Referat-sindrom Nefrotik - Bobby.docx

  • Uploaded by: Apheloe
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Referat-sindrom Nefrotik - Bobby.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,730
  • Pages: 17
REFERAT SINDROM NEFROTIK

Pembimbing : dr. Suryono, Sp.A Disusun Oleh : Muhammad hakam al hasby (2013730150)

KEPANITERAAN KLINIK PEDIATRI RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA 2019

BAB I PENDAHULUAN Sindrom nefrotik (SN) merupakan tanda patognomonik penyakit glomerular yang ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif lebih dari 3,5 g/hari, hipoalbuminemia kurang dari 3,5 g/hari, hiperkolesterolemia, dan lipiduria. Tidak semua pasien dengan proteinuria diatas 3,5 gram/hari akan tampil dengan gejala yang komplit; beberapa diantaranya memiliki kadar albumin yang normal dan tanpa edema. Umumnya fungsi ginjal pada pasien SN adalah normal, tetapi pada sebagian kasus dapat berkembang menjadi gagal ginjal yang progresif. Sindrom nefrotik memiliki berbagai efek metabolik yang dapat berdampak pada kesehatan individu secara umum. Beberapa episode dari SN adalah self-limited, dan sebagian diantaranya respons terhadap terapi spesifik (misalnya steroid pada glomerulonefritis (GN) lesi minimal), namun untuk sebagian besar pasien merupakan kondisi yang kronis. (IPD)

2

BAB II PEMBAHASAN

SINDROM NEFROTIK 1. DEFINISI Sindrom Nefrotik adalah keadaan klinis dengan gejala proteinuria masif/berat (> 40 mg/m2/jam), hipoproteinemia (albumin serum ≤2,5 g/dl), edema, dan hiperkolesterolemia (>250 mg/dL). Kadang-kadang gejala disertai dengan hematuria, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal.1,2 Sindrom nefrotik dapat dibedakan menjadi sindrom nefrotik kongenital, sindrom nefrotik primer, dan sindrom nefrotik sekunder. Pada umunya sebagian besar (± 80%) sindrom nefrotik primer memberi respons yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya akan relaps berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan steroid.1

2. EPIDEMIOLOGI Angka kejadian bervariasi antara 2-7 per 100.000 anak, lebih banyak pada anak yang berumur 3-4 tahun, dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 2:1. Sindrom nefrotik primer paling sering terjadi pada usia 1,5-5 tahun. Kejadian SN primer sering dikaitkan dengan tipe genetik HLA tertentu (HLA-DR7, HLA-B8, dan HLA-B12). Usia dan ras juga turut mempengruhi insidens SN. 1,2

3. ETIOLOGI Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh GN primer dan sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan ikat (connective tissue disease), obat atau toksin, dan akibat penyakit sistemik seperti tercantum pada tabel 1. Glomerulonefritis lesi minimal merupakan penyebab SN utama pada anak, meskipun tetap merupakan penyebab yang banyak ditemukan pada semua usia. Sekitar 30% penyebab SN pada dewasa dihubungkan dengan penyakit sistemik seperti diabetes melitus, amiloidosis, atau lupus eritematosis sistemik. Penyebab lain disebabkan oleh kelainan primer pada ginjal 3

seperti kelainan lesi minimal, glomerulosklerosis fokal segmental, dan nefropati membranosa.3 Tabel 1. Klasifikasi dan Penyebab Sindrom Nefrotik3 Glomerulonefritis primer -

GN lesi minimal

-

Glomerulosklerosis fokal segmental

-

GN membranosa

-

GN membranoproliferatif

-

GN proliferatif lain

Glomerulonefritis sekunder akibat: 1. Infeksi o HIV, hepatitis virus B dan C o Sifilis, malaria, skistosoma o Tuberkulosis, lepra 2. Keganasan o Adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma Hodgkin, mieloma multipel, dan karsinoma ginjal 3. Penyakit jaringan penghubung o Lupus eritematosus sistemik, artritis reumatoid, mixed connective tissue disease (MCTD) 4. Efek obat dam toksin o Obat

antiinflamasi

non-steroid,

preparat

emas,

penisilamin,

probenesid, air raksa, kaptopril, heroin 5. Lain-lain o Diabetes melitus, amiloidosis, pre-eklamsia, rejeksi alograf kronik, refluks vesikoureter, atau sengatan lebah

