Case 3 Dbd.docx

  • Uploaded by: cmardansyah
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Case 3 Dbd.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 9,459
  • Pages: 50
LAPORAN KASUS: SEORANG ANAK LAKI-LAKI DENGAN DEMAM BERDARAH DENGUE

Pembimbing : dr. Raden Setyadi, Sp.A

Disusun oleh : Dwi Nimas 030.12.087

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH PERIODE 26 MARET – 2 JUNI 2018 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA

LEMBAR PENGESAHAN

Presentasi laporan kasus dengan judul “Seorang Anak Perempuan dengan Demam Berdarah Dengue”

Penyusun: Dwi Nimas 030.12.087

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak di RSU Kardinah Kota Tegal 26 Maret-2 Juni 2018

Tegal, Mei 2018

dr. Raden Setyadi, Sp.A

STATUS PASIEN LAPORAN KASUS KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL Nama : Dwi Nimas

Pembimbing : dr. Dwi Nimas, Sp.A

NIM

Tanda tangan :

: 030.12.087

A. IDENTITAS PASIEN DATA

PASIEN

AYAH

IBU

Nama

An. N

Tn. A

Ny. R

Umur

6 tahun

30 tahun

28 tahun

Jenis Kelamin

Perempuan

Laki-laki

Perempuan

Alamat

Jl.KH Umar Asnawi RT 12/ RW 03 Kec Talang Tegal

Agama

Islam

Islam

Islam

Suku Bangsa

Jawa

Jawa

Jawa

Pendidikan

-

SMP

SD

Pekerjaan

-

Buruh

Ibu Rumah Tangga

Penghasilan

-

Rp. 2.000.000,-

-

Keterangan

Hubungan orangtua dengan anak adalah anak kandung

Asuransi

BPJS

No. RM

721993

B. ANAMNESIS Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis terhadap Ibu kandung pasien pada tanggal 17 Mei 2018 di WK RS Kardinah Tegal pukul 08.00 WIB. 

Keluhan Utama : demam 3 hari SMRS



Keluhan Tambahan: mual (+) muntah (+), nyeri perut (+)



Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke IGD RSU Kardinah diantar oleh ayah dan ibunya dengan keluhan demam naik turun. Demam dirasakan sejak 3 hari SMRS, orang tua pasien mengatakan demam naik turun, naik terutama saat sore hari. Pasien juga mengalami mual dan muntah sejak 2 hari SMRS,muntah sebanyak 2x isi makanan. Nyeri perut dirasakan dibagian ulu hati, nyeri dirasakan hilang timbul. Nafsu makan dan minum menurun dan pasien merasa lemas. Belum BAB sejak 1 hari SMRS. dan BAK dalam batas normal. Pasien juga sering mengeluh sakit kepala dan muncul bintik-bintik merah di pipi dan tangan. Batuk,pilek, serta kejang disangkal. Mimisan, gusi berdarah, sesak napas, pegal pegal dan Ibu pasien juga menyangkal bepergian ke luar kota akhir-akhir ini. Ibu pasien juga mengatakan terdapat orang di sekitar lingkungan rumah pasien yang mengalami DBD. Pasien kemudian dibawa ke IGD RS Kardinah.



Riwayat Penyakit Dahulu Pasien tidak pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat maupun makanan tertentu. Riwayat kejang disangkal. Penyakit lain, seperti asma, penyakit jantung, kelainan darah, dan sebagainya disangkal.



Riwayat Penyakit Keluarga Ibu pasien mengaku tidak ada keluarga pasien yang memiliki penyakit serupa dengan pasien, tidak ada keluarga yang memiliki penyakit kelainan darah, penyakit darah tinggi, kecing manis, jantung bawaan ataupun asma. Riwayat penyakit batukbatuk lama atau pengobatan flek paru juga disangkal.



Riwayat Lingkungan Perumahan

Orang tua pasien tinggal di rumah pribadi. Rumah tersebut berukuran 7 x 10 m2, berada di wilayah padat penduduk, beratap genteng, berlantai ubin, berdinding tembok. Di rumah tersebut tinggal kedua orang tua pasien,pasien dan adik pasien. Rumah rajin dibersihkan setiap hari dari mulai disapu sampai membersihkan debudebu ruangan. Cahaya matahari dapat masuk ke dalam rumah, lampu tidak dinyalakan pada siang hari. Jika jendela dibuka maka udara dalam rumah tidak pengap. Jarak septic tank dengan wc ± 10 m. Limbah rumah tangga tersalur di selokan. Selokan tidak mengalir dan banyak sampah yang tergenang. Kesan: Keadaan lingkungan rumah dan sanitasi baik, ventilasi dan pencahayaan baik, kemungkinan adanya genangan air sebagai tempat penyarangan nyamuk Aedes aegypty belum dapat disingkirkan. 

Riwayat Sosial Ekonomi Ayah pasien berprofesi sebagai buruh dengan penghasilan ± Rp 2.000.000,per bulan. Ibu pasien adalah seorang Ibu Rumah Tangga. Penghasilan tersebut menanggung hidup 4 orang, kedua orang tua pasien, pasien dan adik pasien. Kesan: Riwayat sosial ekonomi kurang-cukup



Riwayat Kehamilan dan Pemeriksaan Prenatal Ibu pasien berusia 23 tahun saat mengandung pasien serta merupakan kehamilan yang pertama. Ibu memeriksakan kehamilan secara rutin teratur ke Bidan. Ibu pasien mengaku sudah dilakukan imunisasi TT 2x dan sudah melakukan USG. Riwayat darah tinggi, perdarahan, kencing manis, kejang saat kehamilan, infeksi saat kehamilan, ketuban pecah dini, riwayat minum obat tanpa resep dokter dan jamu-jamuan selama hamil disangkal. Selama hamil ibu makan 3x sehari berupa nasi, lauk pauk, sayur dan buah-buahan. Kesan : Riwayat perawatan antenatal baik

 Riwayat Persalinan o Tempat kelahiran

: Klinik Bidan

o Penolong persalinan

: Bidan

o Cara persalinan

: Spontan

o Masa gestasi

: 37 minggu, G1P0A0

o Air ketuban

: ibu tidak ingat

o Plasenta

: tidak terdapat lilitan pada saat kelahiran

o Berat badan lahir

: 3100 gram

o Panjang badan lahir

: 48 cm

o Lingkar kepala

: ibu tidak ingat

o Keadaan lahir

: segera menangis

o Nilai APGAR

: ibu tidak tahu

o Kelainan bawaan

: tidak ada kelainan bawaan

o Penyulit/ komplikasi

: tidak ada

Kesan: Neonatus aterm, lahir spontan, bayi dalam keadaan bugar. 

Riwayat Pemeliharaan Postnatal Pemeliharaan setelah kelahiran dilakukan di posyandu Kesan: Riwayat pemeliharaan postnatal baik.



Corak Reproduksi Ibu Ibu G1P0A0, pasien adalah anak pertama dan berjenis kelamin perempuan.



Riwayat Keluarga Berencana Ibu pasien saat ini sedang menggunakan kb suntik 3 bulan



Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Pertumbuhan: Berat badan lahir 3100 gram. Panjang badan lahir 48 cm. Berat badan sekarang 19 kg. Tinggi badan 117 cm. Perkembangan: Psikomotor o Senyum

: 3 bulan

o Tengkurap

: 4 bulan

o Duduk

: 8 bulan

o Merangkak

: Ibu Lupa

o Berdiri

: 10 bulan

o Berjalan

: 12 bulan

o Berbicara

: 16 bulan

Kesan : Riwayat pertumbuhan dan perkembangan anak baik. Tidak ada keterlambatan kemampuan psikomotor. 

Riwayat Makan dan Minum Ibu memberikan ASI ekslusif sampai usia 6 bulan. Dilanjutkan dengan ASI dan makanan pendamping ASI setelah usia 6 bulan. Umur 1 tahun mulai diberikan nasi tim dan usia 1,5 tahun diberikan nasi padat. Pasien rutin makan 3 x sehari. Variasi makanan nasi, lauk pauk dan sayur. Kesan: kualitas dan kuantitas makan dan minum baik.

 Riwayat Imunisasi VAKSIN

BCG DTP/ DT POLIO CAMPAK HEPATITIS B

ULANGAN

DASAR (umur)

(umur)

0bulan

-

-

-

-

-

-

-

2 bulan

5 bulan

7 bulan

-

-

-

0 bulan

2 bulan

4 bulan

6 bulan

-

-

-

-

-

-

9 bulan

-

-

-

0 bulan

1 bulan

-

6 bulan

-

-

-

Kesan : Imunisasi dasar lengkap sesuai usia pasien namun belum dilakukan pengulangan. 

