BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
2.1
Penelitian Terdahulu Berdasarkan penelitian Agustiar (2015) dalam Jurnal Spesia Teknik
Pertambangan UNISBA, tentang “Analisis Kinerja Alat Crushing Plant Pada Tambang Andesit Untuk Meningkatkan Produksi 125.000 Ton/Bulan Di PT Mandiri Sejahtera Sentra”, peneliti meneliti cara meningkatkan target produksi menjadi 125.000 ton per bulan. Pada kondisi awal target produksi perusahaan adalah sebesar 100.000 ton per bulan dengan target produksi aktual perharinya 4078,48 ton per hari, jumlah produksi tersebut masih jauh dibawah kapasitas peralatan pabrik peremuk dikarenakan permintaan pasar yang tinggi, maka perusahaan meningkatkan target produksi menjadi 125.000 ton per bulan. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah, untuk meningkatkan target produksi dilakukan dengan cara meningkatkan kinerja jaw crusher dari 190 rpm menjadi 210 rpm, sehingga didapatkan target produksi aktual perharinya menjadi 4941,37 ton per hari dan didukung pula dengan efisiensi kerja pada sift I ditingkatkan menjadi 66,70 % dan pada sift II 72,25 %. Pada penelitian Normansyah (2015) dalam Jurnal Spesia Teknik Pertambangan UNISBA, dengan judul “Optimalisasi Alat Crushing Plant Untuk Memenuhi Target Produksi Andesit Di PT Ansar Terang Crushindo”, peneliti meneliti tentang upaya optimalisasi produksi crushing plant untuk meningkatkan target produksi dari 19.081,75 ton/bulan menjadi 20.000 ton/bulan dikarenakan permintaan pasar yang tinggi. Hasil yang penelitian ini adalah, bahwa untuk mencapai target produksi 20.000 ton/bulan perusahaan harus meningkatkan kinerja serta meminimalisir hambatan yang ada pada crushing plant. Salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi kerja dan meminimalisir hambatan crushing plant adalah dengan menyediakan supervisor, jadi apabila ada operator yang melanggar waktu kerja dapat diberi peringatan. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan maka produksi aktual perbulannya menjadi 21.334,13 ton/bulan,
4
5
dengan demikian permintaan pasar akan terpenuhi dan meningkatkan perolehan perusahaan dari penjualan produknya. 2.2
Batugamping (limestone) Batugamping adalah sebuah batuan sedimen yang terdiri mineral kalsit dan
aragonit yang merupakan dua varian yang berbeda dari CaCo3 (kalsium karbonat) (Folk, 1959). Pembentukan batugamping dapat terjadi secara mekanik, kimia dan organik. Mineral calcite banyak terdapat pada organisme laut, oleh karena itu biasanya terbentuk dari cangkang binatang laut, kerang, dan jasad makhluk hidup laut yang telah mati. Batugamping mudah larut dalam air dan warna batu ini umumnya putih keabu-abuan. Batugamping yang terbentuk secara mekanik, bahannya tidak jauh berbeda dengan jenis batugamping organik, yang membedakan adalah terjadinya perombakan bahan batugamping tersebut, kemudian terbawa oleh arus dan terendapkan tidak jauh dari tempat semula, sedangkan batugamping yang terbentuk secara kimia terjadi dalam kondisi iklim dan lingkungan tertentu dalam air laut ataupun air tawar. Secara kimia batugamping terdiri atas Kalsium Karbonat (CaCO3). Dialam tidak jarang pula dijumpai batugamping magnesium. Kadar Magnesium yang tinggi mengubah batugamping menjadi batugamping dolomitan dengan komposisi kimia (CaCO3MgCO3). 2.3
Pengolahan Bahan Galian Menurut Tobing (2002) pengolahan bahan galian (mineral processing
technology) adalah proses
memisahkan mineral
berharga dari mineral
pengotornya dengan memanfaatkan perbedaan sifar-sifat fisik dari mineral tersebut tanpa mengubah identitas kimia dan fisik pada produknya. Proses pengolahan bahan galian terdiri dari beberapa langkah-langkah sebagai berikut: 1. Pengecilan Ukuran (Comminution) Cumminution (pengecilan ukuran) adalah sebagai langkah pertama yang biasa dilakukan dalam proses pengolahan bahan galian, yaitu memperkecil ukuran (mereduksi) bongkah-bongkah batuan yang diperoleh dari tambang menjadi
