PRESENTASI KASUS SEORANG ANAK LAKI-LAKI DENGAN ANEMIA BERAT, BRONKOPNEUMONIA, DAN GIZI BAIK
Disusun oleh: Sri Yuliani Citra 030.11.279
Pembimbing: dr. Raden Setiyadi, Sp.A
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH TEGAL FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI PERIODE 15 JANUARI 2018 – 24 MARET 2018
LEMBAR PENGESAHAN Presentasi Laporan Kasus dengan Judul Seorang Anak laki-laki dengan Anemia Berat, Bronkopneumonia Gizi Baik Penyusun: Sri Yuliani Citra 030.11.279
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing dr. Raden Setiyadi, Sp.A, sebagai syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak di RSUD Kardinah Kota Tegal periode 15 Januari – 24 Maret 2018
Tegal, 12 Maret 2018
dr. Raden Setiyadi, Sp.A
STATUS PASIEN LAPORAN KASUS KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL Nama : Sri Yuliani Citra
Pembimbing : dr. Raden Setiyadi, Sp.A
NIM
Tanda tangan :
: 030.11.279
A. IDENTITAS PASIEN
DATA
PASIEN
AYAH
IBU
Nama
An D
Tn S
Ny D
Umur
6 Bulan
36 tahun
35 tahun
Jenis Kelamin
Laki-laki
Laki-laki
Perempuan
Alamat
Jln Banyuwangi RT 08/01
Agama
Islam
Islam
Islam
Suku Bangsa
Jawa
Jawa
Jawa
Pendidikan
-
SMA
SMA
Pekerjaan
-
Wiraswasta
IRT
Penghasilan
-
Rp.1.500.000,00
-
Keterangan
Hubungan pasien dengan orang tua adalah anak kandung
Asuransi
-
No. RM
908661
B. ANAMNESIS Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis terhadap ibu kandung pasien pada tanggal 7 Maret 2018 pukul 11.30 WIB, di ruang Puspanindra RSU Kardinah Tegal
Keluhan Utama: demam sejak 5 hari SMRS
Keluhan tambahan : sesak, batuk berdahak, lemas dan pucat
Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang diantar oleh Ibunya ke IGD RSUD Kardinah pada tanggal 7 Maret 2018, pukul 09.10 dengan keluhan demam sejak 5 hri SMRS. Sebelumnya pasien sempat berobat ke Puskesmas namun tidak ada perubahan. Awalnya pasien batuk disertai sesak napas. Batuk berdahak sejak 1 minggu SMRS disertai pilek, namun dahak sulit dikeluarkan. Pasien selalu muntah setiap kali batuk sebanyak ± setengah gelas aqua. Muntah berisi makanan dan minuman. Menurut ibunya, pasien juga lemas dan tampak pucat. Nafsu makan dan minum baik. Pasien masi diberi ASI sampai usia 4 bulan, 2 bualan susu formula. Tiap hari minum susu kuat BAK normal ganti pampers 4x sehari, BAK bewarna kuning. BAB lembek, lender (-), ampas (+) sebanyak sekali sehari. Tidakada Riw transfusi darah sebelumnya.
Riwayat Penyakit Dahulu
Menurut ibunya, pasien tidak memiliki riwayat BAB hitam, sesak nafas, mimisan, gusi berdarah. Riwayat transfusi, Riwayat kejang (-), Riwayat Bronkopneumonia (-) disangkal. Tidak ada riwayat trauma sebelumnya. Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat maupun makanan tertentu. Penyakit lain, seperti asma, penyakit jantung, penyakit hati disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga Ibu pasien mengaku Tidak ada anggota keluarga yang pernah mengalami keluhan yang serupa. Tidak ada riwayat anemia masa kehamilan ibu pasien. Dikeluarga pasien mengaku pamannya terdapat riw batu-batuk lama dan sudah selesai pengobatan 6 bulan . Riwayat penyakit keganasan, darah tinggi, kencing manis, asma, penyakit jantung dan paru dalam keluarga disangkal.
Riwayat Lingkungan Perumahan
Pasien tinggal di rumah kontrakan. Rumah tersebut berukuran ± 6 x 8 m2, memiliki 3 kamar tidur dengan 1 kamar mandi dan 1 dapur, beratap genteng, berlantai semen, berdinding tembok, memiliki jendela dan hanya ada 2 pintu. Di rumah tersebut tinggal kedua orang tua pasien, kakak pasien, dan pasien dan saudara pasien lainnya. Rumah rajin dibersihkan setiap hari dari mulai disapu sampai membersihkan debu-debu ruangan. Cahaya matahari dapat masuk ke dalam rumah, lampu tidak dinyalakan pada siang hari. Jika jendela dibuka maka udara dalam rumah tidak pengap. Jarak septic tank dengan wc ± 10 m. Kesan: Keadaan lingkungan rumah dan sanitasi kurang baik, ventilasi dan pencahayaan baik.
Riwayat Sosial Ekonomi Ayah pasien berprofesi sebagai wiraswasta dengan penghasilan ± Rp 1.500.000,- per bulan. Ibu pasien berprofesi sebagai IRT. Penghasilan tersebut menanggung hidup 6 orang, kedua orang tua pasien, kakak dan adik pasien dan pasien sendiri.
Kesan: Riwayat sosial ekonomi cukup
Riwayat Kehamilan dan Pemeriksaan Prenatal Morbiditas
HT (-), DM (-), Peny.jantung (-), Peny. Paru
kehamilan
(-), Anemia (-), Infeksi (-) Selama kehamilan ibu pasien menjalani ANC rutin tiap bulannya di puskesmas, mendapat imunisasi TT 2x. Pernah melakukan USG. Ibu
Kehamilan Perawatan antenatal
tidak pernah mengonsumsi obat-obatan dan jamu selama hamil, tidak merokok, tidak mengonsumsi
alkohol,
tidak
pernah
mengalami demam, sesak, muntah-muntah atau penyakit lain selama kehamilan Kelahiran
Tempat persalinan Penolong persalinan
Rumah Sakit Bidan
Cara persalinan Masa gestasi
Spontan pervaginam 37 Minggu Berat lahir : 2700 gr Panjang lahir: 46 cm Lingkar kepala: ibu pasien tidak ingat
Keadaan bayi
Keadaan lahir : langsung menangis kuat,tidak pucat dan tidak biru Air ketuban : jernih Kelainan bawaan : -
Suntik Vit. K
Ibu pasien tidak tahu
Riwayat Pemeliharaan Postnatal Pemeliharaan setelah kelahiran dilakukan di Bidan dan Posyandu sebulan sekali dan anak dalam keadaan sehat
Corak Reproduksi Ibu Ibu G2P2A0, anak pertama berjenis kelamin perempuan, berusia
9
tahun, hidup dan sehat. Dan anak kedua adalah pasien berjenis kelamin lakilaki.
Riwayat Keluarga Berencana Ibu pasien mengaku saat ini tidak sedang menggunakan KB.
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak o Pertumbuhan : Berat badan lahir anak 2700 gram. Berat badan sekarang 7,6 kg dengan panjang badan sekarang 67 cm. o Perkembangan : Pertumbuhan gigi pertama : 6 bulan Motorik Kasar o Tengkurap : 4 bulan o Duduk tanpa bantuan : 5 bulan
o Berdiri :o Berjalan :o Mengucapkan kata : 5 bulan Kesan : Tidak terdapat keterlambatan gangguan perkembangan
Riwayat Makan dan Minum o Lahir sampai sekarang pasien mengkonsumsi ASI o Usia 6 bulan pasien mengkonsumsi bubur nestle
Riwayat Imunisasi
Kesan : Pasien dilakukan imunisasi dasar dengan lengkap, dan belum dilakukan imunisasi ulangan
Silsilah Keluarga
C. PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 7 Maret 2018, pukul 12:00 WIB, di Ruang Puspanindra. I. Keadaan Umum
Compos mentis, tampak lemah, tampak pucat. II. Tanda Vital
I.