Silsilah keluarga

Keterangan : : Perempuan

: Laki-laki :

: Pasien

C. PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 18 Mei 2018, pukul 08.30 WIB, di Ruang WK RSU Kardinah Tegal

I. Kesan Umum Compos mentis, tampak sakit sedang, lemas. Tidak kejang,pucat (-), edema (-) II. Tanda Vital Tekanan darah

: 110/70

Nadi

: 92x/menit reguler, sama kuat, isi cukup

Laju nafas

: 24x/menit reguler

Suhu

: 36,5 oC, Axilla

III. Data Antropometri Berat badan sekarang

: 19 kg

TInggi badan sekarang

: 117 cm

IV. Status Internus i. Kulit: Tampak pucat (-), sianosis (-), ikterik (-), ptechiae di tangan dan muka ii. Kepala: normocephali  Rambut: Hitam, tampak terdistribusi merata, tidak mudah dicabut.  Mata: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema palpebra (-/), mata cekung (-/-).  Hidung : Bentuk normal, simetris, sekret (-/-), pernafasan cuping hidung (-), perdarahan (-)  Telinga : Normotia, discharge (-/-), tanda-tanda infeksi (-/-)  Mulut : Bibir kering (+), bibir sianosis (-), stomatitis (-), mukosa hiperemis (-), lidah normoglossia. iii. Leher: simetris, pembesaran KGB (-) iv. Toraks: Dinding toraks normotoraks dan simetris. o Paru:  Inspeksi: Pergerakan dinding toraks kiri-kanan simetris, retraksi (-)

 Palpasi: Simetris tidak ada hemithoraks yang tertinggal  Perkusi: Sonor pada kedua lapang paru  Auskultasi: Suara napas vesikuler (+/+), ronki basah halus (-/-), wheezing (-/-). o Jantung:  Inspeksi: Iktus kordis tidak tampak.  Palpasi: Iktus kordis teraba di ICS V 1 cm midklavikula sinistra.  Perkusi: Sulit dinilai  Auskultasi: Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-). v. Abdomen:  Inspeksi: Tampak datar, venektasi (-)  Auskultasi: Bising usus (+) normal.  Palpasi: Distensi (-), hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit <2”, nyeri tekan epigastrium (+)  Perkusi: Timpani. vi. Genitalia: Jenis kelamin perempuan vii.

Anorektal : Anus (+)

viii.

Ekstremitas:

Keempat ekstrimitas lengkap, simetris Superior

Inferior

Akral Dingin

-/-

-/-

Akral Sianosis

-/-

-/-

CRT

<2”

<2”

Oedem

-/-

-/-

Tonus Otot

Normotonus

Normotonus

Trofi Otot

Normotrofi

Normotrofi

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan penunjang yang dilakukan selama pasien dirawat di RSU Kardinah Tegal: 

Laboratorium Darah

Laboratorium Darah (17/05/2018 pukul 15.13) Pemeriksaan

Hasil

Satuan

Nilai Rujukan

Hemoglobin

11,9

g/dl

10.7 - 14.7

Leukosit

2,5↓

103/µl

4.5 – 13.5

Hematokrit

33,1↓

%

34 – 40

Trombosit

94↓

103/µl

150 – 521

Eritrosit

4,7

106/µl

4.5 – 5.9

RDW

12,3

%

11.5 – 14.5

MCV

71 ↓

U

80 – 96

MCH

25,5↓

Pcg

28 – 33

MCHC

36

32 – 36

Laboratorium Darah (18/05/2018 pukul 05.02) Pemeriksaan

Hasil

Satuan

Nilai Rujukan

Hemoglobin

12,4

g/dl

10.7 - 14.7

Leukosit

7,9

103/µl

4.5 – 13.5

Hematokrit

34,6 ↓

%

34 – 40

Trombosit

116

103/µl

150 – 521

Eritrosit

4,8

106/µl

4.5 – 5.9

RDW

12,8

%

11.5 – 14.5

MCV

71,9↓

U

80 – 96

MCH

25,8 ↓

Pcg

28 – 33

MCHC

35,8↑

32 – 36

Laboratorium Darah (19/05/2018 pukul 05.02) Pemeriksaan

Hasil

Satuan

Nilai Rujukan

Hemoglobin

11,8

g/dl

10.7 - 14.7

Leukosit

7,1↓

103/µl

4.5 – 13.5

Hematokrit

38

%

34 – 40

Trombosit

52↓

103/µl

150 – 521

Eritrosit

4.6

106/µl

4.5 – 5.9

RDW

12,6

%

11.5 – 14.5

MCV

72,5↓

U

80 – 96

MCH

25,4 ↓

Pcg

28 – 33

MCHC

35,0↑

Netrofil

43,8↓

%

50-70

Limfosit

47,3↑

%

25-40

Monosit

6,9

%

2-8

Eosinofil

1↓

%

2-4

Basofil

1

%

0-1

32 – 36

F. Pemerikksaan khusus 

Pemeriksaan status gizi

Data Antropometri

Pemeriksaan Status Gizi

Anak perempuan, 6tahun

Pertumbuhan persentil anak menurut CDC sebagai berikut:

Berat badan 19 kg Tinggi badan 117 cm

1. BB/U= 19/20 x 100% = 95 % (berat badan menurut usia cukup) 2. TB/U = 117/115 x 100% = 101,7 % (tinggi badan menurut usia cukup) 3. BB/TB = 19/20 x 100% = 95% (gizi baik menurut berat badan per tinggi badan) Kesan: Status gizi baik

G. RESUME Pasien datang ke IGD RSU Kardinah diantar oleh ayah dan ibunya dengan keluhan demam naik turun. Demam dirasakan sejak 3 hari SMRS, orang tua pasien mengatakan demam naik turun, naik terutama saat sore hari. Pasien juga mengalami mual dan muntah sejak 2 hari SMRS,muntah sebanyak 2x isi makanan. Nyeri perut dirasakan dibagian ulu hati, nyeri dirasakan hilang timbul. Nafsu makan dan minum menurun dan pasien merasa lemas. Belum BAB sejak 1 hari SMRS. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan pasien compos mentis, tampak sakit sedang dengan tanda-tanda vital dalam batas normal. Terdapat ptechiae di lengan dan wajah. Pada pemeriksaan darah rutin didapatkan leukopenia, trombositopenia dan peurunan niai hematokrit. H. DAFTAR MASALAH 

Demam naik turun



Mual dan Muntah



Nyeri ulu hati



Ptechiae



Riwayat DBD dalam lingkungan



Hasil pemeriksaan penunjang : leukopenia, trombistopenia, hematocrit menurun

I. DIAGNOSIS BANDING Demam 2 hari, mual



Demam Berdarah Dengue/DHF

muntah, nyeri ulu



Dengue Fever /DF

hati



Demam typhoid

Status gizi

Gizi baik Gizi kurang Obesitas

J. DIAGNOSIS KERJA 

Demam Berdarah Dengue/DHF



Gizi baik

K. PENATALAKSANAAN a. Non medikamentosa 

Pengawasan keadaan umum dan tanda vital



Diet 3 x bubur



Edukasi:

-

Menjelaskan mengenai penyakit pasien saat ini, serta rencana manajemen yang akan diberikan

-

Apabila ada perburukan seperti mimisan, gusi berdarah, BAB hitam, akral dingin segera melapor

-

Perbanyak istirahat dan meningkatkan frekuensi minum serta makan-makanan bergizi sesuai usia dan berat badan.

b. Medikamentosa 

Pasang oksigen 2 liter/mnt



IVFD Asering 20 tpm loading 200cc



Paracetamol 3x2 cth p.o



Psidii 3x 1 cth p.p



Inj. Vit C 1x100 mg IV

L. PEMERIKSAAN ANJURAN 

Darah rutin (Hb, Ht, Trombo)



Pemeriksaan IgM dan IgG



Foto thorax

M. PROGNOSIS Quo ad vitam

: Dubia ad bonam

Quo ad fungsionam

: Dubia ad bonam

Quo ad sanationam

: Dubia ad bonam

G. PERJALANAN PENYAKIT 16 Mei 2018 pukul 09.00 WIB Hari Perawatan ke-1 S

O

Demam sejak 3 hari SMRS,pertama kali S timbul mendadak,demam naik turun, mimisan (-) gusi berdarah (-), batuk (-) pilek (-)mual (+) muntah (+), lemas, nyeri ulu hati, nafsu makan dan minum turun, nyeri perut ulu hati(+),BAK dan BAB normal, bintik merah di muka dan lengan KU: Compos mentis, TSS O TTV: HR 99 x/m, RR 24x/m, S 36,4 0C Status generalis: Kepala: normosefal Mata: CA (-/-), SI (-/-) Toraks: SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-). BJ I-II reguler, m (-), g (-) Abdomen: Supel, distensi (-), BU(+) , organomegali (-) NT epigastrium (+) Ekstremitas atas: AH(+/+), OE (-/-), CRT< 2”, ptechiae (+) Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-), CRT <2”, ptechiae (-) Hb 11,8 Leuko2,5, Ht 33,1 Trombo 94,

17 Mei 2018 pukul 10.00 WIB Hari Perawatan ke-2 Demam naik dan turun, akral hangat, mimisan (+), riw.mimisan (-) gusi berdarah (-)mual (+) muntah (-) nyeri ulu hati (+) nafsu makan dan minum turun, BAK dbn dan belum BAB sejak 2 hari SMRS, nyeri perut (-), pusing (+)