6
pecahan-pecahan yang berukuran lebih kecil sesuai dengan ukuran yang diperlukan dengan cara memecahkan atau menghancurkan. Cumminution dalam pengolahan bahan galian dilakukan secara berurutan dimulai dengan crushing dilanjutkan grinding. Crushing (pemecahan) adalah untuk memecah bongkah-bongkah besar-besar yang diperoleh dari tambang menjadi ukuran yang relatif masih kasar, kemudian di grinding (digerus) menjadi ukuran yang lebih halus agar buturan-butiran mineral terlepas dari ikatannya dan terpisah satu dengan yang lain. 2. Penyeragaman Ukuran (Sizing) Penyeragaman ukuran adalah proses pemisahan butiran mineral-mineral menjadi bagian-bagian (fraksi) yang berbeda dalam ukurannya, sehingga setiap fraksi terdiri dari butiran yang hampir sama ukurannya. Sizing dapat dilakukan dengan cara: a. Pengayakan (screening) b. Klasifikasi (classifying) memisahkan butiran-butiran di dalam air atau di udara. 3. Consentration Konsentasi adalah proses untuk memisahkan butiran-butiran mineral berharga dari mineral pengotornya berdasarkan perbedaan sifat fisiknya. Berdasarkan perbedaan sifat fisik dari mineral-mineral tersebut maka
proses
konsentrasi dapat dibagi dalam 4 (empat macam) yaitu: a. Konsentrasi gravimetri, pemisahan berdasarkan perbedaan gaya berat b. Konsentrasi magnetis, pemisahan berdasarkan sifat kemagnetan c. Konsentrasi elektrostatis, pemisahan berdasarkan perbedaan daya hantar listrik d. Konsentrasi secara flotasi, pemisahan berdasarkan perbedaan sifar fisik permukaan mineral terhadap pengaruh bahan kimia. 4. Dewatering Dewatering adalah proses untuk mengurangi atau menghilangkan kandungan air dari hasil proses pengolahan bahan galian yang menggunakan air dalam operasinya. Proses dewatering dilakukan dalam tiga tahap : a. Thickening (pengentalan)
7
b. Filtering (penyaringan) c. Drying (pengeringan) 2.3.1 Unit Peremukan Menurut Currie (1973) dalam Yalsriman (2011), peremukan batu pada prinsipnya bertujuan untuk mereduksi material agar memperoleh ukuran butir tertentu, melalui alat peremuk dan pengayakan. Dalam peremukan ukuran batu umumnya dilakukan melalui 3 tahap yaitu : 1. Primary Crushing Merupakan peremukan tahap pertama, biasanya digunakan pada tahap ini adalah jaw crusher dan gyratory crusher. Umpan material yang digunakan biasanya berasal dari hasil penambangan dengan ukuran berkisar 750 mm, dengan ukuran setting antara 95 mm sampai 225 mm. Ukuran terbesar dari produk peremukan material tahap pertama kurang dari 200 mm. 2. Secondary Crushing Merupakan peremukan tahap kedua, alat yang digunakan adalah jaw crusher ukuran kecil, gyratory crusher ukuran kecil, cone crusher, hammer mill dan rolls. umpan yang digunakan adalah hasil dari produk primary crushing dengan ukuran berkisar 150-200 mm, dengan ukuran produk terbesar yang dihasilkan adalah 50 mm. 3. Fine Crushing Merupakan peremukan tahap lanjutan dari secondary crushing, alat yang digunakan adalah ball mill, tube mill dan rod mill. Umpan material yang biasanya kurang dari 50 mm. Produk fine crushing inilah kemudian dilakukan pengayakan (screening) yang akan menghasilkan dua macam produk, yaitu produk yang lolos ayakan (undersize) dan menjadi produk akhir serta produk yang tidak lolos (over size). Tabel 2.1 Klasifkasi peremukan Klasifikai
Alat/Mesin
Ukuran Feed
Ukuran Produk
8
Primary Crushing
1. Jaw Crushing 2. Gyratory Crushing
1. Gyratory Cone Crushing Secondary 2. Rool Crushing Crushing 3. Gravity Stamp Mill 4. Hammer Mill Tertiary 1. Ball Mill Crushing/Fine 2. Tube Mill Grinding 3. Rod Mill Sumber : (Currie, 1973)
