LAPORAN KASUS SEORANG ANAK LAKI-LAKI DENGAN THALASSEMIA
Disusun oleh: Nadya Anggun Mowlina 030.09.165
Pembimbing: dr. Arifiyah, Sp.A
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH TEGAL FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI PERIODE 15 JANUARI - 23 MARET 2018
LEMBAR PENGESAHAN Presentasi Laporan Kasus dengan Judul Seorang Anak Laki-laki dengan Thalassemia Penyusun: Nadya Anggun Mowlina 030.09.165
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing dr. Arifiyah, Sp.A, sebagai syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak di RSUD Kardinah Kota Tegal periode 15 Januari - 23 Maret 2018
Tegal, Kamis 08 Maret 2018
dr. Arifiyah, Sp.A
STATUS PASIEN LAPORAN KASUS KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL Nama : Nadya Anggun Mowlina
Pembimbing : dr. Arifiyah, Sp.A
NIM
Tanda tangan :
: 030.09.165
A. IDENTITAS PASIEN DATA
PASIEN
AYAH
IBU
Nama
An. K
Tn. S
Ny. K
Umur
3 tahun
32 tahun
31 tahun
Jenis Kelamin
Laki-laki
Laki-laki
Perempuan
Alamat
Kaligangsa RT 01/ RW 02. Kelurahan Kaligangsa. Kecamatan Margadana - Tegal
Agama
Islam
Islam
Islam
Suku Bangsa
Jawa
Jawa
Jawa
Pendidikan
-
SMA
SMP
Pekerjaan
-
Buruh
Ibu Rumah Tangga
Penghasilan
-
Rp.1.500.000,00
-
Keterangan
Hubungan pasien dengan orang tua adalah anak kandung
Asuransi
BPJS
No. RM
754342
B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis terhadap ibu kandung pasien pada tanggal 28 Februari 2018 pukul 13.30 WIB, di ruang Puspanindra RSU Kardinah Tegal.
Keluhan Utama : Pasien tampak pucat dan lemas
Keluhan tambahan : Batuk, pilek, dan sakit tenggorokan saat menelan
Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke Poli anak pada hari Rabu, 28 Februari 2018 diantar oleh ibunya dengan keluhan tampak pucat dan lemas sejak 2 hari SMRS. Ibu mengatakan nafsu makan anaknya menurun karena sakit saat menelan. Demam, mimisan, sesak dan perdarahan disangkal. Tidak ditemukan lebamlebam ditubuh anaknya. Mual dan muntah disangkal. Batuk (+) dan pilek (+) sejak 5 hari SMRS. Dahak berwarna putih, kental (+), darah (-). BAB dan BAK dalam batas normal. Di poli pasien disarankan untuk cek laboratorium dan didapatkan hasil Hb 7.7 g/dl, hematokrit 23.1% dan eritrosit 3x106/µl. Kemudian pasien disarankan untuk rawat inap.
Riwayat Penyakit Dahulu
Ibu pasien mengatakan bahwa pasien didiagnosis Thalassemia Mayor sejak berusia 7 bulan. Hal ini diketahui ketika pasien akan diimunisasi, namun saat itu pasien tampak kuning. Sehingga dilakukan pemeriksaan laboratorium dan didapatkan Hb 3 g/dl. Pasien juga pernah mengalami kejang demam sebanyak 2 kali. Yaitu pada usia 1 tahun, kemudian berulang saat berusia 2 tahun. Saat itu demamnya mencapai 40°c. Penyakit paru, asma, ginjal dan penyakit jantung bawaan disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Ibu pasien mengaku tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan serupa. Keluarga tidak ada yang menderita hipertensi, diabetes mellitus, asma, penyakit paru dan jantung semua disangkal. Ibu mengatakan saat mengandung pasien Ibu mengalami anemia. Namun, Ibu lupa kadar Hemoglobin saat itu berapa.
Riwayat Lingkungan Perumahan Pasien tinggal di rumah milik sendiri . Rumah tersebut berukuran ±10 x 8 m2, memiliki 2 kamar tidur dengan 1 kamar mandi dan 1 dapur, beratap genteng, berlantai semen, berdinding tembok, memiliki jendela dan ada 2 pintu. Di rumah tersebut tinggal orang tua pasien dan pasien. Rumah rajin dibersihkan setiap hari dari mulai disapu sampai membersihkan debu-debu ruangan. Cahaya matahari dapat masuk ke dalam rumah, lampu tidak perlu dinyalakan pada siang hari. Jika jendela dibuka maka udara dalam rumah tidak pengap. Sumber air bersih berasal dari sumur dengan jarak arak septic tank dengan wc ± 10 m. Kesan : Keadaan lingkungan rumah, sanitasi baik, ventilasi dan pencahayaan baik
Riwayat Sosial Ekonomi Ayah pasien berprofesi sebagai buruh dengan penghasilan ±Rp 1.500.000,- per bulan. Ibu pasien adalah seorang ibu rumah tangga. Penghasilan tersebut menanggung hidup 3 orang, kedua orang tua pasien dan pasien sendiri. Kesan : Riwayat sosial ekonomi cukup baik.
Riwayat Kehamilan dan Pemeriksaan Prenatal
Morbiditas
HT (-), DM (-), Peny.jantung (-), Penyakit
kehamilan
paru (-), Anemia (+), Infeksi (-) Selama kehamilan ibu pasien menjalani ANC rutin tiap bulannya di puskesmas, mendapat imunisasi TT 2X. Pernah melakukan USG. Ibu tidak pernah mengkonsumsi obat-obatan
Kehamilan Perawatan antenatal
dan jamu selama hamil, tidak merokok, tidak mengonsumsi
alkohol,
tidak
pernah
mengalami demam, sesak, muntah-muntah atau penyakit lain selama kehamilan. Tidak pernah perdarahan. Tempat persalinan Penolong persalinan Cara persalinan Masa gestasi
Rumah Sakit Dokter spesialis kandungan Spontan pervaginam 37 Minggu Berat lahir : 3100 gr
Kelahiran
Panjang lahir: 48 cm Keadaan bayi
Lingkar kepala: ibu pasien tidak ingat Keadaan lahir : langsung menangis spontan Air ketuban : ibu pasien tidak ingat Kelainan bawaan : -
Suntik Vit. K
Ibu pasien tidak tahu
Riwayat Pemeliharaan Postnatal Pemeliharaan setelah kelahiran dilakukan di Bidan dan Posyandu sebulan sekali dan anak dalam keadaan sehat.
Corak Reproduksi Ibu Ibu P1A0, pasien adalah anak pertama berjenis kelamin laki-laki, berusia 3 tahun, hidup dan sehat.
Riwayat Keluarga Berencana Ibu pasien mengaku saat ini tidak sedang menggunakan KB.
