephali
13
F. RESUME Pasien datang ke IGD pada hari Kamis, 26 Maret 2018 pukul 20.40 WIB diantar oleh orangtuanya dengan demam >2 minggu, meningkat pada sore-malam hari. Keluhan disertai nyeri perut, mual, muntah, BAB cair tanpa darah dan lendir, juga batuk berdahak ±1 minggu, tidak sesak. Sudah berobat ke puskesmas dan dokter klinik namun belum ada perbaikan. Pada pemeriksaan fisik tanggal 28 Maret 2018 didapatkan keadaan umum compos mentis, tampak lemah, dengan tekanan darah 110/70mmHg, denyut jantung 92x/m, pernafasan 24x/m, suhu 37,4˚C, lidah tampak kotor, terdengar suara hantaran di kedua lapang paru, peningkatan bising usus, dan nyeri tekan di sekitar regio epigastrik. Status antropometri dan status gizi pasien normal. Pemeriksaan laboratorium yang didapatkan dari darah rutin adalah Hb, hematokrit rendah, dan terdapat peningkatan titer O, H, dan AH. Kesan foto thorax menunjukkan bronchitis.
G. DAFTAR MASALAH
Demam >2 minggu, meningkat pada sore-malam hari
Nyeri perut, mual, muntah, BAB cair
Batuk berdahak 1 minggu, tidak sesak.
H. DIAGNOSIS BANDING Demam >2 minggu, meningkat pada soremalam hari Batuk berdahak 1 minggu, tidak sesak, suara hantaran (+/+). Status gizi
Demam typhoid Gastroenteritis Demam dengue Bronkhitis Asthma Bronkiolitis Bronkopneumonia Baik Kurang Buruk
14
I. DIAGNOSIS KERJA -
Demam typhoid
-
Bronkhitis akut
-
Gizi Baik
J. PENATALAKSANAAN a. Non medikamentosa
Monitor tanda vital dan keadaan umum
Edukasi: •
Menjelaskan kepada keluarga tentang penyakit pasien, pengobatan, dan komplikasi yang mungkin dapat terjadi.
•
Mencari faktor pencetus dan menghindarinya.
•
Menjelaskan kepada keluarga bagaimana agar pasien tidak terkena penyakit serupa.
b. Medikamentosa •
O2 nasal 2 L
•
Infus Kaen-3A 15 tpm
•
Inj. Ceftriaxone 2 x 800 mg
•
Inj. Kloramfenikol 3 x 500 mg
•
Inj. Paracetamol 4 x 200 mg
•
Inj. Ondansetron 3 x ½ amp
•
Inj. Ranitidin 2 x ½ amp
•
P.O: • Ambroxol 3 x 1 Cth • Zinc 1 x 20 mg
K. PROGNOSIS Quo ad vitam
: Bonam
Quo ad fungsionam
: Bonam
Quo ad sanationam
: Dubia ad malam
L. PEMERIKSAAN ANJURAN
Laboratorium darah ulang. 15
M. PERJALANAN PENYAKIT
S
O
A P
27 Maret 2018 pukul 07.15 WIB Demam tinggi sejak 2 minggu, demam naik turun terutama sore-malam. Batuk (+), sesak (-), mual (+), muntah (+) semalam 1x, BAB cair 1x, ampas (+), lendir (-), darah (-), nafsu makan ↓ KU: CM, tampak lemah TTV: HR 100 x/m, RR 24x/m, S 36.70C, Status generalis: Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-) Abd: nyeri tekan epigastrium (-), BU↑ Ekst: dbn Obs febris dd typhoid fever Bronchitis akut • IVFD Kaen-3A 15 tpm • Inj. Ceftriaxone 2 x 800mg • Inj. Ondansetron 3 x ½ amp • Inj. Paracetamol 4 x 200 mg PO: - Zinc 1 x 20 mg - Ambroxol syr 3 x 1 cth
S
O
A P
28 Maret 2018 pukul 07.20 WIB Demam masih naik turun terutama soremalam. Batuk (+), sesak (-), mual (+), muntah (+) semalam 1x, BAB cair 3x, ampas (+), lendir (-), darah (-), nafsu makan ↓ KU: CM, tampak lemah TTV: HR 98 x/m, RR 26x/m, S 37.00C, Status generalis: Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-) Abd: nyeri tekan epigastrium (+), BU↑ Ekst: dbn Typhoid fever Bronchitis akut • IVFD Kaen-3A 15 tpm • Inj. Ceftriaxone 2 x 800mg • Inj. Ondansetron 3 x ½ amp • Inj. Paracetamol 4 x 200 mg PO: - Zinc 1 x 20 mg - Paracetamol 3 x ½ cth - Ambroxol syr 3 x 1 cth
S
O
A P