I.
Tekanan darah
: Tidak dilakukan pemeriksaan
Nadi
: 124x/menit reguler, kuat, isi cukup
Laju nafas
: 32x/menit reguler
Suhu
: 38,5oC, Axilla
Data Antropometri Berat badan sekarang
: 7,5 kilogram
Panjang badan sekarang
: 67 cm
Status Internus Kepala : Normosefali Rambut
: Hitam, tidak mudah dicabut
Mata
: Conjunctiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Bentuk normal, deformitas (-), deviasi (-), sekret (-/-), napas cuping hidung (-) Telinga
: Normotia, discharge (-/-)
Mulut
: Bibir kering (-), bibir sianosis (-), stomatitis (-), labioschizis (-
), palatochizis (-), Leher
: Simetris, tidak terdapat pembesaran KGB
Thorax
: Dinding thorax normothorax dan simetris
o Paru : Inspeksi : Bentuk dada simetris kanan – kiri. Strenum dan iga normal. Retraksi (+). Gerak napas simetris, tidak ada hemithotax yang tertinggal. Palpasi : Simetris, tidak ada yang tertinggal Perkusi : tidak dilakukan Auskultasi : Suara nafas vesikuler(+/+), rhonki (+/+), wheezing (+/+). o Cor : Inspeksi
: Ictus cordis tidak tampak.
Palpasi sinistra.
: Ictus cordis teraba di ICS IV midklavikula
Perkusi
: Tidak dilakukan pemeriksaan
Auskultasi gallop (-)
: Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-),
Abdomen : Inspeksi : Datar, simetris Auskultasi : Bising usus (+) Palpasi : kembung, distensi (-), turgor kembali < 2 detik, Hepar
dan lien tidak teraba pembesaran. Perkusi : timpani di 4 kuadran Vertebra : tidak ada kelainan Genitalia : tidak ada kelainan, jenis kelamin laki-laki Anorektal : tidak ada kelainan Ekstremitas: Keempat ekstrimitas lengkap, simetris Akral Dingin Akral Sianosis
Superior -/-/-
Inferior -/-/-
CRT Oedem Tonus Otot Trofi Otot
<2” -/Normotonus Normotrofi
<2” -/Normotonus Normotrofi
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan penunjang yang dilakukan selama pasien dirawat di RSU Kardinah Tegal:
Laboratorium Darah Laboratorium Darah (06/03/2018) Pemeriksaan
Hasil
Satuan
Nilai Rujukan
Hemoglobin
4.7 ↓
g/dl
10.7 – 13.1
Leukosit
12,0
103/µl
6.0 – 17.5
Hematokrit
19,6↓
%
31 – 41
Trombosit
185 ↓
103/µl
217 – 497
Eritrosit
3,7
106/µl
3.6 – 5.2
RDW
25.9↑
%
11.5 – 14.5
MCV
53,7 ↓
U
80 – 96
MCH
12,9 ↓
Pcg
28 – 33
MCHC
24,0 ↓
g/dl
33 – 36
Neutrofil
29.0
%
50 – 70
Limfosit
60,6 ↑
%
25 – 40
Monosit
9,5 ↑
%
2–8
Eosinifil
1↓
%
2–4
Basofil
0,3
%
0–1
Laboratorium Darah (08/03/2018) Pemeriksaan
Hasil
Satuan
Nilai Rujukan
Hemoglobin
9,2↓
g/dl
11.2 – 15.7
Leukosit
4,8↓
103/µl
6.0 – 17.5
Hematokrit
33,0
%
31 – 41
Trombosit
259
103/µl
217 – 497
Eritrosit
5,0
106/µl
3.6 – 5.2
RDW
000
%
11.5 – 14.5
MCV
66,0↓
U
80 – 96
MCH
18,4↓
Pcg
28 – 33
MCHC
27,9↓
g/dl
28-32
Laboratorium Darah (11/03/2018) Pemeriksaan
Hasil
Satuan
Nilai Rujukan
Hemoglobin
14,3↑
g/dl
10.7 – 13.1
Leukosit
5,5
103/µl
6.0 – 17.5
Hematokrit
45,3↑
%
31 – 41
Trombosit
130 ↓
103/µl
217 – 497
Eritrosit
6,5
106/µl
3.6 – 5.2
RDW
30,9↑
%
11.5 – 14.5
MCV
69,9↓
U
80 – 96
MCH
22,1 ↓
Pcg
28 – 33
MCHC
31,6
g/dl
28 – 32
Hematologi Gambaran Darah Tepi Eritrosit Anisositosis dan poikilositosis ringan Mikrositik hipokrom (ovalosit, eliptosit, mikrosit, tear drop pensil sel) Eritrosit berinti 2/100jumlah leukosit Trombosit Jumlah dan morfologi dalam batas normal, clumping trombosit -/Negatif
Leukosit Estimasi jumlah tampak meningkat Limfosit >504, sel blast -/negatif Kesan -
-
Anemia mikrositik dengan leukositosis disertai limfositosis Suspek adanya infeksi bakteri/inflamasi Tidak tampak tanda keganasan
Saran CRP, Elektrolit Diff Netrofil
L
21.3
%
50 – 70
Limfosit
H
73.8
%
25 – 40
Monosit
3.0
%
2–8
Eosinofil
1
%
2–4
Besofil
0.1
%
0–1
Lain – lain
-
E. PEMERIKSAAN KHUSUS a. Data antropometri Anak laki-laki usia 6 bulan Berat badan 7,5 kilogram Tinggi badan 67 cm Lingkar kepala 41 cm b. Pemeriksaan Status Gizi BB/U Kurva WHO Z-SCORE
Kesan : BB/U 0 SD sd <-2 SD (Berat badan normal) Tinggi badan berdasarkan umur WHO Z-SCORE
Kesan : TB/U 0 SD sd <-1 SD (Perawakan normal)
Berat badan berdasarkan tinggi badan WHO Z-SCORE
Kesan : BB/TB -2 SD sd +1 SD (Gizi baik) c. Pemeriksaan Lingkar Kepala (Kurva Nellhaus)
Lingkar kepala 41 Kesan : normosefali
Skoring
Kesan : Skoring TB 4 di dapatkan dari pernah kontak dengan TB di keluarga dan Gizi Baik Pmeriksaan foto Rontgen
Kesan Bercak pada perihilar dan pericardial kanan kiri disertai penebalan hilus kanan kiri, curiga proses spesifik F. RESUME Pasien datang diantar oleh Ibunya ke IGD RSUD Kardinah pada tanggal 7 Maret 2018, pukul 14.27 dengan keluhan demam tinggi sejak 5 hari SMRS, keesokan harinya pasien dibawa berobat ke puskesmas setelah 3 hari obat habis pasien langsung dibawa ke bidan untuk berobat yang kedua kalinya karena tidak ada perubahan walaupun sudah diberi obat. Demam masih naik turun, naik saat malam hari dan turun saat pagi hari. Ibu pasien juga mengatakan awalnya batuk terlebih dahulu baru demam. Batuk sudah ada sejak satu 1 minggu SMRS, batuk berdahak namun sulit untuk dikeluarkan, batuk. Menurut ibu pasien sering muntah setiap batuk. Pasien terlihat lemas dan pucat. Pasien meneteknya kuat, namun nafsu makan baik. Pasien BAB sekali sehari dengan konsistensi BAB lembek, ampas (+) lendir (-). Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum kompos mentis, lemah, tampak pucat dengan denyut jantung 120 x/m, pernafasan 32 x/m, dan suhu 38,5˚C. Status antropometri dan status gizi pasien gizi buruk. Status generalis didapatkan konjungtiva anemis dan ronkhi pada kedua lapang paru, dan terdapat . Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb (↓), trombosit (↑),
hematokrit (↓), RDW (↑), MCV ↓, MCH ↓, MCHC ↓, limfosit (↑), monosit (↑), eosinophil (↓). Pada sediaan hapus darh tepi didapatkan hasil anemia mikrositik dd anemia defisiensi besi, infeksi. Limfositosis suspek adanya infeksi virus. Pada pemeriksaan foto rontgen thoraks didapatkan hasil bercak pada perihilar dan pericardial kanan kiri disertai penebalan hilus kanan kiri, curiga proses spesifik. G. DAFTAR MASALAH
Demam
Sesak
Batuk, pilek
Lab : SADT anemia mikrositik dd anemia defisiensi besi, infeksi. Limfositosis suspek adanya infeksi virus Foto rotgen thoraks hasil bercak pada perihilar dan pericardial kanan kiri disertai penebalan hilus kanan kiri, curiga proses spesifik.