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak o Pertumbuhan : Berat badan lahir anak 3100 gram. Berat badan sekarang 13 kg dengan tinggi badan sekarang 97 cm. o Perkembangan : Pertumbuhan gigi pertama : 6 bulan Motorik Kasar o o o o o
Tengkurap Duduk kepala tegak Berdiri Berjalan Mengucapkan kata
: 4 bulan : 7 bulan : 9 bulan : 12 bulan : 13 bulan
Riwayat Makan dan Minum o o o o
Lahir sampai usia 2,5 tahun pasien mengkonsumsi ASI Usia 6 bulan pasien mengkonsumsi pisang Usia 10 bulan pasien mengkonsumsi bubur campur Usia 12 bulan pasien mengkonsumsi nasi lunak, sayur, dan lauk pauk lunak.
Umur diatas 1 tahun Jenis makanan
Frekuensi dan jumlah
Nasi/pengganti
2 kali
Sayur
1 kali sedikit
Daging
2 kali
Telur
2 kali
Ikan
1 kali
Tahu
1 kali
Tempe
1 kali
Susu
1 kali
Riwayat Imunisasi
Kesan : Pasien sudah dilakukan imunisasi dasar, dan sudah dilakukan imunisasi ulangan
Silsilah Keluarga
C. PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 28 Februari 2018, pukul 13:30 WIB, di Ruang Puspanindra. I. Keadaan Umum Compos mentis, tampak lemah dan pucat II. Tanda Vital
I.
I.
Tekanan darah
: Tidak dilakukan pemeriksaan
Nadi
: 96 x/menit reguler, kuat, isi cukup
Laju nafas
: 24 x/menit reguler
Suhu
: 36,7oC, Axilla
Data Antropometri Berat badan sekarang
: 13 kilogram
Tinggi badan sekarang
: 97 cm
Lingkar lengan atas
: 15.5 cm
Status Generalis Kepala : Normosefali
Rambut
: Hitam, tidak mudah dicabut
Mata
: Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Bentuk normal, deformitas (-), deviasi (-), sekret (+/+), napas cuping hidung (-) Telinga
: Normotia, discharge (-/-)
Mulut : Bibir kering (-), bibir sianosis (-), stomatitis(-), labioschizis(-), palatochizis (-), faring hiperemis (+) Leher
: Simetris, tidak terdapat pembesaran KGB
Thorax
: Dinding thorax normothorax dan simetris
o Paru : Inspeksi : Bentuk dada simetris kanan – kiri. Sternum dan iga normal. Retraksi (-). Gerak napas simetris, tidak ada hemithotax yang tertinggal. Palpasi : Simetris, tidak ada yang tertinggal Perkusi : Sonor kedua lapang paru Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-). o Cor : Inspeksi
: Ictus cordis tidak tampak.
Palpasi sinistra.
: Ictus cordis teraba di ICS IV midklavikula
Perkusi : Batas jantung kiri ICS V 1 jari medial midclavicula sinistra, Pinggang jantung pada ICS 2 Parasternalis sinistra. Auskultasi gallop (-)
: Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-),
Abdomen : Inspeksi
: Datar, simetris
Auskultasi
: Bising usus (+)
Palpasi
: Supel, distensi (-), turgor kembali < 2 detik,
pembesaran hepar 2 jari, lien tidak teraba, asites (-)
Perkusi
: timpani di 4 kuadran
Vertebra : tidak ada kelainan Genitalia : tidak ada kelainan, jenis kelamin laki-laki Anorektal : tidak ada kelainan Ekstremitas: Keempat ekstrimitas lengkap, simetris Superior -/-/<2” -/Normotonus Normotrofi + -
Akral Dingin Akral Sianosis CRT Oedem Tonus Otot Trofi Otot Ref. Fisiologis Ref. Patologis
Inferior -/-/<2” -/Normotonus Normotrofi + -
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan penunjang yang dilakukan selama pasien dirawat di RSU Kardinah Tegal:
Laboratorium Darah Laboratorium Darah (28 Februari 2018)
Peemeriksaan
Hasil
Satuan
Nilai satuan
Hemoglobin
7.7
g/dl
10.7 – 14.7
Leukosit
7.1
103/µl
4.5 – 13.5
Hematokrit
23.1
%
34 - 40
Trombosit
193
103/µl
150 – 521
Eritrosit
3.0
106/µl
3.8 – 5.8
RDW
13.5
%
11.5 – 14.5
MCV
77.5
U
63 – 93
HEMATOLOGI CBC
MCH
25.8
Pcg
22 – 34
MCHC
33.3
g/dl
32 – 36
E. PEMERIKSAAN KHUSUS a. Data antropometri Anak laki-laki usia 3 tahun Berat badan 13 kilogram Tinggi badan 97 cm Lingkar lengan atas 15.5 cm Lingkar kepala 50 cm b. Pemeriksaan Status Gizi (curva CDC) BB/U x 100%
= 13/3 x 100% = 92.8
TB/U x 100%
= 97/3 x 100% = 102.10
BB/TB x 100%
= 13/97 x 100% = 86.67
Kesan : Gizi
baik
normal
c. Pemeriksaan status gizi kurva WHO
perawakan
d. Pemeriksaan Lingkar Kepala (Kurva Nellhaus)
Kesan : Lingkar kepala normal
F. RESUME Pasien laki-laki usia 3 tahun datang ke Poli anak pada hari Rabu, 28 Februari 2018 diantar oleh ibunya dengan keluhan tampak pucat dan lemas sejak 2 hari SMRS. Ibu mengatakan nafsu makan anaknya menurun karena sakit setiap menelan. Demam, mimisan, sesak dan perdarahan disangkal. Tidak ditemukan lebam-lebam ditubuh anaknya. Mual dan muntah disangkal. Batuk (+) dan pilek (+) sejak 5 hari SMRS. Dahak berwarna putih, kental (+), darah (-). BAB dan BAK dalam batas normal. Di poli pasien disarankan untuk cek laboratorium dan didapatkan hasil Hb 7.7 g/dl, hematokrit 23.1% dan eritrosit 3x106/µl. Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis (+/+), dan faring hiperemis (+). Pasien telah didiagnosis Thalassemia Mayor sejak usia 7 bulan, saat itu wajah tampak kuning. Pasien memiliki riwayat kejang demam sebanyak 2 kali. Yaitu pada usia 1 tahun, kemudian berulang saat berusia 2 tahun. Saat itu demamnya mencapai 40°c. Mmenurut Ibu pasien, tidak ada dikeluarga yang menderita thalassemia.