29 Maret 2018 pukul 07.00 WIB Demam masih naik turun terutama soremalam. Batuk (+) berkurang, sesak (-), mual (+), muntah (-), BAB cair 1x, ampas (+), lendir (-), darah (-), nafsu makan ↓ perut nyeri (+) KU: CM, tampak lemah TTV: HR 110 x/m, RR 24x/m, S 37.30C, Status generalis: Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-) Abd: nyeri tekan epigastrium (+), BU↑ Ekst: dbn Typhoid fever Bronchitis akut • IVFD Kaen-3A 15 tpm • Inj. Ceftriaxone 2 x 800mg • Inj. Paracetamol 4 x 200 mg • Inj. Ranitidine 2 x ½ amp PO: - Zinc 1 x 20 mg - Paracetamol 3 x ½ cth - Ambroxol syr 3 x 1 cth
16
S
O
A P
30 Maret 2018 pukul 07.15 WIB Demam masih naik turun terutama soremalam. Batuk (+) berkurang, sesak (-), mual (+), muntah (-), BAB cair (-), nafsu makan ↓ perut nyeri (+) berkurang. KU: CM, tampak lemah TTV: HR 98 x/m, RR 26x/m, S 37.00C, Status generalis: Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-) Abd: nyeri tekan epigastrium (+), BU (N) Ekst: dbn Typhoid fever Bronchitis akut • IVFD Kaen-3A 15 tpm • Inj. Ceftriaxone 2 x 800mg • Inj. Paracetamol 4 x 200 mg • Inj. Ranitidine 2 x ½ amp PO: - Zinc 1 x 20 mg - Paracetamol 3 x ½ cth - Ambroxol syr 3 x 1 cth
S
O
A P
31 Maret 2018 pukul 07.20 WIB Demam H-19 masih naik turun terutama sore-malam dari kemarin. Batuk (+) berkurang sesak (-), mual (+), muntah (-), BAB cair (-), nafsu makan ↓ perut nyeri (-) KU: CM TTV: HR 92 x/m, RR 24x/m, S 37.20C, Status generalis: Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-) Abd: nyeri tekan epigastrium (-), BU (N) Ekst: dbn Typhoid fever Bronchitis akut • IVFD Kaen-3A 15 tpm • Inj. Kloramfenikol 3 x 500 mg • Inj. Paracetamol 4 x 200 m • Inj. Ranitidine 2 x ½ amp PO: - Zinc 1 x 20 mg - Paracetamol 3 x ½ cth - Ambroxol syr 3 x 1 cth
S
1 April 2018 pukul 07.00 WIB Demam H-20 sudah membaik. Batuk (+) berkurang, sesak (-), mual (-), muntah (-), BAB cair (-), nafsu makan membaik, perut nyeri (-)
O
KU: CM TTV: HR 88 x/m, RR 20x/m, S 37.00C, Status generalis: Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-) Abd: supel, nyeri tekan (-), BU (n) Ekst: dbn
A
Typhoid fever Bronchitis akut • IVFD Kaen-3A 15 tpm • Inj. Kloramfenikol 3 x 500 mg • Inj. Ranitidine 2 x ½ amp PO: - Zinc 1 x 20 mg - Paracetamol 3 x ½ cth - Ambroxol syr 3 x 1 cth
P
17
S
O
A P
2 April 2018 pukul 07.15 WIB Demam sudah membaik (H-21). Batuk (+) berkurang, sesak (-), mual (-), muntah (-), BAB cair (-), nafsu makan membaik, perut nyeri (-) KU: CM TTV: HR 86 x/m, RR 20x/m, S 36.50C, Status generalis: Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-) Abd: supel, nyeri tekan (-), BU (n) Ekst: dbn Typhoid fever Bronchitis akut • IVFD Kaen-3A 15 tpm • Inj. Kloramfenikol 3 x 500 mg • Inj. Ranitidine 2 x ½ amp PO: - Zinc 1 x 20 mg - Paracetamol 3 x ½ cth - Ambroxol syr 3 x 1 cth
S
O
A P
3 April 2018 pukul 06.50 WIB Demam sudah membaik (H-22). Batuk (+) sudah sangat berkurang, sesak (-), mual (-), muntah (-), BAB cair (-), nafsu makan membaik, perut nyeri (-) KU: CM TTV: HR 95 x/m, RR 24x/m, S 36.40C, Status generalis: Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-) Abd: supel, nyeri tekan (-), BU (n) Ekst: dbn Typhoid fever Bronchitis akut • IVFD Kaen-3A 15 tpm • Inj. Kloramfenikol 3 x 500 mg • Inj. Ranitidine 2 x ½ amp PO: - Zinc 1 x 20 mg - Paracetamol 3 x ½ cth - Ambroxol syr 3 x 1 cth BLPL
18
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Demam Tyfoid
2.1.1 Definisi Penyakit demam tifoid (typhoid fever) yang biasa disebut tifus merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella, khususnya turunannya yaitu Salmonella typhi yang menyerang bagian saluran pencernaan. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah.