H. DIAGNOSIS BANDING Bronchopneumonia Batuk, demam, sesak
Bronchitis Bronchiolitis Berdasarkan Etiologi
Hb dibawah normal
-
Penyakit infeksi
-
Hemolitik
-
Perdarahan
-
Aplastik
-
Keganasan
Berdasarkan Morfologi -
Anemia normositik normokrom
-
Anemia mikrositik hipokorom
-
Anemia makrositik normokrom
Kurang Status gizi
Buruk Baik
I. DIAGNOSIS KERJA -
Anemia mikrositik hipokrom anemia defisiensi besi
-
Bronkopneumonia
-
Gizi baik
J. PENATALAKSANAAN a. Non medikamentosa
Monitor tanda vital dan keadaan umum
Beri terapi sesuai anjuran
Pemberian asupan gizi yang sesuai
Awasi reaksi transfusi Inhalasi Ventolin
Edukasi: -
Menjelaskan kepada keluarga tentang penyakit pasien, pengobatan, dan komplikasi yang mungkin dapat terjadi
-
Mencari faktor pencetus dan menghindarinya
-
Menjelaskan mengenai aktivitas yang boleh dan perlu dikurangi pada pasien
b. Medikamentosa
• IVFD Assering 8 tpm
• Inj. Amoxan 3 x 250 mg • Inj. Gentamicin 1 x 40/hari • Transfusi PRC 1 x 50 cc • PO: Paracetamol 4x0,7 ml/kgBB K. PROGNOSIS
Quo ad vitam
: Dubia ad bonam
Quo ad fungsionam
: Dubia ad bonam
Quo ad sanationam
: Dubia ad bonam
L. PEMERIKSAAN ANJURAN Check ulang darah rutin, gambaran darah tepi, cek retikulosit ,
Serum Iron, TIBC Hb Elektroforesis BMP Test montaoux, Tes cepat monokuler PERJALANAN PENYAKIT 7 Maret 2018 pukul 08.15 WIB
8 Maret 2018 pukul 07.20 WIB
S
Demam 5 hari naik turun, batuk pilek satu minggu, batuk berdahak namun sulit dikeluarkan, sesak (+), muntah (+) 2x berisi cairan, ASI kuat, nafsu makan kurang karna muntah, anak tidak mau bermain. BAB lembek 1x, lendei (-), ampas (+)
S
Rewel (+), demam (+), sesak(-) batuk berdahak (+), pilek (+), mual (-) muntah (-), BAB lembek warna kuning 1x ampas (+) lendir (-) nafsu makan kurang krn muntah, hanya mau ASI
O
KU: CM, tampak lemah,tampak pucat. TTV: HR 165 x/m, RR 32x/m, S 37,60C, Status generalis: Kepala: Normosefali
O
KU: CM, tampak lemah,tampak pucat TTV: HR 116 x/m, RR 30x/m, S 37,60C, Status generalis: Kepala: Normosefali
A
P
Mata: CA(+/+),SI (-/-) Toraks: SNV (+/+), rh (+/+), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-) Abdomen: Supel, BU (+)N, distensi (-) Ekstremitas atas-bawah:AH (+/+), OE (-/-) CRT <2 detik Hb 4.7 (↓), Leuk 12, Ht 19,6 (↓), Tromb 185 (↓), MCV (↓), MCH (↓), MCHC (↓), Limfosit 60.6 (↑), monosit 9,5(↑) Anemia mikrosistik hipokrom dd dif besi Bronkopneumonia Dd bronchiolitis • IVFD Assering 8 tpm • Inj amoxan 3 x 250 mg • Inj gentamicin 1 x 40 mg/hari • Po: Paracetamol 4x0,7 ml/kgBB Transfuse PRC 50 cc
Mata: CA(+/+),SI (-/-) Toraks: SNV (+/+), rh (+/+), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-) Abdomen: Supel, BU (+)N, distensi (-) Ekstremitas atas-bawah: AH (+/+), OE (-/-) CRT <2 detik Hb 9,2, leuk 4,8 (↓), tromb 259, Ht 33.0 A
Anemia perbaikan Bronkopneumonia Dd Bronchiolitis
P
• • • •
9 Maret 2018 pukul 06.30 WIB
S
O
A
IVFD Assering 8 tpm Inj amoxan 3 x 250 mg Inj gentamicin 1 x 40 mg/hari Inj Paracetamol 4x70 mg
10 Maret 2018 pukul 06.30 WIB
Demam (+), Batuk dahak sulit keluar (+) sesak (-), pilek (+), mual (-), muntah (-), BAK dan BAB normal, nafsu makan masih membaik, ASI kuat dan banyak. Menetek kuat KU: CM, tampak lemah,tampak pucat, TTV: HR 110 x/m, RR 32x/m, S 38,50C, Status generalis: Kepala: normosefali Mata: CA(-/-),SI (-/-) Toraks: SNV (+/+), rh (+/+), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-), retraksi minimal Abdomen: Supel, BU (+)N, distensi (-), teraba hepar 2 jari dibawah arcus costae kanan, kembung (+) Ekstremitas atas-bawah:AH (+/+), OE (-/-) CRT <2 detik
S
BRPN Anemia
A
O
Batuk berdahak sudah mulai berkurang, sesak saat batuk berkurang, pilek (+), demam (-) muntah (-). Nafsu makan dan minum baik, BAK normal, BAB lembek, lendi (-), ampas (-), menetek kuat KU: CM, tampak lemah,tampak pucat, TTV: HR 115 x/m, RR 32x/m, S 38,10C, Status generalis: Kepala: Normosefali Mata: CA(-/-),SI (-/-) Toraks: SNV (+/+), rh (+/+), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-), retraksi minimal Abdomen: Supel, BU (+), distensi (-), teraba hepar 2 jari dibawah arcus costae kanan, kembung (+) Ekstremitas atas-bawah: AH (+/+), OE (-/-) CRT <2 detik Anemia BRPN
P
• IVFD Assering 8 tpm • Inj amoxan 3 x 200 mg • Inj gentamicin 1 x 40 mg/hari • Inj Paracetamol 70 mg/kgBB PO: • Attaroc syr 2x1,3 ml • Rhinos neo drop 3 x 0,5 mL
P
• IVFD Assering 8 tpm • Inj amoxan 3 x 250 mg • Inj gentamicin 1 x 40 mg/hari • Inj dexamethasone ½ mg • Inj PCT 70 k/p PO • Paracetamol 3 x 0,6 ml • Rhinos neo drop 3 x 0,5 mL • Attaroc syr 2x1,3 ml
ANALISIS MASALAH
Anemia ditegakan berdasarkan anamnesis pasien rampak lemas dan pucat, muntah setiap batuk, pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis, dan tidak ada pembesaran organomegali, perut kembung. Pada pemeriksaan laboratorium ditegakan berdasarkan Hb darh dibawah normal 4,5 dan SADT didapatkan anemia mikrositik hipokrom dd difesiensi besi, indeks mentzer didapatkan 14,5. Pada pasien ini dilakukan ransfusi darah 2 kali.
Bronkopneumnia ditegakan berdarkan anamnesis pasien terdapat sesak saat batuk, batuk berdahak sejak 1 minggu namun sulit dikeluarkan, deman tinggi 5 hari,
muntah. Pada pemeriksaan fisik didapatkan sesak, napas cepat takipnue, retraksi, perut kembung.