G. DAFTAR MASALAH
Tampak pucat dan lemah
Konjungtiva anemis
Batuk
Pilek
Riwayat thalassemia mayor (+)
Hepatomegali
faring hiperemis
H. DIAGNOSIS BANDING
Anemia defisiensi besi
Anemia defisiensi G6PD
Anemia sideroblastik
I. DIAGNOSIS KERJA -
Thalassemia Mayor
-
ISPA
-
Gizi baik
J. PENATALAKSANAAN a. Non medikamentosa
Monitor tanda vital dan keadaan umum
Edukasi : -
Menjelaskan kepada keluarga tentang penyakit pasien, pengobatan, dan komplikasi yang mungkin dapat terjadi
-
Menjelaskan mengenai aktivitas yang boleh dan perlu dikurangi pada pasien
b. Medikamentosa
Infus NaCl 0.9% (8 tpm)
Deferasirox 1x1
Asam folat 2x1
Lapifed exp 3 x ¾ cth
Cefixime 2 x ¾ cth
Rencana transfusi PRC 150cc dalam 4 jam
Inj. Furosemid 7.5 mg post transfusi
K. PROGNOSIS Quo ad vitam
: Dubia ad bonam
Quo ad fungsionam
: Dubia ad bonam
Quo ad sanationam
: Dubia ad malam
L. PEMERIKSAAN ANJURAN
Pemeriksaan darah rutin
Pemeriksaan gambaran darah tepi
Serum iron dan Total banding capacity
LFT
Elektroforesis Hb
Pemeriksaan sumsum tulang
Rontgen
Cek ferritin
PERJALANAN PENYAKIT
S
01 Maret 2018 pukul 08.15 WIB
02 Maret 2018 pukul 07.35 WIB
Puspanidra - Hari Perawatan ke-1
Puspanidra - Hari Perawatan ke-2
Pasien dari poli anak dengan riwayat
S
Pasien telah diberikan transfusi (01 Maret
thalassemia mayor (+). Setelah dicek
2018, jam 09:00 WIB) sebanyak 1
Hb 7.7 g/dl. Pasien tampak pucat dan
kantong PRC 150 cc.
lemah. Batuk (+) dan pilek (+) sejak 5
Hb : 12.3 g/dl
hari SMRS. Dahak berwarna putih,
Batuk (+), dahak berkurang, pilek (+)
kental (+). BAK & BAB dbn.
sudah hari ke 6. Mual (-), muntah (-), BAK dan BAB dbn,
O
KU: CM, tampak lemah, tampak pucat
O
demam (-). KU: CM, pucat (-)
TTV: HR 96 x/m, RR 24x/m, S 36,10C,
TTV: HR 96 x/m, RR 28x/m, S 360C,
Status generalis:
Status generalis:
Kepala: Normocepali
Kepala: Normocepali
Mata: CA (+/+), SI (-/-)
Mata: CA (-/-), SI (-/-),
Toraks:
Toraks:
SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-)
SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-)
BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)
BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)
Abdomen: Supel, BU (+), distensi (-),
Abdomen: Supel, BU (+), distensi (-),
hepatomegali (+)
hepatomegali (+)
Ekstremitas atas-bawah :
Ekstremitas atas-bawah :
A
AH (+/+), OE (-/-) CRT <2 detik Thalassemia Mayor
A
AH (+/+), OE (-/-) CRT <2 detik Thalassemia Mayor
P
ISPA • Infus NaCl 0.9% (8 tpm)
P
ISPA • Lapifed exp 3 x ¾ cth
• Transfusi PRC 1 kantong 150 cc (golongan darah AB)
• Cefixime 2 x ¾ cth • Deferasirox 1x1
• Deferasirox 1x1
• Inj. Furosemid 7.5 mg
• Asam folat 2x1
• Aff infus Pasien boleh pulang
• Lapifed exp 3 x ¾ cth
• Kontrol ke poli bila ada keluhan
• Cefixime 2 x ¾ cth • Cek darah rutin Laboratorium Darah Laboratorium Darah (1 Maret 2018) Peemeriksaan HEMATOLOGI CBC
Hasil
Satuan
Nilai satuan
Hemoglobin
12.3
g/dl
10.7 – 14.7
Leukosit
8.7
103/µl
4.5 – 13.5
Hematokrit
35.2
%
34 - 40
Trombosit
166
103/µl
150 – 521
Eritrosit
4.6
106/µl
3.8 – 5.8
RDW
13.2
%
11.5 – 14.5
MCV
75.9
U
63 – 93
MCH
26.5
Pcg
22 – 34
MCHC
34.3
g/dl
32 – 36
ANALISA KASUS Pasien laki-laki usia 3 tahun datang ke Poli anak dengan keluhan tampak pucat, konjungtiva anemis (+/+), dan lemas sejak 2 hari SMRS. Pucat dan konjungtiva anemis terjadi karena kegagalan pembentukan sel eritrosit. Ini didukung dengan hasil laboratorium didapatkan Hb 7.7 g/dl, hematokrit 23.1% dan eritrosit 3x106/µl.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan hepatomegali (+) sebagai akibat terjadinya penumpukan Fe. Pasien juga telah didiagnosis Thalassemia Mayor sejak usia 7 bulan, sesuai dengan pernyataan bahwa biasanya gejala thalassemia mayor biasa muncul pada bayi ketika berumur 3 bulan berupa anemia yang berat. Pada saat itu wajah pasien tampak kuning hal ini bisa disebabkan karena produksi bilirubin yang meningkat. Thalassemia mayor disebabkan karena kedua gen mengalami mutasi sehingga tidak dapat memproduksi rantai beta globin. Sedangkan thalasemia beta terjadi jika terdapat mutasi pada satu atau dua rantai globin beta yang ada. Pada pasien ini sangat bergantung dengan transfuse. Pasien juga mengalami penurunan nafsu makan. Batuk (+) dan pilek (+) sejak 5 hari SMRS. Dahak berwarna putih, kental (+), darah (-). Pada pemeriksaan fisik ditemukan faring hiperemis. Melihat kondisi ini pasien juga didiagnosis dengan ISPA. ISPA ditularkan oleh virus dan bakteri. Risiko seseorang mengalami infeksi akan meningkat ketika kekebalan tubuh lemah. Pasien memiliki riwayat kejang demam sebanyak 2 kali. Yaitu pada usia 1 tahun, kemudian berulang saat berusia 2 tahun. Saat itu demamnya mencapai 40°c.
TINJAUAN PUSTAKA 1.
Definisi Thalasemia adalah suatu penyakit keturunan yang diakibatkan oleh kegagalan
pembentukan salah satu dari empat rantai asam amino yang membentuk hemoglobin, sehingga hemoglobin tidak terbentuk sempurna. Tubuh tidak dapat membentuk sel
darah merah yang normal, sehingga sel darah merah mudah rusak atau berumur pendek kurang dari 120 hari dan terjadilah anemia. Hemoglobin adalah suatu zat di dalam sel darah merah yang berfungsi mengangkut zat asam dari paru-paru ke seluruh tubuh, juga memberi warna merah pada eritrosit. Hemoglobin manusia terdiri dari persenyawaan hem dan globin. Hem terdiri dari zat besi (Fe) dan globin adalah suatu protein yang terdiri dari rantai polipeptida. Hemoglobin pada manusia normal terdiri dari 2 rantai alfa (α) dan 2 rantai beta (β) yang meliputi HbA (α2β2 = 97%), sebagian lagi HbA2 (α2δ2 = 2,5%) sisanya HbF (α2ƴ2 = 0,5%).