KU: Compos mentis, TSS TTV: HR 104 x/m, RR 20x/m, S 37,3 0C Status generalis: Kepala: normosefal Mata: CA (-/-), SI (-/-) Toraks: SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-). BJ I-II reguler, m (-), g (-) Abdomen: Supel, distensi (-), BU(+) , organomegali (-) NT epigastrium (+) Ekstremitas atas: AH(+/+), OE (-/-), CRT< 2”, ptechiae (+) Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-), CRT <2”, ptechiae (-) Hb 13,3 Leuko7,1, Ht 38 Trombo 57

A

DF

A

DHF

P

• • • • •

P

• • • • • •

Pasang oksigen 2 liter/mnt IVFD RL 20 tpm Inj. Vit C 1x100 mg IV Po. Pct 3 x2 cth Po. Psidii 3 x 1 cth

18 Mei 2018 pukul 08.00 WIB Hari Perawatan ke-3 S

O

A

Demam hari ke 6 sudah mulai menurun, mimisan sudah tidak ada,batuk kering sejak semalam,mual (-) muntah (-) nyeri ulu hati (-) nafsu makan dan minum turun, BAK dan BAB normal, nyeri telinga kiri,cairan (-) KU: Compos mentis, TSS TTV: HR 90 x/m, RR 2wx/m, S 36,5 0C Status generalis: Kepala: normosefal Mata: CA (-/-), SI (-/-) Telinga : liang telinga AS sempit (+) Toraks: SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-). BJ I-II reguler, m (-), g (-) Abdomen: Supel, distensi (-), BU(+) , organomegali (-) NT epigastrium (-) Ekstremitas atas: AH(+/+), OE (-/-), CRT< 2”, ptechiae (+) Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-), CRT <2”, ptechiae (-) Hb 12,4 Leuko7,9, Ht 34,6 Trombo 116 DHF A Cerumen prop AS

Pasang oksigen 2 liter/mnt (kalau perlu) IVFD RL 20 tpm loading 200 cc Inj. Ondansentron 3x 1/3 amp Inj. Vit C 1x100 mg IV Po. Pct 3 x 1 cth Perbanyak minum

P

S

O

A P

• • • • •

Pasang oksigen 2 liter/mnt (kalau perlu) P IVFD RL 20 ml/jam Inj. Vit C 1x100 mg IV Po. Pct 3 x 1 cth Po. Psidii 3 x1 cth

19 Mei 2018 pukul 07.15 WIB Hari Perawatan ke-4 Demam (-) mual (-) muntah (-) nyeri ulu hati (-) nafsu makan dan minum mulai meningkat, BAK dan BAB normal KU: Compos mentis, TSS TTV: HR 89 x/m, RR 24x/m, S 36,4 0C Status generalis: Kepala: normosefal Mata: CA (-/-), SI (-/-) Toraks: SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-). BJ I-II reguler, m (-), g (-) Abdomen: Supel, distensi (-), BU(+) , organomegali (-) NT epigastrium (-) Ekstremitas atas: AH(+/+), OE (-/-), CRT< 2”, ptechiae (-) Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-), CRT <2”, ptechiae (-) DHF perbaikan • • • •

IVFD RL 20 tpm Inj. Vit C 1x100 mg IV Po. Pct 3 x 1 cth Po. Psidii 3 x1 cth

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I.

DEFINISI Infeksi virus dengue pada manusia merupakan suatu spektrum manifestasi klinis yang

bervariasi antara penyakit yang paling ringan (mild undifferentiated febrile illness), demam dengue, demam berdarah dengue (DBD) sampai demam berdarah dengue disertai syok (dengue shock syndrome/DSS). Gambaran manifestasi klinis yang bervariasi ini memperlihatkan sebuah fenomena gunung es, dengan kasus DBD dan DSS yang dirawat di RS sebagai puncak gunung II. EPIDEMIOLOGI Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke -18, seperti yang dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam lima hari (vijfdaagse koorts) kadang-kadang disebut juga sebagai demam sendi (knokkel koorts). Disebut demikian karena demam yang terjadi menghilang dalam lima hari, disertai dengan nyeri pada sendi, nyeri otot, dan nyeri kepala. Pada masa itu infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya merupakan penyakit ringan yang tidak pernah menimbulkan kematian. Tetapi sejak tahun 1952 infeksi virus dengue menimbulkan penyakit dengan manifestasi klinis berat, yaitu DBD yang ditemukan di Manila, Filipina. Kemudian ini menyebar ke negara lain seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia. Pada tahun 1968 penyakit DBD dilaporkan di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian yang sangat tinggi. Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD sangat kompleks, yaitu (1) Pertumbuhan penduduk yang tinggi, (2) Urbanisasi yang tidak terencana & tidak terkendali, (3) Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan (4) Peningkatan sarana transportasi. Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor antara lain status imunitas pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus dengue, keganasan (virulensi) virus dengue, dan kondisi geografis setempat. Dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan virus dengue di Surabaya dan Jakarta, baik dalam jumlah penderita maupun daerah penyebaran penyakit terjadi peningkatan yang pesat. Sampai saat ini DBD telah ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa. Incidence rate meningkat dari 0,005 per 100,000 penduduk pada tahun 1968 menjadi berkisar antara 6-27 per 100,000 penduduk. Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh

iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-32°C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia, karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun.

III. ETIOLOGI Virus dengue termasuk genus Flavivirus dari keluarga flaviviridae dengan ukuran 50 nm dan mengandung RNA rantai tunggal. Hingga saat ini dikenal empat serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Virus dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes dari subgenus Stegomya. Aedes aegypty merupakan vektor epidemik yang paling penting disamping spesies lainnya seperti Aedes albopictus, Aedes polynesiensis yang merupakan vektor sekunder dan epidemi yang ditimbulkannya tidak seberat yang diakibatkan Aedes aegypty.

Gambar 1 Profil Nyamuk Aedes jika dibandingkan dengan culex

IV. PATOGENESIS Patofisiologi yang terpenting dan menentukan derajat penyakit ialah adanya perembesan plasma dan kelainan hemostasis yang akan bermanifestasi sebagai peningkatan hematokrit dan trombositopenia. Adanya perembesan plasma ini membedakan demam dengue dan demam berdarah dengue.

Hingga saat ini patofisiologi DD/DBD masih belum jelas. Beberapa teori dan hipotesis yang dikenal untuk mempelajari patofisiologi infeksi dengue ialah : 1. Teori virulensi virus 2. Teori imunopatologi 3. Teori antigen antibodi 4. Teori infection enchancing antibody 5. Teori mediator 6. Teori endotoksi

7. Teori limfosit 8. Teori trombosit endotel 9. Trombosit apoptosis

Diantara teori-teori dan hipotesis patofisiologi infeksi dengue, teori enhancing antibody dan teori virulensi virus merupakan teori yang paling penting untuk dipahami. Teori secondary heterologous infection, dimana infeksi kedua dari serotipe berbeda dapat memicu DBD berat, berdasarkan data epidemiologi dan hasil laboratorium hanya berlaku pada anak berumur diatas 1 tahun. Pada pemeriksaan uji HI, DBD berat pada anak dibawah 1 tahun ternyata merupakan infeksi primer. Gejala klinis terjadi akibat adanya Ig G anti dengue dari ibu. Dari observasi ini, diduga kuat adanya antibodi virus dengue dan sel T memori berperan penting dalam patofisiologi DBD.

Teori enhancing antibody/ the immune enhancement theory

Teori ini dikembangkan Halstead tahun 1970an. Beliau mengajukan dasar imunopatologi DBD/DSS akibat adanya antibodi non-neutralisasi heterotrpik selama perjalanan infeksi sekunder yang menyebabkan peningkatan jumlah sel mononuklear yang terinfeksi virus dengue. Berdasarkan data epuidemiologi dan studi in vitro, teori ini saat ini dikenal sebagai

”antibody dependent enhancement” (ADE) yang dianut untuk menjelaskan patogenesis DBD/DSS. Hipotesisi ini juga mendukung bahwa pasien yang menderita infeksi sekunder dengan serotipe virus dengue heterolog memiliki risiko lebih tinggi mengalami DBD dan DSS. Menurut teori ADE ini, saat pertama digigit nyamuk Aedes aegypty, virus DEN akan masuk dalam sirkulasi dan terjadi 3 mekanisme yaitu : -

Mekanisme aferen dimana virus DEN melekat pada monosit melalui reseptor Fc dan masuk dalam monosit

-

Mekanisme eferen dimana monosit terinfeksi menyebar ke hati, limpa dan sumsum tulang (terjadi viremia).

-

Mekanisme efektor dimana monosit terinfeksi ini berinteraksi dengan berbagai sistem humoral dan memicu pengeluaran subtansi inflamasi (sistem komplemen), sitokin dan tromboplastin yang mempengaruhi permeabilitas kapiler dan mengaktivasi faktor koagulasi.