2.1.2 Epidemiologi Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai di seluruh dunia, secara luas di daerah tropis dan subtropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar higienis dan sanitasi yang rendah yang mana di Indonesia dijumpai dalam keadaan endemis. Indisens rate di Indonesia masih tinggi yaitu 358 per 100.000 penduduk pedesaan dan 810 per 100.000 penduduk perkotaan per tahun dengan rata-rata kasus per tahun 600.000 – 1.500.000 penderita. Angka kematian demam tifoid di Indonesia masih tinggi dengan CFR sebesar 10%. Tingginya insidens rate penyakit demam tifoid di negara berkembang sangat erat kaitannya dengan status ekonomi serta keadaan sanitasi lingkungan di negara yang bersangkutan.
2.1.3 Etiologi Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatip, tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 600 C) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi. Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu:
Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut
19
juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alcohol.
Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat melindungi kuman terhadap fagositosis. Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.
2.1.4 Patogenesis Bakteri Salmonella (termasuk serotipe Typhi maupun Paratyphi) memasuki tubuh inang melalui rute fekal-oral menuju lokasi infeksi pada usus halus (ileum).14 Pada usus halus pars ileum ini didapatkan kumpulan limfonoduli submukosa yang memperantarai sistem imunologi mukosa dikenal sebagai Plak Peyeri. Port d’entrée bakteri ke dalam tubuh adalah melalui sel Mkifrofold (sel M) yang merupakan struktur khusus pada permukaan Plak Peyeri, berfungsi menyaring antigen yang akan memasuki plak payeri. Penelitian pada subjek sukarelawan didapatkan dosis infeksi (infecting dose) sekitar 105 -106 organisme dengan Salmonella yang ditangkap oleh sel M akan mentranslokasikannya ke basal sel, lokasi dimana makrofag yang merupakan Sel Penyaji Antigen berada. Makrofag akan memfagosit Salmonella untuk dihancurkan dan dikelola antigennya, disajikan pada Sel T helper maupun Sel B spesifik. Salmonella memiliki mekanisme evasi fagositik yang baik, yaitu dengan menggagalkan fusi fagosom dengan lisosom. Bakteri yang survive tersebut akan menggandakan diri dan menginfeksi makrofag-makrofag, dan ikut terbawa ke nodus limfatik mesenterium, dan keluar ke aliran darah menyebabkan bakteremia primer. Setelah itu, Salmonella memasuki organ retikuloendotelial seperti sumsum tulang, hepar dan lien dan bereplikasi kembali di dalam makrofag organ-organ tersebut sehingga terjadi aktivasi jaringan limfoid maupun makrofag, menyebabkan hepatomegali dan splenomegali. Manifestasi klinisnya adalah gejala nyeri perut akibat pendesakan organomegali, mual dan muntah sebagai manifestasi hepatomegali yang mendesak saluran pencernaan. Pasca organomegali, bakteri kembali memasuki aliran
20
darah menyebabkan bakteremia sekunder yang mengawali munculnya gejala demam akibat dilepaskannya endotoksin ke peredaran darah, menginduksi pirogen endogen yang mempengaruhi temperature set di hipothalamus sehingga terjadi peningkatan suhu tubuh.11,12 Salmonella yang berada di dalam hepar akan diekskresikan melalui sistem bilier, dan mengikuti siklus enterohepatik, sehingga terjadi reinfeksi kembali. Pada Plak Peyer terjadi fokus-fokus infeksi Salmonella di sepanjang ileum, menyebabkan nekrosis. Apabila nekrosis ini menembus tunika serosa maka akan terjadi perforasi ileum yang dapat berakibat peritonitis.
Gambar 1. Patogenesis Demam Tifoid Imunitas humoral pada demam tifoid berperan dalam menegakkan diagnosis berdasarkan kenaikan titer antibodi terhadap antigen kuman S.typhi. Imunitas seluler berperan dalam penyembuhan penyakit, berdasarkan sifat kuman yang hidup intraselluler. Adanya rangsangan antigen kuman akan memicu respon imunitas humoral melalui sel limfosit B, kemudian berdiderensiasi menjadi sel plasma yang akan mensintesis immunoglobulin (Ig). Yang terbentuk pertama kali pada infeksi primer adalah antibodi O (IgM) yang cepat menghilang, kemudian disusul antibodi flagela H (IgG). IgM akan muncul 48 jam setelah terpapar antigen, namun ada pustaka lain yang menyatakan bahwa IgM akan muncul pada hari ke 3-4 demam.