Gambar 2. Hemoglobin normal Rantai globin merupakan suatu protein, maka sintesisnya dikendalikan oleh suatu gen. Dua kelompok gen yang mengatur yaitu kluster gen globin-α terletak pada kromosom 16 dan kluster gen globin-β terletak pada kromosom 11. Penyakit thalasemia diturunkan melalui gen yang disebut sebagai gen globin beta. Gen globin beta ini yang mengatur pembentukan salah satu komponen pembentuk hemoglobin. Gen globin beta hanya sebelah yang mengalami kelainan maka disebut pembawa sifat thalassemia-beta. Seorang pembawa sifat thalassemia tampak normal atau sehat, sebab masih mempunyai 1 belah gen dalam keadaan normal dan dapat berfungsi dengan baik dan jarang memerlukan pengobatan. Kelainan gen globin yang terjadi pada kedua kromosom, dinamakan penderita thalassemia mayor yang berasal dari kedua orang tua yang masing-masing membawa sifat thalassemia. Proses pembuahan, anak hanya mendapat sebelah gen globin beta dari ibunya dan sebelah lagi dari
ayahnya. Satu dari orang tua menderita thalasemia trait/bawaan maka kemungkinan 50% sehat dan 50% thalasemia trait. Kedua orang tua thalasemia trait maka kemungkinan 25% anak sehat, 25% anak thalasemia mayor dan 50% anak thalasemia trait.
Gambar 3. Penurunan Thalassemia 2.
Klasifikasi Thalasemia diklasifikasikan berdasarkan molekuler menjadi dua yaitu
thalasemia alfa dan thalasemia beta. 1. Thalasemia Alfa Thalasemia ini disebabkan oleh mutasi salah satu atau seluruh globin rantai alfa yang ada. Thalasemia alfa terdiri dari : a. Silent Carrier State Gangguan pada 1 rantai globin alfa. Keadaan ini tidak timbul gejala sama sekali atau sedikit kelainan berupa sel darah merah yang tampak lebih pucat. b. Alfa Thalasemia Trait Gangguan pada 2 rantai globin alpha. Penderita mengalami anemia ringan dengan sel darah merah hipokrom dan mikrositer, dapat menjadi carrier. c. Hb H Disease Gangguan pada 3 rantai globin alfa. Penderita dapat bervariasi mulai tidak ada gejala sama sekali, hingga anemia yang berat yang disertai dengan perbesaran limpa. d. Alfa Thalassemia Mayor Gangguan pada 4 rantai globin alpha. Thalasemia tipe ini merupakan kondisi yang paling berbahaya pada thalassemia tipe alfa. Kondisi ini tidak terdapat rantai globin yang dibentuk sehingga tidak ada HbA atau HbF yang
diproduksi. Janin yang menderita alpha thalassemia mayor pada awal kehamilan akan mengalami anemia, membengkak karena kelebihan cairan, perbesaran hati dan limpa. Janin ini biasanya mengalami keguguran atau meninggal tidak lama setelah dilahirkan. 2. Thalasemia Beta Thalasemia beta terjadi jika terdapat mutasi pada satu atau dua rantai globin beta yang ada. Thalasemia beta terdiri dari : a. Beta Thalasemia Trait Thalasemia jenis ini memiliki satu gen normal dan satu gen yang bermutasi. Penderita mengalami anemia ringan yang ditandai dengan sel darah merah yang mengecil (mikrositer). b. Thalasemia Intermedia. Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi tetapi masih bisa produksi sedikit rantai beta globin. Penderita mengalami anemia yang derajatnya tergantung dari derajat mutasi gen yang terjadi. c. Thalasemia Mayor. Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi sehingga tidak dapat memproduksi rantai beta globin. Gejala muncul pada bayi ketika berumur 3 bulan berupa anemia yang berat. Penderita thalasemia mayor tidak dapat membentuk hemoglobin yang cukup sehingga hampir tidak ada oksigen yang dapat disalurkan ke seluruh tubuh, yang lama kelamaan akan menyebabkan kekurangan O2, gagal jantung kongestif, maupun kematian. Penderita thalasemia mayor memerlukan transfusi darah yang rutin dan perawatan medis demi kelangsungan hidupnya.
3.
Gejala Penderita thalasemia memiliki gejala yang bervariasi tergantung jenis rantai
asam amino yang hilang dan jumlah kehilangannya. Penderita sebagian besar mengalami anemia yang ringan khususnya anemia hemolitik. Keadaan yang berat pada beta-thalasemia mayor akan mengalami anemia karena kegagalan pembentukan sel darah, penderita tampak pucat karena kekurangan
hemoglobin. Perut terlihat buncit karena hepatomegali dan splenomegali sebagai akibat terjadinya penumpukan Fe, kulit kehitaman akibat dari meningkatnya produksi Fe, juga terjadi ikterus karena produksi bilirubin meningkat. Gagal jantung disebabkan penumpukan Fe di otot jantung, deformitas tulang muka, retrakdasi pertumbuhan, penuaan dini. 4.
Diagnosis Penderita pertama datang dengan keluhan anemia/pucat, tidak nafsu makan dan
perut membesar. Keluhan umumnya muncul pada usia 6 bulan, kemudian dilakukan pemeriksaan fisis yang meliputi bentuk muka mongoloid (facies Cooley), ikterus, gangguan pertumbuhan, splenomegali dan hepatomegali. Pemeriksaan penunjang laboratorium yang dilakukan meliputi : Hb bisa sampai 2-3 g%, gambaran morfologi eritrosit ditemukan mikrositik hipokromik, sel target, anisositosis berat dengan makroovalositosis, mikrosferosit, polikromasi, basophilic stippling, benda HowellJolly, poikilositosis dan sel target. Pemeriksaan khusus juga diperlukan untuk menegakkan diagnosis meliputi : Hb F meningkat 20%-90%, elektroforesis Hb. Index Mentzer Ketepatan diagnosis yang tinggi dalam membedakan Thalassemia dengan anemia defisiensi besi adalah indeks RDW (88.14%), dan diikuti oleh indeks Mentzer (86,85%). Indeks Mentzer didapat dari hasil hitung darah lengkap (Complete Blood Count/ CBC). Jika Indeks Mentzer (MCV/ RBC) <13 maka diindikasikan sebagai thalassemia minor, tapi jika hasilnya ≥13 maka diindikasikan sebagai anemia defisiensi besi.
5.