-

Glomerulonefritis Lesi Minimal Glomerulonefritis lesi minimal ditemukan sekitar 90% pada anak dengan SN usia dibawah 10 tahun, dan lebih dari 50% pada anak yang lebih tua. Sebanyak 10-15% 4

terjadi pada SN dewasa. Pada dewasa dapat terjadi sebagai suatu kondisi yang idiopatik, berhubungan dengan pemakaian obat antiinflamasi non-steroid (OAINS), atau efek paraneoplastik dari suatu keganasan (paling sering Limfoma Hodgkin). Pemeriksaan dibawah mikroskop cahaya dari kelainan minimal adalah normal atau ditemukan adanya proliferasi ringan dan se mesangial, dan pada pemeriksaan imunofluoresens tidak menunjukkan adanya deposit kompleks imun, namun kadang dapat ditemukan sedikit IgM pada mesangial. Temuan histologis yang khas dari lesi minimal adalah adanya effacement difus dari foot process (FP) sel epitel pada mikroskop elektron.3 -

Glomerulosklerosis fokal segmental Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) merupakan lesi tersering yang ditemukan pada SN dewasa yang idiopatik. Di Amerika Serikat sebanyak 35% dari keseluruhan kasus dan 50% diantaranya adalah kulit hitam. Pada pemeriksaan mikroskop cahaya GSFS ditandai dengan adanya beberapa tapi tidak semua glomeruli (sehingga disebut sebagai lokal) dari area segmental dari mesangial yang mengalami kolaps dam sklerosis. GSFS dapat muncul sebagai sindrom idiopatik (GSFS primer) atau berkaitan dengan infeksi HIV, nefropati refluks, bekas injuri glomerulus sebelumnya, reaksi idiosinkrasi akibat OAINS, atau obesitas berat.3

-

Nefropati Membranosa Nefropati Membranosa merupakan penyebab SN primer tersering pada dewasa. Insiden tertinggi terjadi pada umur 30 dan 50 tahun serta rasio laki-perempuan adalah 2:1. Lesi yang khas adalah adanya penebalan membran basal dengan sedikit atau tidak ditemukannya proliferasi atau infiltrasi selular, dan adanya deposit disepanjang membran basal glomerulus pada mikroskop elektron. Nefropati membranosa dapat juga terjadi akibat hepatitis β antigenemia, penyakit autoimun, tiroiditis, keganasan, dan pemakaian beberapa obat-obatan seperti preparat emas, penisilamin, kaptopril, dan OAINS.3

4. KLASIFIKASI Berikut ini adalah beberapa batasan yang dipakai pada sindrom nefrotik:4 1. Sindrom nefrotik relaps jarang: sindrom nefrotik yang mengalami relaps < 2 kali dalam 6 bulan sejak respons awal atau < 4 kali dalam 1 tahun 2. Sindrom nefrotik relaps sering: sindrom nefrotik yang mengalami relaps ≥ 2 kali dalam 5

6 bulan sejak respons awal atau ≥ 4 kali dalam 1 tahun 3. Sindrom nefrotik dependen steroid: sindrom nefrotik yang mengalami relaps setelah dosis prednison diturunkan menjadi 2/3 dosis penuh atau dihentikan dalam 14 hari, dan terjadi 2 kali berturut-turut. 4. Relaps: timbulnya proteinuria kembali (≥ 40 mg/jam/m 2 LPT) atau ≥ 2+ selama 3 hari berturut-turut 5. Remisi : keadaan proteinuria negatif atau trace selama 3 hari berturut-turut Berdasarkan penyebab, sindrom nefrotik pada anak dapat dibagi menjadi:2 1. Sindrom nefrotik kongenital 2. Sindrom nefrotik primer (idiopatik); yang paling banyak. 3. Sindrom nefrotik sekunder