21
Gambar 2. Respons Antibodi Terhadap S. typhi 2.1.5 Gejala Klinis Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 – 20 hari. Setelah masa inkubasi maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu : Demam Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsurangsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh beraangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga. Ganguan pada saluran pencernaan Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah (ragaden) . Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare. Gangguan kesadaran Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah. 22
2.1.6 Pencegahan Demam Tifoid Pencegahan dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan perjalanan penyakit, yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier. 1. Pencegahan Primer Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari strain Salmonella typhi yang dilemahkan. Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yaitu : a. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini kontraindikasi
pada
wanita
hamil,
ibu
menyusui,
demam,
sedang
mengkonsumsi antibiotik . Lama proteksi 5 tahun. b. Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni, K vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 – 12 tahun 0,25 ml dan anak 1 – 5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek samping adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada tempat suntikan. Kontraindikasi demam,hamil dan riwayat demam pada pemberian pertama. c. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan secara intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi pada hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam dan anak umur 2 tahun. Indikasi vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi daerah endemik, orang yang
terpapar
dengan
penderita
karier
tifoid
dan
petugas
laboratorium/mikrobiologi kesehatan. Mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh, memberikan pendidikan kesehatan untuk menerapkan prilaku hidup bersih dan sehat dengan cara budaya cuci tangan yang benar dengan memakai sabun, peningkatan higiene makanan dan minuman berupa menggunakan cara-cara yang cermat dan bersih dalam pengolahan dan penyajian makanan, sejak awal pengolahan, pendinginan sampai penyajian untuk dimakan, dan perbaikan sanitasi lingkungan
23
2. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit secara dini dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat. Untuk mendiagnosis demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Ada 3 metode untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid, yaitu: a.Diagnosis klinik Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala kilinis yang khas pada demam tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama dapat juga ditemukan pada penyakit lain. Diagnosis klinis demam tifoid sering kali terlewatkan karena pada penyakit dengan demam beberapa hari tidak diperkirakan kemungkinan diagnosis demam tifoid. b. Diagnosis mikrobiologik/pembiakan kuman Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik dan lebih dari 90% penderita yang tidak diobati, kultur darahnya positip dalam minggu pertama. Hasil ini menurun drastis setelah pemakaian obat antibiotika, dimana hasil positip menjadi 40%. Meskipun demikian kultur sum-sum tulang tetap memperlihatkan hasil yang tinggi yaitu 90% positip. Pada mingguminggu selanjutnya hasil kultur darah menurun, tetapi kultur urin meningkat yaitu 85% dan 25% berturut-turut positip pada minggu ke-3 dan ke-4. Organisme dalam tinja masih dapat ditemukan selama 3 bulan dari 90% penderita dan kira-kira 3% penderita tetap mengeluarkan kuman Salmonella typhi dalam tinjanya untuk jangka waktu yang lama. c.Diagnosis serologik c.1. Uji Widal Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam serum penderita demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella typhi dan pada orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid. Antigen yang digunakan pada uij Widal adlah suspensi Salmonella typhi yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita demam tifoid. Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya, 24
semakin besar pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang waktu paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid. Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut : a. Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut b. Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau pernah menderita infeksi c. Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier. c.2. Uji Enzym-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) a. Uji ELISA untuk melacak antibodi terhadap antigen Salmonella typhi belakangan ini mulai dipakai. Prinsip dasar uji ELISA yang dipakai umumnya uji ELISA tidak langsung. Antibodi yang dilacak dengan uji ELISA ini tergantung dari jenis antigen yang dipakai. b. Uji ELISA untuk melacak Salmonella typhi Deteksi antigen spesifik dari Salmonella typhi dalam spesimen klinik (darah atau urine) secara teoritis dapat menegakkan diagnosis demam tifoid secara dini dan cepat. Uji ELISA yang sering dipakai untuk melacak adanya antigen Salmonella typhi dalam spesimen klinis, yaitu double antibody sandwich ELISA.
Pencegahan sekunder dapat berupa : a. Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui penigkatan usaha surveilans demam tifoid. b. Perawatan umum dan nutrisi Penderita demam tifoid, dengan gambaran klinis jelas sebaiknya dirawat di rumah sakit atau sarana kesehatan lain yang ada fasilitas perawatan. Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Bila klinis berat, penderita harus istirahat total. Bila penyakit membaik, maka dilakukan mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan penderita. Nutrisi pada penderita demam tifoid dengan pemberian cairan dan diet. Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. 25
Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Sedangkan diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah serat untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita tifoid biasanya diklasifikasikan atas : diet cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa. c. Pemberian anti mikroba (antibiotik) Anti mikroba (antibiotik) segera diberikan bila diagnosa telah dibuat. Kloramfenikol masih menjadi pilihan pertama, berdasarkan efikasi dan harga. Kekurangannya adalah jangka waktu pemberiannya yang lama, serta cukup sering menimbulkan karier dan relaps.
3. Pencegahan Tersier Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi keparahan akibat komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit demam tifoid 26
sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat, sehingga imunitas tubuh tetap terjaga dan dapat terhindar dari infeksi ulang demam tifoid. Pada penderita demam tifoid yang carier perlu dilakukan pemerikasaan laboratorium pasca penyembuhan untuk mengetahui kuman masih ada atau tidak.