12 – 60 inci
4 – 6 inci
6 – 8 inci
1/2 – 3/8 inci
3 inci
50 – 200 mesh
2.3.2 Peralatan pada Unit Peremukan Menurut Taggart (1987), untuk memperkecil material hasil penambangan yang umumnya masih berukuran bongkah digunakan alat peremuk. Mula-mula material hasil penambangan masuk melalui hopper yang kemudian diterima vibrating grizzly sebelum masuk ke dalam mesin peremuk.Hasil dari peremukan kemudian dilakukan pengayakan yang akan menghasilkan dua macam produk, yaitu produk yang lolos ayakan disebut undersize, merupakan produk yang akan diolah lebih lanjut dan material yang tidak lolos ayakan disebut oversize, merupakan produk yang akan dikembalikan lagi ke dalam mesin peremuk melalui belt conveyor. a)
Hopper Hopper merupakan salah satu alat bantu dari unit peremuk, berfungsi
sebagai tempat penampungan sementara material umpan batuan, selanjutnya material tersebut diumpankan ke alat peremuk oleh alat pengumpan (feeder). Hopper ini terbuat dari beton yang dilapisi oleh lembaran baja pada dindingdindingnya dengan tujuan agar terhindar dari keausan akibat gesekan dan benturan dinding dengan material. Kapasitas hopper dihitung dengan rumus berdasarkan volume trapesium terpancung, yaitu : Vh =
1 t ( L alas + L bawah + √L atas × L bawah ) ........................ .. [2.1] 3
9
Setelah volume hopper diketahui, maka kapasitas hopper tersebut adalah : K = Vh × Bi ..........………….…………………………..………....….. [2.2] Keterangan: K = Kapasitas hopper (ton) Vh = Volume hopper (m3) Bi = Bobot isi material (ton/m3) b)
Alat Pengumpan (Feeder) Feeder adalah alat pengumpan material dari hopper ke unit peremuk atau
ke atas belt conveyor dengan kecepatan konstan. Penggunaan alat pengumpan bertujuan agar proses pengumpanan dari hopper menuju ke alat peremuk dapat berlangsung dengan laju yang konstan, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil, sehingga dapat mencegah terjadinya penumpukan batu atau kekosongan umpan di dalam hopper. Kapasitas teoritis pengumpan (feeder) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : Q = v × T × L × d × 60..............……………………………......…….. [2.3] Keterangan : Q = Kapasitas feeder (ton/jam) v = Kecepatan angkut feeder(m/menit) T = Tinggi tumpukan material di atas feeder (m) L = Lebar feeder (m) d = Densitas lepas material (ton/m3) Jenis-jenis feeder yang digunakan dalam industri pertambangan yaitu: 1. Apron feeder, alat pengumpan yang berupa lembaran baja, masing-masing dihubungkan oleh roller chain (rantai berputar), feeder ini dirancang untuk memindahkan material yang berat dan besar dari hopper menuju ban berjalan atau ke unit peremuk.
10
Gambar 2.1 Apron Feeder (Telsmith, 2011) 2. Vibrating feeder, merupakan tipe alat pengumpan yang didesain untuk memisahkan batu dari debu-debu halus hasil penambangan. Alat Pengumpan tipe ini terdiri dari lembaran baja bergelombang dengan jarak tertentu, cara kerjanya adalah berdasarkan getaran yang ditimbulkan oleh motor penggerak.
Gambar 2.2 Vibrating Feeder (Telsmith, 2011) 3. Belt feeder,merupakan alat pengumpan yang terdiri dari belt (sabuk) karet yang dihubungkan dengan pulley seperti pada belt conveyor.
Gambar 2.3 Belt Feeder (Telsmith, 2011) 4. Chain curtain feeder/ross feeder adalah alat pengumpan yang menggunakan rantai yang menjulur di bawah hopper yang ditahan oleh lembaran baja,
11
fungsinya adalah mengontrol pengumpanan pada alat peremuk primer dengan efek berat dari rantai tersebut. 5. Grizzly feeder, alat pengumpan yang dirancang untuk memindahkan material yang cara kerjanya lebih selektif, dimana material yang lolos (undersize) langsung masuk ban berjalan sedangkan yang tidak lolos (oversize) akan masuk ke alat peremuk.