5. PATOFISIOLOGI Proteinuria Ada tiga jenis proteinuria yaitu glomerular, tubular dan overflow. Kehilangan protein pada SN termasuk ke dalam proteinuria glomerular. Proteinuria pada penyakit glomerular disebabkan oleh meningkatnya filtrasi makromolekul melewati dinding kapiler glomerulus. Hal ini sering diakibatkan oleh kelainan pada podosit gomerular, meliputi retraksi dari foot process dan/atau reorganisasi dari slit diaphragm. Perbedaan potensial listrik yang dihasilkan oleh arus transglomerular akan memodulasi flux makromolekul melewati dinding kapiler glomerulus. Glomerulus ginjal terdiri dari vascular bed yang kompleks yang berfungsi sebagai ultrafiltrasi selektif terhadap protein plasma. Sistem filtrasi glomerulus terdiri dari 3 lapisan, yaitu lapisan sel endotel, membran basal glomerulus dan lapisan sel epitel (podosit). Podosit merupakan lapisan barier terluar dari sistem filtrasi glomerulus. Dalam kondisi patologis, podosit mengalami berbagai perubahan bentuk struktural seperti FP effacement, pseudocyst formation, hipertrofi, terlepas dari membran basal glomerulus (detachment) dan apoptosis. Fot process effacement merupakan karakteristik perubahan yang paling dominan dijumpai pada SN dan penyakit glomerular lainnya yang disertai proteinuria. Fot process effacement dapat reversibel atau ireversibel apabila injuri sel podosit terjadi berkelanjutan. Sindrom nefrotik terutama disebabkan oleh injuri sel podosit dengan manifestasi proteinuria masif, pada beberapa keadaan dapat progresi menuju penyakit ginjal kronik. 6

Dalam keadaan normal membran basal glomerulus mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada SN, kedua mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu. Selain itu konfigurasi molekul protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui membran basal glomerulus. Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non selektif berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin, sedangkan non selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti imunoglobulin. Selektivitas proteinuria dipengaruhi oleh keutuhan struktur membran basal glomerulus. Pada SN yang disebabkan oleh GN lesi minimal ditemukan proteinuria selektif. Pemeriksaan mikroskop elektron memperlihatkan fusi FP sel epitel viseral glomerulus dan terlepasnya sel dari struktur membran basal glomerulus. Berkurangnya kandungan heparan sulfat proteoglikan pada GN lesi minimal menyebabkan muatan negatif membran basal glomerulus menurun dan albumin dapat lolos ke dalam urin. Patogenesis utama yang terjadi pada GSFS adalah kerusakan dan kehilangan podosit. Injuri pada podosit terjadi melalui empat mekanisme utama: perubahan komponen dari slit diaphragm atau strukturnya, disregulasi sitoskleton aktin, perubahan pada membran basal glomerulus atau interaksinya dengan podosit, atau perubahan muatan listrik negatif pada permukaan podosit. Rusaknya podosit akan memicu terjadinya apoptosis dan terlepasnya (detachment) podosit dari membran basal glomerulus. Akibatnya berlanjut pada kerusakan lain yang diperantarai oleh pelepasan sitokin, stres mekanik, dan polaritas yang semakin menurun, sehingga terbentuk sklerosis dan jaringan parut pada glomerulus. Pada nefropati membranosa kerusakan struktur membran basal glomerulus terjadi akibat endapan kompleks imun di sub-epitel. Komplek C5b-9 yang terbentuk pada nefropati membranosa akan meingkatkan permeabilitas membran basal glomerulus, walaupun mekanisme yang pasti belum diketahui.3 Hipoalbuminemia Konsetrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin hati dan kehilangan protein melalui urin. Pada SN hipoalbuminemia disebabkan oleh protenuria masif dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma maka hati berusaha meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan sintesis albumin hati tidak berhasil menghalangi timbulnya hipoalbuminemia. Dalam keadaan 7

normal hati memiliki kapasitas sintesis untuk meningkatkan albumin total sebesar 25 gram per hari. Namun masih belum jelas mengapa hati tidak mampu meningkatkan sintesis albumin secara adekuat untuk menormalkan kadar albumin plasma pada pasien dengan proteinuria 4-6 gram per hari. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin total tetapi dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin. Hipoalbuminemia dapat pula terjadi akibat peningkatan reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh tubulus proksimal.3 Edema Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overvill. Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan interstitium mengikuti hukum Starling dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia, dan ginjal melakukan kompensasi dengan merangsang sistem reninangiotensin sehingga di tubulus distal. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskular tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut. Teori overvill menjelaskan bahwa ada retensi natrium adalah defek utama renal. Terjadi defek primer pada kemampuan nefron distal untuk mengekskresikan natrium, hal ini dapat disebabkan oleh aktivasi kanal natrium epitel (ENaC) oleh enzim proteolitik yang memasuki lumen tubulus pada keadaan proteinuria masif. Akibatnya terjadi peningkatan volume darah, penekanan renin-angiotensin dan vasopressin, dan kecenderungan untuk terjadinya hipertensi dibandingkan hipotensi; ginjal juga relatif resisten terhadap efek natriuretic peptide. Meningkatnya volume darah, akibat tekanan onkotik yang rendah memicu transudasi cairan ke ruang ekstraselular dan edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan secara bersamaan pada pasien SN. Faktor seperti asupan natrium, efek diuretik atau terapi steroid, derajat gangguan fungsi ginjal, jenis lesi glomerulus, dan keterkaitan dengan penyakit jantung atau hati akan menentukan mekanisme mana yang lebih berperan. Mekanisme terjadinya edema pada SN dapat dilihat gambar 4.3