Antibodi Ig G yang terbentuk dari infeksi dengue terdiri dari: -

Antibodi yang menghambat replikasi virus (antibodi netralisasi)

-

Antibodi yang memacu replikasi virus dalam monosit (infection enhancing antibody). Antibodi non netralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan menyebabkan

kompleks imun infeksi sekunder yang menghambat replikasi virus. Teori ini pula yang mendasari bahwa infeksi virus dengue oleh serotipe berlainan akan cenderung lebih berat. Penelitian in vitro menunjukkan jika kompleks antibodi non netralisasi dan dengue ditambahkan dalam monosit akan terjadi opsonisasi, internalisasi dan akhirnya sel terinfeksi sedangkan virus tetap hidup dan berkembang. Artinya antibodi non netralisasi mempermudah monosit terinfeksi sehingga penyakit cenderung lebih berat.

Hipotesis ADE ini telah mengalami beberapa modifikasi yang mencakup respon imun meliputi limfosit T dan kaskade sitokin. Rothman dan Ennis (1999) menjelaskan bahwa kebocoran plasma (plasma leakage) pada infeksi sekunder dengue terjadi akibat efek sinergistik dari IFN-γ, TNF-α dan protein kompleman teraktivasi pada sel endotelial di seluruh tubuh. Hipotesis ADE dijelaskan sebagai berikut; antibodi dengue mengikat virus membentuk kompleks antibodi non netralisasi-virus dan berikatan pada reseptor Fc monosit (makrofag). Antigen virus dipresentasikan oleh sel terinfeksi ini melalui antigen MHC memicu limfosit T (CD4 dan CD 8) sehingga terjadi pelepasan sitokin (IFN-γ) yang mengaktivasi sel lain termasuk makrofag sehingga terjadi up-regulation pada reseptor Fc dan ekspresi MHC. Rangkaian reaksi ini memicu imunopatologi sehingga faktor lain seperti aktivasi komplemen, aktivasi platelet, produksi sitokin (TNFα, IL-1,IL-6) akan menyebabkan eksaserbasi kaskade inflamasi.

V. PERJALANAN PENYAKIT Virus dengue menyebabkan infeksi simtomatik maupun yang simtomatik. Bentuk infeksi yang simtomatik memiliki spektrum klinis yang luas, baik yang parah atau tidak parah. Setelah periode inkubasi, progresivitas penyakit akan mulai dengan mendadak, diikuti dengan tiga fase berikut – demam (febrile), kritis, dan penyembuhan (recovery). Meskipun perkembangan

penyakit

ini

sangat

kompleks

dalam

hal

manifestasi

klinis-nya,

penatalaksanaannya relatif sederhana, tidak mahal, dan sangat berguna dalam penyelamatan hidup, selama intervensi yang dilakukan cepat dan tepat. Kunci menuju prognosis yang baik

ialah pemahaman dan waspada akan masalah klinis yang muncul selama fase yang berbeda. Manajemen yang baik pada lini pertama pelayanan kesehatan diharapkan dapat menurunkan angka lama rawat inap di rumah sakit rujukan, serta dapat menyelamatkan hidup pasien dengan infeksi virus dengue. Berikut merupakan fase infeksi virus dengue: 1. Fase febris Secara khas, individu akan mengalami demam tinggi yang mendadak selama 2 – 7 hari dan sering disertai dengan kemerahan pada wajah, eritema kulit, nyeri pada badan yang sifatnya umum, mialgia, artralgia, nyeri retro-orbita, fotofobia, eksantem yang mirip dengan rubella, serta nyeri kepala. Beberapa pasien menunjukkan manifestasi berupa nyeri tenggorok, kemerahan pada faring, injeksi konjungtiva. Anoreksia, mual, dan muntah lazim dijumpai. Sulit untuk membedakan secara klinis penyakit dengue dengan non-dengue saat-saat awal demam, namun hasil tes torniquet yang positif lebih mengindikasikan ke arah dengue. Bagaimana pun juga manifestasi klinis yang ditunjukkan tidak menggambarkan tingkat keparahan penyakit. Maka dari itu sangat penting untuk mengawasi tanda-tanda bahaya dan parameter klinis yang lain dalam rangka memahami proses ke arah fase kritis. Manifestasi perdarahan ringan seperti petekie dan perdarahan membran mukosa dapat dijumpai. Memar dan perdarahan yang mudah terjadi (spontan) pada lokasi injeksi vena juga ditemui pada beberapa kasus. Perdarahan gastrointestinal juga terjadi pada fase ini meskipun tidak lazim. Hepar dapat membesar dan kenyal setelah beberapa hari demam. Prediksi yang tepat pada pemeriksaan hitung darah lengkap yaitu menurunnya kadar leukosit darah yang progresif. Selain itu, pasien akan menunjukkan kehilangan kemampuan untuk beraktivitas sehari-hari, seperti masuk sekolah, belajar, bermain, maupun berinteraksi sosial. 2. Fase Kritis Selama transisi dari fase febris ke fase yang non-febris, pasien tanpa adanya peningkatan permeabiltas kapiler akan membaik tanpa mengalami fase kritis ini. Jika tidak, disertai dengan demam tinggi, pasien dengan peningkatan permeabilitas kapiler, dapat memunculkan manifestasi dengan tanda bahaya, kebanyakan merupakan akibat dari kebocoran plasma. Tanda-tanda bahaya (warning signs) merupakan pertanda mulainya fase kritis. Keadaan umum menjadi lebih buruk dengan teperatur turun menjadi 37.5 – 38 C atau

kurang dan tetap dibawah, biasanya terjadi pada hari 3 – 8. Leukopenia progresif diikuti dengan penurunan trombosit biasanya mendahului kebocoran plasma. Peningkatan hematokrit diatas nilai normal dapat menjadi tanda tambahan. Periode kebocoran plasma secara klinis biasanya terjadi dalam 24 – 48 jam. Tingkat kebocoran sangat bervariasi. Peningkatan hematokrit mendahului perubahan pada tekanan darah dan volume nadi. Derajat hemokonsentrasi diatas normal ini mencerminkan keparahan akan kebocoran plasma; bagaimana pun hal ini dapat diturunkan dengan terapi cairan intravena secara dini. Efusi pleura dan asites biasanya secara klinis dapat dideteksi seteah terapi cairan intravena, kecuali pada kebocoran plasma yang berat. Foto toraks posisi lateral dekubitus atau USG yang memperlihatkan air fluid level pada toraks dan abdomen, maupun edema pada dinding vesika fellea dapat menjadi deteksi dini. Disamping kebocoran plasma, manifestasi perdarahan seperti mudah memar, dan hematom pada daerah injeksi juga sering terjadi. Jika syok terjadi akibat volume kritis plasma ikut hilang lewat kebocoran, maka sering didahului dengan tanda bahaya. Suhu tubuh menjadi subnormal ketika syok terjadi. Jika terjadi syok berkepanjangan (prolonged shock), hipoperfusi akan mengakibatkan asidosis metabolik, kegagalan fungsi organ, dan DIC (disseminated Intravascular Coagulation). Hal ini kemudian akan menyebabkan perdarahan berat, yang mengakibatkan hematokrit turun (pada syok yang berat). Leukosit dapat meningkat sebagai tanda stres adanya perdarahan berat. Tanda bahaya. Tanda bahaya mendahului manifestasi syok dan muncul setelah fase demam, biasanya pada hari 3 – 7. Muntah persisten dan nyeri perut berat adalah indikasi dini dari kebocoran plasma dan terus memburuk ketika memasuki keadaan syok. Pasien akan menjadi letargi, lemah, pusing, dan mengalami hipotensi postural selama keadaan syok. Perdarahan spontan pada membran mukosa atau pada daerah suntikan menjadi gejala yang penting. Hepar yang membesar dan kenyal biasanya dijumpai. Bagaimanapun akumulasi cairan dapat dideteksi jika kehilangan plasma signifikan atau setelah penanganan dengan cairan intravena. Penurunan yang cepat dan progresif pada hitung trombosit hingga 100.000 sel/mm kubik dan peningkatan hematokrit diatas normal mungkin menjadi tanda paling awal dari kebocoran plasma. Hal ini biasanya mendahului kejadian leukopenia (≤5000 sel/mm kubik).