Gambar 2.4 Grizzly Feeder (Telsmith, 2011) 6. Chain and flight feeder, adalah alat pengumpan yang terdiri dari rangkaian flight (batangan baja) dengan ketebalan tertentu dan jarak tertentu yang berfungsi sebagai pendorong material menuju alat peremuk. Flight (batangan baja) tersebut dihubungkan dengan rangkaian rantai (chain) serta lantai yang berupa lembaran baja sebagai penahan material (plate). c)
Alat Peremuk 1. Alat Peremuk Jaw Crusher Jaw crusher merupakan alat peremuk yang digunakan pada proses primary crushing Menurut Taggart (1987). Jaw crusher merupakan alat pemecah atau penghancur terdiri dari 2 jaw plate yang berhadapan dibuat membentuk sudut yang kecil ke arah bawah, yang dapat membuka dan menutup seperti rahang (jaw). Jaw crusher bekerja mengandalkan kekuatan motor. Melalui roda motor, poros eksentrik digerakkan oleh sabuk segitiga dan slot wheel untuk membuat jaw plate bergerak seirama. Salah satu jaw diam tertahan pada crusher frame (kerangka jaw crusher) disebut fixed jaw, sedangkan yang satu lagi ditahan pada sumbunya dapat bergerak sedikit mendekat dan menjauh dari fixed jaw disebut swing jaw. Batuan yang
12
masuk ke jaw akan terjepit mengalami gaya tekanan dan gaya pukulan pada waktu jaw mendekat dan dilepaskan pada waktu jaw menjauh. Kedua gaya tersebut dapat memecahkan batuan apabila melebihi batas elastisitas dari batuan tersebut (Arif, 2003).
Gambar 2.5 bagian-bagian Jaw crusher (Taggart, 1987) Berikut adalah bagian – bagian dari jaw crusher beserta penjelasannya: 1. Crushing chamber adalah tempat masuknya umpan batuan 2. Fixed jaw plate adalah bagian yang tidak bergerak berfungsi untuk menahan pada saat bagian lain bergerak menekan batuan 3. Swing jaw plate adalah bagian dari jaw yang bergerak dan berfungsi untuk memberikan tekanan pada batuan 4. Fly wheel adalah roda yang akan memutar eccentric shaft 5. Eccentric shaft adalah poros yang berputar menggerakkan pitman 6. Pitman berfungsi untuk menggerakkan toggle 7. Toggle plate adalah seperti baut pecah, digunakan untuk mengerakkan swing jaw 8. Frame adalah bagian pelindung luar dari jaw 9. Curved product outlet adalah lubang pengeluaran produk Jaw crusher dapat dibedakan berdasarkan pada sumbu penahan swing jaw, yaitu blake crusher, dodge crusher, dan universal crusher. a. Blake type jaw crusher, swing jaw tertahan pada porosnya disebelah atas, sehingga swing jaw bergerak dengan amplitudo terbesar berada disebelah
13
bawah. Jadi lobang penerimaan tetap, sedangkan pengeluaran sebelah bawah berubah–ubah dan produknya lebih bervariasi. Blake type jaw crusher dibedakan dalam 2 jenis yaitu double toggle blake crusher dan single toggle crusher. b. Dodge type jaw crusher, swing jaw tertahan pada poros di sebelah bawah, sehingga amplitudo terbesar disebelah atas, jadi lobang penerimaanya berubahubah, sedangkan lubang pegeluaranya hampir tetap ukuranya. Produknya lebih rata ukuranya karena mempunyai gerakan yang kecil sebelah bawah, maka sering terjadi penyumbatan dan menahan turunnya material yang sudah hancur. c. Universal type jaw crusher, swing jaw tertahan dan porosnya berada di bagian tengah, sehingga lubang penerimaan dan lobang pengeluaran dapat berubahubah.
Gambar 2.6 Tipe-tipe jaw crusher (Taggart, 1987) Cara kerja jaw crusher secara umum, batuan masuk ke crushing chamber, kemudian fly wheel memutar eccentrict shaft, lalu menggerakkan pitman, sehingga pitman menggerakkan toggle plate dan menggerakkan swing jaw, karena gerakan swing jaw dinding – dinding tersebut bergerak maju mundur ke arah fix jaw, sehingga batuan akan tertumbuk oleh dinding tersebut dan menyebabkan batuan hancur apabila melebihi batas elastisitasnya, kemudian batuan ini dikeluarkan melalui curved product outlet. Pengisian dengan batuan yang terlampau kecil dapat menyebabkan keausan pada bagian bawah jaw dan juga tidak ekonomis. Kapasitas mesin peremuk jaw crusher dibedakan menjadi kapasitas desain dan kapasitas nyata. Kapasitas terpasang merupakan kemampuan produksi yang