8

6. DIAGNOSIS Anamnesis Keluhan yang sering ditemukan adalah edema di kelopak mata, perut, tungkai, skrotum/labia mayora, atau seluruh tubuh yang dapat disertai penurunan jumlah urin. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin keruh atau jika terdapat hematuri bewarna kemerahan.1 Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisis, dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata, tungkai, abdomen (adanya asites), edema skrotum/labia mayora, dan efusi pleura; tekanan darah dapat normal atau meningkat.1

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (≥ 2+), rasio albumin kreatinin urin >2 dan dapat disertai hematuria. Pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia (<2,5g/dL), hiperkolesterolemia (>200 mg/dl) dan laju endap darah yang meningkat. Kadar ureum dan kreatinin umunya normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal.1

8. KOMPLIKASI Keseimbangan Nitrogen Negatif Proteinuria masif akan menyebabkan keseimbangan nitrogen menjadi negatif, secara klinis biasanya diukur dengan menggunakan kadar albumin plasma. Sindrom nefrotik adalah suatu wasting illness, namun derajat kehilangan massa otot tertutupi oleh gejala edema anasarka dan baru tampak setelah edema menghilang. Kehilangan massa otot sebesar 10-20% dari massa tubuh tanpa lemak (lean body mass) tidak jarang dijumpai pada SN. Turnover albumin meningkat bukan hanya sebagai respon terhadap kehilangan protein dalam urin namun juga akibat katabolisme protein terfiltrasi di tubulus. Diet tinggi protein tidak terbukti memperbaiki metabolisme albumin karena respon hemodinamik terhadap asupan yang meningkat adalah meningkatnya tekanan glomerulus yang menyebabkan kehilangan protein dalam urin yang semakin banyak. Diet rendah protein akan mengurangi proteinuria namun juga menurunkan kecepatan sintesis albumin, dan dalam jangka panjang akan meningkatkan risiko memburuknya keseimbangan nitrogen negatif.3

9

Hiperkoagulasi Komplikasi tromboemboli sering ditemukan pada SN akibat peningkatan koagulasi intravaskular. Kadar berbagai protein yang terlibat dalam kaskade koagulasi teganggu pada SN, serta agregasi platelet turut meningkat. Selain itu juga terjadi peningkatan fibrinogen dan penurunan fibrinolisis. Gangguan koagulasi yang terjadi disebabkan oleh peningkatan fibrinogen dan penurunan fibrinolisis. Gangguan koagulasi yang terjadi sibebakan oleh peningkatan sintesis protein oleh hati dan kehilangan protein melalui urin. Hasil akhirnya adalah kondisi hiperkoagulasi yang diperberat dengan adanya imobilisas, koinsidensi infeksi, dan hemokonsentrasi. Insiden trombosis arteri dan vena (terutama trombosis vena dalam dan vena renalis) meningkat sebesar 10-40% pada pasien SN. Kadar protein koagulasi tidak banyak membantu dalam memperkirakan risiko tromboemboli, dan kadar albumin serum sering dipakai sebagai petanda. Kejadian tromboemboli meningkat tajam jika kadar albumin serum kurang dari 2 g/dl. Kondisi hipoproteinemia dan disproteinemia menyebabkan peningkatan LED. Kadar LED hingga 100 mm/jam tidak lazim ditemukan, sehingga disimpulkan bahwa LED bukan merupakan petanda respon fase akut pada SN. Pada SN akibat nefropati membranosa kecenderungan terjadinya trombosis vena renalis cukup tinggi terutama pada pasien dengan ekskresi protein dalam urin melebihi 10 gram per hari, sedangkan SN pada lesi minimal dan membranoproliferatif frekuensinya kecil. Sebagian besar pasien simtomatik, dan dicurigai terjadi trombosis vena renalis apabila ditemukan tromboemboli paru. Emboli paru dan trombosis vena dalam (deep vein thrombosis) sering dijumpai pada SN. Kelainan tersebut disebabkan oleh perubahan tingkat dan aktivitas berbagai faktor koagulasi intrinsik dan ekstrinsik.3