Status gizi berdasarkan WHO , TB/BB -2SD s/d +1 SD. Kesan Gizi baik.. setiap hari pasien nafsu makannya baik. Makan bubur nestle dan minum susu formula. Kadang ASI juga
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Anemia Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari normal. Batas normal kadar Hb menurut umur:
Anak – anak 6 – 59 bulan 5 – 11 tahun 12 – 14 tahun Dewasa Wanita > 15 tahun Wanita hamil Laki-laki > 15 tahun
: 11,0 : 11,5 : 12,0 : 12,0 : 11,0 : 13,0
2.2 Etiologi Anemia Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena: 1.Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang 2.Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan) 3.Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis). 1 2.3 Klasifikasi Anemia
Klasifikasi Anemia menurut etiopatogenesis : A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang 1.Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit a.Anemia defisiensi besi b.Anemia defisiensi asam folat c.Anemia defisiensi vitamin B12 2.Gangguan penggunaan besi a.Anemia akibat penyakit kronik b.Anemia sideroblastik 3.Kerusakan sumsum tulang a.Anemia aplastik b.Anemia mieloptisik c.Anemia pada keganasan hematologi d.Anemia diseritropoietik e.Anemia pada sindrom mielodisplastik B.Anemia akibat perdarahan 1.Anemia pasca perdarahan akut 2.Anemia akibat perdarahan kronik C.Anemia hemolitik 1.Anemia hemolitik intrakorpuskular a.Gangguan membran eritrosit (membranopati) b.Gangguan enzim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi G6PD c.Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
Thalasemia Hemoglobinopati struktural : HbS, HbE, dll
2.Anemia hemolitik ekstrakorpuskuler a.Anemia hemolitik autoimun b.Anemia hemolitik mikroangiopatik c.Lain-lain
Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi:
1. Anemia hipokromik mikrositer Mengecilnya ukuran sel darah merah yang disebabkan oleh defisiensi besi, gangguan sintesis globin, porfirin dan heme serta gangguan metabolisme besi lainnya.
Anemia defisiensi besi Thalasemia major Anemia akibat penyakit kronik Anemia sideroblastik Etiologi bayi yang mendapatkan susu sapi pada usia kurang dari 1 tahun,
balita yang mendapatkan susu sapi dalam jumlah besar, dan remaja puteri yang mengalami menstruasi tanpa mendapatkan suplementasi besi beresiko tinggi untuk mengalami defisiensi besi. Anemia defisiensi besi juga dapat ditemukan pada bak dengan penyakit inflamasi kronik, sekalipun tanpa perdarahan kronik. Manifestasi klinis, selain manifestasi anemia dan SSP (apatis, iritabilitas, konsentrasi buruk) telah dihubungkan defisiensi besi, paling mungkin terjadi akibat kelainan enzim yang mengandung zat besi (monoamine oksidase) dan sitokrom. Ketahanan otot yang buruk, gangguan fungsi pencernaan, gangguan sel darah putih dan sel T telah dihubungkan dengan defiensi zat besi. Defisiensi besi pada bayi dapat berhubungan dengan defisit kognitif dan prestasi sekolah yang buruk dikemudian hari. 15 Terapi pada anak yang tidak memiliki masalah kesehatan lain, uji coba zat besi terapeutik adalah cara diagnostic terbaik untuk defisiensi besi selama anak diperiksa
ulang tercatat dengan baik. Respons terhadap zat besi oral mencakup perbaikan subjektif cepat, terutama dalam hal fungsi neurologic dan retikulosis, peningkatan kadar hemoglobin dan pengisian cadangan besi. Dosis terapeutik 4-6 mg besi elemantal/hari memicu peningkatan Hb sebesar 0,25 hingga 0,4 g/dL/hari. (15) Pencegahan bayi yang diberikan minum dengan botol sebaiknya mendapatkan formula yang mengandung zat besi hingga usia 12 bulan dan bayi yang berusia lebih lebih dari 6 bulan yang mendapatkan ASI sebaiknya mendapatkan suplemtasi zat besi. 2. Anemia normokromik normositer Pada anemia normositik ukuran sel darah merah tidak berubah, ini disebabkan kehilangan darah yang parah, meningkatnya volume plasma secara berlebihan, penyakit-penyakit hemolitik, gangguan endokrin, ginjal, dan hati.
Anemia pasca perdarahan akut Anemia aplastic Anemia hemolitik didapat Anemia akibat penyakit kronik Anemia pada gagal ginjal kronik Anemia pada sindrom mielodisplastik Anemia pada keganasan hematologic Anemia yang sering terjadi pada penyakit inflamasi kronik. Hepsidin, protein
yang diproduksi di hepar. Memainkan peranan kunci dalam homeostasis zat besi. Inflamasi menyebabkan peningkatan produksi hepsidin yang menginteupsi pelepasan zat besi oleh makrofag dan juga meninterupsi penyerapan zat besi dari usus yang mengakibatkan anemia. Anemia akibat inflamasi dapat bersifat normositik atau, lebih jarang mikrositik. Pada saat tertentu, situasi ini memiliki tantangan klinis, yaitu anak dengan penyakit inflamasi yang berhubungan dengan perdarahan mengalami anemia mikrositik. Pada situasi ini, satu-satunya uji diagnostikspesifik yang dapat membedakan dua entitas ini secara jelas adalah aspirasi sumsum tulang dengan pewarnaan sampel untuk zat besi. Kadar feritin yang rendah mengindikasikan adanya defisiensi besi yang terjadi bersamaan. Uji coba terapi zat besi tidak terindikasi tanpa diagnostic spesifik pada anak yang tamapk sakit sistemik. Infiltrasi sel-sel ganas ke dalam sumsum tulang umumnya menyebabkan anemia normositik normokrom. Mekanisme yang menyebabkan sel neoplastic menganggu
sintesis SDM dan sel sumsum tulang lain bersifat multifactorial. Hitung retikulosit sering kali rendah. Elemen myeloid imatur dapat dilepaskan ke dalam sel darah tepi karena adanya sel tumor yang menganggu. Pemeriksaan darah tepiu dapat memperlihatkan limfoblast, saat tumor padat bermetastasis ke sumsum tulang, sel-sel ini jarang terlihat di darah tepi. Pemeriksaan sumsum tulang sering kali diperlukan saat menemukan anemia normositik normokrom 3. Anemia makrositer Pada anemia makrositik ukuran sel darah merah bertambah besar dan jumlah hemoglobin tiap sel juga bertambah. Ada dua jenis anemia makrositik yaitu a.Bentuk megaloblastik
Anemia defisiensi asam folat Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
b.Bentuk non-megaloblastik
Anemia pada penyakit hati kronik Anemia pada hipotiroidisme Anemia pada sindrom mielodisplastik
Pansitopeni adalah turunnya secara kuantitatif elemen-elemen darah, pasien sering menunjukan gejala infeksi atau perdarahan disbanding gejala anemia karena masa hidup leukosit dan trombosit yang relative leboih pendek disbanding masa hidup eritrosit. Penyebab pansitopeni sendiri adalah kegagalan produksi (penyakit sumsum tulang intrinsic) sekuestrasi (hipersplenisme) dan peningkatan penghancuran di perifer. 2.4 Gejala Anemia Gejala umum anemia adalah gejala yang timbul pada setiap kasus anemia, apapun penyebabnya, apabila kadar hemoglobin turun dibawah harga tertentu. Gejala umum anemia ini timbul karena : a. Anoksia organ b.Mekanisme kompensasi tubuh terhadap berkurangnya daya angkut oksigen •Affinitas oksigen yang berkurang