Terapi Penderita thalasemia sampai saat ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan
secara total. Pengobatan yang dilakukan meliputi pengobatan terhadap penyakit dan komplikasinya. Pengobatan terhadap penyakit dengan cara tranfusi darah, splenektomi, induksi sintesa rantai globin, transplantasi sumsum tulang dan terapi gen. Pengobatan komplikasi meliputi mencegah kelebihan dan penimbunan besi,
pemberian kalsium, asam folat, imunisasi. Pemberian vitamin C 100-250 mg/hari untuk meningkatkan ekskresi besi dan hanya diberikan pada saat kelasi besi saja. Vitamin E 200-400 IU/hari untuk 12 memperpanjang umur sel darah merah. Transfusi harus dilakukan seumur hidup secara rutin setiap bulannya. 6.
Dampak Transfusi Berulang Pada Thalasemia Mayor Penderita thalasemia mayor membutuhkan transfusi seumur hidup untuk
mengatasi anemia. Transfusi diberikan apabila kadar Hb < 8 gr/dl dan diusahakan kadar Hb diatas 10 gr/dl namun dianjurkan tidak melebihi 15 gr/dl dengan tujuan agar suplai oksigen ke jaringan-jaringan cukup juga mengurangi hemopoesis yang berlebihan dalam sumsum tulang dan mengurangi absorbsi Fe dari traktus digestivus. Transfusi diberikan sebaiknya dengan jumlah 10-20 ml/kg BB dan dalam bentuk PRC (paked read cells). Tindakan transfusi yang dilakukan secara rutin selama hidup selain untuk mempertahankan hidup juga dapat membahayakan nyawa penderita karena berisiko terinfeksi bakteri dan virus yang berasal dari darah donor seperti infeksi bakteri Yersinia enterocolitica, virus hepatitis C, hepatitis B dan HIV. Transfusi yang berulang-ulang setiap bulan akan mengakibatkan penumpukan zat besi pada jaringan tubuh seperti hati, jantung, pankreas, ginjal. Akumulasi zat besi pada jaringan hati mulai terjadi setelah dua tahun mendapat transfusi. Penelitian yang dilakukan pada tahun 1998, melaporkan didapat gangguan faal hati yang terjadi pada transfusi ke 20 hingga 30, dengan jumlah total darah yang ditransfusikan 2.500-3.750 ml pada usia penderita 2-9 tahun. Penimbunan zat besi pada jaringan sangat berbahaya dan apabila tidak dilakukan penanganan yang serius dapat berakibat kematian. Mengurangi penimbunan dapat dilakukan dengan terapi khelasi besi, yang sering digunakan adalah deferoksamin, deferipron dan deferasirox. Pemberian obat ini pada usia 3 tahun yang melalui infus subkutan dan dapat juga melalui oral. Penimbunan zat besi pada jaringan akan menyebabkan terjadinya hemosiderosis dan hemokromatosis. 6.1 Hemosiderosis Hemosiderosis sebagai akibat dari transfusi berulang-ulang karena dalam 1 liter darah terkandung 750 mikrogram zat besi. Zat besi tersebut akan menambah jumlah zat besi dalam tubuh. Manusia normal zat besi plasma terikat pada trasnferin,
kemampuan transferin mengikat zat besi sangat terbatas sehingga apabila terjadi kelebihan zat besi maka seluruh transferin berada dalam keadaan tersaturasi. Besi dalam plasma berada dalam bentuk tidak terikat atau NTBI (non-transferrin bound plasma iron) yang dapat menyebabkan pembentukan radikal bebas hidroksil dan mempercepat peroksidasi lipid membran in vitro. Kelebihan zat besi terbanyak terakumulasi dalam hati, namun paling fatal adalah akumulasi di jantung karena menyebabkan hemosiderosis miokardium dan berakibat gagal jantung yang berperan pada kematian awal penderita. Penimbunan besi di hati yang berkelebihan berakibat pada gangguan fungsi hati. 6.2 Hemokromatosis Hemokromatosis yaitu gangguan fungsi hati sebagai akibat dari penimbunan zat besi dan saturasi transferin. Hemokromatosis terjadi disertai dengan kadar feritin serum > 1000 µg/L. Ferritin merupakan suatu protein darah yang kenaikannya berhubungan dengan jumlah besi yang tersimpan dalam tubuh. Kadar feritin yang tinggi dapat meningkat pada infeksi-infeksi tertentu seperti hepatitis virus dan peradangan lain dalam tubuh. Kenaikan ferritin tidak spesifik untuk mendiagnosis hemokromatosis. Pemeriksaan lain untuk mendiagnosa hemokromatosis adalah TIBC dan transferi saturation. TIBC adalah suatu pengukuran jumlah total besi yang dapat dibawa dalam serum oleh transferrin. Transferrin saturation adalah suatu jumlah yang dihitung dengan membagi serum besi oleh TIBC, hasil angka yang mencerminkan besarnya persentase dari transferrin yang sedang dipakai untuk mengangkut besi. Hasil transferrin saturation pada manusia sehat antara 20 dan 50 %. Penderita dengan hemokromatosis keturunan, serum besi dan transferrin saturation hasilnya di atas normal. Tes yang paling akurat untuk mendiagnosis hemokromatosis adalah dengan biopsi jaringan hati sehingga dapat melihat langsung seberapa besar kerusakan hati. Gejala klinis yang paling sering dijumpai adalah hepatomegali, pada stadium lanjut dapat terjadi sirosis yang ditandai dengan splenomegali, ikterus, asites dan edema. Sirosis dapat mengakibatkan kanker hati. Penderita thalasemia lebih beresiko terkena hemokromatosis sebagai akibat dari penimbunan zat besi pada hati. Hati
Hati merupakan organ intestinal terbesar yang terletak dalam rongga perut sebelah kanan atas tepatnya di bawah diafragma dan disamping kirinya terletak organ limpa. Hati terbagi atas dua bagian besar yaitu lobus kanan dan kiri, juga satu bagian kecil ditengah yaitu lobus asesorius. Hati tersusun atas tiga jarinagn yang meliputi saluran empedu, susunan pembuluh darah dan sel parenkim. Hati juga memiliki dua suplai darah yang berasal dari saluran cerna dan limfa melalui vena porta hepatika dan dari aorta melalui arteri hepatika. Hati terdiri atas bermacam-macam sel, 60 % adalah hepatosit dan sisanya terdiri dari sel-sel epithelial system empedu dan sel-sel parenkimal yang termasuk di dalamnya endotelium, sel kupffer dan sel stellata yang berbentuk seperti bintang. Sel-sel lain yang terdapat dalam dinding sinusoid adalah sel fagositik. Sel kupffer yang merupakan bagian penting sistem retikuloendothellial dan lebih mudah dilalui selsel makro. Sel stellata memiliki aktifitas yang dapat membantu pengaturan aliran darah. Sel-sel hati menghasilkan bilirubin dan serum-serum yang digunakan sebagai pemantau fungsi hati. Hati sebagai pusat metabolisme tubuh.