2.1.7 Komplikasi Komplikasi yang dapat dialami seseorang yang terinfeksi Salmonella Typhi dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 1. Komplikasi Intestinal a. Perdarahan Usus Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam. b. Perforasi Usus Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian meyebar ke seluruh perut. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun dan bahkan sampai syok. 2. Komplikasi Ekstraintestinal
Komplikasi kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
Komplikasi
darah:
anemia
hemolitik,
trombositopenia,
koaguolasi
intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
Komplikasi paru: pneumoni, empiema, dan pleuritis.
Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.
Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.
Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis.
Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer, psikosis, dan sindrom katatonia.
27
2.2 Bronkhitis Akut 2.2.1 Definisi Bronkitis akut adalah peradangan pada bronkus disebabkan oleh infeksi saluran nafas yangditandai dengan batuk (berdahak maupun tidak berdahak) yang berlangsung hingga 3minggu. Sebagian besar bronkitis akut disebabkan oleh infeksi virus dan dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak memerlukan antibiotik. Meski ringan, namun ada kalanya sangat mengganggu, terutama jika disertai sesak, dada terasa berat, dan batuk berkepanjangan. Antibiotik diperlukan apabila bronkitis akut disebabkan oleh infeksi bakteri (pada sebagian kecil kasus bronkitis akut).
Gambar 3. Gambaran Bronkhitis
2.2.2 Klasifikasi Bronkitis seringkali diklasifikasikan sebagai akut atau kronik, penjelasannya sebagai berikut : 1. Bronkitis akut adalah serangan bronkitis dengan perjalanan penyakit yang singkat (beberapa hari hingga beberapa minggu), rata-rata 10-14 hari. Bronkitis akut pada umumnya ringan. Meski ringan, namun adakalanya sangat mengganggu, terutama jika disertai sesak, dada terasa berat, dan batuk berkepanjangan. Disebabkan oleh karena terkena dingin (musim dingin), hujan, kehadiran polutan yang mengiritasi seperti rhinovirus, influenza A dan B, coronavirus, parainfluenza dan respiratory
28
synctial virus , infeksi akut, dan ditandai dengan demam, nyeri dada (terutama disaat batuk), dyspnea, dan batuk 2. Bronkitis kronik merupakan kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturutturut, tidak disebabkan penyakit lainnya. Sekresi yang menumpuk dalam bronchioles mengganggu pernapasan yang efektif. Merokok atau pemejanan terhadap terhadap polusi adalah penyebab utama bronkitis kronik. Pasien dengan bronkitis kronik lebih rentan terhadap kekambuhan infeksi saluran pernapasan bawah. Kisaran infeksi virus, bakteri, dan mikroplasma dapat menyebabkan episode bronkitis akut. Eksaserbasi bronkitis kronik hampir pasti terjadi selama musim dingin. Menghirup udara yang dingin dapat menyebabkan bronchospasme bagi mereka yang rentan
2.2.3 Etiologi Secara umum penyebab bronkitis dibagi berdasarkan faktor lingkungan dan faktor host/penderita. Penyebab bronkitis berdasarkan faktor lingkungan meliputi : a. Infeksi virus : influenza virus, parainfluenza virus, respiratory syncytial virus (RSV), adenovirus, coronavirus, rhinovirus, dan lain-lain. b. Infeksi bakteri : Bordatella pertussis, Bordatella parapertussis, Haemophilus influenzae,
Streptococcus
pneumoniae,
atau
bakteri
atipik
(Mycoplasma
pneumoniae, Chlamydia pneumonia, Legionella) c. Jamur d. Noninfeksi : polusi udara, rokok, dan lain-lain. Sedangkan faktor penderita meliputi usia, jenis kelamin, kondisi alergi dan riwayat penyakit paru yang sudah ada. Penyebab bronkitis akut yang paling sering adalah infeksi virus yakni sebanyak 90% sedangkan infeksi bakteri hanya sekitar < 10%
2.2.4 Patofisiologi Bronchitis akut terjadi karena adanya respon inflamasi dari membrane mukosa bronkus. Pada orang dewasa, bronchitis kronik terjadi akibat hipersekresi mucus dalam bronkus karena hipertrofi kelenjar submukosa dan penambahan jumlah sel goblet dalam epitel saluran nafas. Pada sebagian besar pasien, hal ini disebabkan oleh
29
paparan asap rokok. Pembersihan mukosiliar menjadi terhambat karena produksi mucus yang berlebihan dan kehilangan silia,menyebabkan batuk produktif. Pada anak-anak, bronchitis kronik disebabkan oleh respon endogen, trauma akut saluran pernafasan, atau paparan allergen atau iritan secara terus-menerus. Saluran nafas akan dengan cepat merespon dengan bronkospasme dan batuk, diikuti inflamasi, udem, dan produksi mucus. Apabila terjadi paparan secara kronik terhadap epithelium pernafasan, seperti aspirasi yang rekuren atau infeksi virus berulang, dapat menyebabkan terjadinya bronchitis
kronik pada
anak-anak.