14
seharusnya dicapai oleh mesin peremuk tersebut, sedangkan kapasitas nyata merupakan kemampuan produksi mesin peremuk sesungguhnya yang didasarkan pada sistem produksi yang diterapkan. Kapasitas terpasang diketahui dari spesifikasi yang dibuat oleh pabrik pembuat mesin peremuk dan kapasitas nyata didapatkan dengan cara pengambilan conto produk yang dihasilkan. Menurut Taggart ( 1987) Kapasitas Jaw Crusher dinyatakan dalam suatu rumus empiris yaitu: T = 0,6 L × So ........................................................................................ [2.4] Keterangan : T = Kapasitas ton/jam L = Panjang lubang penerimaan (inci) So = lebar lubang pengeluaran /open setting (inci) Berikut istilah-istilah yang sering dijumpai pada jaw crusher: a. Mouth, yaitu bagian mulut jaw crusher yang berfungsi sebagai lubang penerimaan b. Throat, yaitu bagian paling bawah yang berfungsi sebagai lubang pengeluaran c. Gape, yaitu jarak horizontal pada mouth d. Set, yaitu jarak horizontal pada throat e. Setting block, yaitu bagian dari jaw crusher untuk mengatur agar lubang ukuran sesuai dengan yang dikehendaki. Bila setting block dimajukan, maka antara fix jaw dengan swing jaw menjadi lebih pendek atau lebih dekat, dan sebaliknya. f. Closed setting, yaitu jarak antara fixed jaw dengan swing jaw pada saat swing jaw ektrism ke depan g. Open setting, yaitu jarak antara fixed jaw dengan swing jaw pada saat swing jaw ektrism ke belakang. h. Throw, yaitu selisih jarak antara open setting dengan closed setting
15
Gambar 2.7 Sketsa Istilah pada Jaw Crusher (Gupta,2006) 2. Cone Crusher Cone crusher adalah alat yang merupakan variasi dari gyratory crusher, dimana perbedaannya terletak pada dinding luar yang tadinya lurus dibuat menyerupai kerucut dengan maksud untuk menambah daerah penghalusan (fine crushing zone) dan memperbesar tempat pengeluaran (discharge area). Dengan demikian gaya yang bekerja terhadap material menjadi diperbesar, sehingga jumlah penghancuran dan kapasitas cone crusher menjadi lebih besar. Cone crusher digunakan untuk meremukkan batu keras dan menengah seperti batu kapur, bijih tembaga, kuarsa, granit, batu pasir dan lain-lain.
Gambar 2.8 Bentuk outer shell dan inner shell (a) Gyratory crusher (b) Cone crusher (wills, 2006) a. Prinsip kerja mesin cone crusher Mesin cone crusher terdiri dari bingkai, perangkat transmisi, hollow eccentric shaf, bearing berbentuk mangkuk, penghancur berbentuk kerucut, springs dan tempat pengaturan tekanan hidrolik untuk mengatur discharging opening. Selama masa pengoperasian motor menjalankan eccentric shaft
16
shell untuk berbalik melalui poros horisontal dan sepasang bevel gear. Poros dari crushing
cone berayunan
dengan
kekuatan
eccentric
shaft
shell, sehingga permukaan dari dinding penghancur berdekatan dengan dinding roll mortar dari waktu ke waktu, dalam hal ini batu akan tertekan dan kemudian hancur.
Gambar 2.9 Cone crusher ( Allis, 2015)
Gambar 2.10 Sketsa Cone Crusher ( Allis, 2015) Menurut Taggart (1987), menghitung kapasitas cone crusher sama dengan gyratory crusher, yaitu dengan persamaan: T = 0,75 So (L – G)............................................................................. [2.5] Keterangan: T = Kapasitas (ton/jam) So = Open setting (inci) L = Panjang keliling dinding luar/concave (inci) G = Panjang keliling feed openning/gape (inci)
17
d)
Ayakan Getar (Vibrating Screen) Menurut Kelly (1982), ayakan getar adalah alat yang digunakan untuk