Gambar 4. Anatomi Hepar
Fungsi Hati Hati mempunyai fungsi dasar hati dapat dibagi menjadi: 1.
Fungsi vaskular untuk menyimpan dan menyaring darah.
Hati tempat mengalir darah yang besar dan juga sebagai penyimpanan sejumlah besar darah. Aliran limfe dari hati juga sangat tinggi karena pori dalam sinusoid hati sangat permeabel, di hati terdapat sel Kupffer yang berfungsi untuk menyaring darah.
2.
Fungsi dalam sistem metabolisme tubuh meliputi karbohidrat, lemak, protein.
Hati sebagai metabolisme karbohidrat adalah mengubah pentosa dan heksosa yang diserap dari usus halus menjadi glikogen, mekanisme ini disebut glikogenesis. Glikogen ditimbun di dalam hati kemudian hati akan memecahkan glikogen menjadi glukosa. Proses pemecahan glikogen menjadi glukosa disebut glikogenelisis, karena proses-proses ini maka hati merupakan sumber utama glukosa dalam tubuh. Hati mengubah glukosa melalui heksosa monophosphat dan terbentuklah pentosa. Pembentukan pentosa untuk menghasilkan energi, biosintesis dari nukleotida, nucleic acid dan ATP, dan membentuk/ biosintesis senyawa 3 karbon yaitu piruvic acid (asam piruvat diperlukan dalam siklus krebs). Metabolisme lemak juga dilakukan di hati yang tidak hanya mensintesis lemak tapi sekaligus mengadakan katabolisis asam lemak yang dipecah menjadi beberapa komponen yaitu senyawa 4 karbon, senyawa 2 karbon, pembentukan cholesterol, pembentukan dan pemecahan fosfolid. Hati merupakan pembentukan utama, sintesis, esterifikasi dan ekskresi kholesterol, dimana kolesterol menjadi standar pemeriksaan metabolisme lipid. Peran dalam metabolisme protein dengan proses deaminasi, hati mensintesis gula dari asam lemak dan asam amino. Proses transaminasi, hati memproduksi asam amino dari bahan-bahan non nitrogen. Hati merupakan satu-satunya organ yg membentuk plasma albumin dan ∂ - globulin dan organ utama bagi produksi urea. ∂ globulin selain dibentuk di dalam hati, juga dibentuk di limpa dan sumsum tulang β – globulin hanya dibentuk di dalam hati. 3.
Sekresi dan ekskresi hati dalam membentuk empedu.
Fungsi sekresi hati membentuk empedu sangat penting, salah satu zat yang dieksresi ke empedu adalah pigmen bilirubin yang berwarna kuningkehijauan. Bilirubin aadalah hasi akhir dari pemecahan hemoglobin. Empedu dibentuk oleh hati, melalui saluran empedu interlobular yang terdapat di dalam hati, empedu yang dihasilkan dialirkan ke kantung empedu untuk disimpan. Bilirubin atau pigmen empedu yang menyebabkan warna kuning pada jaringan dan cairan tubuh sebagai indikator penyakit hati dan saluran empedu. Hati juga mempunyai fungsi metabolik yang lain yaitu :
1.
Hati merupakan tempat penyimpanan vitamin.
Hati juga menyimpan vitamin dan sebagai sumber vitamin tertentu yang baik pada penggobatan pasien. Vitamin yang paling banyak disimpan adalah vitamin A, tetapi sejumlah besar vitamin D dan vitamin B12 juga disimpan secara normal.
2.
Hati menyimpan besi dalam bentuk ferritin
Besi sebagian besar disimpan dihati dalam bentuk ferritin. Besi yang tersedia dalam cairan tubuh apabila jumlahnya banyak maka besi akan berikatan dengan apoferritin membentuk ferritin dan disimpan di dalam sel hati sampai diperlukan, bila besi dalam sirkulasi cairan tubuh mencapai kadar yang rendah maka ferritin akan melepaskan besi. 3.
Hati membentuk zat-zat yang digunakan untuk koagulasi darah.
Zat-zat yang dibentuk dihati yang digunakan pada proses koagulasi meliputi fibrinogen, protrombin, globulin, akselereratol, factor VII, dan beberapa faktor koagulasi penting lain. Vitamin K dibutuhkan oleh proses metabolisme hati, untuk membentuk prototrombin dan factor VII, IX dan X. 4. Hati mengekresikan obatobatan, hormon dan zat lain. Medium kimia yang aktif dari hati adalah dalam melakukan detoksifikasi atau eksresi berbagai obat-obatan ke dalam empedu. Hormon yang disekresi oleh kelenjar endokrin di ekskresikan atau dihambat secara kimia oleh hati, meliputi tiroksin atau semua hormon steroid seperti esterogen, kortisol, dan aldesteron. Kerusakan hati dapat mengakibatkan penimbunan hormon ini didalam cairan tubuh yang menyebabkan aktivitas berlebihan sistem hormon.
Pemeriksaan laboratorium fungsi hati Organ hati terdapat enzim-enzim sebagai detoksifikasi pada hati, sehingga enzim-enzim tersebut dapat digunakan sebagai parameter kerusakan hati. Dua macam enzim transamine yang sering digunakan dalam diagnosis klinik kerusakan sel hati adalah SGOT dan SGPT. Transamine adalah sekelompok enzim yang bekerja sebagai katalisator dalam proses pemindahan gugus amino dari suatu
asam alfa amino ke suatu asam alfa keto. Trasamine dalam plasma pada kadar di atas nilai normal memberi gambaran peningkatan kecepatan kerusakan jaringan. SGOT dan SGPT dalam jumlah kecil diproduksi oleh sel otot, jantung, pankreas, dan ginjal. Sel-sel otot apabila mengalami kerusakan maka kadar kedua enzim ini pun meningkat. Kerusakan sel-sel otot dapat disebabkan oleh aktivitas fisik yang berat, luka, atau trauma, sebagai contoh ketika mendapat injeksi intra muskular seperti suntik lewat jaringan otot, maka sel-sel otot pun bisa mengalami sedikit kerusakan dan meningkatkan kadar enzim transaminase.