Bakteri
pathogen
yang
paling
banyak
menyebabkan infeksi saluran respirasi bagian bawah pada anak-anak adalah Streptococcus pneumoniae. Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis dapat pathogen pada balita (umur <5 tahun), sedangkan Mycoplasma pneumoniae pada anak usia sekolah (umur >5-18 tahun).
Gambar 4. Inflamasi pada Bronkus
2.2.5 Manifestasi Klinis Gambaran klinik dari bronkitis biasanya dimulai dengan tanda-tanda infeksi saluran nafas akut atas yang disebabkan oleh virus, batuk mula-mula kering setelah 2 atau 3 hari batuk mulai berdahak dan menimbulkan suara lendir. Pada anak, dahak yang mukoid (kental) sudah ditemukan karena sering ditelan. Mungkin dahak berwarna kuning dan kental tetapi tidak selalu berarti terjadi 30
infeksi sekunder. Anak besar sering mengeluh rasa sakit retrosternal dan pada anak kecil dapat terjadi sesak nafas. Pada beberapa hari pertama tidak terdapat kelainan pada pemeriksaan dada tetapi kemunduran dapat timbul ronki basah kasar dan suaraf nafas kasar. Batuk biasanya akan menghilang setelah 2 – 3 minggu. Bila setelah 2 minggu batuk masih tetap ada kemungkinan terjadi kolaps dan sgmental atau terjadi infeksi paru sekunder.
2.2.6 Diagnosis Keluhan Pokok
Gatal-gatal di kerongkongan
Sakit di bawah sternum
Batuk kering/batuk berdahak
Sering merasa panas atau linu
Pada pemeriksaan fisi ditemukan keadaan umum baik, tidak tampak sakit berat, tidak sesak atau takipnea. Mungkin terdapat nasofaringitis. Pada paru ditemukan ronki basah kasar yang tidak tetap (dapat hilang atau pindah setelah batuk), wheezing dengan berbagai gradasi (perpanjangan ekspirasi hingga ngik-ngik) dan krepitasi (suara kretek-kretek dengan menggunakan stetoskop). Biasanya para dokter menegakkan diagnosa berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik sudah cukup. Pada pemeriksaan laboratorium misalnya pemeriksaan dahak dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosa dan untuk menyingkirkan diagnosa penyakit lain. Pada pasien anak yang diopname, dilakukan tes C-reactive protein, kultur pernafasan, kultur darah, kultur sputum, dan tes serum agglutinin untuk membantu mengklasifikasikan penyebab infeksi apakah dari bakteri atau virus. Untuk
anak
yang
diopname
dengan
kemungkinan
infeksi
Chlamydia,
mycoplasma,atau infeksi virus saluran pernafasan bawah, lakukan pemeriksaan sekresi nasofaringeal untuk membantu pemilihan antimikroba yang cocok. Serum IgM mungkin dapat membantu. Pada pemeriksaan foto rontgen dapat dijumpai temuan abnormal seperti atelektasis, hiperinflasi, dan penebalan peribronkial. Konsolidasi fokal biasanya tidak nampak.
31
2.2.7 Tata laksana Pengobatan bronkitis lini pertama adalah tanpa penggunaan antibiotik. Obat yang diberikan biasanya untuk penurun demam, banyak minum terutama sari buahbuahan. Terapi simptomatik seperti analgesik dan antipiretik dapat digunakan untuk mengatasi pegal, demam, atau sakit kepala. Aspirin, paracetamol atau ibuprofen dapat digunakan sesuai kondisi dan keperluan pasien. Obat penekan batuk tidak diberikan pada batuk yang banyak lendir, karena batuk diperlukan untuk mengeluarkan sputum. Bila ditemukan wheezing pada pemeriksaan fisis, dapat diberikan bronkodilator β2agonis, tetapi diperlukan evaluasi yang seksama terhadap respon bronkus untuk mencegah pemberian bronkodilator yang berlebih. Bila batuk tetap ada dan tidak ada perbaikan setelah 2 minggu maka perlu dicurigai adanya infeksi bakteri sekunder dan antibiotik boleh diberikan, asal telah disingkirkan adanya asma atau pertusis. Pemberian antibiotik yang serasi untuk M.pneumonia dan H.influenza sebagai bakteri penyerang sekunder misalnya amoksisilin, kotrimoksazol dan golongan makrolid. Pada pasien yang dirawat di rumah sakit, pemberian antibiotik biasanya menggunakan rute intravena. Antibiotik parentral diberikan saat pasien relatif tidak stabil dan kemudian secara oral bila keadaan pasien sudah stabil untuk menyelesaikan terapi. Terapi antibiotika pada bronkitis akut tidak dianjurkan kecuali bila disertai demam dan batuk yang menetap lebih dari 6 hari, karena dicurigai adanya keterlibatan bakteri saluran napas seperti S. pneumoniae, H. influenzae. Untuk batuk yang menetap > 10 hari diduga adanya keterlibatan Mycobacterium pneumoniae sehingga penggunaan antibiotika disarankan. Lama terapi dengan antibiotik selama 5- 14 hari sedangkan untuk bronkitis kronik optimalnya selama 14 hari. Di bawah ini adalah standar yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu standar dari BPOM RI tahun 2008 tentang pedoman pemilihan antibiotik dan dosis bronchitis.