Hiperlipidemia dan Lipiduria Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai SN. Respon hiperlipidemik sebagian dicetuskan oleh menurunnya tekanan onkotik plasma, serta derajat hiperlipidemia berbanding terbalik dan berhubungan erat dengan menuunnya tekanan onkotik. Kondisi hiperlipidemia dapat reversibel seiring dengan resolusi dari SN yang terjadi baik secara

10

spontan maupun diinduksi dengan obat. Tekanan onkotik yang rendah secara langsung menstimulasi trasnkripsi den apoprotein β di hepar. Dugaan bahwa penyakit jantung koroner meningkat pada pasien SN akibat adanya kombinasi hiperkoagulasi dan hiperlipidemia masih sulit untuk dibuktikan. Banyak pasien yang menderita SN selama lebih dari 5-10 tahun akan memiliki risiko kardiovaskular lain termasuk hipertensi dan uremia, sehingga sulit membedakan pengaruh dari keduanya. Tetapi telah disadari bahwa pasien SN memiliki risiko lima kali lipat lebih tinggi untuk terjadinya kematian akibat koroner, dengan perkecualian pada GN lesi minimal. Kadar kolesterol umumnya meningkat sedangkan trigliserid bervariasi dari normal sampai sedikit meninggi. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan meningkatnya LDL (low density lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Kadar trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL (very low density lipoprotein). Selain itu pula ditemukan peningkatan IDL (intermediate density lipoprotein) dan lipoprotein (Lp)a, sedangkan HDL (high density lipoprotein) cenderung normal atau rendah. Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Semula diduga hiperlipidemia merupakan hasil stimulasi non-spesifik terhadap sintesis protein oleh hati. Karena sintesis protein tidak berkorelasi dengan hiperlipidemia dapat ditemukan pada SN dengan kadar albumin mendekati normal dan sebaliknya pada pasien dengan hipoalbunemia kadar kolsterol dapat normal. Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati dan gangguan konversu VLDL dan IDL menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN. Menurunnya aktivitas enzim LPL (lipoprotein lipase) diduga merupakan penyebab berkurangnya katabolisme VLDL pada SN. Peningkatan sintesis lipoproteinhati terjadi akibat tekanan onkotik plasma atau vikositas yang menurun. Penurunan onkotik plasma atau viskositas yang menurun. Penurunan kadar HDL pada SN diduga akibat berkurangnya aktivitas enzim LCAT (lecithin cholesterol acyltrasferase) yang berfungsi dalam katalisasi pembentukan HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju hati untuk katabolisme. Penurunan aktivitas enzim tersebut diduga terkait dengan hipoalbuminemia yang terjadi pada SN. Lipiduria sering ditemukan pada SN dan ditandai dengan akumulasi lipid pada debris sel dan cast seperti badan lemak berbentuk oval (oval fat bodies) dan fatty cast. Lipiduria lebih dikaitkan dengan proteinuria daripada dengan hiperlipidemia.3