memisahkan ukuran material hasil proses peremukan berdasarkan besarnya bukaan pada ayakan tersebut yang dinyatakan dengan mesh. Pengertian mesh adalah jumlah lubang bukaan yang terdapat dalam 1 inchi panjang. Proses pengayakan dipengaruhi oleh faktor-faktor : Lamanya waktu pengayakan Banyaknya material halus dalam umpan Kandungan air dalam material Bentuk dari lubang ayakan Bentuk material yang diayak Frekuensi getaran ayakan Untuk menghitung efisiensi dari ayakan diperoleh dari perbandingan antara berat material yang benar-benar lolos ayakan dengan berat material yang seharusnya lolos ayakan. Efisiensi dinyatakan dalam persen. Effisiensi screen Banyaknya material yang lolos pada ukuran screen tertentu yang biasanya dinyatakan dalam persen. E =
material yang lolos × 100 .......................................... [2.6] Material yang seharusnya lolos
Kapasitas screen Qt = a (A × B × C × D × E ) …................................................................... [2.7] Keterangan: Qt = kapasitas teoritis ayakan (ton/jam) a = luas permukaan ayakan (ft2) A = kapasitas teoritis untuk setiap ft2 lubang bukaan ayakan (ton/jam) B = Faktor yang harganya tergantung dar jumlah oversize dalam umpan pada ukuran lubang buka ayakan yang digunakan. C = Faktor efisiensi ayakan
18
D = Faktor ukuran halus material E = Wet screenity factor
Gambar 2.11 Vibrating Screen (Arif, 1989) e)
Belt Conveyor Menurut Partanto (1983), belt conveyor adalah suatu alat angkut material
yang dapat bekerja secara berkesinambungan pada kemiringan tertentu maupun mendatar. Belt conveyor dibuat dengan menyatukan beberapa jenis anyaman kapas, atau nilon, rayon dan kabel baja, menjadi kontruksi tulangan yang memberikan kekuatan untuk menahan tarikan dalam sabuk. Lapisan itu ditutup dengan perekat yang terbuat dari karet yang kemudian menggabungkannya menjadi struktur yang menyatu. Belt conveyor digerakkan oleh motor penggerak yang dipasang pada head pulley. Belt akan kembali ke tempat semula karena dibelokkan oleh pulley awal dan pulley akhir. Material yang didistribusikan melalui pengumpan akan dibawa oleh sabuk berjalan belt conveyor dan berakhir pada head pulley. Pada saat proses kerja di unit peremuk dimulai, belt conveyor harus bergerak terlebih dahulu sebelum alat peremuk bekerja. Hal ini bertujuan mencegah terjadinya kelebihan muatan pada belt. a) Bagian-bagian belt conveyor Belt conveyor terdiri dari ban yang menggelindingi roda gerak awal dan roda gerak ujung yang menghampar di atas roll. Bagian-bagian terpenting dari belt conveyor dapat dibagi kedalam dua kelompok bagian, yaitu: 1. Bagian-bagian yang bergerak
19
Pulley adalah suatu roll atau silinder yang berputar pada sumbunya dan terletak pada ujung dari rangka belt conveyor. Belt, berfungsi untuk membawa material yang diangkut dari suatu tempat ke tempat lain. Belt tersebut terbuat dari campuran karet dan beberapa jenis anyaman kapas atau nilon, rayon dan kabel baja. Motor penggerak (drive unit), berfungsi untuk menggerakkan drive pulley dan biasanya dilengkapi dengan sistem perpindahan roda gigi. Idler, berfungsi untuk menahan dan menyangga belt. Pemilihan terhadap diameter, ukuran bearing dan shaft mendasarkan pada: perawatan, kondisi operasi, muatan, serta kecepatan ban. 2) Bagian-bagian yang tetap Kerangka (frame), berfungsi untuk menyangga rangkaian belt conveyor, sehingga muatan dapat diangkut dengan aman. Penegang (take-up), berfungsi untuk membentuk belt, sehingga muatan diatas idler dapat berjalan dengan baik serta untuk menghindari terjadinya selip antara ban dengan pulley penggerak. Centering device, berfungsi untuk mencegah agar belt tidak meleset dari roller sehingga tetap berjalan pada alur dengan baik. Loading skirt, digunakan untuk mencegah muatan jangan sampai tercecer pada loading point. Belt cleaner , digunakan untuk membersihkan materialyang menempel pada belt dan dipasangkan pada permukaan sabuk setelah head pulley. Chute atau corong, adalah alat yang digunakan untuk menumpahkan material dan mengarahkan ke tempat tertentu.