32
Tabel 1. Pedoman Pemilihan Antibiotik dan Dosis Bronkitis (BPOM RI, 2008)
2.2.8 Komplikasi Ada beberapa komplikasi bronchitis yang dapat dijumpai pada pasien, antara lain : a. Bronchitis kronik b. Pneumonia dengan atau tanpa atelektaksis, bronchitis sering mengalamiinfeksi berulang biasanya sekunder terhadap infeksi pada saluran nafas bagian ata. Hal ini sering terjadi pada mereka drainase sputumnya kurang baik. c. Pleuritis. d. Efusi pleura atau empisema e. Abses metastasis diotak, akibat septikemi oleh kuman penyebab infeksi supuratif pada bronkus. Sering menjadi penyebab kematian
33
f. Haemaptoe terjadi kerena pecahnya pembuluh darah cabang vena (arteri pulmonalis), cabang arteri (arteri bronchialis) atau anastomisis pembuluh darah. Komplikasi haemaptoe hebat dan tidak terkendali merupakan tindakan beah gawat darurat. g. Sinusitis merupakan bagian dari komplikasi bronchitis pada saluran nafas
34
ANALISIS MASALAH
Diagnosis kerja demam tifoid ditegakkan berdasarkan anamnesis yang diutarakan oleh orangtua pasien bahwa pasien sudah demam >2 minggu. Keluhan demam khas untuk demam tifoid, yaitu meningkat pada sore menuju malam hari dan membaik pada pagi harinya. Keluhan juga disertai mual, muntah, dan BAB cair, di mana keluhan tersebut merupakan gejala dari gangguan pada saluran pencernaan yang biasa terjadi pada pasien tifoid. Usia pasien yang sudah menginjak usia sekolah dan kebiasaan sering membeli jajanan di luar sekolah dengan kebersihan yang tidak terjamin juga menjadi salah satu faktor risiko terjadinya infeksi tifoid. Diagnosis semakin ditunjang dengan pemeriksaan fisik di mana ditemukan lidah yang ditutupi selaput putih kotor dengan ujung dan tepi kemerahan, serta nyeri tekan pada region epigastrik dan umbilical abdomen pasien. Hasil pemeriksaan lab menunjukkan adanya peningkatan titer O (1/320) dan titer H (1/320) lebih dari 4x yang semakin memperkuat arah diagnosis demam tifoid. Pada kasus ini dicurigai adanya diagnosis banding gastroenteritis akut karena keluhan GEA yang sama dengan keluhan gastrointestinal pada pasien tifoid, namun disingkarkan karena pada GEA umumnya demam tidak lama mencapai >2 minggu. Penatalaksanaan secara umum pasien demam tifoid adalah dengan tirah baring untuk mencegah komplikasi perdarahan dan perforasi, dan pemberian cairan dan diet juga antibiotic yang sesuai. Pemberian cairan sebaiknya mengandung elektrolit dan kalori yang optimal maka pemberian infus Kaen-3A menjadi pilihan pada pasien ini. Pemberian anti mikroba seharusnya segera diberikan setelah diagnosis ditegakkan. Kloramfenikol masih menjadi pilihan utama untuk tifoid. Tatalaksana lain diberikan sesuai gejala yang dikeluhkan pasien. Paracetamol sebagai antipiretik, ondansetron dengan kerja memblok serotonin membantu untuk mengurangi rasa mual dan muntah, dan ranitidine sebagai penghambat kompetitif dari histamine di sel parietal lambung untuk mengurangi produksi asam lambung. Diagnosis kerja kedua bronchitis akut ditegakkan berdasarkan keluhan pasien batuk selama ±1 minggu, batuk berdahak warna putih-kuning, keluhan tidak disertai sesak. Pemeriksaan fisik didapatkan suara hantaran pada kedua lapang paru yang mengindikasikan bahwa terdapat dahak pada saluran napas pasien. Pada foto thoraks ditemukan gambaran infiltrate peribronkhial dengan kesan bronkhitis. Diagnosis semakin ditunjang dengan pasien yang sudah menginjak usia sekolah sehingga sering 35
terpapar polusi udara luar dan ayah yang merokok menjadi salah satu faktor risiko terjadinya bronchitis pada pasien ini. Pemberian terapi ambroxol sebagai mukolitik diharapkan dapat mengencerkan dan membantu pengeluaran dahak. Penentuan prognosis dubia ad malam pada quo sanationam adalah karena usia pasien yang sudah menginjak masa sekolah sehingga akan sering terpapar dengan jajanan luar yang tidak bisa terjamin kebersihannya. Pun hal ini dapat dicegah dengan memberikan edukasi kepada orangtua untuk membawakan anak bekal dari rumah. Kekambuhan pada bronchitis juga cukup tinggi karena ayah adalah perokok aktif.