Untuk peningkatan pengangkutan oksigen ke jaringan yang efisien, dilakukan dengan cara mengurangi affinitas hemoglobin untuk oksigen. Aksi ini meningkatkan ekstraksi oksigen dengan jumlah hemoglobin yang sama. •Peningkatan perfusi jaringan Efek dari kapasitas pengangkutan oksigen yang berkurang pada jaringan dapat dikompensasi dengan meningkatkan perfusi jaringan dengan mengubah aktivitas vasomotor dan angiogenesis. •Peningkatan cardiac output Dilakukan dengan mengurangi fraksi oksigen yang harus diekstraksi selama setiap sirkulasi, untuk menjaga tekanan oksigen yang lebih tinggi. Karena viskositas darah pada anemia berkurang dan dilatasi vaskular selektif mengurangi resistensi perifer, cardiac output yang tinggi bisa dijaga tanpa peningkatan tekanan darah. •Peningkatan fungsi paru Anemia yang signifikan menyebabkan peningkatan frekuensi pernafasan yang mengurangi gradien oksigen dari udara di lingkungan ke udara di alveolar, dan meningkatkan jumlah oksigen yang tersedia lebih banyak daripada cardiac output yang normal. •Peningkatan produksi sel darah merah Produksi sel darah merah meningkat 2-3 kali lipat pada kondisi yang akut, 4-6 kali lipat pada kondisi yang kronis, dan kadang-kadang sebanyak 10 kali lipat pada kasus tahap akhir. Peningkatan produksi ini dimediasi oleh peningkatan produksi eritropoietin. Produksi eritropoietin dihubungkan dengan konsentrasi hemoglobin. Konsentrasi eritropoietin dapat meningkat dari 10 mU/mL pada konsentrasi hemoglobin yang normal sampai 10.000 mU/mL pada anemia yang berat. Perubahan kadar eritropoietin menyebabkan produksi dan penghancuran sel darah merah seimbang. 1.Gejala umum anemia menjadi jelas apabila kadar hemoglobin telah turun dibawah 7 gr/dL. Berat ringannya gejala umum anemia tergantung pada : a.Derajat penurunan hemoglobin b.Kecepatan penurun hemoglobin c.Usia d.Adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya 2.Gejala khas masing-masing anemia Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia. Sebagai contoh:
-Anemia defisiensi besi : disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan kuku sendok (koilonychias) -Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologik pada defisiensi vitamin B12 -Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali dan hepatomegali -Anemia aplastik : perdarahan dan tanda-tanda infeksi 3.Gejala Umum anemia Gejala anemia disebut juga sebagai sindrom anemia atau Anemic syndrome. Gejala umum anemia atau sindrom anemia adalah gejala yang timbul pada semua jenis Anemia pada kadar hemoglobin yang sudah menurun sedemikian rupa di bawah titik tertentu. Gejala ini timbul karena anoksia organ target dan mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan hemoglobin. Gejala-gejala tersebut apabila diklasifikasikan menurut organ yang terkena adalah: a)Sistem Kardiovaskuler: lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi, sesak napas saat beraktivitas, angina pektoris, dan gagal jantung. b)Sistem Saraf: sakit kepala, pusing, telinga mendenging, mata berkunangkunang, kelemahan otot, iritabilitas, lesu, serta perasaan dingin pada ekstremitas. c)Sistem Urogenital: gangguan haid dan libido menurun. d)Epitel: warna pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit menurun, serta rambut tipis dan halus. 2)Gejala Khas Masing-masing anemia Gejala khas yang menjadi ciri dari masing-masing jenis anemia adalah sebagai berikut: a)Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis. b)Anemia defisisensi asam folat: lidah merah (buffy tongue) c)Anemia hemolitik: ikterus dan hepatosplenomegali. d)Anemia aplastik: perdarahan kulit atau mukosa dan tanda-tanda infeksi. 3)Gejala Akibat Penyakit Dasar Gejala penyakit dasar yang menjadi penyebab anemia. Gejala ini timbul karena penyakit-penyakit yang mendasari anemia tersebut. Misalnya anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh infeksi cacing tambang berat akan menimbulkan gejala sepertipembesaran parotis dan telapak tangan berwarna kuning seperti jerami. anemia pada akhirnya menyebabkan kelelahan, sesak nafas, kurang tenaga dan gejala lainnya. Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tidak dijumpai pada anemia jenis lain, seperti :
a.Atrofi papil lidah : permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah menghilang b.Glositis : iritasi lidah c.Keilosis : bibir pecah-pecah d.Koilonikia : kuku jari tangan pecah-pecah dan bentuknya seperti sendok.
2.5 Diagnosis Anemia Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan penyakit (disease entity), yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dasar (underlying disease). Hal ini penting diperhatikan dalam diagnosis anemia. Tahap-tahap dalam diagnosis anemia adalah: 1.Menentukan adanya anemia 2.Menentukan jenis anemia 3.Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia 4.Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang akan mempengaruhi hasil pengobatan. 2.6 Tatalaksana Anemia Penatalaksanaan pada pasien dengan anemia yaitu : Terapi spesifik sebaiknya diberikan setelah diagnosis ditegakkan. Terapi diberikan atas indikasi yang jelas, rasional, dan efisien.Jenis-jenis terapi yang dapat diberikan adalah: a.Terapi gawat darurat
Pada kasus anemia dengan payah jantung atau ancaman payah jantung, maka harus segera diberikan terapi darurat dengan transfusi sel darah merah yang dimampatkan (PRC) untuk mencegah perburukan payah jantung tersebut. b.Terapi khas untuk masing-masing anemiaTerapi ini bergantung pada jenis anemia yang dijumpai, misalnya preparat besi untuk anemia defisiensi besi. c.Terapi kausal Terapi kausal merupakan terapi untuk mengobati penyakit dasar yang menjadi penyebab anemia. Misalnya, anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh infeksi cacing tambang harus diberikan obat anti-cacing tambang . d.Terapi ex-juvantivus (empiris) Terapi yang terpaksa diberikan sebelum diagnosis dapat dipastikan, jika terapi ini berhasil, berarti diagnosis dapat dikuatkan. Terapi hanya dilakukan jika tidak tersedia fasilitas diagnosis yang mencukupi. Pada pemberian terapi jenis ini, penderita harus diawasi dengan ketat. 2.7 Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan diagnostik pada anemia adalah:
Jumlah darah lengkap (JDL) di bawah normal (hemoglobin, hematocrit dan
SDM). Feritin dan kadar besi serum rendah pada anemia defisiensi besi. Kadar B serum rendah pada anemia pernisiosa. Tes Comb direk positif menandakan anemia hemolitik autoimun. Hemoglobin elektroforesis mengidentifikasi tipe hemoglobin abnormal pada
penyakit sel sabit. Tes schilling digunakan untuk mendiagnosa defisiensi vitamin B
2.8 Dampak Anemia Menurut Anie Kurniawan, dkk , dampak anemia ialah:
Menurunkan kemampuan dan konsentrasi belajar. Mengganggu pertumbuhan sehingga tinggi badan tidak mencapai optimal. Menurunkan kemampuan fisik. Mengakibatkan muka pucat.
Menurut Reksodiputro (2004) yang dikutip oleh Tarwoto, dkk (2010), komplikasi dari anemia yaitu: Gagal jantung kongesif; Parestesia; Konfusi kanker; Penyakit ginjal; Gondok; Gangguan pembentukan heme; Penyakit infeksi kuman; Thalasemia; Kelainan jantung; Rematoid; Meningitis; Gangguan sistem imun. Menurut Moore yang dikutip oleh Tarwoto, dkk (2010) dampak anemia pada remaja adalah:
Menurunnya produktivitas ataupun kemampuan akademis di sekolah, karena
tidak adanya gairah belajar dan konsentrasi Mengganggu pertumbuhan di mana tinggi dan berat badan menjadi tidak
sempurna Daya tahan tubuh akan menurun sehingga mudah terserang penyakit.
2.9 Pencegahan Anemia Upaya-upaya untuk mencegah anemia, antara lain sebagai berikut:
Makan makanan yang mengandung zat besi dari bahan hewani (daging, ikan, ayam, hati, dan telur); dan dari bahan nabati (sayuran yang berwarna hijau tua,
kacang-kacangan, dan tempe). Banyak makan makanan sumber vitamin c yang bermanfaat untuk
meningkatkan penyerapan zat besi, misalnya: jambu, jeruk, tomat, dan nanas. Minum 1 tablet penambah darah setiap hari, khususnya saat mengalami haid. Bila merasakan adanya tanda dan gejala anemia, segera konsultasikan ke dokter untuk dicari penyebabnya dan diberikan pengobatan.