1. SGOT SGOT disebut juga AST (aspartat aminotransferase). SGOT selain di hati terdapat juga di jantung, otot rangka, otak dan ginjal. Kenaikan SGOT bisa bermakna kelainan non hepatik atau kelainan hati yang didominasi kerusakan mitokondria karena SGOT berada dalam sitosol dan mitokondria. 2. SGPT SGPT disebut juga ALT (alanin aminotransferase). Jaringan hati mengandung banyak SGPT daripada SGOT. SGPT paling banyak ditemukan dalam sitoplasma sel hati, sehingga dianggap lebih spesifik untuk mendeteksi kelainan hati dibanding SGOT. Peningkatan kadar SGOT dan SGPT akan terjadi jika adanya pelepasan enzim secara intraseluler ke dalam darah yang disebabkan adanya kerusakan hati secara akut. Kerusakan hati yang disebabkan oleh keracunan atau infeksi berakibat pada kenaikan aktivitas SGOT dan SGPT dapat mencapai 20-100 X nilai batas normal tertinggi. Kenaikan aktivitas SGPT terjadi pada kerusakan hati yang meningkat.
Ginjal Ginjal adalah bagian organ ekskresi yang berbentuk mirip kacang dan bagian dari sistem urin. Ginjal merupakan organ penting dalam tubuh yang terletak pada dinding belakang abdomen di luar rongga peritonium. Ginjal memiliki tiga bagian utama yaitu, korteks, medulla, dan pelvis renalis. Bagian
korteks ginjal mengandung nefron. Sisi medial ginjal merupakan daerah lekukan yang disebut hilum yang merupakan tempat dilaluinya arteri dan vena renalis, cairan limfatik, suplai darah dan ureter yang membawa urin akhir dari ginjal ke vesica urinaria. Sistem sirkulasi di ginjal terdiri dari dua bentuk kapiler yaitu kapiler glomerulus dan kapiler peritubulus. Ginjal pada bagian belakang dilindungi oleh iga dan otot-otot sedangkaan bagian depan dilindungi oleh bantalan usus. Lebih dari 90% darah yang masuk ke ginjal didistribusikan ke korteks, sedangkan sisanya didistribusikan ke medula. Nefron merupakan unit fungsional ginjal terdiri dari komponen kapsula Bowman, tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle, dan tubulus kontotus distal. Ginjal akan mengalami kegagalan dalam menjalankan fungsinya jika lebih dari 70 % nefronnya tidak seimbang dalam menjalankan fungsi.
Gambar 5. Anatomi Ginjal
Fungsi Ginjal Ginjal melakukan fungsinya dengan cara menyaring plasma darah, zatzat yang tidak dibutuhkan lagi diekskresikan melalui urin dan zat yang masih dibutuhkan tubuh dikembalikan ke dalam darah. Zat-zat sisa produk metabolisme tubuh yang tidak diperlukan lagi oleh tubuh meliputi urea, kreatinin, asam urat, bilirubin, metabolit
hormon, dan toksin. Ginjal memiliki fungsi yang multipel sebagai pengatur keseimbangan air dan elektrolit, pengaturan konsentrasi osmolitas cairan tubuh, pengatur keseimbangan asam basa, ekskresi produk sisa metabolik dan bahan kimia asing serta sekresi hormon. 1. Pengaturan keseimbangan air dan elektrolit. Ekskresi air dan elektrolit sesuai dengan asupan dalam tubuh. 2. Pengaturan keseimbangan asam-basa. Ginjal bersama dengan sistem dapar paru dan cairan tubuh mengatur keseimbangan asam-basa dengan mengekskresikan asam dan menyimpan dapar cairan tubuh. 3. Ekskresi produk sisa metabolik dan bahan kimia asing. Ginjal membuang produk sisa-sisa metaboloisme yang tidak diperlukan tubuh seperti urea, kreatinin, asam urat, produk akhir pemecahan hemoglobin. 4. Pengaturan tekanan arteri Ginjal berperan dalam pengaturan tekanan arteri jangka panjang dengan mengekskresikan sejumlah natrium dan air, juga dalam pengaturan tekanan arteri jangka pendek dengan mengekskresi faktor atau zat vasoaktif. 5. Glukoneogenesis Ginjal mensintesis glukosa dari asam amino dan prekursor lainnya selama masa puasa yang panjang, sama seperti hati. 6. Pengaturan produksi eritrosit Ginjal menyekresikan eritropoietin, yang merangsang pembentukan sel darah merah. Kira-kira 90 persen dari seluruh eritropoietin dibentuk dalam ginjal. 7. Organ endokrin Ginjal menghasilkan kinin, 1,25-dihidroksikolekalsiferol serta membentuk dan mensekresi renin. Pemeriksaan Laboratorium Fungsi Gagal Ginjal Pemeriksaan fungsi ginjal yang biasa dilakukan diantaranya penilaian kadar ureum dan kreatinin. Ureum adalah hasil pembakaran protein dalam tubuh. Kreatinin adalah hasil produk akhir keratin dalam otot. Kedua zat ini dikeluarkan dari tubuh melalui ginjal dan bila terjadi gangguan atau kerusakan pada ginjal, kadar zat ini dapat meningkat. 1. Ureum Ureum berasal dari metabolisme protein yang dibentuk di hati dari CO2 dan NH3 melalui proses biokimia yang dikenal siklus Ornithin. Ureum dihidrolisis dalam air dan menghasilkan NH3 dan CO 2. Ornithin bersama CO2 dengan NH3 akan
bereaksi menghasilkan senyawa sitrulin dan hasilnya akan bereaksi kembali dengan NH3 akan menghasilkan senyawa arginin. Arginin ini akan bereaksi dengan H2O mengalami reaksi arginase dan menghasilkan ureum dan ornithin. Sitrulin dan arginin merupakan kelompok asam amino. Kenaikan ureum dalam darah dipengaruhi oleh beberapa hal seperti gagal ginjal akut maupun kronik, gagal jantung, kekurangan elektrolit dan cairan tubuh. Kenaikan kadar ureum dalam darah tidak selalu menunjukkan adanya kerusakan ginjal. Kadar ureum dapat dikatakan sebagai tanda kerusakan ginjal apabila disertai pemeriksaan urin yang hasilnya menunjukkan diatas nilai normal, selain itu juga harus didukung dengan diagnosa klinis. 2. Kreatinin Kreatinin adalah produk katabolisme dari kreatin fosfat yang ada di dalam otot. Secara kimiawi, kreatinin merupakan derivat dari kreatin. Biosintesis kreatin sendiri juga berasal dari glisin, arginin, dan metionin Hasil katabolisme tersebut memiliki nilai yang konstan dalam tiap individu setiap harinya. Kreatinin sangat bergantung dari masa otot. Proses reaksi dehidratasi dalam otot, kreatin akan diubah menjadi kreatinin yang dapat diperfusi ke seluruh cairan tubuh dan diekskresikan melalui urinJumlah kreatinin yang dikeluarkan seseorang setiap hari bergantung pada massa otot total daripada aktivitas otot atau tingkat metabolisme protein, Pembentukan kreatinin setiap harinya tetap, kecuali jika terjadi cedera fisik yang berat atau penyakit degeneratif yang menyebabkan kerusakan masif pada otot. Kenaikan kadar kreatinin mengindikasikan adanya gangguan fungsi ginjal. Peningkatan kadar kreatinin dijumpai pada : gagal ginjal akut maupun kronis, nekrosis tubular akut, glomerulonefritis, dehidrasi, leukemia, diet tinggi protein, obat-obatan juga dapat meningkatkan kreatinin.