3. Fase Penyembuhan Ketika pasien bertahan hidup 24 – 48 jam pada fase kritis, reabsorpsi lambat dari cairan pada ruang ekstravaskuler terjadi pada 48 – 72 jam berikutnya. Keadaan umum membaik, nafsu makan meningkat, status hemodinamik dan diuresis menjadi stabil. Beberapa pasen dapat memiliki ruam yang disebut ‘Pulau Putih diatas Laut Merah’. Beberapa pasien juga akan mengalami pruritus. Hitung hematokrit akan normal atau rendah karena efek dilusional dari cairan yang tereabsorpsi. Sel darah putih biasanya mulai meningkat. Hitung trombosit biasanya secara khas lebih akhir daripada sel darah putih. Distres respirasi dari efusi pleura masif dan asites akan terjadi kapan pun jika terapi intravena diberikan secara berlebihan. Selama fase kritis dan atau penyembuhan, terapi cairan yang berlebihan berhubungan dengan edema pulmonal atau gagal jantung kongestif. Masalah klinis yang bervariasi selama fase-fase yang berbeda dapat disimpulkan ke dalam tabel berikut. Tabel Fase Infeksi Dengue

1

Fase febris

Dehidrasi; demam tiggi dapat menyebabkan gangguan neurologis dan kejang demam pada anak-anak yang lebih muda

2

Fase kritis

Syok karena kebocoran plasma; perdarahan yang berat; kegagalan fungsi organ

3

Fase penyembuhan

Hipervolemia (hanya jika pemberian terapi IV berlebihan)

Perjalanan penyakit Dengue

4. Severe Dengue Didefinisikan sebagai satu atau lebih dari yang berikut ini: 1) kebocoran plasma yang mengakibatkan syok (syok dengue) dan atau akumulasi cairan, dengan atau tanpa distres respirasi, dan atau 2) perdarahan berat, dan atau 3) gangguan organ berat. Selama tahap awal dari syok, mekanisme kompensasi yang mempertahankan tekanan darah sistolik normal juga menyebabkan takikardia dan vasokonstriksi perifer disertai perfusi kulit yang menurun, yang ditandai sebagai akral dingin dan CRT yang menurun. Uniknya, tekanan diastolik meningkat terhadap tekanan sistolik dan tekanan

nadi menyempit oleh karena adanya peningkatan resistensi perifer. Syok hipotensif yang berkepanjangan (prolonged) dan hipoksia dapat megakibatkan kegagalan multiorgan. Seorang pasien dianggap memiliki syok jika tekanan nadi (selisih antara tekanan sistolik dengan diastolik) ≤ 20 mmHg pada anak-anak atau memiliki tanda dari perfusi kapiler yang parah (akral dingin, CRT yang menurun, atau frekuensi nadi yang meningkat). Hipotensi berhubungan dengan syok berkepanjangan yang sering berkomplikasi pada perdarahan besar. Pasien dengan severe dengue dapat memiliki abnormalitas fungsi koagulasi, namun hal ini kurang efisien dalam menyebabkan perdarahan besar. Ketika perdarahan besar terjadi, hampir selalu berhubungan dengan syok berat, dengan kombinasi trombositopenia, hipoksia, dan asidosis, menyebabkan kegagalan organ multipel dan DIC lanjut. Perdarahan masif dapat terjadi tanpa harus syok berkepanjangan pada pemberian aspirin (asam asetilsalisilat), ibuprofen, atau kortikosteroid. Severe Dengue sebaiknya dipertimbangkan jika pasien dari daerah yang beresiko infeksi dengue, memperlihatkan demam 2 – 7 hari ditambah berapapun dari tandatanda dibawah ini: - Ada bukti kebocoran plasma (plasma leakage), seperti nilai hematokrit yang tinggi atau secara progresif meningkat, asites atau efusi pleura, syok atau gangguan sirkulasi (takikardia, akral dingin , CRT lebih dari 3 detik, denyut nadi lemah atau tak terukur, tekanan nadi menyempit, atau pada syok lanjut, tekanan darah yang tak terukur). - Ada perdarahan yang bermakna - Ada perubahan kesadaran (letargi atau restlessness, koma, konvulsi) - Keterlibatan sistem gastrointestinal (muntah persisten, nyeri perut bertambah hebat, ikterik) - Adanya gangguan organ berat (gagal hati akut, gagal ginjal akut, ensefalopati atau ensefalitis, atau manifestasi lainnya yang tak lazim, kardiomiopati)

VI. MANIFESTASI KLINIS Pada dasarnya ada empat sindrom klinis dengue yang dianut Depkes, yaitu: 1. Silent dengue atau undifferentiated fever 2. Demam dengue, mencerminkan fase febris, dimana terjadi demam akut selama 2 – 7 hari dengan dua atau lebih manifestasi: nyeri kepala, nyeri retro-orbita, mialgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan dan leukopenia. Trias demam dengue meliputi demam tinggi, nyeri anggota badan, dan ruam kulit. Demam biasanya mencapai 39 – 40 C, dan demam bersifat bifasik yang berlangsung 5 – 7 hari, tetapi pada penelitian selanjutnya bentuk kurva ini tidak ditemukan pada semua pasien sehingga tidak dijadikan tanda patognomonik. Ruam kulit ditandai dengan kemerahan dan ercak merah yang menyebar pada wajah, leher, dan dada selama separuh pertama periode demam dan kemungkinan makulopapular atau menyerupai demam skarlatina yang muncul pada hari ke-3 atau ke-4. Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu naik pertama kali (hari sakit ke -3 – 5) dan berlangsung selama 3 – 4 hari. Anoreksia dan obstipasi sering dilaporkan. Gejala klinis lainnya yaitu fotofobia, berkeringat, batuk, epistaksis, dan disuria. Kelenjar limfe servikal dilaporkan membesar pada 67 – 77% kasus atau dikenal sebagai Castelani’s sign yang bersifat patognomonik. Beberapa bentuk perdarahan lain dapat menyertai. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hitung leukosit biasanya normal saat awal demam kemudian leukopenia hingga akhir periode demam; hitung trombosit masih normal, demikian komponen faktor pembekuan. Ada beberapa kejadian biasanya sudah terjadi trombositopenia; serum biokimia (enzim) biasanya normal. 3. Demam Berdarah Dengue (Dengue Hemorrhagic Fever) ditandai oleh 4 manifestasi berikut; 1) demam tinggi, 2) perdarahan terutama pada kulit, 3) hepatomegali 4) kegagalan sirkulasi. Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji torniket positif, memar dan perdarahan pada tempat injeksi vena. Petekie halus tersebar di anggota gerak, muka, aksila pada masa-masa awal demam. Epistaksis dan perdarahan membran mukosa, misalnya gusi, jarang terjadi, sedangkan perdarahan saluran pencernaan hebat lebih jarang lagi kecuali jika renjatan tidak dapat diatasi. Hati biasanya teraba pada awal fase demam, bervariasi mulai dari teraba 2 – 4 cm dibawa arkus costae kanan. Pembesaran hepar tidak berhubungan dengan parahnya penyakit tapi sering ditemukan pada kasus-kasus syok. Nyeri tekan pada daerah hepar terasa tetapi biasanya tidak memunculkan ikterik. Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan

adanya trombositopenia sedang hingga berat disertai hemokonsentrasi. Perubahan patofisiologis utama yang menentukan tingkat keparahan DBD dengan DD ialah gangguan hemostasis dan kebocoran plasma (trombositopenia dan peningkatan kadar hematokrit). Tabel berikut ini memaparan gejala klinis demam dengue dan DBD. Tabel . Gejala Klinis demam dengue dan DBD

4. Sindroma Syok Dengue (Dengue Shock Syndrome), menggambarkan fase kritis dengue, yaitu manifestasi klinis akibat kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan frekuensi nadi yang cepat tapi isi lemah, tekanan nadi menyempit (<20 mmHg), hipotensi, akral dingin dan lembab, serta letargi.

Gambar 8 Kelainan Utama pada DBD. Gambaran Skematis Kebocoran Plasma

VII.

PEMERIKSAAN PENUNJANG Diagnosis yang akurat dan efisien adalah kepentingan utama dalam pelayanan klinis.

Metode diagnosis laboratoris untuk menentukan infeksi virus dengue meliputi deteksi adanya virus, asam nukleat virus, antigen dan antibodi, atau kombinasi dari ketiga teknik ini. Setelah onset penyakit, virus dapat dideteksi di dalam serum, plasma, dan sel-sel darah yang berirkulasi, serta pada jaringan lain, selama 4 – 5 hari. Selama tahap pertama dari penyakit, isolasi virus, asam nukleat atau deteksi antigen dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi. Di akhir fase akut infeksi, serologi adaah metode pilihan untuk diagnosis. Respon antibodi terhadap infeksi berbeda-beda tergantung dari status imun pejamu. Ketika infeksi dengue terjadi pada individu yang belum pernah terinfeksi sebelumnya dengan flavivirus atau terimunisasi dengan vaksin flavivirus, tubuh pasien akan mengalami respon antibodi primer yang ditandai dengan peningkatan lambat dari antibodi spesifik. IgM

merupakan isotipe imunogloulin pertama yang muncul. Antibodi ini terdteksi 50% pada hari 3 -5 setelah onset, meningkat 80% pada hari ke-5 dan 99% pada hari ke-10 (Gambar 3). Kadar IgM memuncak kira-kira 2 minggu setelah onset gejala dan umumnya menurun hingga tak terdeteksi pada 2 -3 bulan. IgG umunya dapat dideteksi pada kadar rendah di akhir minggu pertama sakit, kemudian meningkat perlahan, dapat tetap berada di serum beberapa bulan, bahkan mungkin seumur hidup. Selama infeksi dengue sekunder (infeksi dengue pada pejamu yang telah terinfeksi sebelumnya oleh virus dengue, atau kadang setelah vaksinasi atau infeksi flavivirus nondengue), titer antibodi meningkat dengan cepat dan bereaksi secara luas terhadap berbagai macam flavivirus. Isotipe imunogloulin yang dominan ialah IgG yang terdeteksi pada kadar yang tinggi, bahkan pada fase akut, dan bertahan hingga 10 bulan bahkan seumur hidup. Pada tahap penyembuhan dini, kadar IgM secara signifikan lebih rendah pada infeksi sekunder dan mungkin tak terdeteksi di beberapa kasus. Untuk membedakan infeksi primer atau sekunder dengue, rasio IgM/IgG sekarang digunakan secara umum daripada uji hemoaglutinin-inhibisi (uji HI).