Menurut Anie Kurniawan untuk mencegah anemia dengan: a.Makan makanan yang banyak mengandung zat besi dari bahan makanan hewani (daging, ikan, ayam, hati, telur) dan bahan makanan nabati (sayuran berwarna hijau tua, kacang-kacangan, tempe). b.Makan sayur
sayuran dan buah-buahan yang banyak mengandung vitamin C (daun katuk, daun singkong, bayam, ambu, tomat, jeruk dan nanas) sangat bermanfaat untuk meningkatkan penyerapan zat besi dalam usus c.Menambah pemasukan zat besi kedalam tubuh dengan minum Tablet Tambah Darah (TTD) Menurut Lubis dalam referensi kesehatan.html, tindakan penting yang dilakukan untuk mencegah kekurangan besi antara lain:
Konseling untuk membantu memilih bahan makanan dengan kadar besi yang
cukup secara rutin pada usia remaja. Meningkatkan konsumsi besi dari sumber hewani seperti daging, ikan, unggas, makanan laut disertai minum sari buah yang mengandung vitamin C (asam askorbat) untuk meningkatkan absorbsi besi dan menghindari atau mengurangi minum kopi, teh, teh es, minuman ringan yang mengandung karbonat dan
minum susu pada saat makan. Suplementasi besi. Merupakan cara untuk menanggulangi ADB di daerah dengan prevalensi tinggi. Pemberian suplementasi besi pada remaja dosis 1
mg/KgBB/hari. Untuk meningkatkan absorbsi besi, sebaiknya suplementasi besi tidak diberi bersama susu, kopi, teh, minuman ringan yang mengandung karbonat, multivitamin yang mengandung phosphate dan kalsium.
Menurut De Maeyer yang dikutip oleh Tarwoto, dkk, pencegahan adanya anemia defisiensi zat besi dapat dilakukan dengan tiga pendekatan dasar yaitu sebagai berikut:
Memperkaya makanana pokok dengan zat besi, seperti: hati,
sayuran
berwarna hijau dan kacang-kacangan. Zat besi dapat membantu pembentukan
hemoglobin (sel darah merah) yang baru Pemberian suplemen zat besi. Pada saat ini pemerintah mempunyai Program Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) pada remaja putri, untuk mencegah dan menanggulangi masalah Anemia gizi besi melalui suplementasi zat besi Memberikan pendidikan kesehatan tentang pola makan sehat. Kehadiran makanan siap saji (fast food) dapat mempengaruhi pola makan remaja. Makanan siap saji umumnya rendah zat besi, kalsium, riboflavin, vitamin A, dan asam folat. Makanan siap saji mengandung lemak jenuh, kolesterol dan natrium yang tinggi.
6.2.1 Transfusi darah 6.2.3.1. Transfusi
packed red cell Transfusi packed red cell (PRC) diberikan berdasarkan saturasi vena cava
superior (ScvO2) <70% atau Hb <7 g/dL. Pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil dan ScvO2 <70%, disarankan tercapai kadar hemoglobin >10 g/dL. Setelah syok teratasi, kadar Hb <7 g/dL dapat digunakan sebagai ambang transfusi. BRONKOPNEUMONIA II.1Definisi Bronkopneumonia merupakan infeksi pada parenkim paru yang terbatas pada alveoli kemudian menyebar secara berdekatan ke bronkus distal terminalis. Pada pemeriksaan histologis terdapat reaksi inflamasi dan pengumpulan eksudat yang dapat ditimbulkan oleh berbagai penyebab dan berlangsung dalam jangka waktu yang bervariasi. Berbagai spesies bakteri, klamidia, riketsia, virus, fungi dan parasit dapat menjadi penyebab. 1 Bronchopneumonia adalah suatu infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah dari parenkim paru yang melibatkan bronkus / bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Bronchopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak Infiltrat. Bronchopneumina adalah frekuensi komplikasi pulmonary, batuk produktif yang lama, tanda dan gejalanya biasanya suhu meningkat, nadi meningkat, pernapasan meningkat. 1 Bronchopneumonia disebut juga pneumoni lobularis, yaitu radang paruparu yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing. Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang mengenai parenkim paru. Pneumonia pada anak dibedakan menjadi: 1) Pneumonia lobaris 2) Pneumonia interstisial 3) Bronkopneumonia.
Gambar 1, jenis-jenis pneumonia Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anakanak dan balita, yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang disebabkan oleh bakteri,virus, jamur dan benda asing. 1 II.2 Epidemiologi Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak di negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia di bawah lima tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian anak diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survei kesehatan nasional (SKN)
2001, 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit sistem repiratori, terutama pneumonia.17 Terdapat berbagai faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas pneumonia pada anak balita di negara berkembang. Faktor risiko tersebut adalah: pneumonia yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah (BBLR), tidak mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya prevalens kolonisasi bakteri patogen di nasofaring, dan tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi industri atau asap rokok).17
d
iagram 1, penyebab kematian anak dibawah 5 tahun menurut WHO 7
II.3 Etiologi Tabel 1. Etiologi Pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia di negara maju.
Usia Lahir-20 hari
5
Etiologi yang Sering Bakteri E. colli Streptococcus group B Listeria moonocytogenes
Etiologi yang Jarang Bakteri Bakteri anaerob Streptococcus group D Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum Virus Virus Sitomegalo Virus Herpes Simpleks
Usia 3 minggu-3 bulan
Etiologi yang Sering Bakteri Chlamydia trachomatis Streptococcus
Etiologi yang Jarang Bakteri Bordetella pertussis Haemophillus influenzae
pneumoniae Virus Virus Adeno Virus Influenza Virus Parainflueza 1,2,3 Respiratory Syncytial
tipe B Moraxella catharalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum Virus Virus Sitomegalo
virus Usia 4 bulan-5 tahun
Etiologi yang Sering Bakteri Chlamydia pneumoniae
Etiologi yang Jarang Bakteri Haemophillus influenzae
Mycoplasma pneumoniae Streptococcus
tipe B Moraxella catharalis Neisseria meningitidis
pneumoniae Virus Staphylococcus aureus Virus Adeno Virus Virus Influenza Virus Varisela-Zoster Virus Parainfluenza Virus Rino Respiratory Syncytial virus Usia 5 tahun-remaja
Etiologi yang Sering Bakteri Chlamydia pneumoniae Mycoplasma pneumoniae Streptococcus pneumoniae
Etiologi yang Jarang Bakteri Haemophillus influenzae Legionella sp Staphylococcus aureus Virus Virus Adeno Virus Epstein-Barr Virus Influenza Virus Parainfluenza
Virus Rino Respiratory
Syncytial
virus Virus Varisela-Zoster Sumber: Said M. Pneumonia. Buku Ajar Respirologi Anak. Badan Penerbit IDAI. Jakarta:Cetakan Kedua;350-365 5 II.4
Patogenesis 2,3 Proses patogenesis terkait dengan 3 faktor, yaitu imunitas host, mikroorganisme
yang menyerang, dan lingkungan yang berinteraksi. Cara terjadinya penularan berkaitan dengan jenis kuman, misalnya infeksi melalui droplet sering disebabkan Streptococcus pneumonia, melalui selang infus oleh Staphylococcus aureus, sedangkan infeksi pada pemakaian ventilator oleh Enterobacter dan P. aeruginosa. Pada masa sekarang, terlihat perubahan pola mikrorganisme adanya perubahan keadaan pasien seperti gangguan kekebalan, penyakit kronik, polusi lingkungan, dan penggunaan antibiotic yang tidak tepat menimbulkan perubahan karakteristik kuman. Dijumpai peningkatan pathogenesis kuman akibat adanya berbagai mekanisme terutama oleh S. aureus, H. influenza dan Enterobacteriaceae serta berbagai bakteri gram negative. Patogen mikrobial dapat berasal dari flora orofaringeal termasuk S. pneumonia, S. pyogens, M. pneumonia, H. influenza, Moraxalla catarrhalis. Kolonisasi bakteri ini meningi merusak fibronektin, glikoprotein yang melapisi permukaan mukosa. Fibronektin merupakan reseptor bagi flora normal gram positif orofaring. Hilangnya fibronektin menyebabkan reseptor pada permukaan sel terpajan oleh bakteri gram negative. Sumber basil gram negative dapat berasal dari lambung pasien sendiri atau alat respirasi yang tercemar. Penyebaran hematogen ke seluruh paru biasanya dengan infeksi S. aureus dapat terjadi pada pasien seperti pada keadaan penyalahgunaan obat melalui intravena, atau pada pasien dengan infeksi akibat kateter intravena. Dua jalur penyebaran bakteri ke paru lainya adalah melalui jalan inokulasi langsung sebagai akibat intubasi trakeaatau luka tusuk dada yang berdekatan denga tempat infeksi yang berbatasan. Usia merupakan predictor lain yang penting untuk meramalkan mikroorganisme penyebab infeksi. Chlamidia trachomatis dan virus sisitial pernafasan sering terdapat pada bayi berusia dibawah 6 bulan. H. influenza pada anak berusia antara 6 bulan sampai 5 tahun, M. pneumonia dan C. pneumonia pada orang dewasa muda dan H.