20
Gambar 2.12 Bagian-bagian belt conveyor (Arif, 1989) 1. Kapasitas Produksi Teoritis Belt Conveyor Menurut Fyson (1986), kapasitas teoritis belt conveyor sangat dipengaruhi oleh luas penampang melintang material yang terangkut, kecepatan belt conveyor dan bobot isi material yang terangkut. Luas penampang melintang akan tergantung pada lebar sabuk, dalam cekungan sabuk, sudut lereng alam (angle of repose), material terangkut dan sejauh mana sabuk itu mampu dimuati sampai batas kemampuannya, sedangkan sudut lereng alami material diatas belt conveyor dipengaruhi oleh jenis dan kondisi material yang diangkut. Dengan mengetahui luas penampang melintang muatan di atas belt conveyor maka kapasitas teoritis dari dapat dicari.dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : A=K (0,9 B – 0,05)2.............................................................................. [2.8] Keterangan : A = Luas penampang melintang muatan diatas belt conveyor, m2 K = Koefisien dari luas penampang melintang diatas belt yang besarnya tergantung dari harga trough angle dan surchargen Angle. B = Lebar belt conveyor
21
Tabel 2.2 Luas penampang melitang material pada belt conveyor 300
Trough of angle (ß) Surchargen angle (ɑ) Lebar sabuk berjalan (mm)
100
200
300
400
1,20
1,43
1,69
1,57 2,10 1,00 4,88 7,21 10,04 13,24 18,27 24,11 30,76 38,22
1,86 2,50 3,57 5,81 8,60 11,92 15,79 21,79 28,75 36,68 45,57
2,22 2,96 4,22 6,87 10,14 14,08 18,64 25,76 33,94 43,31 53,81
450 500 600 750 900 1050 1200 1400 1600 1800 2000 Sumber : (Fyson, 1986)
Kapasitas teoritis belt conveyor dapat dihitung dengan menggunakan rumus: Qt = 60 × A × V × Bi × S.................................................................... [2.9] Keterangan : Q = Kapasitas teoritis belt conveyor (m3/jam) A = Luas penampang muatan di atas belt conveyor (m2) V = Kecepatan belt conveyor (m/menit) Bi = Bobot isi material (ton/m3) S = Koefisien pengaruh kemiringan belt conveyor 2. Kapasitas Produksi Nyata Belt Conveyor Kapasitas produksi nyata dari belt conveyor diketahui dengan cara mengambil langsung conto material di atas belt conveyor dan dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai beriku: a. Pada kondisi belt conveyor berhenti P=
60 v G ........................................................................................... [2.10] 1000 L
Keterangan : P = Produksi nyata belt conveyor (ton/jam)
22
v = Kecepatan belt conveyor (m/menit) G = Berat material conto (kg) L = Panjang pengambilan conto belt conveyor (m) b. Pada kondisi belt conveyor sedang beroperasi P
3600 G ............................................................................................. 1000 T
= [2.11]
Keterangan: P = Produksi nyata belt conveyor (ton/jam) G = Berat material conto (kg) T = Waktu penampungan conto dari belt conveyor (menit) 2.4
Ketersediaan Alat Peremukan Adalah pengertian yang dapat menunjukkan keadaan alat mekanis tersebut,
misalnya kesediaan fisik dan efektivitas penggunaannya yang menyatakan apakah jam kerja alat tercapai sesuai dengan yang diharapkan atau tidak. Ketersediaan alat dikatakan baik apabila persen kesediaan alat berkisar antara 83-92 %, dikatakan sedang apabila berkisar antara 75-83 %, dikatakan kurang baik apabila berkisarantara 67-75 % dan dikatakan buruk (kecil) apabila kurang dari 67 % (Partanto, 1983). Ditinjau dari segi kesiapannya ada 3 faktor yang mempengaruhi ketersediaan alat mekanis yaitu: Dari segi ketersediaan alat itu sendiri termasuk mesin maupun non mesin Dari segi kerterbatasan waktu dari alat mekanis yang telah dijadwalkan untuk beroperasi Dari segi operasi kesiapan manusia itu sendiri yang akan melengkapi dari dua faktor diatas 1. Mechanical Availability Adalah cara untuk mengetahui kondisi alat yang sesungguhnya dari alat yang sedang digunakan. MA =
W × 100 % ...................................................................... [2.12] WR
23
Keterangan : W = jumlah jam kerja alat tanpa mengalami kerusakan R = jumlah jam perbaikan 2. Physical Availability Adalah berguna untuk menunjukkan ketersediaan keadaan fisik alat yang sedang digunakan. W S x 100 % ................................................................... [2.13] W R S
PA =
Keterangan : S = jumlah jam alat tidak digunakan tapi tidak mengalami kerusakan dan dapat dioperasikan. W + R + S = seluruh jam kerja dimana alat dijadwalkan untuk dioperasikan. 3. Use of Availability Use of Availability biasanya dapat memperlihatkan seberapa efektif suatu alat yang sedang tidak rusak untuk dapat dimanfaatkan, hal ini dapat dijadikan suatu ukuran seberapa baik pemakaian peralatan. UA =