Gambar - Garis waktu infeksi virus dengue primer dan sekunder dan metode diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi adanya infeksi

Secara umum, pemeriksaan dengan sensitivitas dan spesifisitas membutuhkan teknologi kompleks dan ahli pada bidannya, sementara uji cepat (rapid test) dapat kurang senstif mauun spesifik demi kecepatan. Isolasi virus dan deteksi asam nukleat lebih rumit dan mahal , namun lebih spesifik daripada deteksi antibodi menggunakan metode serologi. Infeksi dengue menghasilkan spekrum gejala yang luas, banyak diantaranya adalah tidak spesifik. Maka dari itu, diagnosis berdasarkan gejala klinis tak dapat dipercaya. Sebelum hari-5 sakitm selama periode demam, infeksi dengue dapat didiagnosis oleh isolasi virus pada kultur sel, oleh deteksi RNA virus, oleh nucleic acid amplification test (NAAT), atau oleh deteksi antigen virus menggunakan ELISA atau rapid test. Isolasi virus dengan kultur sel membutuhkan infrastruktur lengkap dan waktu yang lama. NAAT selalu dapat mendeteksi RNA virus dalam 24 – 48 jam, namun uji ini tetap membutuhkan peralatan dan reagen yang mahal, prosedur yang berkualitas, dan pekerja yang ahli. Peralatan untuk mendeteksi antigen NS-1 kini tersedia dan dapat digunakan di laboratorium dengan peralatan yang terbatas dan

mengeluarkan hasil laboratoris dalam beberapa jam. Deteksi antigen dengue cepat (rapid) dapat juga dilakukan di lapangan dengan hasil kurang dari satu jam. Saat ini, metode ini kurang spesifik, mahal dan sedang dalam tahap evaluasi mengenai biaya dan keakuratannya. Tabel berikut ini memperlihatkan kesimpulan sifat dari metode diagnostik untuk infeksi dengue. Tabel - Kesimpulan Sifat dan Perbandingan Biaya Metode diagnostik

Setelah hari-5 sakit, virus dengue dan antigen hilang dari darah, bersamaan dengan munculnya antibodi-antibodi spesifik. Antigen NS1 dapat dideteksi pada beberapa pasien selama beberapa hari setelah demam reda. Uji serologi dengue lebih banyak tersedia di negara-negara endemis, daripada uji virologi. Transportasi spesimen bukanlah masalah karena imunoglobulin stabil pada suhu tropis. Untuk serologi, waktu pengumpulan spesimen lebih fleksibel daripada isolasi virus atau deteksi RNA karena suatu respon antibodi dapat diukur dengan membandingkan sampel yang dikumpul selama keadaan akut dengan sampel yang dikumpul saat berminggu-minggu atau berbulan-bulan kemudian. Kadar yang rendah terhadap respon IgM yang terdeteksi – atau sama sekali tidak ada – pada beberapa infeksi sekunder, menurukan keakuratan uji IgM

ELISA. Peningkatan empat kali lipat atau lebih kadar antibodi yang diukur oleh IgG ELISA atau dari uji HI mengindikasikan infeksi flavivirus akut. Bagaimana pun, menunggu serum saat penyembuhan atau saat pasien dipulangkan sangat tidak berguna untuk diagnosis dan penatalaksanaan. Tabel Keuntungan dan Keterbatasan Metode Diagnostik Infeksi Dengue

1. Isolasi virus. Spesimen dikumpulkan hanya pada saat sedang terjadi infeksi, selaa periode viremia (sebelum hari-5). Virus dapat dijumpai di serum, plasma, dan sel-sel mononuklear perifer, atau jaringan (hepar, paru, kelenjar getah bening, timus, dan sumsum tulang). Karena dengue merupakan heat-labile, pengiriman sampel harus dengan referigerator atau di dalam es. Kultur sel merupakan metode yang luas dipakai untuk mengisolasi virus. 2. Deteksi Asam Nukleat. RNAbersifat heat-labile, maka untuk penyimpanannya harus di dalam freezer. RT-PCR (Reverse Transcriptase-polymerase Chain Reaction) lebih

sensitif daripada isolasi virus, yaitu 80 – 100%. Positif palsu dapat terjadi jika kontaminasi saat proses amplifikasi. 3. Deteksi antigen. Sampai sekarang, deteksi antigen dengue pada serum fase akut jarang pada pasien dengan infeksi sekunder karena sudah memiliki antibodi IgG-virus sebelumnya. Perkembangan baru dari ELISA dan dot blot assays yang fokus pada antigen bagian membran atau envelop (E/M) dan protein non-struktural -1 (NS-1) menunjukkan bahwa konsentrasi yang tinggi antigen-antigen ini dalam pembentukan kompleks imun dapat terdeteksi pada pasien dengan infeksi primer maupun sekunder dengue hingga sembilan hari setelah onset sakit. Glikoprotein NS-1 dihasilkan oleh flavivirus dan disekresikan dari sel-sel mamalia. NS1 menghasilkan respon imun humoral yang kuat. Banyak penelitian yang telah fokus menggunakan deteksi NS1 untuk diagnosis dini infeksi virus dengue. 4. Tes serologi. MAC-ELISA (IgM antibody-capture enzyme-linked immunosorbent assay. IgM total pada serum pasien ditangkap oleh antibodi spesifik anti rantai-u yang dilapisi diatas mikroplate. Antigen spesifik dengue (DEN-1 hingga 4) terikat dengan IgM anti-dengue yang ‘terperangkap’ tadi. Kemudian, terdeteksi oleh antibodi dengue monoklonal atau poliklonal yang terkonjugasi dengan suatu enzim yang akan mengubah substat tak berwarna menjadi produk berwarna, yang diukur melalui spektrometer. Serum, darah, dan saliva dapat dijadikan sampel yang diambil 5 hari atau lebih setelah onset demam. MAC-ELISA memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik namun hanya jika digunakan saat lebih atau sama dengan 5 hari setelah onset demam. Banyak penelitian yang menerangkan bahwa ELISA pada umumnya lebih baik performanya daripada rapid test. Positif palsu dapat terjadi di serum pada pasien dengan malaria, leptospirosis, dan pasca infeksi dengue. IgG ELISA digunaka untuk mendeteksi infeksi dengue masa lampau atau sekarang. Metode ini dapat digunakan untuk mendeteksi IgG di serum atau plasma dan sampel darah filter dan bisa mengidentifikasi kasus infeksi primer atau sekunder.

Uji HI didasarkan atas kemampuan antigen dengue untuk menggumpalkan (aglutinasi) sel darah merah. Antibodi anti-dengue di dalam serum dapat menghambat terjadinya aglutinasi dan potensi inhibisi ini dapat diukur lewat uji HI. Sampel seru diberikan aseton atau kaolin untuk menghilangkan inhibitor non-spesifik, dan kemudian di-adsorpsi dengan sel darah merah golongan 0

Gambar Uji Hemaagutinasi-inhibisi

untuk menghilangkan aglutinin yang tidak spesifik. Secara optimal, uji HI membutuhkan serum yang diambil saat masuk RS (akut) an keluar rumah sakit (sudah sembuh), atau dengan serum yang berbeda selama lebih atau sama dengan tujuh hari. Respon terhadap infeksi primer ditandai oleh kadar rendah antibodi pada serum fase akut (sebelum hari-5) dan peningkatan yang lambat dari titer antibodi HI kemudian. Selama infeksi dengue sekunder, antibodi HI meningkat secara cepat, biasanya melebihi 1 : 1280. Nilai yang lebih rendah dari ini umumnya diobservasi pada serum pada masa penyembuhan dari pasien dengan respon primer.

5. Pemeriksaan Hematologi. Hitung trombosit dan hematokrit lazim diukur selama fase akut infeksi dengue. Rendahnya kadar trombosit dalam darah dibawah 100.000 per uL per hari dapat dijumpai pada demam dengue, namun hal ini merupakan tanda yang tetap pada demam berdarah dengue (DBD). Trombositopenia biasanya dijumpai pada periode antara hari-3 dan 8 menjelang onset sakit.

Hemokonsentrasi, yang ditandai dengan peningkatan hematokrit >20% yang dibandingkan dengan masa penyembuhan, merupakan tanda hipovolemia karena peningkatan permeabilitas kapiler dan kebocoran plasma.