11

Metabolisme Kalsium dan Tulang Vitamin D merupakan unsur penting dalam metabolisme kalsium dan tulang pada manusia. Vitamin D yang terikat prorein akan diekskresikan melalui urin sehingga menyebabkan penurunan kadar plasma. Kadar 25(OH) D dan 1,35(OH)2D plasma juga ikut menurun sedanakn kadar vitamin D bebas tidak mengalami gangguan. Efek fisiologis perubahan tersebut pada metabolisme vitamin D dalam homeostasis kalsium belum jelas diketahui. Hipokalemia sering ditemukan pada SN oleh karena berkurangnya kalsium yang terkait albumin akibat hipoalbuminemia. Namun karena fungsi ginjal pada SN umunya normal maka osteomalasia atau hiperparatiroid yang tidak terkontrol jarang dijumpai.3 Efek Metabolik Lain dan Sindrom Nefrotik Pada SN juga terjadi kehilangan hormon tiroid yang terikat protein (thyroid-binding protein) melalui urin dan penurunan kadar tiroksin plasma. Tiroksin yang bebad dan hormon yang menstimulasi tiroksin (thyroxine-stimulating hormone) tetap normal sehingga secara klinis tidak menimbulkan gangguan. Namun pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal maka dapat ditemukan kelainan fungsi ginjal maka dapat ditemukan kelainan fungsi tioid yang lebih berat. Dan jika dicurigai adanya hipotiroid secara klinis maka TSH serum sebaiknya diperiksa. Terapi steroid pada pasien SN bisa menghambat sekresi TSH dan konversi T4 menjadi T3 di perifer. Akibatnya serum T3 dan TSH basal rendah dan kadar rT3 meningkat. Pada kondisi ini maka kadar T4 bebas merupakan pertanda fungsi tiroid yang paling akurat. Apabila kadat fT4 menurun maka pengobatan untuk hipotiroid sebainya dimulai. Anemia dapat terjadi pada SN dengan fungsi ginjal yang masih baik. Hal ini disebabkan oleh defisiensi eritropoietin dan kehilangan protein dalam urin. Pada kondisi ini pemberian eritropoietin dapat bermanfaatn. Ikatan obat obatan dapat terganggu akibat rendahnya albumin plasma. Meski sebagian besar obat tidak memerlukan penyesuaian dosis namun khusus untuk clofibrate dosis perlu diturunkan karena pada pemberian yang normal pada pasien SN dapat menimbulkan miopati yang berat. Menurutnya ikatan dengan protein juga mengurangi dosis warfarin yang dibutuhkan untuk mencapai efek antikoagulan yang adekuat atau dosis furosemid yang dibutuhkan untuk mencapai penurunan volume yang optimal.3 Infeksi Sebelum era antibiotik, infeksi sering merupakan penyebab kematian pada SN terutama oleh organisme berkapsul (encapsulated organism). Infeksi pada SN terjadi akibat defek 12

imunitas humoral, selular, dan gangguan sistem komplemen. Penurunan IgG, IgA, dan gamma globulin sering ditemukan pada pasien SN oleh karena sintesis yang menurun atau katabolisme yang meningkat dan bertambah banyaknya yang terbuang melalui urin. Jumlah sel T dalam sirkulasi berkurang yang menggambarkan gangguan imunitas selular. Hal ini dikaitkan dengan keluarnya transferin dan zinc yang dibutuhkan oleh sel T agar dapat berfungsi dengan normal. Faktor risiko lain yang dapat mempermudah terjadinya infeksi pada pasien SN yaitu akumulasi cairan dalam jumlah besar yang merupakan tempat pertumbuhan yang baik utnuk bakteri, kulit pasien SN yang rapuh akan mempermudah masuknya bakteri, serta edema yang menyebabkan dilusi dari faktor imun humoral lokal.3

9. TERAPI a. Medikamentosa Pengobatan dengan prednison diberikan dengan dosis awal 60 mg/m2/hari atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi tiga, selama 4 mingu, dilanjutkan dengan 2/3 dosis awal (40 mg/m2/hari, maksimum 60 mg/hari) dosis tunggal pagi selang sehari (dosis alternating) selama 4-8 minggu (lihat lampiran) (ISKDC 1982). Bila terjadi relaps, maka diberikan prednison 60 mg/m2/hari sampai terjadi remisi (maksimal 4 minggu), dilanjutkan 2/3 dosis awal (40 mg/m2/hari) secara alternating selama 4 minggu. Pada sindrom nefrotik resisten steroid atau toksik steroid, diberikan obat imunosupresan lain seperti siklofosfamid per oral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari dalam dosis tunggal di bawah pengawasan dokter nefrologi anak. Dosis dihitung berdasarkan berat badan tanpa edema (persentil ke-50 berat badan menurut tinggi badan).1 b. Suportif Bila ada edema anasarka diperlukan tirah baring. Selain pemberian kortokosteroid atau imunosupresan, diperlukan pengobatan suportif lainnya, seperti pemberian diet protein normal (1,5-2 g/kgbb/hari), diet rendah garam (1-2 g/hari) dan diuretik. Diuretik furosemid 1-2 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-3 mg/kgbb/hari bila ada edema anasarka atau edema yang mengganggu aktivitas. Jika ada hipertensi dapat ditambahkan obat antihipertensi. Pemberian albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb 13

selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan pmberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb dilakukan atas indikasi seperti edema refrakter, syok, atau kadar albumin ≤ 1 gram/dL. Terapi psikologis terhadap pasien dan orangtua diperlukan karena penyakit ini dapat berulang dan merupakan penyakit kronik. 1 -