W × 100% ...........................................................................[2.14] W S
Keterangan : UA = Memperlihatkan efektivitas alat yang tidak sedang rusak dapat dimanfaatkan. 4. Effektive Utilization (Efisiensi Kerja Alat) Cara menunjukkan berapa persen seluruh waktu kerja yang dapat dimanfaatkan untuk kerja produktif. EU =
W × 100 % ..................................................................[2.15] W R S
5. Efektivitas Penggunaan Alat Untuk mengetahui tingkat penggunaan alat peremuk dan kemampuan yang bisa dicapai. Ep =
Kapasitas nyata × 100 % ......................................................... [2.16] Kapasitas desain
24
2.5
Efisiensi Kerja Menurut Partanto (1983), efisiensi kerja adalah perbandingan antara waktu
kerja produktif dengan waktu kerja yang tersedia, dinyatakan dalam persen (%). Efisiensi kerja ini akan mempengaruhi kemampuan produksi dari suatu alat. Efisiensi kerja terdiri dari efisiensi kerja alat dan efisiensi kerja operator. Efisiensi kerja alat (effective utilization) merupakan persen waktu kerta tersedia alat yang dimanfaatkan untuk kerja produkstif. Operator merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan produksi suatu alat. Pemanfaatan jam kerja oleh operator untuk kerja produktif akan berpengaruh proses produksi yang ada. Perilaku operator yang kurang disiplin akan menyebabkan jam kerja efektif akan berkurang. Efisiensi kerja operator dapat dihitung menggunakan persamaan: We = Wt – (Wha+Who) ........................................................................ (2.17) EO =
We Wt
× 100% .................................................................................... (2.18)
EK = EU × EO × 100% ......................................................................... (2.19) Keterangan : We = Waktu kerja efektif (menit) Wt
= Waktu kerja tersedia (menit)
Wha = Waktu hambatan karena faktor alat (menit) Who = Waktu hambatan karena operator EK
= Efisiensi kerja (%)
EU
= Efisiensi alat (%)
EO
= Efisiensi operator (%)
Pekerja atau mesin tidak mungkin selamanya bekerja 60 menit per jam, karena hambatan-hambatan kecil akan selalu terjadi karena kondisi kerja dan kondisi managemen yang ada. Pada tabel 2.3 akan dijelaskan hubungan kondisi kerja dengan kondisi managemen.
Kondisi Kerja Excellent
Tabel 2.3 Efisiensi Kerja Kondisi Manajemen Excellent
Good
Fair
Poor
0,84
0,81
0,76
0,70
25
Good
0,78
0,75
0,71
0,65
Fair
0,72
0,69
0,65
0,60
Poor
0,63
0,61
0,57
0,52
Sumber : (Partanto, 1983) 2.5.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Crusher Pada kegiatan peremukan ada beberapa faktor dalam mempengaruhi terhadap produk yang akan dihasilkan. Faktor itu antara lain (Taggart, 1964) : 1. Kuat tekan batuan dan ukuran batuan Ketahanan batuan dipengaruhi oleh kerapuhan kandungan mineralnya. Struktur mineral yang sangat halus biasanya lebih tahan dari batuan berstruktur keras. Ukuran material yang dijadikan umpan untuk mencapai produk dengan kualitas baik pada peremukan adalah ≤ 85 % dari ukuran bukaan alat peremuk. 2. Reduction ratio (rasio peremukan) Nisbah reduksi (reduction ratio) sangat menentukan keberhasilan dari proses peremukan, karena besar kecilnya nilai reduction ratio ditentukan oleh kemampuan alat peremuk untuk mengecilkan ukuran material yang akan diremuk, oleh karena itu harus dilakukan pengamatan terhadap tebal material umpan maupun tebal material produk. Reduction ratio adalah perbandingan ukuran terbesar umpan dengan ukuran terbesar produk. Pada primary crushing besarnya reduction ratio adalah 4 –7, sedangkan pada secondary crushing besarnya reduction ratio adalah 7 –20. Besarnya reduction ratio merupakan batasan agar kerja alat lebih efektif. tF
wF
RL = tP = wP ........................................................................................... (2.20) Keterangan : RL = reduction rasio tf
= tebal umpan (cm)
tp = tebal produk (cm) wF = lebar umpan (cm) wP
=lebar produk (cm)
26
3. Arah resultan gaya Untuk terjadinya suatu peremukan, maka arah resultan gaya terakhir haruslah mengarah ke bawah. Jika arah resultan gaya terakhir mengarah ke atas berarti peremukan tidak terjadi melainkan material hanya akan meloncat-loncat ke atas. 4. Energi peremukan Energi yang dibutuhkan alat peremuk tergantung dari beberapa faktor antara lain ukuran umpan, ukuran produk, kapasitas alat peremuk, bentuk material, persentase dari waktu berhenti alat peremuk pada suatu proses peremukan. Besarnya energi yang dibutuhkan untuk meremuk berkisar antara 0,3 – 1,5 Kwh/ton. 5. Kapasitas Kapasitas alat peremuk dipengaruhi oleh jumlah umpan yang masuk setiap jam, berat jenis umpan dan besar setting dari alat peremuk.