VIII. KRITERIA DIAGNOSIS Kriteria diagnosis WHO hanya berlaku untuk DBD, tidak untuk spektrum infeksi dengue yang lain. WHO membuat panduan diagnosis DBD karena DBD adalah masalah kesehatan masyarakat dengan angka kematian yang tinggi. Kriteria diagnosis DBD ialah dua atau lebih tanda klinis ditambah tanda laboratoris, yaitu trombositopenia dan hemokonsentrasi (kedua hasil laboratorium tersebut harus ada) dan dikonfirmasi lagi dengan pemeriksaan serologi. Kriteria diagnosis DBD berdasarkan WHO tahun 1997 ialah: Kriteria Klinis demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas terus menerus selama 2 – 7 hari, terdapat manifestasi perdarahan termasuk tes torniket positif, petekie, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, serta melena; pembesaran hati, dan nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi. Kriteria laboratoris trombositopenia (100.000/ul atau kurang), hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit >20%). Pembagian derajat DBD menurut WHO ialah: - Derajat I : demam diikuti gejala aspesifik. Satu-satunya manifestasi perdarahan adalah uji torniket positif atau mudah memar - Derajat II : gejala yang ada pada derajat I + perdarahan spontan. Perdarahan dapat terjadi di kulit atau pada tempat lain. - Derajat III : kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat tapi lemah, tekanan nadi menurun atau hipotensi, suhu tubuh subnormal, kulit lembab, dan gelisah - Derajat IV: syok berat dengan nadi dan tekanan darah tak terukur.

DD/DBD

Derajat*

Gejala

Laboratorium

DD

Demam disertai 2 atau 

Leukopenia

lebih tanda: sakit kepala, 

Trombositopenia,

Nyeri

ditemukan bukti kebocoran

retro-orbital,

Mialgia, Atralgia. DBD

I

Gejala di atas ditambah uji

tidak

plasma. 

bendung positif.

Trombositopenia (<100.000/μl), bukti ada kebocoran plaasma.

DBD

II

Gejala di atas ditambah



Trombositopenia (<100.000/μl), bukti ada

perdarahan spontan.

kebocoran plaasma. DBD

III

Gejala di atas ditambah



Trombositopenia

kegagalan sirkulasi (kulit

(<100.000/μl), bukti ada

dingin dan lembab serta

kebocoran plaasma.

gelisah). DBD

IV

Syok berat disertai dengan 

Trombositopenia

tekanan darah dan nadi

(<100.000/μl), bukti ada

tidak terukur.

kebocoran plaasma.

IX. PENATALAKSANAAN Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa. Tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Untuk dapat merawat pasien DBD dengan baik, diperlukan dokter dan perawat yang terampil, sarana laboratorium yang memadai, cairan kristaloid dan koloid, serta bank darah yang senantiasa siap bila diperlukan. Diagnosis dini dan memberikan nasehat untuk segera dirawat bila terdapat tanda syok, merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak lain, perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk keadaan umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak tertolong. Kunci keberhasilan tatalaksana DBD/SSD terletak pada ketrampilan para dokter untuk dapat mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu (fase kritis, fase syok) dengan baik. Demam dengue

Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam pasien dianjurkan Tirah baring, selama masih demam. 

Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan.



Untuk menurunkan suhu menjadi < 39°C, dianjurkan pemberian parasetamol. Asetosal/salisilat tidak dianjurkan (indikasi kontra) oleh karena dapat meyebabkan gastritis, perdarahan, atau asidosis.



Dianjurkan pemberian cairan danelektrolit per oral, jus buah, sirop, susu, disamping air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari.



Monitor suhu, jumlah trombosit dan hematokrit sampai fase konvalesen. Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda penyembuhan.

Meskipun demikian semua pasien harus diobservasi terhadap komplikasi yang dapat terjadi selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh karena kemungkinan kita sulit membedakan antara DD dan DBD pada fase demam. Perbedaan akan tampak jelas saat suhu turun, yaitu pada DD akan terjadi penyembuhan sedangkan pada DBD terdapat tanda awal kegagalan sirkulasi (syok). Komplikasi perdarahan dapat terjadi pada DD tanpa disertai gejala syok. Oleh karena itu, orang tua atau pasien dinasehati bila terasa nyeri perut hebat, buang air besar hitam, atau terdapat perdarahan kulit serta mukosa seperti mimisan, perdarahan gusi, apalagi bila disertai berkeringat dingin, hal tersebut merupakan tanda kegawatan, sehingga harus segera dibawa segera ke rumah sakit. Penerangan untuk orang tua tertera pada Lampiran 1. Pada pasien yang tidak mengalami komplikasi setelah suhu turun 23 hari, tidak perlu lagi diobservasi. Tatalaksana DD tertera pada Bagan 2 (Tatalaksana tersangka DBD).

Tabel Dosis Parasetamol menurut Umur

Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi. Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke 3-5 fase demam. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik

untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu menggambarkan derajat kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan tekanan darah dan tekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak terlalu sensitif. Untuk Puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat dipertimbangkan dengan menggunakan Hb. Sahli dengan estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb Penggantian Volume Plasma Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase penurunan suhu (fase a-febris, fase krisis, fase syok) maka dasar pengobatannya adalah penggantian volume plasma yang hilang. Walaupun demikian, penggantian cairan harus diberikan dengan bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3 jam pertama, sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit). Tetesan dalam 24-28 jam berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit, danjumlah volume urin. Penggantian volume cairan harus adekuat, seminimal mungkin mencukupi kebocoran plasma. Secara umum volume yang dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%. Cairan intravena diperlukan, apabila (1) Anak terus menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak rnungkin diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok. (2) Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dankehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam larutan NaCl 0,45%. Bila terdapat asidosis, diberikan natrium bikarbonat 7,46% 1-2 ml/kgBB intravena bolus perlahan-lahan. Apabila terdapat hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi jenis cairan yang diberikan harus sama dengan plasma. Volume dan komposisi cairan yang diperlukan sesuai cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu cairan rumatan + defisit 6% (5 sampai 8%), seperti tertera pada tabel 6 dibawah ini. Tabel lKebutuhan cairan pada dehidrasi sedang

Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur danberat badan pasien serta derajat kehilangan plasma, yang sesuai dengan derajat hemokonsentrasi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal untuk anak umur yang sama. Kebutuhan cairan rumatan dapat diperhitungan dari tabel 3 berikut. Tabel Kebutuhan Cairan Rumatan

Misalnya untuk anak berat badan 40 kg, maka cairan rumatan adalah 1500+(20x20) =1900 ml. Jumlah cairan rumatan diperhitungkan 24 jam. Oleh karena perembesan plasma tidak konstan (perembesam plasma terjadi lebih cepat pada saat suhu turun), maka volume cairan pengganti harus disesuaikan dengan kecepatan dankehilangan plasma, yang dapat diketahui dari pemantauan kadar hematokrit. Penggantian volume yang bedebihan danterus menerus setelah plasma terhenti perlu mendapat perhatian. Perembesan plasma berhenti ketika memasuki fase penyembuhan, saat terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular kembali kedalam intravaskuler. Apabila pada saat itucairan tidak dikurangi, akan menyebabkan edema paru dandistres pernafasan. Pasien harus dirawat dansegera diobati bila dijumpai tanda-tanda syok yaitu gelisah, letargi/lemah, ekstrimitas dingin, bibir sianosis, oliguri, dannadi lemah, tekanan nadi menyempit (20mmHg atau kurang) atau hipotensi, danpeningkatan mendadak dari kadar hematokrit atau kadar hematokrit meningkat terus menerus walaupun telah diberi cairan intravena. Jenis Cairan (rekomendasi WHO) adalah sebagai berikut: Kristaloid. 

Larutan ringer laktat (RL)



Larutan ringer asetat (RA)



Larutan garam faali (GF)



Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL)



Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA)



Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faali (D5/1/2LGF)

(Catatan:Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA tidak boleh larutan yang mengandung dekstran)

Koloid. 