influenza serta M. catarrhalis pada pasie lanjut usia dengan penyakit paru kronis. H. influenza juga lebih sering didapatkan pada pasien perokok. Bakteri gram negative lebih sering pada pasien lansia. Pseudomonas aeruginosa pada pasien bronkiektasis, terapi steroid, malnutrisi dan imunisupresi disertai lekopeni. Bakteri Streptococcus pneumoniae umumnya berada di nasopharing dan bersifat asimptomatik pada kurang lebih 50% orang sehat. Adanya infeksi virus akan memudahkan Streptococcus pneumoniae berikatan dengan reseptor sel epitel pernafasan. Jika Streptococcus pneumoniae sampai di alveolus akan menginfeksi sel pneumatosit tipe II. Selanjutnya Streptococcus pneumoniae akan mengadakan multiplikasi dan menyebabkan invasi terhadap sel epitel alveolus. Streptococcus pneumoniae akan menyebar dari alveolus ke alveolus melalui pori dari Kohn. Bakteri yang masuk kedalam alveolus menyebabkan reaksi radang berupa edema dari seluruh alveolus disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN. Proses radang dapat dibagi atas 4 stadium yaitu : 1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti) Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari selsel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan
gas
ini
dalam
darah
paling
berpengaruh
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
dan
sering
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
Gambar 1. tampak alveolus terisi sel darah merah dan sel sel inflamasi (netrofil) 3. Stadium III (3 – 8 hari) Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisasisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
Gambar 2. tampak alveolus terisi dengan eksudat dan netrofil 4. Stadium IV (7 – 11 hari) Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
Sebagian besar pneumonia timbul melalui mekanisme aspirasi kuman atau penyebaran langsung kuman dari respiratorik atas. Hanya sebagian kecil merupakan akibat sekunder dari bakterimia atau viremia atau penyebaran dari infeksi intra abdomen. Dalam keadaan normal mulai dari sublaring hingga unit terminal adalah steril. Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru. Keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, maka mikroorganisme dapat masuk, berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Paru terlindung dari infeksi dengan beberapa mekanisme : Filtrasi partikel di hidung Pencegahan aspirasi dengan 41ystem epiglottis Ekspulsi benda asing melalui refleks batuk Pembersihan kearah 41ystem41 oleh mukosiliar Fagositosis kuman oleh makrofag alveolar Netralisasi kuman oleh substansi imun lokal Drainase melalui 41ystem limfatik.18
II.5 MANIFESTASI KLINIS Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39 0-400C dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif. Pada pemeriksaan fisik didapatkan :
Inspeksi : pernafasan cuping hidung(+), sianosis sekitar hidung dan
mulut, retraksi sela iga. Palpasi : Stem fremitus yang meningkat pada sisi yang sakit. Perkusi : Sonor memendek sampai beda Auskultasi : Suara pernafasan mengeras ( vesikuler mengeras )disertai ronki basah gelembung halus sampai sedang.
Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya daerah yang terkena.Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya kelainan.Pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah gelembung halus sampai sedang. Pada stadium resolusi ronki dapat terdengar lagi.Tanpa pengobatan biasanya proses penyembuhan dapat terjadi antara 2-3 minggu. 18 II.6 Diagnosis 1. Anamnesis Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi dapat didahului dengan infeksi saluran nafas akut bagian atas. Gejalanya antara lain batuk, demam tinggi terus-menerus, sesak, kebiruan sekitar mulut, menggigil (pada anak), kejang (pada bayi), dan nyeri dada. Biasanya anak lebih suka berbaring pada sisi yang sakit. Pada bayi muda sering menunjukkan gejala non spesifik seperti hipotermi, penurunan kesadaran, kejang atau kembung. Anak besar kadang mengeluh nyeri kepala, nyeri abdomen disertai muntah. 16 2. Pemeriksaan Fisik
Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan kelompok umur tertentu. Pada neonatus sering dijumpai takipneu, retraksi dinding dada, grunting, dan sianosis. Pada bayi-bayi yang lebih besar jarang ditemukan grunting. Gejala yang sering terlihat adalah takipneu, retraksi, sianosis, batuk, panas, dan iritabel. 16 Pada anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam, batuk (non produktif / produktif), takipneu dan dispneu yang ditandai dengan retraksi dinding dada. Pada kelompok anak sekolah dan remaja, dapat dijumpai panas, batuk (non produktif / produktif), nyeri dada, nyeri kepala, dehidrasi dan letargi. Pedoman klinis membedakan penyebab pneumonia, sebagai berikut : Pemeriksaan Anamnesis Umur Awitan Sakit serumah Batuk Gejala
Bakteri
Virus
Mikoplasma
Berapapun, bayi Mendadak Tidak Produktif Toksik
Berapapun Perlahan Ya, bersamaan nonproduktif Mialgia, ruam,
Usia sekolah Tidak nyata Ya, berselang Kering Nyeri kepala, otot,
organ
tenggorok
penyerta
bermukosa
Fisik Keadaan
Klinis > temuan
umum Demam
Umumnya
Auskultasi
39ºC Ronkhi ±, suara
39ºC Ronkhi bilateral,
Ronkhi unilateral,
Napas melemah
Difus, mengi
mengi. 16
Klinis ≤ temuan ≥ Umumnya
Klinis < temuan
< Umumnya < 39ºC
Takipneu berdasarkan WHO: 20 a. Usia < 2 bulan
: ≥ 60 x/menit
b. Usia 2-12 bulan
: ≥ 50 x/menit
c. Usia 1-5 tahun
: ≥ 40 x/menit
d. Usia 6-12 tahun
: ≥ 28 x/menit
3. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan darah pada pneumonia umumnya didapatkan Lekositosis hingga > 15.000/mm3 seringkali dijumpai dengan dominasi netrofil pada hitung jenis. Lekosit > 30.000/mm 3 dengan dominasi netrofil mengarah ke pneumonia streptokokus. Trombositosis > 500.000 khas untuk pneumonia bakterial. Trombositopenia lebih mengarah kepada infeksi virus. Biakan darah merupakan cara yang spesifik namun hanya positif pada 10-15% kasus terutama pada anakanak kecil. 4. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan radiologis Foto toraks (AP/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan diagnosis. Foto AP dan lateral dibutuhkan untuk menentukan lokasi anatomik dalam paru. Infiltrat tersebar paling sering dijumpai, terutama pada pasien bayi. Pada bronkopneumonia bercak-bercak infiltrat didapatkan pada satu atau beberapa lobus. Jika difus (merata) biasanya disebabkan oleh Staphylokokus pneumonia.