Metabolisme Gangguan Fungsi Hati dan Ginjal Thalasemia Mayor Penderita thalasemia mayor mengalami kelainan pada gen globin menyebabkan produksi hemoglobin berkurang dan sel darah merah mudah rusak/berumur lebih pendek dari sel darah merah normal. Kerusakan sel darah merah pada penderita thalasemia mengakibatkan zat besi akan tertinggal di dalam tubuh. Manusia normal, zat besi yang tertinggal dalam tubuh digunakan untuk membentuk sel darah merah
yang baru. Penderita thalasemia, zat besi yang ditinggalkan sel darah merah yang rusak akan menumpuk dalam organ tubuh seperti hati dan dapat mengganggu fungsi organ tubuh. Zat besi paling banyak terakumulasi di hati karena fungsi hati sebagai sintesis ferritin (simpanan besi) dan transferin (protein pengikat besi) juga tempat penyimpanan terbesar cadangan besi dalam bentuk ferritin dan hemosiderin. Penderita thalasemia mayor harus mendapat suplai darah terus menerus dari darah transfusi untuk mengatasi anemia sehingga akan menambah penumpukan zat besi di dalam hati. Penumpukan zat besi ini harus dikeluarkan karena akan sangat membahayakan dan dapat berujung pada kematian. Penumpukan zat besi juga terdapat di ginjal. Kelebihan zat besi dapat dikurangi dengan terapi kelasi besi berupa obat yang diberikan secara oral maupun lewat infus. Fungsi ginjal diantaranya sebagai ekskresi sisa metabolik dan bahan kimia asing juga produk akhir pemecahan hemoglobin. Obat khelasi besi selain bermanfaat namun juga berbahaya karena mengandung bahan kimia. Sebagian besar zat besi diekskresikan melalui feses dan < 10 % lewat urin, dengan cara mengeliminasi atau mengurangi ikatan serum non transferin besi. Obat khelasi besi ini diabsorbsi dan bersirkulasi selama beberapa jam. Jangka waktu yang lama maka menambah beban ginjal sebagai ekskresi yang dapat mengakibatkan kerusakan ginjal. Ginjal juga berfungsi sebagai pengatur produksi sel darah merah, ginjal menyekresikan eritropoetin yang merangsang pembentukan sel darah merah. 90 % dari seluruh eritropoetin dibentuk dalam ginjal. Penderita thalasemia mayor pembentukan sel darah merah lebih cepat sehingga ginjal akan lebih sering menyekresikan eritropoetin untuk pembentukan sel darah merah baru, lama kelamaan dapat mengakibatkan kerusakan fungsi ginjal.
KESIMPULAN Thalassemia merupakan penyakit genetik yang disebabkan oleh ketidak
normalan
pada
protein globin yang terdapat di gen. Dapat menyerang siapa saja dengan berbagai etnik ras diseluruh dunia dan termasuk salah satu penyakit genetik kelainan darah
yang terbanyak di Indonesia. Jika globin alfa yang rusak maka penyakit itu dinamakan alfa-thalassemia dan jika globin beta yang rusak maka penyakit itu dinamakan alfa thalassemia. Gejala yang terjadi dimulaidari anemia hingga gangguan
tumbuh
kembang.
Pemeriksaan
thalassemia
bisa
dilakukanmelalui pemeriksaan darah, Hb elektroforesa, pemeriksaan sumsum tulang d an rontgen. Thalassemia harus
sudah
diobati
sejak
dini
agar
tidak
berdampak fatal. Pengobatan yang dilakukan adalah dengan melakukan transfusi darah, meminum beberapa suplemen asam folat, terapi kelasi besi, splenektomi hingga transpantasi sumsum tulang. Thalassemia bisa diketahui sedini mungkin dengan proses skrinning.
DAFTAR PUSTAKA 1. Beder, J. 2006. Hospital Social Work: The Interface of Medicine and Caring. Routledge, New York.
2. Brown, S. & Sessions, J.G. 1999. Education and Employment Status: a test of the strong screening hypothesis in Italy. Economics and Education Review, Pergamon. 3. DuBois, B. & Miley, K. (2010). Social Work: An Empowering Profession 6th ed. Boston: Pearson Education. 4. Gursansky, D., Kennedy, R., & Camilleri, P. (2012). The Practice of Case Management. Melbourne: Allen & Unwin. 5. Kanter, J. (2011). Ch. 20. Clinical Case Management. Dalam J.R. Brandell (Ed), Theory and Practice in Clinical Social Work 2nd ed., hlm. 561-586. Thousand Oaks: Sage Publication. 6. Pattra Thanarattanakorn, Louthrenoo, Orawan, Sittipreechacharn, Somjai, Sanguansermsri, Torpong. 2003. Family Functioning in Children with Thalassemia. Clinical Pediatrics; Jan/Feb 2003; 42, 1. 7. Thackeray, M.G., Farley, O.W., & Skidmore, R.A. 1994. Introduction to Social Work 6th ed. Prentice Hall, New Jersey. 8. Zastrow, C. (2010). Introduction to Social Work and Social Welfare: Empowering People 10th ed. California: Brooks/Cole Cengage Learning. 9. Ganie, 2004. Kajian DNA Thalassemia αdi Medan. Medan: USU Press. 10. Ganie, R.A. 2008. Distribusi Pembawa Sifat Thalassemia (α & β) dan Hemoglobin-E pada Penduduk Medan. Majalah Kedokteran Nusantara. 41(2): 117-122. 11. Ganie, R.A. 2008. Kajian Molekular Mutant DelSEA Thalassemia-α pada Populasi Medan. Majalah Kedokteran Nusantara. 41(2): 93-98. 12. Dewi Syarifurnama, 2009. Karakteristik Thalasemia Yang Di Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan. Skripsi. USU Repository. 13. Yuki.Y, 2008.Thalasemia. Skripsi. Medan. USU e-Repository. 14. Tamam.M, 2009. Pekan Cegah Thalasemia. Thalassemia. (D. 3410-3420) .Indonesia.Rotari Internasional. 15. Herdata. N. H, 2008. Thalasemia Mayor.Welcome & joining pediatric hematology oncology in Indonesia. 16. Priyantiningsih R.D, 2010. Pengaruh Deferasirox Terhadap Kadar T4 dan TSH pada Penderita β-Thalasemia Mayor dengan Ferritin yang Tinggi. Tessis : FK Undip Semarang. 17. Kartoyo P. Purnamawati SP, 2003. Pengaruh Penimbunan Besi Terhadap Hati pada Thalassemia. Jurnal. Sari Pediatri Vol.5. No.1, 34-38.