Dkstran 40



Plasma



Albumin

Sindrom Syok Dengue Syok merupakan Keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah pengobatan yang utama yang berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien anak akan cepat mengalami syok dansembuh kembali bila diobatisegera dalam 48 jam. Pada penderita SSD dengan tensi tak terukur dantekanan nadi <20 mm Hg segera berikan cairan kristaloid sebanyak 20ml/kg BB/jam selama 15 menit, bila syok teratasi turunkan menjadi 10 ml/kg BB. Penggantian Volume Plasma Segera. Pengobatan awal cairan intravena larutan ringer laktat > 20 ml/kg BB. Tetesan diberikan secepat mungkin maksimal 30 menit. Pada anak dengan berat badan lebih, diberi cairan sesuai berat BB ideal danumur 10 mm/kg BB/jam, bila tidak ada perbaikan pemberian cairan kristoloid ditambah cairan koloid. Apabila syok belum dapat teratasi setelah 60 menit beri cairan kristaloid dengan tetesan 10 ml/kg BB/jam bila tidak ada perbaikan stop pemberian kristaloid danberi cairan koloid (dekstran 40 atau plasma) 10 ml/kg BB/jam. Pada umumnya pemberian koloid tidak melebihi 30 ml/kg BB. Maksimal pemberian koloid 1500 ml/hari, sebaiknya tidak diberikan pada saat perdarahan. Setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid dankoloid syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit turun, diduga sudah terjadi perdarahan; maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Apabila kadar hematokrit tetap > tinggi, maka berikan darah dalam volume kecil (10 ml/kg BB/jam) dapat diulang sampai 30 ml/kgBB/ 24 jam. Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infus dikurangi bertahap sesuai keadaan klinis dankadar hematokrit. Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah membaik dan kadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kg BB/jam dankemudian disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48 jam. Pemasangan CVP yang ada kadangkala pada pasien SSD berat, saat ini tidak dianjurkan lagi. Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun, dibandingkan nilai Ht sebelumnya. Jumlah urin/ml/kg BB/jam atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaaan sirkulasi membaik. Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam syok teratasi. Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah yang berlebih pada saat terjadi reabsorpsi

plasma dari ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar hematokrit setelah pemberian cairan rumatan), maka akan menyebabkan hipervolemia dengan akibat edema paru dangagal jantung. Penurunan hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini jangan dianggap sebagai tanda perdarahan, tetapi disebabkan oleh hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah normal, diuresis cukup, tanda vital baik, merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi. Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit. Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien DBD/SSD, maka analisis gas darah dan kadar elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD berat. Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya KID, sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks. Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan dilakukan koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan sebagai akibat KID, tidak akan tejadi sehingga heparin tidak diperlukan. Pemberian Oksigen. Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua pasien syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi harus diingat pula pada anak seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker oksigen. Transfusi Darah. Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan pada setiap pasien syok, terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian transfusi darah diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata. Kadangkala sulit untuk

mengetahui

perdarahan

interna

(internal

haemorrhage)

apabila

disertai

hemokonsentrasi. Penurunan hematokrit (misalnya dari 50% me.njadi 40%) tanpa perbaikan klinis walaupun telah diberikan cairan yang mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan. Pemberian darah segar dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan karena cukup mengandung plasma, sel darah merah dan faktor pembesar trombosit. Plasma segar dan atau suspensi trombosit berguna untuk pasien dengan KID dan perdarahan masif. KID biasanya terjadi pada syok berat dan menyebabkan perdarahan masif sehingga dapat menimbulkan kematian. Pemeriksaan hematologi seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protombin, dan fibrinogen degradation products harus diperiksa pada pasien syok untuk mendeteksi terjadinya dan berat ringannya KID. Pemeriksaan hematologis tersebut juga menentukan prognosis. Monitoring. Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring adalah



Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi.



Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai keadaan klinis pasien stabil.



setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan, jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah mencukupi.



Jumlah dan frekuensi diuresis.

Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa penggantian volume intravaskuler telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum cukup 1 ml/kg/BB, sedang jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan diperkuat dengan tanda overload antara lain edema, pernapasan meningkat, maka selanjutnya furosemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan jumlah diuresis, kadar ureum dankreatinin tetap harus dilakukan. Tetapi, apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok belum dapat terkoreksi dengan baik, maka pemberian dopamin perlu dipertimbangkan.

Ruang Rawat Khusus Untuk DBD Untuk mendapatkan tatalaksana DBD lebih efektif, maka pasien DBD seharusnya dirawat di ruang rawat khusus, yang dilengkapi dengan perawatan untuk kegawatan. Ruang perawatan khusus tersebut dilengkapi dengan fasilitas laboratorium untuk memeriksa kadar hemoglobin, hematokrit, dan trombosit yang tersedia selama 24 jam. Pencatatan merupakan hal yang penting dilakukan di ruang perawatan DBD. Paramedis dapat didantu oleh orang tua pasien untuk mencatatjumlah cairan baik yang diminum maupun yang diberikan secara intravena, serta menampung urin serta mencatat jumlahnya. Kriteria Memulangkan Pasien 

Tampak perbaikan secara klinis



Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik



Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)



Hematokrit stabil



Jumlah trombosit cenderung naik > 50.000/pl



Tiga hari setelah syok teratasi



Nafsu makan membaik

TATALAKSANA ENSEFALOPATI DENGUE Pada ensefalopati cenderung terjadi udem otak dan alkalosis, maka bila syok telah teratasi cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HC03- dan jumlah cairan harus segera dikurangi. Larutan laktat ringer dektrosa segera ditukar dengan larutan NaCl (0,9%) : glukosa (5%) = 1:3. Untuk mengurangi udem otak diberikan dexametason 0,5 mg/kg BB/kali tiap 8 jam, tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna sebaiknya kortikosteroid tidak diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka diberikan vitamin K intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah diusahakan > 80 mg. Mencegah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dengan mengurangi jumlah cairan (bila perlu diberikan diuretik), koreksi asidosis dan elektrolit. Perawatan jalan nafas dengan pemberian oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi produksi amoniak dapat diberikan neomisin dan laktulosa. Usahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya antasid, anti muntah) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati. Transfusi darah segar atau komponen dapat diberikan atas indikasi yang tepat. Bila perlu dilakukan tranfusi tukar. Pada masa penyembuhan dapat diberikan asam amino rantai pendek.

Mengingat pada saat awal pasien datang, kita belum selalu dapat menentukan diagnosis DD/DBD dengan tepat, maka sebagai pedoman tatalakasana awal dapat dibagi dalam 3 bagan yaitu 

Tatalaksana kasus tersangka DBD, termasuk kasus DD, DBD derajat I dan DBD derajat II tanpa peningkatan kadar hematokrit. (Bagan 2 dan 3)



Tatalaksana kasus DBD, temasuk kasus DBD derajat II dengan peningkatan kadar hematokrit (Bagan 4)



Tatalaksana kasus sindrom syok dengue, termasuk DBD derajat III dan IV (Bagan 5)

DAFTAR PUSTAKA

1. Setiabudi D. Evalution of Clinical Pattern and Pathogenesis of Dengue Haemorrhagic Fever. Dalam : Garna H, Nataprawira HMD, Alam A, penyunting. Proceedings Book 13th National Congress of Child Health. KONIKA XIII. Bandung, July 4-7, 2005. h. 329- 333 2. Hadinegoro SRS. Pitfalls & Pearls dalam Diagnosis dan Tata Laksana Demam Berdarah Dengue. Dalam : Trihono PP, Syarif DR, Amir I, Kurniati N, penyunting. Current Management of Pediatrics Problems. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLVI. Jakarta 5-6 September 2004.h. 633. Halstead SB. Dengue Fever and Dengue Hemorrhagic Fever. Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia : WB Saunders.2004.h.1092-4 4. Soedarmo SSP. Demam Berdarah (Dengue) Pada Anak. Jakarta : UI Press 1988 5. Halstead CB. Dengue hemorrhagic fever: two infections and antibody dependent enhancement, a brief history and personal memoir . Rev Cubana Med Trop 2002; 54(3):h.171-79 6. Soewondo ES. Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue Pengelolaan pada Penderita Dewasa. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XIII. Surabaya 12-13 September 1998.h. 7. Soegijanto S. Demam Berdarah Dengue : Tinjauan dan Temuan Baru di Era 2003. Surabaya : Airlangga University Press 2004.h.1-9 8. World Health Organization Regional Office for South East Asia. Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever : Comprehensive Guidelines. New Delhi : WHO.1999 9. Sutaryo. Perkembangan Patogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam : Hadinegoro SRS, Satari HI, penyunting. Demam Berdarah Dengue: Naskah Lengkap Pelatihan bagi Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam tatalaksana Kasus DBD. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2004.h.32-43 10. Hadinegoro SRS. Imunopatogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam : Akib Aap, Tumbelaka AR, Matondang CS, penyunting. Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV. Pendekatan Imunologis Berbagai Penyakit Alergi dan Infeksi. Jakarta 30-31 Juli 2001. h. 41-55 11. Hadinegoro SRS,Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. Tatalaksana Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue pada Anak. Naskah Lengkap Pelatihan bagi Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam tatalaksana Kasus DBD. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2004.h. 80-135 12. Soedarmo SSP.Infeksi Virus Dengue. Dalam : Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, penyunting. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi & Penyakit Tropis. Edisi pertama. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.2002.h.176-208 13. Samsi TK. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue di RS Sumber Waras. Cermin Dunia Kedokteran 2000; 126 : 5-13 14. Panbio. Dengue. Didapatkan dari : URL: http://www.panbio.com.au/ modules.php? name= ontent&pa=showpage&pid=33. Diunduh pada tanggal 27 Juni 2006. 15. Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta. Standar Penanggulan Penyakit DBD. Edisi 1 Volume 2. Jakarta :Dinas Kesehatan 2002.

Related Documents

Case 3
August 2019 33
Case Study 3-3
April 2020 21
Court Case 3
June 2020 15
Case 3 - Dss.docx
November 2019 27
Fraud Case 3
November 2019 26
Case 3.pdf
December 2019 64

More Documents from "rakesh"