Gambar 3 : Foto toraks PA pada pneumonia lobaris: tampak bercak-bercak infiltrat pada paru kanan
Gambar 4 : Foto toraks PA pada bronkopneumonia.
b. C-Reactive Protein Adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP distimulai oleh sitokin, terutama interleukin 6 (IL-6), IL-1 dan tumor necrosis factor (TNF). Secara klinis CRP digunakan sebagai diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi dan non infeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi superfisialis dan profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan bakteri. CRP kadangkadang digunakan untuk evaluasi respon terapi antibiotik. c. Uji serologis Uji serologis digunakan untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri atipik. Peningkatan IgM dan IgG dapat mengkonfirmasi diagnosis. d. Pemeriksaan mikrobiologi Diagnosis terbaik adalah berdasarkan etiologi, yaitu dengan pemeriksaan mikrobiologi spesimen usap tenggorok, sekresi nasopharing, sputum, aspirasi trakhea, fungsi pleura. Sayangnya pemeriksaan ini banyak sekali kendalanya, baik dari segi teknis maupun biaya. Bahkan dalam penelitianpun kuman penyebab spesifik hanya dapat diidentifikasi pada kurang dari 50% kasus. II.6.1 KRITERIA DIAGNOSIS Dasar diagnosis pneumonia menurut Henry adalah ditemukannya paling sedikit 3 dari 5 gejala berikut ini : 19 a. sesak nafas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada
b. panas badan c. Ronkhi basah sedang nyaring (crackles) d. Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrat difus e. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm 3 dengan limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan). II.7 DIAGNOSIS BANDING 1. Infeksi perinatal/kongenital (pada neonatus) 2. Hyalin membrane disease/HMD (pada neonatus) 3. Aspirasi pneumonia 4. Edema paru 5. Atelektasis 6. Perdarahan paru 7. Kelainan kongenital parenkim paru 8. Tuberkulosis 9. Gagal jantung kongestif 10. Neoplasma 11. Reaksi hipersensitivitas (pneumonitis). 19 II.8 Penyulit 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Empiema (paling sering oleh S. Pneumoniae dan S. Aureus Perikarditis Pneumotoraks Pneumatokel Meningitis bakterialis Artritis supuratif Osteomielitis.
II.9 PENATALAKSANAAN II.9.1 Penatalaksaan umum -
Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit sampai sesak nafas hilang atau PaO2 pada analisis gas darah ≥ 60 torr
-
Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
-
Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.
II.9.2 Penatalaksanaan khusus -
mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak diberikan pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi antibioti awal.
Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi, takikardi, atau penderita kelainan jantung -
pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan manifestasi klinis Pneumonia ringan amoksisilin 10-25 mg/kgBB/dosis (di wilayah dengan angka resistensi penisillin tinggi dosis dapat dinaikkan menjadi 80-90 mg/kgBB/hari). Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan terapi : a. Kuman yang dicurigai atas dasas data klinis, etiologis dan epidemiologis b. Berat ringan penyakit c. Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinis d. Ada tidaknya penyakit yang mendasari Antibiotik : Bila tidak ada kuman yang dicurigai, berikan antibiotik awal (2472 jam pertama) menurut kelompok usia. a. Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) : -
ampicillin + aminoglikosid
-
amoksisillin-asam klavulanat
-
amoksisillin + aminoglikosid
-
sefalosporin generasi ke-3
b. Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn) -
beta laktam amoksisillin
-
amoksisillin-amoksisillin klavulanat
-
golongan sefalosporin
-
kotrimoksazol
-
makrolid (eritromisin)
c. Anak usia sekolah (> 5 thn) -
amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)
-
tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun) Karena dasar antibiotik awal di atas adalah coba-coba (trial and
error) maka harus dilaksanakan dengan pemantauan yang ketat, minimal tiap 24 jam sekali sampai hari ketiga.
Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang nyata dalam 24-72 jam ganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai dengan kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada tidaknya penyulit seperti empyema, abses paru yang menyebabkan seolah-olah antibiotik tidak efektif). 17 II.10 Prognosis Dengan pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat yang dimulai secara dini pada perjalanan penyakit tersebut maka mortalitas selama masa bayi dan masa kanak-kanak dapat di turunkan sampai kurang 1 % dan sesuai dengan kenyataan ini morbiditas yang berlangsung lama juga menjadi rendah. Anak dalam keadaan malnutrisi energi protein dan yang datang terlambat menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA 1. Nelson .2000.Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15,Volume 2.Jakarta :EGC. 2. Bambang P, Sutaryo et all. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Edisi keempat. 2012. IDAI.p. 45-75
3. Bakta IM : Hematologi Klinik ringkas. Penerbit Buku Kedokteran EGC Jakarta. 2003; P, 98-109. 4. Montane E, Luisa I, Vidal X,Ballarin E, Puig R, Garcia N,Laporte JR, CGSAAA Epidemiology of aplastic anemia: aprospective multicenter study.Haematologica. 2008; 98:518-23. 5. Lemaistre CF, Paul S, Anthony S:Aplastic Anemia (severe). National Marrow Donor
Program
2010.
Available
from
http://www.marrow.org/PATIENT/
Undrstnd_Disease_Treat/Lrn_about_Disease/Aplastic_Anemia/index.html. Accessed on 23 January 2011. 6. William DM. Pancytopenia, aplastic anemia, and pure red cell aplasia. In: Lee GR, Foerster J, et al (eds). Wintrobe’s Clinical Hematology 9 th ed. PhiladelpiaLondon: Lee& Febiger, 1993;911-43. 7. Salonder H. Anemia aplastik. In: Suyono S, Waspadji S, et al (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta. Balai Penerbit FKUI, 2001;501-8. 8. Lanzkowsky P. Iron Deficiency Anemia. Pediatric Hematologyand Oncology. Edisi ke-2. New York; Churchill Livingstone Inc,1995 : 35-50. 9. Sayogo dkk. 1995. Anemia Akibat Kurang Zat Besi Keadan, Masalah dan Program Penanggulangannya. Medika No.1 Tahun 17 ha.l 38-40. 10. Young NS, Maciejewski J. Aplastic anemia. In: Hoffman. Hematology : Basic Principles and Practice 3rd ed. Churcil Livingstone, 2000;153-68. 11. Niazzi M, Rafiq F. The Incidence of Underlying Pathology in Pancytopenia. Available in URL: HYPERLINK http://www.jpmi.org/org_detail.asp 12. Supandiman I. Pedoman Diagnosis dan Terapi Hematologi Onkologi Medik 2003. Jakarta. Q-communication, 1997;6. 13. Supandiman I. Hematologi Klinik Edisi kedua. Jakarta: PT Alumni, 1997;95-101 14. Shadduck RK. Aplastic anemia. In: Lichtman MA, Beutler E, et al (eds). William Hematology 7th ed. New York : McGraw Hill Medical; 2007. 15. Smith EC, Marsh JC. Acquired aplastic anaemia, other acquired bone marrow failure disorders and dyserythropoiesis. In: Hoffbrand AV, Catovsky D, et al (eds). Post Graduate Haematology 5th edition. USA: Blackwell Publishing, 2005;190206.
16. Marcdante KJ, Kliegman R, Jenson H, Behrman R. 2011. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial. Edisi Keenam. Ikatan Dokter Indonesia. Saunders Elsevier. P 601617 17. Rahajoe, Nastini.N.2008.Buku Ajar Respirologi,Edisi 1.Jakarta : IDAI 18. Alsagaff Hood, Mukty H.Abdul.Pneumonia. Dasar – Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga University Press.th ; 2008. Hal ; 193-7 19. Garna H dan Heda M.2005. Pneumonia Dalam Pedoman Diagnosis Dan Terapi 3rd Ed : Bagian IKA FK UNPAD Bandung.th ; 2010.Hal; 403 – 20. WHO. 2008. Global Action Plan for Prevention and Control Pneumonia.