36
DAFTAR PUSTAKA
1. 2. 3. 4. 5.
6.
7.
8.
9. 10. 11.
12.
13.
14.
15.
Bhan MK, Bahl R, Bhatnagar S. Typhoid fever and paratyphoid fever. Lancet 2005; 366: 749-62. Bhutta ZA. Typhoid fever: current concepts. Infect Dis Clin Pract 2006; 14: 26672. Parry CM. Epidemiological and clinical aspects of human typhoid fever [Internet]. 2005 [cited 2011 Mar 3]. Available from: www.cambridge.org. Pohan HT. Management of resistant Salmonella infection. Paper presented at: 12th Jakarta Antimicrobial Update; 2011 April 16-17; Jakarta, Indonesia. Vollaard AM, Ali S, Van Asten HAGH, Widjaja S, Visser LG, Surjadi C, et. al. Risk factors for typhoid and paratyphoid fever in Jakarta, Indonesia. JAMA 2004; 291: 2607-15. Ochiai RL, Acosta JC, Danovaro-Holliday MC, Baiqing D, Bhattacharya SK, Agtini M, et al. A study of typhoid fever in fi ve Asian countries: disease burden and implications for controls. Bull World Health Organ. 2008;86:260-8. Typhoid fever. Surgery in Africa-Monthly Review [Internet]. 2006 Feb 11 [cited 2011 Mar3].Availablefrom: http://www.ptolemy.ca/members/archives/2006/typhoid_fever.htm Zulkarnain I. Diagnosis demam tifoid. In: Zulkarnain I, Editors. Buku panduan dan diskusi demam tifoid. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2000: p.6-12. Mehta KK. Changing trends in typhoid fever. Medicine Update 2008; 18: 201-4. 10. Bhutta ZA. Current concepts in the diagnosis and treatment of typhoid fever. BMJ 2006; 333: 78-82. Background document: the diagnosis, treatment, and prevention of typhoid fever [Internet]. 2003 [cited 2010 Nov 25]. Available from: www.who-int/vaccinesdocuments/ Nelwan RHH, Lie KC, Hadisaputro S, Suwandoyo E, Suharto, Nasronudin, et al. A single-blind randomized multicentre comparative study of effi cacy and safety of levofl oxacin vs ciprofl oxacin in the treatment of uncomplicated typhoid fever. Paper presented at: 55th Annual Meeting ASTMH; 2006 Nov; Atlanta, USA. Nelwan RHH, Chen K, Nafrialdi, Paramita D. Open study on effi cacy and safety of levofl oxacin in treatment of uncomplicated typhoid fever. Southeast Asian J Trop Med Public Health 2006; 37(1): 126-30. Thaver D, Zaidi AKM, Critchley J, Azmatullah A, Madni SA, Bhutta ZA. A comparison of fl uoroquinolones versus other antibiotics for treating enteric fever: meta-analysis. BMJ 2009; 338: 1-11. Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, Swamy AJ. Current trends in the management of typhoid fever. MJAFI 2003; 59: 130-5.
37
16. Naning, R. 2012. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama. Badan Penerbit IDAI.Jakarta ;330(5.8)2. 17. Brodzinski H, Ruddy RM. Review of new and newly discovered respiratory tract virusesin children. Pediatr Emerg Care. May 2009;25(5):352-60; quiz 361-3.3. 18. Miron D, Srugo I, Kra-Oz Z, Keness Y, Wolf D, Amirav I, et al. Sole pathogen in acute bronchiolitis: is there a role for other organisms apart from respiratory syncytial virus?. Pediatr Infect Dis J. Jan 2010;29(1):e7-e104. 19. Naning, R. 2012. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama. Badan Penerbit IDAI.Jakarta ;330(5.8.1) 20. Mall MA. Role of cilia, mucus, and airway surface liquid in mucociliary dysfunction:lessons from mouse models. J Aerosol Med Pulm Drug Deliv. Mar 2008;21(1):13-24.6. 21. Kreindler JL, Jackson AD, Kemp PA, Bridges RJ, Danahay H. Inhibition of chloridesecretion in human bronchial epithelial cells by cigarette smoke extract. Am J Physiol LungCell Mol Physiol. May 2005;288(5):L894-902.7. 22. McConnell R, Berhane K, Gilliland F, Molitor J, Thomas D, Lurmann F, et al.Prospective study of air pollution and bronchitic symptoms in children with asthma. Am J Respir Crit Care Med. Oct 1 2003;168(7):790-7.8. 23. Brieu N, Guyon G, Rodière M, Segondy M, Foulongne V. Human bocavirus infection in children with respiratory tract disease. Pediatr Infect Dis J. Nov 2008;27(11):969-73
38