Dosis pemberian albumin : Kadar albumin serum 1-2 g/dL: diberikan 0,5 g/kgBB/hari; kadar albumin <1 g/dL diberikan 1 g/kgBB/hari.

-

Skema pengobatan SN inisial menurut ISKDC 1967

c. Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialis lainnya, dll) Keadaan di bawah ini merupakan indikasi untuk merujuk ke dokter spesialis nefrologi anak :1 -

Awitan sindrom nefrotik pada usia dibawah 1 tahun, riwayat penyakit sindrom nefrotik di dalam keluarga

-

Sindrom nefrotik dengan hipertensi, hematuria nyata persisten, penurunan fungsi ginjal, atau disertai gejala ekstrarenal, seperti artitis, serositis, atau lesi di kulit

-

Sindrom nefrotik dengan komplikasi edema refrakter, trombosis, infeksi berat, toksik steroid

-

Sindrom nefrotik resisten steroid

-

Sindrom nefrotik relaps sering atau dependen steroid

-

Diperlukan biopsi ginjal

d. Pemantauan Terapi Dengan pemberian prednison atau imunosupresan lain dalam jangka lama, maka perlu dilakukan pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya efek samping obat. Prednison dapat menyebabkan hipertensi atau efek samping lain dan siklofosfamid dapat menyebabkan depresi sumsum tulang dan efek samping lain. Pemeriksaan tekanan darah perlu dilakukan secara rutin. Pada pemakaian siklofosfamid diperlukan pemeriksaan darah tepi setiap minggu. Apabila terjadi hipertensi, prednison dihentikan dan diganti dengan imunosupresan lain, hipertensi diatasi dengan obat antihipertensi. Jika terjadi depresi 14

sumsum tulang (leukosit <3.000/µL) maka obat dihentikan sementara dan dilanjutkan lagi jika leukosit ≥5.000µL. 1 Tumbuh kembang Gangguan tumbuh kembang dapat terjadi sebagai akibat penyakit sindrom nefrotik sendiri atau efek samping pemberian obat prednison secara berulang dalam jangka lama. Selain itu, penyakit ini merupakan keadaan imunokompromais sehingga sangat rentan terhadap infeksi. Infeksi berulang dapat mengganggu tumbuh kembang pasien. 1

10. PROGNOSIS Angka kejadian relaps SN pada anak yang responsif terhadap steroid berkisar antara 60-80%. Namun angka relaps tersebut semakin kecil seiring bertambahnya usia.2

15

BAB III KESIMPULAN Sindrom nefrotik (SN) merupakan tanda patognomonik penyakit glomerular yang ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif, hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia, dan lipiduria. Gejala khas untuk diagnostik SN : bengkak di kelopak mata, perut, tungkai, skrotum/labia mayora, atau seluruh tubuh yang dapat disertai penurunan jumlah urin. Gejala lain : hematuria. Penetapan diagnostik pasti untuk SN : Urinalisis (proteinuria masif, rasio albumin kreatinin urin dan

hematuria) dan Pemeriksaan darah (hipoalbuminemia,

hiperkolesterolemia dan laju endap darah meningkat. Angka kejadian relaps SN pada anak yang responsif terhadap steroid (60-80%). Tatalaksana SN dengan suportif dan medikamentosa.

16

DAFTAR PUSTAKA 1.

Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis. Cetakan Pe. Pudjiadi AH, Hegar B, Handrayastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED, editors. Palembang: Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010.

2.

Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita Selekta Kedokteran. 1st ed. Jakarta: Media Aesculapius; 2016.

3.

Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, K MS, Setiyohadi B, Syam AF. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta Pusat: InternaPublishing; 2015.

4.

Prof. Dr. Sudigdo Sastroasmoro S. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan Anak. 1st ed. Jakarta: RSUP. Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo; 2007.

17

Related Documents


More Documents from "Esah"